Makhluk itu hampir saja menusuk dadaku. Namun aku berhasil menghindar, lalu mengempaskannya sejauh ratusan meter keluar kamarku. Aku tidak segera keluar menyusul makhluk itu karena masih terpaku memandang ke luar gorden jendela yang masih bergoyang. Dari sela-sela gorden itu, ternyata makhluk itu tak hanya satu, ada puluhan makhluk seperti telah menunggu di luar rumahku. Makhluk-makhluk menyeramkan itu telah nangkring di atas pagar rumahku, matanya yang seperti arang panggangan menatapku dengan buas. Sebentar lagi makhluk-makhluk itu mungkin akan segera masuk dan menyerangku. Kutahu tidak ada lagi waktu untuk berpikir, dan bertarung di rumah ini akan membahayakan orangtuaku. Karena itu, aku segera melesat keluar kamarku. Begitu mendarat di halaman rumah, secara singkat aku sempat melihat makhluk seperti vampir telah siaga di beberapa sudut rumahku, di atas atap, dan di atas pagar. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak lagi, aku segera meloncat keluar pagar. Dan makhluk itu berusah
Saat ini dadaku terasa semakin sesak karena lilitan siliman ular itu, tulang-tulangku terasa seperti telah diremukkan. Aku ingin menjerit menahan sakit, namun suaraku tak mampu keluar. Dan sialnya, aku merasa sedikit ngeri. Mungkin tak ada kesempatan lagi bagiku untuk hidup."Eh!"Setengah mati aku berusaha menghirup napas, kurasakan tenagaku yang cukup besar terkumpul di dadaku. Sekuat tenaga, aku mencoba merenggangkan tanganku yang terlilit bersama tubuhku. Tubuh ular mulai melenggang. Namun sepertinya manusia setengah ular itu tahu apa yang kupikirkan, ia membanting tubuhku di jalanan hingga aku terpelanting begitu kuat."Brugh! Bugh! Bugh!"“Akh!” sekarang aku bisa menjerit."Hi-yahh."Aku berhasil berdiri, namun kalajengking telah menyerangku dengan ekor raksasanya yang berbisa, tanganku berhasil menangkisnya dengan cekatan. Namun racunnya terasa berpacu di sebelah tanganku, dan rasanya lebih menyakitkan dari panasnya lahar yang mampu membuat semua benda meleleh."Aakh!"Benar-be
Melihat cakar di tanganku, mata Shelly melotot, sementara siluman ular berderak-berderak ke arahku. Cakarku masih menyala. Begitu manusia ular itu menjerit dan menyerangku dengan cakar di tangannya. "Matilah!""Hiyaahh!"Dengan sekali ayunan tangan, berguguran kuku-kuku dan sisik-sisik siluman ular itu. Nampak dadanya terbelah, sebelum pada akhirnya makhluk itu menjadi hologram dan hilang dalam kegelapan.Ratusan-ratusan makhluk-makhluk seperti vampir melesat ke arahku, namun sia-sia saja serangan mereka, cakarku takkan membuat kulitku tersentuh sama sekali. Dalam beberapa kali ayunan tangan, aku telah membunuh lusinan manusia vampir yang mencoba menyerangku.Tiba-tiba energi terasa bergejolak di dalam tubuhku. Energi itu tidak hanya mengalir ke tanganku, tetapi juga ke punggungku. Terasa seperti sesuatu akan keluar dari punggungku, sementara jemariku kian memanas."Aku harus segera memusnahkan sisa-sisa vampir ini sebelum aku kehilangan kesadaran," batinku.Aku mencoba menahan energi
Ketika aku membuka mata, sekujur tubuhku tidak bisa digerakkan karena puluhan rantai melilit dan menutupi tubuhku. Aku mencoba melepaskannya, "Le-pas!"Tapi tenagaku tidak cukup untuk membuka rantai itu. Aku menyapu sekelilingku, aku berada di sudut ruangan yang tertutup."Di mana ini?" batinku.Karena penasaran akan apa yang ada di balik ruangan itu, aku berteriak untuk mencari jawaban, "Apakah ada orang di balik ruangan ini?""Nando!" suara Selly terdengar menggema, meski jaraknya tidak jauh dari tempatku berada."Kamu di mana, Sel?!""Aku berada di balik ruangan mu," jawab Shelly."Apa yang kamu lakukan di situ?!" tanyaku."Sama sepertimu, aku disekap sebelum dihukum. Aku akan dihukum, tetapi kau akan lebih dulu menerima hukuman dari Raja Lacodra," jawab Shally."Sebelum dia menghukum kita, aku akan lebih dulu menghukumnya," ucapku dengan yakin."Apakah kamu masih memiliki sayap itu?" tanya Shelly.Aku yang baru saja menyadari kalau Sayapku sudah tidak ada di punggungku berusaha me
Aku berhasil berdiri meski dengan susah payah. Tenagaku telah terkuras karena kehilangan banyak darah pada pertempuran sebelumnya, ditambah lagi ratusan rantai yang berbobot beberapa ton menambah bebanku. Kedelapan siluman berkepala buaya dan berbadan kekar yang memegang rantai dengan sigap telah lebih dulu berdiri sebelum aku berdiri.Sementara Raja Lacodra nampak masih emosi menatapku dengan mata reptilnya yang kini telah memerah seperti terbakar, ia kini mulai berceloteh, "Aku sudah tidak sabar ingin membunuhmu, akan kuminum darah seribu tahun di tubuhmu sebelum kujadikan jantungmu hidangan penutupku malam ini."Sepertinya pria itu tidak main-main dengan ucapannya, ke delapan tentakel guritanya keluar dari punggungnya seperti ular yang menjalar menudingku. Seperti kata Shally, racun di tentakelnya itu pasti akan merusak jantungku. Dan saat ini, aku tidak akan mungkin menang melawannya. Aku tidak akan bisa lolos dari tempat ini jika tidak menggunakan otak.Terpaksa aku akan mengecoh
Entah apa yang merasukiku hingga melahap kepala ikan hiu itu seperti binatang buas yang melahap mangsanya. Tapi kondisi perutku menjadi jauh lebih baik. Beberapa manusia setengah ular berlumut melesat ke arahku, tetapi aku tidak gentar kali ini, karena tenagaku sudah pulih setelah menyantap kepala siluman ikan itu."Matilah!" deru siluman itu seperti badai.Aku berhasil melesat meninggalkan atap istana.Seandainya kurang beberapa milidetik saja aku telat menghindar, maka tubuhku akan terlepas badai siluman itu. Aku terus melesat menuju ke permukaan yang berjalan beberapa kilometer dari dasar laut. Sementara puluhan manusia ular berlumut mengejarku dari dasar laut."Hei! Berhentilah pengecut!""Ayo kita bersenang-senang! Jangan lari!"Puluhan manusia ular berlumut yang mengejarku terus menggonggong dan mengejekku, tetapi siapa yang peduli dengan ucapan mereka. Karena bertarung di alam mereka tidak akan membuatku lebih unggul. Dan tentu saja itu akan banyak mengambil energiku, aku akan
"Akan kubunuh kau bocah sialan!" seru salah satu siluman Ular yang melesat maju untuk menghunusku.Dengan sigap, aku menghindar beberapa langkah ke samping, kemudian menyambar ujung ekor ular itu. "Kaulah yang akan kubunuh ular peyot!" sorakku sambil memegang kulit ular raksasa yang dipenuhi lumut.Jika aku tidak memiliki cakar yang tumbuh di pergelangan tanganku, maka sudah tentu ular itu akan terlepas dari genggamanku. Tetapi cakar tajamku yang menyala dapat menghunus dan masuk ke dalam daging ular itu."Aakh! Tidak!" jerit siluman ular itu sambil menahan sakit.Sementara aku mengangkat tubuhnya, lalu memutarnya seperti baling-baling hallycopter. Angin menderu, dan lautan di sekelilingku meninggi membentuk pusaran yang berputar-putar ke arah kumemutar tubuh siluman ular itu. Seluruh kawan siluman itu mundur dan menjaga jarak, sebagian dari mereka nampak kebingungan ingin menyelamatkan temannya yang terluka di tanganku.Setelah puas memutar tubuh siluman ular itu, aku mengempaskannya
Sebelum membuka kelopak mataku, aku merasakan pergelangan tangan dan kakiku terbelenggu. "Apakah aku kembali tertangkap oleh Raja Lacodra?" batinku.Tetapi tidak mungkin, karena saat membuka mata, aku terbaring di atas ranjang dengan kasur yang sangat empuk. Aku mencoba memicingkan mataku, mencoba membiasakan mataku dengan pendar cahaya sore yang menembus gorden jendelaku. Aku mengenali pemandangan di luar jendela itu, itu adalah awan di atas pulau Tumaya. "Apakah ini adalah kamarku?" gumamku sambil mengamati sekitarku."Benar," jawabku sebelum mengembuskan napas lega karena telah selamat dari cengkraman maut raja Lacodra. "Tapi kenapa aku bisa berada di tempat ini? Siapa yang menyelamatkanku?"Pertanyaan-pertanyaan itu terasa menyeruak di dalam otakku, berbagai jawaban tak mampu aku dapatkan. Dan pertanyaan yang paling besar untukku saat ini, "Kenapa aku dirantai seperti ini?""Rupanya kau sudah bangun anak manja?" ujar Alora yang tiba-tiba saja muncul dari pintu dan memasuki kamarku
Setelah lama tak bermimpi, kini aku kembali mengalami mimpi yang aneh, tapi entahlah ini benar-benar mimpi atau bukan, rasanya seperti begitu nyata. Tubuhku terantai dengan rantai yang dipenuhi aliran listrik berwarna biru, dan listrik itu bersumber pada mustika Naga Langit yang melayang-layang beberapa meter di depanku."Tempat apa ini?" gumamku.Tak ada apapun dan siapapun di tempat itu, hanya ruangan kosong yang gelap dan dipenuhi kabut merah yang berkemendang. Ketika aku tengah memperhatikan sekelilingku, tiba-tiba mustika Naga Langit mengembang dan mengeluarkan energi listrik yang lebih besar. Dan tubuhku mulai tersengat."Aaakkhh!" aku menjerit menahan energi itu.Sementara mustika Naga Langit semakin besar, dan aliran energi itu juga semakin besar sehingga aku kian tersiksa. Aku meronta-ronta, namun rantai itu begitu kuat untuk bisa kulawan.Mustika itu semakin dekat, dan energi yang dialirkannya semakin deras hingga menyelimuti tubuhku. Mustika itu terus mendekat seperti terta
Tanpa memejamkan mata, aku menyaksikan duri-duri besi raksasa itu pecah berkeping-keping menyentuh tubuhku, aku yang sedikit terperangah dengan kekebalan tubuhku mengalihkan pandanganku ke Mustika berwarna biru yang saat ini kupegang."Jangan-jangan ini adalah Mustika Naga Langit yang sedang kucari," gumamku, lalu memperhatikan ke sekeliling goa dan kembali bergumam, "Dan jangan-jangan, aku sedang berada di dalam perut naga langit."Secara tiba-tiba sebuah gelombang yang sangat kuat menarik tubuhku keluar kembali dari perut Naga Langit. "Aaakh!" Aku terseret kembali menuju ke luar.Benar saja, Naga Langit tengah mengamuk. Sementara aku yang berada beberapa puluh kaki di depannya melihat dengan jelas Matanya yang nampak menyala dan memancarkan warna kebiruan, lalu ia menghisap berbagai halilintar dengan mulutnya, sehingga halilintar-halilintar itu membentuk pusaran besar yang dahsyat dan terpusat di mulutnya.Selang beberapa mili detik kemudian, Naga Langit menyemburkan pusaran halilint
Kemilau cahaya perlahan-lahan menipis, dan panorama perlahan-lahan semakin jelas. Begitu semuanya benar-jelas dan kemilau cahaya sudah tidak ada, aku baru menyadari jika kami tengah dikelilingi halilintar dan petir yang menyambar ke segala arah.Sementara Zeon terus mengepakkan sayap dan melaju melewati celah-celah petir, Singa berbulu keemasan itu menghindari amukan halilintar dengan tangkas."Hati-hati, Zeon," ucapku."Jangan khawatir, Pangeran," jawab Zeon.Untuk mengurangi ketegangan, aku mencoba mengobrol dengan Tungganganku itu. "Kenapa kamu jarang sekali berbicara?"Bukannya menjawab pertanyaanku, singa itu malah mengajukan pertanyaan kembali, "Untuk apa sering berbicara, Pangeran?""Kau bodoh atau memang judes?" gumamku, kemudian menjawab, "Tentu saja untuk berkomunikasi agar kita bisa lebih mudah saling mengerti."Sambil terus melaju dengan kecepatan tinggi menerobos halilintar, Zeon berkata, "Aku diciptakan untuk peka terhadap tuanku. Jadi, aku tidak memerlukan obrolan untuk
"Zeon?" gumamku.Singa itu merunduk bersamaan dengan sayapnya yang menyusut semakin kecil, hingga sayapnya benar-benar hilang dari pandanganku. Sesaat kemudian, Ayahku turun dari Singa itu.Tiba-tiba saja Nero yang menunggangi singa bersayapnya tiba di sampinging Zeon. "Singa ini sungguh cepat, tungganganku yang dikenal sebagai tunggangan tercepat di Alam Tumaya tidak mampu mengimbangi kecepatannya," ucap Nero sambil menuruni tunggangannya yang telah merunduk."Untuk saat ini, tunggangan adikmu adalah tunggangan tercepat di alam Tumaya," ucap Ayahku sambil mengelus bulu Zeon yang berwarna keemasan."Singa ini masih sangat muda untuk menumbuhkan sayap, bagaimana kau bisa berhasil menumbuhkan sayapnya, Ariuz?" tanya Lensana Merah."Aku memandikannya dengan cairan Paksacakra," jawab Ayahku."Bukankah cairan itu hanya bisa digunakan satu kali? Bagaimana kau akan menumbuhkan sayapmu, Ariuz?" tanya Lensana Hijau."Aku memang berniat menumbuhkan sayapku untuk menembus dinding Julaga, tetapi
Sejak perbincangan di Amfiteater, Ayahku tidak pernah berbicara denganku. Hingga tiba pada hari ini aku akan berangkat menuju ke Gerbang Alam Langit."Kiyaaakkk!" suara berbagai satwa pun meramaikan acara pengantaran ku.Penghuni Alam Tumaya kecuali Letra berkumpul di gerbang Tumaya, mulai dari Jin penghuni Tumaya dari kalangan bawah hingga Jin penghuni Alam Tumaya dari kalangan atas. Dengan tatapan penuh harapan, semua mata rakyat Tumaya mengiring kepergianku.Berbagai siluman dengan bentuk yang beragam nampak sibuk berbisik-bisik, suara salah satu dari mereka sampai ke telingaku, "Putra Lensana Biru itu adalah satu-satunya harapan kita.""Bukankah itu adalah Jin Hal yang pernah dikalahkan oleh Taro di Arena Bundar, bagaimana bisa dia akan mengembalikan keseimbangan Alam Tumaya?" suara Siluman lain.Mereka terus berbisik-bisik hingga Lensana Hijau mendekatiku. Lensana Hijau mengeluarkan sebuah Permata Putih dari sakunya, kemudian menyerahkannya padaku sambil berkata, "Keponakanku, ini
"Tentu saja jika tidak ada yang keberatan," jawabku dengan perasaan yang sangat yakin jika aku akan bisa menembus kembali dinding Julaga."Kami percaya, kamu bisa menembus dinding Julaga. Akan tetapi, kau akan berhadapan dengan seluruh penghuni Alam Qulbis, mengalahkan seluruh penghuni Alam Qulbis adalah satu kemustahilan," ucap Lensana Merah dengan wajah yang kurang bersemangat.Ayahku menambahkan, "Apalagi sekarang, raja Lacodra memiliki Permata Seribu yang membuatnya tidak bisa tersentuh oleh senjata apa pun."Melihat para Lensana begitu pesimis, aku bertanya, "Apakah tidak ada cara untuk mengalahkan raja Lacodra?"Semua Lensana terdiam, Lensana Merah nampak berpikir serius, mungkin dia tengah memikirkan solusi, begitu juga dengan Ayahku. Sementara angin sore yang terasa dingin di Tumaya menyentuh kulitku, dan itu membuat keheningan di antara kami begitu kentara.Setelah semuanya terdiam cukup lama, tiba-tiba Lensana Hijau bersuara, "Sebenarnya ada satu cara untuk menembus permata s
Setelah melewati beberapa bangunan dan jembatan yang telah runtuh, aku tiba di sebuah amfiteater yang dulu begitu luas dan bisa menampung ratusan ksatria Tumaya. Kini bangunan itu nampak telah hancur sebagian, dan sebagiannya lagi masih bisa digunakan sebagai tempat berkumpul oleh penghuni alam Tumaya.Zeon mendarat di arena bundar yang nampak berantakan dengan taman yang telah rusak. Begitu singa berbulu emas itu menunduk, aku turun dari punggungnya sambil menatap wajah para Lensana yang nampak telah menunggungku dan menyambutku dengan senyum yang ramah."Salam hormat dari saya, Ayah, Paman Lensana Hijau dan Paman Lensana Merah," ucapku sambil membungkuk."Selamat datang, keponakanku," ucap Lensana Merah."Terimakasih sudah mau kembali ke Alam Tumaya, Keponakanku. Seluruh Penghuni Tumaya sangat membutuhkanmu," ucap Lensana Merah."Sama-sama, Paman," ucapku sambil melangkah menaiki tangga amfiteater, lalu mendekati sebuah kursi kosong berbahan perak di antara para Lensana kemudian dudu
Aku menghindari serangan Letra dengan begitu cepat, dan itu membuat putra Lensana Merah itu semakin geram, "Kau semakin menyebalkan anak lemah!""Jangan memancingku, Letra!" ucapku yang telah bosan dikatakan lemah oleh Jin Hal merah itu."Hiyaahh!" serunya sambil melesat dan menukik ke arahku.Dengan sigap aku berhasil menghindar sambil melakukan tendangan memutar yang membuat Jin Hal merah itu terempas dan menabrak Langkan dermaga hingga Langkan itu patah."Aakh!" jeritnya dengan tubuh yang terguling-guling menuju sebuah pohon."Kau bukan tandinganku! Jadi, jangan coba-coba memaksaku melakukan lebih dari itu!" teriakku sambil menunjuk Letra dengan jantung yang berdebar karena menahan amarah."Aku akan melakukan apapun untuk mengalahkanmu anak manusia," ucap pemuda berjubah merah itu sambil bangkit dan menahan sakitnya. Kakinya nampak bergetar, sepertinya tendangan yang telah kulakukan terlalu keras dan tepat mengenai tulang pinggulnya."Kenapa kau senang sekali mengganggu Nando, apa
"Hanya anakmu satu-satunya harapan kita untuk merebut Permata Seribu, Ariuz," suara Lensana Merah telah terdengar sebelum aku membuka mata."Aku tidak ingin menyerahkan nyawa anakku, Artuz," Ayahku terdengar keberatan.Dan saat aku membuka mata, para Lensana yang berdiri mengelilingiku langsung mengalihkan perhatiannya padaku. Tapi mataku langsung tertuju pada Alora yang duduk memangkuku."Nando," ucapnya dengan senyum yang menawan."Alora, apakah kau baik-baik saja?" tanyaku yang masih ingat apa yang telah terjadi pada gadis itu sebelum bertarung dengan raja Lacodra dan pingsan."Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, apa kau baik-baik saja?" tanyanya dengan pandangan yang sayu, bola matanya nampak lembab."Aku baik-baik saja," jawabku kemudian bangkit dari pangkuannya dengan sedikit sempoyongan, lalu bertanya, "Kenapa kau menangis?""Aku tidak menangis," ucap gadis itu sambil mengusap matanya, lalu berkata, "Kau telah menjadi pahlawan di negeri kita.""Itu benar," ucap Lensana Me