Olivia FinleyTidak ada yang terjadi semalam. Aku terlalu lelah. Terbangun pagi ini pun, tanpa Rhys di sisiku.Ke mana dia? Apa wanita yang semalam duduk di meja makan keluarga Oxley itu mencari kekasihku dan membangunkannya dari tidur di pagi buta?Persetan, ZeeZee!Jika Rhys menemukan kesenangan lain dengan cara seperti itu, mungkin aku harus coba bercermin pada diriku sendiri.Aku memiliki hubungan yang ‘sesuatu sekali’ dengan Brady White. Andai Rhys tahu, mungkin perang akan terjadi.Aku tidak suka itu. Sungguh. Sebisa mungkin aku akan mencegah hal itu terjadi, meski rasa bersalah akan mengikuti sepanjang hidup.Tapi, apa mungkin selamanya Rhys tidak akan tahu tentang apa yang terjadi padaku dan Brady? Rasanya, teramat sangat mustahil.Namun setidaknya, aku akan coba menaikkan kewaspadaanku.“Selamat pagi, Nona Olivia Finley.”Aku menoleh. Melihat sosok Lucas di sana. Masih sama. Walau tidak sebaik dari terakhir kali aku merasakan keramahtamahannya. Mungkin, dua tahun membuatnya j
Olivia Finley“Bisa beritahu aku kenapa kau sampai ada di rumah utama padahal biasanya, kalian tidak akan berkumpul tanpa perintah dari kakak tertua?” Tiba-tiba penasaran. Aku menanyakan ini karena mengingat ucapan Lucas.“Kata siapa? Aku sesekali pulang untuk berganti pakaian di kamarku. Pakaian di rumahku sendiri hanya ada beberapa yang sempat kubawa dari sini.”“Kau peduli soal itu?” Aku keheranan. Atau mungkin, aku saja yang tidak pernah tahu akan hal itu.“Ya. Aku peduli.” Meletakkan sandwich-nya kembali di piring, dia menatapku. “Waktu yang tepat sekali ketika pagi ini aku pulang, dengan niat untuk mengambil beberapa setelan jas dan malah bertemu denganmu.”Jadi, siapa yang bicara benar? Lucas atau Ludwig?Memangnya kau peduli? Ah, ya. Tidak. Aku tidak peduli. Itu urusan mereka. Aku pun berhak tidak mempercayai siapa pun di sini.“Kenapa kau kembali?”Sekarang, giliranku yang meletakkan sandwich dengan beberapa gigitan dariku itu, ke piring. “Karena aku merindukan Rhys.”“Jika i
Rhys Dimitri OxleyAku merasa aneh pada ZeeZee-ku yang tidak mempermasalahkan apa pun. Ya, oke. Kami memang sudah sepakat tentang hal itu malam lalu, tapi bukan berarti dia tidak sepeduli ini.Kurasa, dia agak dingin. Bukan, bukan. Nyaris rasa kepedulian itu sudah tidak lagi ada untukku.Begitukah?“ZeeZee Olivia Finley, apa yang ingin kau beritahu? Cepat katakan.” Menggesekkan daguku ke pundak telanjangnya, kuhirup aromanya yang menenangkan.Dia terkikik geli. Membalas sentuhanku dengan meraba secara intens. “Rhys, aku mencintaimu.”Sungguh hanya itu? Kenapa aku meragukan ucapannya? Serasa ada yang tertinggal. Kesannya, aku begitu memaksa. Padahal, mungkin benar hanya itu.“Aku juga mencintaimu, Sayang. Sangat.” Kusatukan diri kami pada akhirnya. Tidak bisa kubendung lebih lama lagi. Dia terlalu menggairahkan. Selalu seperti itu.“Rhys,” panggilnya serak. Padahal kami sedang bergerak. Dari dulu begitu. Senangnya bicara ditengah percintaan.“Hmm?” Kutatap matanya dalam-dalam. Meneliti
Olivia FinleyBukan bosan menunggu, aku hanya bergerak ke ruangan lain setelah melihat menu makanan di meja belum bisa disantap karena menanti Rhys menyusul ke sini.Aku memastikan bahwa semua yang ada di dalam setiap ruangan masih sama seperti yang terakhir kali kuingat, suasana yang persis serupa. Meski banyak pelayan baru dengan wajah yang asing bagiku berlalu lalang di dapur dan ruangan pelayan, tempat biasa mereka beristirahat.Dering telepon di ruang kecil yang biasanya dipakai untuk menyimpan berkas milik David Oxley, membuatku terkejut. Seingatku, telepon rumah tidak pernah diletakkan di ruangan itu. Padahal, itu ruang berkas tempat ayahnya Rhys biasa berlama-lama tanpa ingin diganggu.Masih berdering dan kuangkat gagangnya, menempelkan ke telingaku.“Halo.”“Saatnya pulang, Olive. Perlu kujemput?”Percaya lah. Aku mematung dengan rasa terkejut yang menyeretku jatuh bersama gemuruh ketakutan dalam diriku.Sungguh. Aku tidak menyangka dia menghubungiku ke telepon rumah Oxley. M
Olivia Finley“Kau tidak akan melakukan itu.” Tersenyum, kuusap pipi kanannya tanpa melepas tatapanku darinya.Rhys balas menatapku. Bagaimana jika dia mulai mencurigaiku dan benar-benar bersikeras melarangku kembali ke Halbur?Menghela napas, dia menyingkirkan gelas dari genggamanku. Caranya sedikit kasar. Mungkin dia marah. Aku membiarkannya. Tidak mengatakan apa pun ketika gelas itu terjatuh ke atas ranjang dan membasahi seprei serta kasurnya dengan air yang tadi masih penuh di dalam gelas. Menyerap cepat, tapi masih basah.Rhys mencumbuku. Meski marah sekali pun, dia tidak pernah benar-benar kasar padaku, terutama ketika dia menginginkanku.Kulingkarkan kedua lenganku ke lehernya. Menikmati segalanya yang terjadi, sebagai hal yang kurasa jadi paling baik dan menenangkan hatiku saat ini.Terlepas dari sesaknya rasa bersalah yang menghimpitku. Membuatku kacau dan terluka sendiri. Bahkan jika dia mengetahuinya, mungkin perasaan terlukaku bukan lah apa-apa.Di kepalaku hanya tertanam
Olivia FinleyTersentak, aku baru sadar ketika nyaris kupikir Brady White ada didekatku. Mengatakan sesuatu, lalu sedikit memberi sentuhan disepanjang kulit wajahku.Nyatanya tidak ada!Mungkin hanya firasat.Meski yakin, aku tidak menangkap basah dia sedang melakukan itu padaku. Lebih baik diam jika tidak punya bukti.Berapa lama aku tidur? Sepertinya tidak lebih dari tiga puluh menit, saat jarum jam terpantau tidak bergerak terlalu jauh.Ketika keluar kamar, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku kembali ke Halbur karena Brady bisa bertindak di luar kendali, begitu pun dengan Rhys jika sampai pria itu mengetahui segalanya.Kecemasanku berkali lipat naik melalui asam lambung, hingga rasanya membuatku ingin mual.Ah, aku bosan. Muak. Kapan ini berakhir?“Bagaimana jalan-jalan ke Yellowrin? Kau sudah puas?”Kutemukan keterkejutanku di sudut lain ruangan. Mataku menangkap Brady ada di batas antara ruang tengah dan tamu. Dia berdiri di sana dalam balutan setelan santai. Kemeja puti
Olivia FinleyBerapa lama aku merasa sekarat dengan isi perut yang nyaris terkuras habis dan tenggorokan yang terasa seperti terbakar?Entah!Aku tidak ingat itu. Aku hanya marah ketika terbangun dalam posisi meringkuk di balik selimut milik Brady.Ini bukan kamar yang biasa kutempati.“Hei, kau baik-baik saja?” Brady muncul entah dari mana dengan gerak tergesa-gesa. Dia nyaris melompat ke atas ranjang dan memegangi wajahku menggunakan kedua tangannya yang terasa dingin.“Singkirkan—aww!” Nyeri di ulu hati dan perut, membuatku kembali meringkuk.“Olive, katakan padaku—”“Berhenti berpura-pura, Berengsek!” Aku terengah. Menahan amarah dan rasa geram yang tidak mampu mencapai tahap maksimal. “Kau sengaja meracuniku.”Brady menatapku. Dalam dan terkesan bingung. Dia seperti kehilangan sesuatu untuk dikatakan padaku. Hinaan dan ancamannya bagai lenyap ditelan bumi.Sandiwaranya bagus. Bernilai sembilan puluh sembilan dari seratus.“Ada yang berniat meracunimu, bukan aku.”Kutekan sedikit
Rhys Dimitri Oxley William muncul setelah dua minggu tidak terlihat di depan mataku. Kali ini dia datang sendirian. “Kau melarikan diri dari rumah?” Biasanya, aku tidak pernah mau tahu, apalagi bertanya. “Aku bolos les matematika.” Dia tertawa. Mirip anak kuda. “Sepertinya, mama masih di kebun.” “Kebun?” Hei, sejak kapan aku jadi ingin tahu? “Yap. Mama terkadang bekerja di kebun mawar milik keluarga Paden.” Ah, James Paden. Pemilik kebun mawar terbesar di Yellowrin. Mawar dengan beragam warna. Mereka punya sebanyak itu. Sebenarnya, dia tidak harus repot-repot untuk mengembalikan biaya pengobatan rumah sakit William beberapa waktu lalu. Tapi, ya ... wanita selalu punya seribu satu macam alasan untuk mempertahankan harga dirinya. Oke. Kubiarkan dia melunasinya, jika memang maunya begitu. Kata Lucas, pekerjaan tetap Diana Heller itu adalah sebagai pembuat roti di Vernos Bakery milik keluarga Vernos. Ada di sudut kota, dekat gedung bioskop yang tidak kalah tuanya dengan toko roti
Olivia FinleyPenata rias sedang menyentuh pipiku, ketika dia mengaduh karena melupakan alat makeup-nya yang entah apa penyebutannya tadi.“Aku akan segera kembali,” katanya.“Okay.” Sambil tersenyum, kutatap lekat gambaran diriku di cermin. Gaun pengantin baru akan kukenakan setelah riasan wajahku selesai.Aku terlonjak saat di menit pertama seseorang muncul di belakangku. Brady!“Kenapa kau—”“Aku cuma ingin bicara sebentar. Tidak akan ada yang tahu. Tenang saja.” Kedua tangannya berada di pundakku, menekan sedikit kuat agar aku tetap di sana dan tentu memaksaku untuk tidak memberontak.Brady membungkuk, menatapku dari pantulan cermin, begitu pun sebaliknya. Kami saling tatap. Bedanya, aku melihatnya penuh rasa benci. Tidak perlu berpikir berulang kali, tapi rasa benci ini tetap akan berakhir dengan kebencian pula.Salahku memang. Andai aku segera kembali ke pelukan Rhys, pulang ke Yellowrin sebelum bertemu Brady, pastinya hal mengerikan seperti ini, tidak mungkin terjadi. Kami tida
Rhys Dimitri OxleyAku akan pura-pura tidak tahu kalau ZeeZee bertemu Diana dan wanita sialan itu mengungkap fakta yang terjadi di antara kami berdua.Bergeming, ketika ZeeZee canggung padaku saat malam ini kami ada di kamar yang sama untuk membahas pernikahan besok.“Masih belum terlambat jika kau tidak siap kita menikah besok,” kataku lagi. Menjurus ke arah pembatalan pernikahan, karena kupikir, dia pasti kecewa, marah, sakit hati dan entah apalagi yang dirasakannya saat mendengar kebenaran itu.Dia malah tersenyum, meraih tanganku dan dibawa ke dalam pelukannya. “Sudah terlalu lama kita seperti ini, Rhys. Hubungan kita seakan jalan di tempat.”Aku terlalu takut untuk mengakui kesalahanku. Sangat pecundang, karena tidak berani mengakui kalau akhirnya aku tergoda oleh Diana yang menerobos paksa pertahananku.“Mungkin saja kau butuh waktu lagi, Sayang.” Bisa jadi dia berubah pikiran karena kesalahan besar yang telah kulakukan.Senyum ZeeZee menghancurkanku. Aku merasa semakin sangat b
Olivia FinleyPercuma menyesal. Tidak akan ada gunanya. Apa yang kami lakukan telah terjadi.Aku di sini karena mencari tahu kebenaran untukku, sekaligus kesalahan Rhys padaku. Sebaliknya, dia memiliki kebenaran untuk dirinya sendiri dan kesalahanku padanya.Impas? Sungguh?Pesan Rhys yang menanyakan tentang keberadaanku, kuabaikan. Meski begitu, semenit kemudian kubalas dengan mengatakan bahwa aku perlu memilih pakaian dalam baru untuk malam pertama kami.Aku tidak peduli pada balasan selanjutnya, karena wanita itu sudah terlihat dari pintu kaca tembus pandang, sedang mendorong pintu pintu dan masuk.Mungkin wanita itu sudah memantauku dari luar, karena dia langsung tahu di mana aku duduk menunggunya. Dia menatapku sejenak sebelum akhirnya menghela napas dan mendatangiku yang berusaha tidak cemas, tetap waras.“Nona Olivia?”“Ya. Silakan duduk, ibunya William.” Oh, aku sengaja.Namun aku harus kecewa, karena dia tidak terkejut sama sekali. Malahan tersenyum. Pasti karena dia sudah me
Olivia FinleyAku hanya harus percaya. Andai bisa, tapi rupanya itu sulit.Begini. Selagi acara pernikahan kami masih sedang diurus, aku pun ingin sibuk. Melakukan sesuatu, apa saja. Dan yang terpikir adalah pergi mendatangi Osen Murald. Kata Lucas, pria itu di sini. Entah untuk kepentingan apa, tapi kurasa ada hubungannya dengan Luigi.Aku ... butuh bantuan.Karena sekembali Rhys dari luar mengantarkan Brady, kekasihku itu tidak bicara sama sekali soal kucing-kucing yang akan Brady titipkan padanya.Tapi Rhys justru berharap kami bisa bercinta tanpa pembicaraan.“ZeeZee, aku ingin ada di dalam dirimu. Tapi kuminta untuk tidak mengajakku terlibat obrolan apa pun. Kita harus menikmati percintaan ini dengan hanya saling menatap satu sama lain. Apa kau keberatan?”“Tidak.”Itulah jawabanku kemarin. Aku setuju. Kami hanya menyuarakan kenikmatan, menyebut nama satu sama lain, mendesah penuh minat, dan bibir yang terus sibuk. Sibuk, tapi bukan untuk mengobrol.Kami merasai penyatuan yang lu
Rhys Dimitri Oxley“Siapa?” ZeeZee menatap tajam pada Brady, bukan padaku.“Kucing-kucingku.” Brady tersenyum, pura-pura canggung sepertinya.“Kucing? Kau menitipkan kucing pada Rhys?” ejek ZeeZee. Tujuannya mungkin karena dia ingin mendesak Brady untuk punya jawaban lain, sehingga memiliki banyak alasan membenci pria itu.Andai aku pun bisa seperti ZeeZee, mungkin dengan bebas aku lebih dari mampu untuk mengekspresikan rasa benciku pada Brady White yang saat ini, setelah kulakukan penyelidikan lebih jauh, patut kucurigai hingga sampai ke persentase delapan puluh persen.Ludwig yang menyelidiki. Melarangku meminta bantuan Lucas.“Ya, kucing.” Brady tertawa pelan. Sikapnya pada ZeeZee seharusnya kucurigai sejak awal.“Kenapa, Sayang?” tanyaku sambil tetap berdiri di sini, tidak mendekat pada ZeeZee.ZeeZee menatapku, tatapannya sendu padaku, tidak demikian matanya saat melihat Brady. Dugaanku mungkin ada sesuatu, tapi aku tetaplah pria mengecewakan yang telah melakukan seks dengan wani
Olivia FinleyBrady membawa Eri pergi, entah ke mana, setelah satu kali dua puluh empat jam berada di rumah sakit yang ada di Yellowrin.“Brady lebih berhak karena kini Eri adalah calon istrinya,” kata Rhys, ketika aku protes kenapa dia membiarkan Brady melakukan itu pada sahabatku. Seolah memisahkan kami. Dengan sengaja pula.“Karena aku cuma teman, aku tidak cukup berhak, ya?” Rhys mengecup pelan bibirku selagi mengelus kulit lenganku.“Eri baik-baik saja. Percayalah, Sayang.”Kuembuskan napas tepat di dadanya yang kini menjadi sandaranku. “Katanya, kau ingin membicarakan hal serius denganku. Soal apa itu? Eri?”“Bukan, ZeeZee. Ini soal kita.”Spontan aku mendongak dan menatapnya dari bawah sini, namun rasanya kurang tepat. Keluar dari sandaran dekapannya setengah tidak rela, kutatap dia lekat-lekat.Sepertinya sudah sangat lama aku tidak diajak bicara seserius ini dengan pria terkasihku.“Kita? Kita kenapa?”Helaan napas Rhys membuatku tegang. Seperti ada sesuatu yang malah membuat
Rhys Dimitri OxleyYang kutemukan adalah kepanikan. Para pelayan rumah masih di sini, karena membantu menyelesaikan semua sisa dari acara pertunangan Brady dan Eri.Merekalah yang panik dan ketakutan.“Ada apa ini?”Bukan aku yang bertanya, tapi Hugo. Bahkan Leon dan Adorjan juga ada di sana.“Tu-tuan tamu, oh maksudku, tuan Brady dan tunangannya terjatuh dari lantai tiga.”“Kalian melihat langsung saat mereka terjatuh?” tanyaku sambil mendekat. Semua mata mendadak mengarah padaku. “Tidak, Tuan Rhys. Kami sedang di dapur saat kejadian berlangsung. Jeritan nona Eri mengejutkan kami. Saat kami keluar rumah, keduanya sudah ada di atas mobil tuan Leon dalam keadaan tidak sadarkan diri dan berdarah-darah.” Salah satu dari keempat pelayan memberi keterangan.“Bagaimana sekarang?” Leon bertanya padaku.Kenapa bertanya? Harusnya mereka bergerak untuk mengatasi hal ini atau setidaknya memastikan keadaan kedua orang itu.Karena memang sudah jadi kesepakatan antara kami dan para pekerja di rumah
Olivia Finley“Aku tidur di sini, ya?” Eri menggulung gaunnya menjadi buntalan, setengah telanjang di atas ranjangku. Hanya bra dan celana dalam. “Lakukan sesukamu, Nona cengeng.” Beranjak untuk berganti pakaian, pintu kamarku diketuk.Rhys!Pasti dia!Aku berlari ke arah ranjang, menarik selimut dan mengancam Eri dengan suara pelan. “Itu Rhys, jadi tutupi tubuhmu, Nona!”Eri terkikik, menutupi tubuh bahkan bersembunyi dibalik selimut.Pintu terbuka, bukan Rhys yang berdiri dihadapanku, tapi Brady.“Olive, a—”“Eri, calon suamimu datang!” Aku menyela dengan menyeru. Tujuanku tentu saja agar Brady tidak bertindak seperti saat sebelumnya dia datang ke kamarku.“Hah? Brady!” Suara Eri terdengar riang, bahkan lompatannya dari atas ranjang ke lantai bisa terdengar. Oh—“Hei, Eri! Pakai selimutmu!” Panik, aku melotot padanya, tapi wanita itu santai saja berlarian kecil menghampiri kami di pintu.“Meski tampilannya begitu, aku tidak tertarik.” Brady menatapku.“Apa?” Eri menyela. Langsung b
Olivia FinleyOh, si paling tampan di keluarga Oxley. Hugo.“Apa kabarmu, ZeeZee terkasih?” Dekat-dekat hanya untuk mengecup puncak kepalaku.Hei, hei. Dia satu tingkat lebih berani dari saat terakhir kali kami bertemu. Kudorong wajahnya yang ingin merapat padaku.“Hugo, hentikan.”“Rhys sedang memberi kata sambutan. Jadi dia tidak akan melihat kita,” bisik Hugo.Tinju seriusku mendarat di perutnya. “Berhenti bercanda, Hugo. Aku sungguh-sungguh saat memperingatimu.”Hugo tampak jelas berpura-pura tuli karena dia langsung beralih pada Eri yang sedang cekikikan melihat interaksi kami berdua.“Nona Eri yang cantik jelita, langsung pergi ke sisi calon tunanganmu sekarang. Rhys itu tidak pernah memberi sambutan panjang lebar.” Hugo dengan gaya pria sejati, membungkuk mempersilakan Eri seolah dia pengawal sang tuan putri.Terkikik geli, Eri menurutinya daripada aku yang sudah melotot dan tidak bisa menggapai tangannya sebab dia berlari pergi meninggalkan kami.“Wajahmu tampak tidak rela,” tu