Share

33. Alam Tumaya

Author: Johan Gara
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Setelah menjelaskan semuanya di ruang pertemuan Gen Biru, ayah membawaku melewati beberapa istana kecil dengan mengendarai kabut. Semua istana kecil itu diselubungi kabut berwarna merah. Ada beberapa makhluk berwujud manusia kekar namun berkepala harimau yang terlihat berjaga di depan gerbang istana yang pertama kami lewati. Dua orang di depan pintu gerbang memegang trisula, dan sisanya menyilangkan satu pedang di depan dadanya.

“Istana ini dihuni oleh Abraka, putra dari Lensana Merah,” kata Ayah ketika kami melewati istana itu. “Istana ini dibuat untuk penjagaan gudang senjata tempur.”

Di samping istana itu ada sebuah bangunan yang cukup luas. “Apa ini gudangnya?”

“Benar,” jawab ayah.

Ayah melanjutkan ke istana kedua dan ketiga yang diantaranya terdapat gudang yang mirip istana emas namun tidak berpintu.

“Istana kedua dan ketiga dihuni oleh Lindra dan Harda,” ayah menjelaskan sambil melihat bentuk kedua istana yang tidak berbeda dengan istana yang pertama, begitu juga penjaganya.

“Ke
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   34. Pertarungan Di Arena Bundar

    Setelah menjelaskan semuanya di ruang pertemuan Gen Biru, ayah membawaku melewati beberapa istana kecil dengan mengendarai kabut. Semua istana kecil itu diselubungi kabut berwarna merah. Ada beberapa makhluk berwujud manusia kekar namun berkepala harimau yang terlihat berjaga di depan gerbang istana yang pertama kami lewati. Dua orang di depan pintu gerbang memegang trisula, dan sisanya menyilangkan satu pedang di depan dadanya. “Istana ini dihuni oleh Abraka, putra dari Lensana Merah,” kata Ayah ketika kami melewati istana itu. “Istana ini dibuat untuk penjagaan gudang senjata tempur.” Di samping istana itu ada sebuah bangunan yang cukup luas. “Apa ini gudangnya?” “Benar,” jawab ayah. Ayah melanjutkan ke istana kedua dan ketiga yang diantaranya terdapat gudang yang mirip istana emas namun tidak berpintu. “Istana kedua dan ketiga dihuni oleh Lindra dan Harda,” ayah menjelaskan sambil melihat bentuk kedua istana yang tidak berbeda dengan istana yang pertama, begitu juga penjaganya.

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   35. Tentang Bangsa Nuz

    Entah bagaimana aku bisa memperkirakan gerakan lelaki itu dengan pendengaranku, dan hal itu benar-benar terjadi. Akan tetapi, serangan makhluk itu terlalu cepat meskipun aku bisa memperkirakan serangannya dengan begitu akurat."Aagh!" Aku kembali terhempas dan menabrak dinding marmer di tepi arena.Sorak sorai kembali memenuhi arena. Ketiga Lensana pun berdiri seraya bertepuk tangan. Senyum ayahku terlihat memudar ketika mendekatiku di arena bersama ketiga Lensana lainnya. Aku tahu ia kecewa karena aku dikalahkan.“Kamu memang perlu berlatih lagi nak,” kata ayahku.“Anakmu memang unik Ariuz,” kata Lensana Hijau kepada ayahku sambil memandangku. "Dia bisa bertahan melawan salah satu Panglima terbaik pasukan siluman."Pujian itu sempat membuatku berpikir kalau aku cukup tangguh, tetapi aku menyadari jika tak ada satupun dari bangsa Jin Hal yang pernah dikalahkan bangsa Siluman selain aku. Dan itu pasti cukup mencoreng nama Gen Biru.“Bersiaplah nak,” kata Lensana Merah padaku.“Jamuan m

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   36. Jamuan Makan Malamku Terganggu

    Kami diturunkan di salah satu jembatan yang menuju ke Istana termegah, lalu kami berjalan menuju Istana ayahku. Sambil melangkah, aku bertanya kepada Pemuda yang mengaku sebagai kakakku itu, “Bisakah kau menghilang seperti ayah?”“Hahaha...” Nero terkekeh. Dan itu membuatku merasa bodoh telah bertanya. Namun setelah itu, Nero diam selama beberapa langkah, kemudian berkata, “Ketiga Lensana memiliki Mustika Dewa untuk menghilang dan berpindah tempat ke dimensi lain, dan untuk menggunakan mustika itu, Lensana Hijau yang terkenal sebagai Lensana terpintar membutuhkan waktu enam puluh empat tahun untuk menguasainya.”Ternyata untuk menghilang seperti itu bukanlah hal yang mudah, bahkan usia rata-rata manusia saat ini lebih sedikit dari waktu yang dibutuhkan para Lensana untuk bisa berpindah tempat secara ajaib.-o0o-Kedatanganku dengan kakakku ke ruang jamuan adalah yang paling bontot, karena selain kami, semua Lensana dan Putranya telah menempati kursi di dalam ruangan begitu kami tiba.

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   37. Kehancuran Si Pengacau

    “Maaf Nando,” kata Alora. “Aku harus ikut menyelesaikan ini.”Kemudian gadis itu melangkah dan meninggalkan ruangan bersama Jin Hal yang lain, hingga di ruangan itu hanya aku sendiri dari generasi Jin Hal.“Sebaiknya kau ikut, gar kau mengetahui bagaimana situasi di luar sana,” kata ayahku. “Dan itu akan menjadi pertarungan pertama bangsa Jin Hal yang dapat kausaksikan. Apa kau mau melewati kesempatan itu?"“Baik ayah,” kataku dengan senang hati, kemudian meninggalkan ketiga Lensana di ruang Jamuan. Begitu keluar pintu, entah darimana Zeon—singa ajaibku menyambut di luar pintu, dan mengaum. Singa itu terlihat terlihat sedikit menatkutkan dengan taring kuningnya yang tajam.Sementara kakakku yang telah menunggangi singa bersayapnya menyeru kepadaku, “Ayo!”Beberapa detik kemudian, aku telah berhasil duduk di punggung singa pelindungku. Lalu singa itu meloncat dan melesat menuju ke tepi pantai.Di tepi pantai, nampak ksatria-ksatria Tumaya dari Bangsa Jingal tengah bertarung. Gen hijau

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   38. Seperti Manusia

    Beberapa hari berikutnya, aku mulai terbiasa dengan situasi di Tumaya. Semuanya terasa normal, hanya saja aku harus berusaha lebih keras untuk bisa beradaptasi di alam yang berbeda dengan alamku yang sebelumnya."Jangan terlalu memikirkan apa yang kau lihat di bawah, karena tanpa kau sadari hal itu akan semakin memberatkanmu sehingga kau tidak akan bisa meraih keseimbangan."Alora melatihku berjalan mengambang di udara, hal itu memang sulit dilakukan. Kalau saja gravitasi di alam tumaya tidak lemah, maka mungkin saja aku akan terpelanting ke dasar bumi dan menyebabkan tubuhku terpecah menjadi beberapa keping. Tetapi aku harus bisa melakukan gerakan seperti makhluk-makhluk lainnya yang tak memerlukan pijakan, karena tanpa bisa melakukan hal itu maka aku akan tetap menjadi pecundang di tempat ini.-o0o-Rutinitas yang paling aneh menurutku adalah belajar bahasa dari empat benua yang paling umum dengan sekelompok makhluk halus. Selain itu, aku belajar beberapa bahasa daerah dengan mereka

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   39. Jin Hal Merah Mencoba Menyerangku

    “Apa kau betah di tempat ini?” tanya Alora.Gadis itu selalu menemuiku ketika sore di sebuah jembatan yang telah menjadi tongkronganku jika telah tiba waktu sore. Kami duduk bersama di langkan jembatan sambil menyaksikan pendar merah di ujung lautan. Di tempat itu juga aku biasa menyaksikan rambut pirangnya yang berkilauan karena bertebaran tertiup angin sore.“Mungkin saat ini aku masih perlu waktu untuk beradaptasi,” jawabku sambil melempar pandangan ke ujung lautan.Alora tak mengucapkan sepatah katapun, matanya lurus ke ujung lautan. Lalu aku kembali bicara, “Aku selalu meragukan kedua orangtuaku, tetapi mereka selalu berusaha memahami aku sebagai anak yang berbeda dari anak-anak lain yang seusia denganku.”“Kau beruntung memiliki ibu, meskipun dia hanya sekedar ibu angkat,” kata Alora dengan mimik yang dingin, seperti sedang meniampakkan penyesalan dalam batin yang terdalam.“Memangnya paman Lensana Hijau tidak pernah menunjukkan ibumu?”“Semua Lensana akan merahasiakan keberadaa

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   40. Cakar Tajam

    Kukira aku akan hancur berkeping-keping, namun Alora berhasil menyambar tubuhku terempas ke darat. Ia tahu aku masih belajar beradaptasi, dan aku masih belum bisa mengambang di udara. Alora kembali membawaku ke Jembatan, lalu mendaratkanku di lantai. Aku yang telah terluka melihat wajah Jin Hal Merah itu seperti sedang terbakar.“Paman Lensana Biru bisa membunuhmu,” kata Alora setelah aku duduk setengah berlutut di lantai marmer. Itu pertama kalinya aku melihat wajahnya seserius itu ketika bicara, sama sekali tidak ada senyuman di wajahnya. Ia benar-benar marah karena aku telah dilukai.“Itu bukan salahku, Alora. Seharusnya dia bisa menghindari seranganku,” Letra masih bisa membela diri walaupun dia telah membuatku bersimbah darah."Aku hanya ingin tahu, apa dia pantas duduk berdampingan denganmu.""Siapapun pantas duduk berdampingan denganku, kecuali kamu!" Alora menunjuk ke arah Letra.“Okhok-okhok,” aku terbatuk.Dadaku terasa sesak, dan lututku semakin lemas. Aku juga merasakan pa

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   41. Diobati Lensana Hijau

    “Dia akan baik-baik saja, Ariuz.”“Benar kata Guinuz, anak ini akan menjadi kuat dengan cakar-cakar itu.”Suara beberapa orang bercakap bagai sekawanan burung berbisik berhasil membuatku membuka mata. Saat mataku mulai terbuka, semua mata seperti memburuku, dan kamarku yang biasanya sepi telah diramaikan Ayah, Lensana Merah, Lensana Hijau dan putrinya, Alora. Aku menjadi pusat perhatian kali ini, raut wajah mereka seperti telah mendamba kabarku.Alora yang duduk di sebuah kursi di samping ranjangku menjadi orang yang pertama menyapaku, “Bagaimana keadaanmu?” Wajah gadis itu terlihat cemas, jemarinya seperti mengunci di sela-sela jemariku.“Aku merasa baik-baik saja.”Kemudian ayah yang duduk di kursi sebelah Alora berkata, “Apa kau tidak merasakan sakit?”“Sama sekali tidak, Ayah.” Wajah ayah seharusnya tetap lega, namun sayangnya wajah lelaki beruban itu terlihat berlipat. Aku tahu ia masih menghawatirkanku. Dan hal itu cukup membuatku senang karena telah diperhatikan olehnya, meskip

Latest chapter

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   76. Disidang Di Alam Langit

    Setelah lama tak bermimpi, kini aku kembali mengalami mimpi yang aneh, tapi entahlah ini benar-benar mimpi atau bukan, rasanya seperti begitu nyata. Tubuhku terantai dengan rantai yang dipenuhi aliran listrik berwarna biru, dan listrik itu bersumber pada mustika Naga Langit yang melayang-layang beberapa meter di depanku."Tempat apa ini?" gumamku.Tak ada apapun dan siapapun di tempat itu, hanya ruangan kosong yang gelap dan dipenuhi kabut merah yang berkemendang. Ketika aku tengah memperhatikan sekelilingku, tiba-tiba mustika Naga Langit mengembang dan mengeluarkan energi listrik yang lebih besar. Dan tubuhku mulai tersengat."Aaakkhh!" aku menjerit menahan energi itu.Sementara mustika Naga Langit semakin besar, dan aliran energi itu juga semakin besar sehingga aku kian tersiksa. Aku meronta-ronta, namun rantai itu begitu kuat untuk bisa kulawan.Mustika itu semakin dekat, dan energi yang dialirkannya semakin deras hingga menyelimuti tubuhku. Mustika itu terus mendekat seperti terta

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   75. Pasukan Alam Langit

    Tanpa memejamkan mata, aku menyaksikan duri-duri besi raksasa itu pecah berkeping-keping menyentuh tubuhku, aku yang sedikit terperangah dengan kekebalan tubuhku mengalihkan pandanganku ke Mustika berwarna biru yang saat ini kupegang."Jangan-jangan ini adalah Mustika Naga Langit yang sedang kucari," gumamku, lalu memperhatikan ke sekeliling goa dan kembali bergumam, "Dan jangan-jangan, aku sedang berada di dalam perut naga langit."Secara tiba-tiba sebuah gelombang yang sangat kuat menarik tubuhku keluar kembali dari perut Naga Langit. "Aaakh!" Aku terseret kembali menuju ke luar.Benar saja, Naga Langit tengah mengamuk. Sementara aku yang berada beberapa puluh kaki di depannya melihat dengan jelas Matanya yang nampak menyala dan memancarkan warna kebiruan, lalu ia menghisap berbagai halilintar dengan mulutnya, sehingga halilintar-halilintar itu membentuk pusaran besar yang dahsyat dan terpusat di mulutnya.Selang beberapa mili detik kemudian, Naga Langit menyemburkan pusaran halilint

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   74. Tercebur Dalam Lahar

    Kemilau cahaya perlahan-lahan menipis, dan panorama perlahan-lahan semakin jelas. Begitu semuanya benar-jelas dan kemilau cahaya sudah tidak ada, aku baru menyadari jika kami tengah dikelilingi halilintar dan petir yang menyambar ke segala arah.Sementara Zeon terus mengepakkan sayap dan melaju melewati celah-celah petir, Singa berbulu keemasan itu menghindari amukan halilintar dengan tangkas."Hati-hati, Zeon," ucapku."Jangan khawatir, Pangeran," jawab Zeon.Untuk mengurangi ketegangan, aku mencoba mengobrol dengan Tungganganku itu. "Kenapa kamu jarang sekali berbicara?"Bukannya menjawab pertanyaanku, singa itu malah mengajukan pertanyaan kembali, "Untuk apa sering berbicara, Pangeran?""Kau bodoh atau memang judes?" gumamku, kemudian menjawab, "Tentu saja untuk berkomunikasi agar kita bisa lebih mudah saling mengerti."Sambil terus melaju dengan kecepatan tinggi menerobos halilintar, Zeon berkata, "Aku diciptakan untuk peka terhadap tuanku. Jadi, aku tidak memerlukan obrolan untuk

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   73. Menuju Gerbang Alam Langit

    "Zeon?" gumamku.Singa itu merunduk bersamaan dengan sayapnya yang menyusut semakin kecil, hingga sayapnya benar-benar hilang dari pandanganku. Sesaat kemudian, Ayahku turun dari Singa itu.Tiba-tiba saja Nero yang menunggangi singa bersayapnya tiba di sampinging Zeon. "Singa ini sungguh cepat, tungganganku yang dikenal sebagai tunggangan tercepat di Alam Tumaya tidak mampu mengimbangi kecepatannya," ucap Nero sambil menuruni tunggangannya yang telah merunduk."Untuk saat ini, tunggangan adikmu adalah tunggangan tercepat di alam Tumaya," ucap Ayahku sambil mengelus bulu Zeon yang berwarna keemasan."Singa ini masih sangat muda untuk menumbuhkan sayap, bagaimana kau bisa berhasil menumbuhkan sayapnya, Ariuz?" tanya Lensana Merah."Aku memandikannya dengan cairan Paksacakra," jawab Ayahku."Bukankah cairan itu hanya bisa digunakan satu kali? Bagaimana kau akan menumbuhkan sayapmu, Ariuz?" tanya Lensana Hijau."Aku memang berniat menumbuhkan sayapku untuk menembus dinding Julaga, tetapi

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   72. Hari Keberangkatan Dan Kedatangan Singa Bersayapku

    Sejak perbincangan di Amfiteater, Ayahku tidak pernah berbicara denganku. Hingga tiba pada hari ini aku akan berangkat menuju ke Gerbang Alam Langit."Kiyaaakkk!" suara berbagai satwa pun meramaikan acara pengantaran ku.Penghuni Alam Tumaya kecuali Letra berkumpul di gerbang Tumaya, mulai dari Jin penghuni Tumaya dari kalangan bawah hingga Jin penghuni Alam Tumaya dari kalangan atas. Dengan tatapan penuh harapan, semua mata rakyat Tumaya mengiring kepergianku.Berbagai siluman dengan bentuk yang beragam nampak sibuk berbisik-bisik, suara salah satu dari mereka sampai ke telingaku, "Putra Lensana Biru itu adalah satu-satunya harapan kita.""Bukankah itu adalah Jin Hal yang pernah dikalahkan oleh Taro di Arena Bundar, bagaimana bisa dia akan mengembalikan keseimbangan Alam Tumaya?" suara Siluman lain.Mereka terus berbisik-bisik hingga Lensana Hijau mendekatiku. Lensana Hijau mengeluarkan sebuah Permata Putih dari sakunya, kemudian menyerahkannya padaku sambil berkata, "Keponakanku, ini

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   71. Keputusan Berat Ayahku

    "Tentu saja jika tidak ada yang keberatan," jawabku dengan perasaan yang sangat yakin jika aku akan bisa menembus kembali dinding Julaga."Kami percaya, kamu bisa menembus dinding Julaga. Akan tetapi, kau akan berhadapan dengan seluruh penghuni Alam Qulbis, mengalahkan seluruh penghuni Alam Qulbis adalah satu kemustahilan," ucap Lensana Merah dengan wajah yang kurang bersemangat.Ayahku menambahkan, "Apalagi sekarang, raja Lacodra memiliki Permata Seribu yang membuatnya tidak bisa tersentuh oleh senjata apa pun."Melihat para Lensana begitu pesimis, aku bertanya, "Apakah tidak ada cara untuk mengalahkan raja Lacodra?"Semua Lensana terdiam, Lensana Merah nampak berpikir serius, mungkin dia tengah memikirkan solusi, begitu juga dengan Ayahku. Sementara angin sore yang terasa dingin di Tumaya menyentuh kulitku, dan itu membuat keheningan di antara kami begitu kentara.Setelah semuanya terdiam cukup lama, tiba-tiba Lensana Hijau bersuara, "Sebenarnya ada satu cara untuk menembus permata s

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   70. Perbincangan Penting Dengan Ketiga Lensana

    Setelah melewati beberapa bangunan dan jembatan yang telah runtuh, aku tiba di sebuah amfiteater yang dulu begitu luas dan bisa menampung ratusan ksatria Tumaya. Kini bangunan itu nampak telah hancur sebagian, dan sebagiannya lagi masih bisa digunakan sebagai tempat berkumpul oleh penghuni alam Tumaya.Zeon mendarat di arena bundar yang nampak berantakan dengan taman yang telah rusak. Begitu singa berbulu emas itu menunduk, aku turun dari punggungnya sambil menatap wajah para Lensana yang nampak telah menunggungku dan menyambutku dengan senyum yang ramah."Salam hormat dari saya, Ayah, Paman Lensana Hijau dan Paman Lensana Merah," ucapku sambil membungkuk."Selamat datang, keponakanku," ucap Lensana Merah."Terimakasih sudah mau kembali ke Alam Tumaya, Keponakanku. Seluruh Penghuni Tumaya sangat membutuhkanmu," ucap Lensana Merah."Sama-sama, Paman," ucapku sambil melangkah menaiki tangga amfiteater, lalu mendekati sebuah kursi kosong berbahan perak di antara para Lensana kemudian dudu

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   69. Kabar Dari Nero

    Aku menghindari serangan Letra dengan begitu cepat, dan itu membuat putra Lensana Merah itu semakin geram, "Kau semakin menyebalkan anak lemah!""Jangan memancingku, Letra!" ucapku yang telah bosan dikatakan lemah oleh Jin Hal merah itu."Hiyaahh!" serunya sambil melesat dan menukik ke arahku.Dengan sigap aku berhasil menghindar sambil melakukan tendangan memutar yang membuat Jin Hal merah itu terempas dan menabrak Langkan dermaga hingga Langkan itu patah."Aakh!" jeritnya dengan tubuh yang terguling-guling menuju sebuah pohon."Kau bukan tandinganku! Jadi, jangan coba-coba memaksaku melakukan lebih dari itu!" teriakku sambil menunjuk Letra dengan jantung yang berdebar karena menahan amarah."Aku akan melakukan apapun untuk mengalahkanmu anak manusia," ucap pemuda berjubah merah itu sambil bangkit dan menahan sakitnya. Kakinya nampak bergetar, sepertinya tendangan yang telah kulakukan terlalu keras dan tepat mengenai tulang pinggulnya."Kenapa kau senang sekali mengganggu Nando, apa

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   68. Ke Mana Sayapku?

    "Hanya anakmu satu-satunya harapan kita untuk merebut Permata Seribu, Ariuz," suara Lensana Merah telah terdengar sebelum aku membuka mata."Aku tidak ingin menyerahkan nyawa anakku, Artuz," Ayahku terdengar keberatan.Dan saat aku membuka mata, para Lensana yang berdiri mengelilingiku langsung mengalihkan perhatiannya padaku. Tapi mataku langsung tertuju pada Alora yang duduk memangkuku."Nando," ucapnya dengan senyum yang menawan."Alora, apakah kau baik-baik saja?" tanyaku yang masih ingat apa yang telah terjadi pada gadis itu sebelum bertarung dengan raja Lacodra dan pingsan."Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, apa kau baik-baik saja?" tanyanya dengan pandangan yang sayu, bola matanya nampak lembab."Aku baik-baik saja," jawabku kemudian bangkit dari pangkuannya dengan sedikit sempoyongan, lalu bertanya, "Kenapa kau menangis?""Aku tidak menangis," ucap gadis itu sambil mengusap matanya, lalu berkata, "Kau telah menjadi pahlawan di negeri kita.""Itu benar," ucap Lensana Me

DMCA.com Protection Status