Singa itu menuntunku menaiki jembatan gantung yang menuju ke salah satu istana yang paling megah, seme tara aku terus mengikutinya. Kami berjalan menelusuri jalan setapak yang bertehel perak. Di samping jalan itu, terlihat beberapa beranda yang juga mengambang yang atapnya tidak kutahu terbuat dari apa. Atapnya berbahan cairan hijau, namun jelas itu adalah atap.
Setelah melewati gerbang sebuah istana, aku memasuki Ruangan yang nampak seperti tidak berdinding, langit-langitnya seolah langit malam yang berbintang, dan lantainya seperti telaga yang berwarna biru dan hidup. Di tengah telaga terlihat seorang lelaki yang gagah namun parasnya sangat mirip denganku. Lelaki itu berdiri di atas air seperti sedang menungguku.
Ketika dia menoleh, aku seperti melihat wajahku sendiri. Matanya yang tajam, hidung mancungnya, kulit putihnya, dan wajah orientalnya mirip sekali denganku. Yang membuatku terlihat berbeda hanyalah jubah zirah berwarna hijau yang tidak kukenakan dan rambut
Sulit dipercaya, bahwa mayat itu telah menjadi vampir, dan ingin menerkam peserta tour lainnya."Makhluk itu akan membunuh kita semua!" teriak salah satu peserta tour yang nampak panik dan ketakutan.Peserta tour lain yang juga tak kalah ketakutan, bicara, "Lihatlah, makhluk itu mulai mengarahkan cakar-cakarnya ke arah kita!"Aku dapat merasakan kedua vampir itu masih belum menjadi vampir sempurna, karena hanya kuku dan taringnya yang telah memanjang,sedangkan organ tubuhnya yang lain masih bertransformasi menjadi vampir seutuhnya. Walau begitu, tetap saja akan sangat menyusahkan karena bisa memangsa salah satu dari seluruh peserta tour."Mereka teman kita, tapi mereka juga yang akan membunuh kita," keluh gadis yang berada di sampingku.Sangat sulit memutuskan apa yang akan kulakukan di saat seperti ini, dan aku hanya akan bisa bertahan untuk melindungi semua pesertatour tanpa bisa membalas serangan beruntun dari vampir-vampir itu.
"IYYAAKKHH!" Pak Hendro menjerit karena tersambar tersambar seekor Singa berbulu emas, singa yang dua kali lebih besar dari Singa yang pernah kulihat sebelumnya.Hampir saja aku akan tumbang oleh serangan mematikan Pak Hendro, serangan yang membuat bulu kudukku sempat berdiri. Namun Singa itu berhasil menyelamatkanku dari serangan mengerikan itu.Jujur! Aku sempat bergetar tadi, dan kini lututku melemas, sehingga aku terjatuh dan berlutut dengan tangan yang bertumpu di atas tanah. Tubuhku pasti ambruk jika saja tanganku tidak cukup kuat menahan bobot tubuhku, sehingga aku akan kembali menelungkup. Aku melihat luka di perutku perlahan mengatup."Sial! Pemulihan luka ini semakin mengurangi tenagaku."Aku mengalihkan pandangan dari luka-luka di tubuhku menuju ke arah yang berjarak 40 meter dariku. Pak hendro terlihat masih tergeletak tak berdaya. Namun Singa itu masih berdiri dengan gagahnya, dan cakar salah satu kakinya menancap di dada pak Hendro. Pa
Bus yang kami tumpangi tiba di halaman sekolah pada waktu sepertiga malam. "Jangan-jangan Vampir-vampir itu juga berada di sini, aku harus segera pulang." Hampir semua peserta tour membawa keresahannya hingga ke sekolah, dan mungkin akan membawa keresahannya hingga ke rumah mereka. "Iya, aku juga tidak mau mati di tempat ini. Jadi aku akan pindah ke Sekolah lain." Angin malam terasa sangat menggelikan, dan terkadang membuat bulu kudukku berdiri. Tidak ada lagi manusia setengah vampir, tidak ada pak hendro yang menakutkan, atau vampir jahat yang mengerikan, tapi hawa yang menyeramkan itu tidak bisa kami lupakan. Jika hanya aku, mungkin aku masih bisa bertahan, tapi bagaimana jika makhluk jahat itu menyerang peserta tour di perjalanan pulang mereka? Sementara aku tidak mungkin mengawasi perjalanan pulang mereka satu-persatu. Jujur, aku bingung harus bagaimana melindungi mereka, dan akan menjadi hal yang sangat membahayakan jika salah satu dari mereka di
Setelah beberapa saat, Bik Ira kembali bicara, “Anu tuan muda...”“Bik?” Suara Ibuku membuatku refleks melesat kembali ke lantai kamarku.Aku mengintip dari jendela kamarku, Ibuku terlihat menghampiri Bik Ira. Dan aku sedikit mendengar pembicaraannya dari kejauhan.“Bik Ira bicara dengan siapa?”“Tuan Muda nyonya?” kata bik Ira.“Nando sedang study tour, jadi sejak kapan dia kembali?”Bik Ira yang tidak menyadari kepergianku tadi, kini nampak kebingungan untuk menjawab apa.Aku masih mengiingat ketika dulu aku masih sering bertanya lalu melesat tanpa disadari wanita bongsor itu, dan ia selalu saja nampak kebingungan seperti itu.Dan saat ini, Bik Ira nampak sedang menerka-nerka keberadaanku, ia melirik ke sekitar seolah ia akan melihatku lagi. Hingga ia memandang ke plafon kamarku, dan matanya menangkapku. Ibukupun hendak melirik ke arahku, namun aku lebih dahulu menye
“Sudah berapa lama Ayah bergelut di bisnis produksi madu?” Ayahku terlihat menghitung-hitung dengan ingatannya, mencari jawaban yang tepat dari masa lalunya. “Ayah sudah lupa tepatnya kapan, tapi yang jelas sebelum kamu lahir Ayah sudah berkelana mengunjungi banyak hutan, mencari spesies lebah baru untuk dibudidayakan.” Pernyataan itu membuatku merasa semuanya semakin janggal, pernyataan itu seolah sedang menguatkan mimpiku di tempat study tour menjadi sebuah kenyataan. Aku ingin bertanya lebih jauh lagi, tapi Ayahku dan Ibuku saling memandang, dan hal itu membuatku khawatir jika pertanyaanku akan membuat mereka mengetahui kalau aku tengah meragukan mereka sebagai orangtua kandungku. “Ada apa nak?” tanya Ibuku dengan tatapan menerka-nerka. Aku hanya menggeleng, namun rasa penasaran yang terlihat dari mata kedua orangtuaku belum juga hilang. Santapan siang di depanku kukunyah dengan paksa untuk menghindari tatapan-tatapanmeragukan itu. Seus
Pagi ini cukup tenang, suasana tidak lagi mencekam. Meski pristiwa di malam perkemahan itu masih menghantui setiap mata para siswa, meski guru-guru di sekolah ini seakan-akan menjadi vampir yang siap melahap kami setiap saat. Namun rutinitas masih tetap normal seperti biasanya. Beberapa siswa terdengar berbisik-bisik dan menyimpulkan bebeberapa senyum, sambil memandang wajahku sebagai sumber pembahasan mereka.“Dia telah membunuh vampir di sekolah ini.”“Pak Hendro?”“Iya pak Hendro, guru kita.”Ketika aku melirik, mereka melemparkan senyum hormat seperti hormat seorang bawahan kepada bosnya. Sepertinya peristiwa di perkemahan itu telah menjadi kabar yang menyebar luas ke telinga penghuni sekolah ini. Dan aku harus siap-siap menjadi objek perhatian mereka. Aku berharap tidak semua siswa tahu, jika semua tahu, maka aku tidak akan bisa lari dari tatapan mereka. Aku sudah cukup tenang dengan kehidupanku selama ini, tapi ha
Tidak! Bukan introgasi ini yang tidak wajar, tetapi ada makhluk aneh yang menyamar menjadi seorang polisi. Jika aku mengaku, itu akan menjadi masalah baru untukku, aku akan menjadi mangsa sekawanan makhluk aneh seperti itu.“Kami hanya meminta kalian menerangkan, bagaimana insiden itu terjadi.”Tapi bagaimana caranya untuk tidak mengaku jika disudutkan seperti ini? Pasti ada cara untuk bebas dari situasi ini.“Biar saya saja yang menerangkan,” kata Shally mengajukan diri.Polisi yang bertugas itu terlihat berpikir sejenak. Kumisnya yang tebal terlihat sedikit menari-nari, dan rahangnya nampak sedikit mengeras. Sepertinya ia kesulitan menimbang-nimbang pengajuan Shally.“Dia mengidap avoidant personality, jadi bapak tidak bisa memaksanya berbicara,” kata Shally menambahkan.Polisi berkumis itu menatapku sejenak, lalu memandang Shally, “Silahkan.”Aku menatap wajah makhluk yang menyamar di
Aku mendatangi sebuah alamat yang sesuai dengan alamat yang telah diberikan Shally. Begitu tiba di depan rumah berlantai dua dengan banyak lampu neon yang berderet di taman halamanmya, Shelly telah menungguku di depan pintu. Aku membuka iintu mobilku, dan Shally menyambutku dengan hangat. "Aku telah menunggumu dari tadi." “Bagaimana lukamu?” tanyaku begitu keluar dari mobil. Shally menjawab dengan anggukan disertai dengan senyum yang lebar, dan itu cukup membuatku yakin dia baik-baik saja. "Aku kira kamu tidak akan datang,” ujarnya. Aku hanya memberi senyuman, lalu gadis itu mempersilahkanku masuk, “Ayo.” Rumahnya cukup luas. Rumah itu termasuk Rumah yang terbesar di antara rumah-rumah mewah di sekitarnya. Rumah itu memiliki 4 pilar di terasnya. Ketika aku memasuki rumah itu, terdapat banyak tamu di ruang utama. Dan tidak perlu kujelaskan bagaimana luasnya, karena sebaiknya kau menyimpulkannya sendiri. Ada banyak tamu yang data
Setelah lama tak bermimpi, kini aku kembali mengalami mimpi yang aneh, tapi entahlah ini benar-benar mimpi atau bukan, rasanya seperti begitu nyata. Tubuhku terantai dengan rantai yang dipenuhi aliran listrik berwarna biru, dan listrik itu bersumber pada mustika Naga Langit yang melayang-layang beberapa meter di depanku."Tempat apa ini?" gumamku.Tak ada apapun dan siapapun di tempat itu, hanya ruangan kosong yang gelap dan dipenuhi kabut merah yang berkemendang. Ketika aku tengah memperhatikan sekelilingku, tiba-tiba mustika Naga Langit mengembang dan mengeluarkan energi listrik yang lebih besar. Dan tubuhku mulai tersengat."Aaakkhh!" aku menjerit menahan energi itu.Sementara mustika Naga Langit semakin besar, dan aliran energi itu juga semakin besar sehingga aku kian tersiksa. Aku meronta-ronta, namun rantai itu begitu kuat untuk bisa kulawan.Mustika itu semakin dekat, dan energi yang dialirkannya semakin deras hingga menyelimuti tubuhku. Mustika itu terus mendekat seperti terta
Tanpa memejamkan mata, aku menyaksikan duri-duri besi raksasa itu pecah berkeping-keping menyentuh tubuhku, aku yang sedikit terperangah dengan kekebalan tubuhku mengalihkan pandanganku ke Mustika berwarna biru yang saat ini kupegang."Jangan-jangan ini adalah Mustika Naga Langit yang sedang kucari," gumamku, lalu memperhatikan ke sekeliling goa dan kembali bergumam, "Dan jangan-jangan, aku sedang berada di dalam perut naga langit."Secara tiba-tiba sebuah gelombang yang sangat kuat menarik tubuhku keluar kembali dari perut Naga Langit. "Aaakh!" Aku terseret kembali menuju ke luar.Benar saja, Naga Langit tengah mengamuk. Sementara aku yang berada beberapa puluh kaki di depannya melihat dengan jelas Matanya yang nampak menyala dan memancarkan warna kebiruan, lalu ia menghisap berbagai halilintar dengan mulutnya, sehingga halilintar-halilintar itu membentuk pusaran besar yang dahsyat dan terpusat di mulutnya.Selang beberapa mili detik kemudian, Naga Langit menyemburkan pusaran halilint
Kemilau cahaya perlahan-lahan menipis, dan panorama perlahan-lahan semakin jelas. Begitu semuanya benar-jelas dan kemilau cahaya sudah tidak ada, aku baru menyadari jika kami tengah dikelilingi halilintar dan petir yang menyambar ke segala arah.Sementara Zeon terus mengepakkan sayap dan melaju melewati celah-celah petir, Singa berbulu keemasan itu menghindari amukan halilintar dengan tangkas."Hati-hati, Zeon," ucapku."Jangan khawatir, Pangeran," jawab Zeon.Untuk mengurangi ketegangan, aku mencoba mengobrol dengan Tungganganku itu. "Kenapa kamu jarang sekali berbicara?"Bukannya menjawab pertanyaanku, singa itu malah mengajukan pertanyaan kembali, "Untuk apa sering berbicara, Pangeran?""Kau bodoh atau memang judes?" gumamku, kemudian menjawab, "Tentu saja untuk berkomunikasi agar kita bisa lebih mudah saling mengerti."Sambil terus melaju dengan kecepatan tinggi menerobos halilintar, Zeon berkata, "Aku diciptakan untuk peka terhadap tuanku. Jadi, aku tidak memerlukan obrolan untuk
"Zeon?" gumamku.Singa itu merunduk bersamaan dengan sayapnya yang menyusut semakin kecil, hingga sayapnya benar-benar hilang dari pandanganku. Sesaat kemudian, Ayahku turun dari Singa itu.Tiba-tiba saja Nero yang menunggangi singa bersayapnya tiba di sampinging Zeon. "Singa ini sungguh cepat, tungganganku yang dikenal sebagai tunggangan tercepat di Alam Tumaya tidak mampu mengimbangi kecepatannya," ucap Nero sambil menuruni tunggangannya yang telah merunduk."Untuk saat ini, tunggangan adikmu adalah tunggangan tercepat di alam Tumaya," ucap Ayahku sambil mengelus bulu Zeon yang berwarna keemasan."Singa ini masih sangat muda untuk menumbuhkan sayap, bagaimana kau bisa berhasil menumbuhkan sayapnya, Ariuz?" tanya Lensana Merah."Aku memandikannya dengan cairan Paksacakra," jawab Ayahku."Bukankah cairan itu hanya bisa digunakan satu kali? Bagaimana kau akan menumbuhkan sayapmu, Ariuz?" tanya Lensana Hijau."Aku memang berniat menumbuhkan sayapku untuk menembus dinding Julaga, tetapi
Sejak perbincangan di Amfiteater, Ayahku tidak pernah berbicara denganku. Hingga tiba pada hari ini aku akan berangkat menuju ke Gerbang Alam Langit."Kiyaaakkk!" suara berbagai satwa pun meramaikan acara pengantaran ku.Penghuni Alam Tumaya kecuali Letra berkumpul di gerbang Tumaya, mulai dari Jin penghuni Tumaya dari kalangan bawah hingga Jin penghuni Alam Tumaya dari kalangan atas. Dengan tatapan penuh harapan, semua mata rakyat Tumaya mengiring kepergianku.Berbagai siluman dengan bentuk yang beragam nampak sibuk berbisik-bisik, suara salah satu dari mereka sampai ke telingaku, "Putra Lensana Biru itu adalah satu-satunya harapan kita.""Bukankah itu adalah Jin Hal yang pernah dikalahkan oleh Taro di Arena Bundar, bagaimana bisa dia akan mengembalikan keseimbangan Alam Tumaya?" suara Siluman lain.Mereka terus berbisik-bisik hingga Lensana Hijau mendekatiku. Lensana Hijau mengeluarkan sebuah Permata Putih dari sakunya, kemudian menyerahkannya padaku sambil berkata, "Keponakanku, ini
"Tentu saja jika tidak ada yang keberatan," jawabku dengan perasaan yang sangat yakin jika aku akan bisa menembus kembali dinding Julaga."Kami percaya, kamu bisa menembus dinding Julaga. Akan tetapi, kau akan berhadapan dengan seluruh penghuni Alam Qulbis, mengalahkan seluruh penghuni Alam Qulbis adalah satu kemustahilan," ucap Lensana Merah dengan wajah yang kurang bersemangat.Ayahku menambahkan, "Apalagi sekarang, raja Lacodra memiliki Permata Seribu yang membuatnya tidak bisa tersentuh oleh senjata apa pun."Melihat para Lensana begitu pesimis, aku bertanya, "Apakah tidak ada cara untuk mengalahkan raja Lacodra?"Semua Lensana terdiam, Lensana Merah nampak berpikir serius, mungkin dia tengah memikirkan solusi, begitu juga dengan Ayahku. Sementara angin sore yang terasa dingin di Tumaya menyentuh kulitku, dan itu membuat keheningan di antara kami begitu kentara.Setelah semuanya terdiam cukup lama, tiba-tiba Lensana Hijau bersuara, "Sebenarnya ada satu cara untuk menembus permata s
Setelah melewati beberapa bangunan dan jembatan yang telah runtuh, aku tiba di sebuah amfiteater yang dulu begitu luas dan bisa menampung ratusan ksatria Tumaya. Kini bangunan itu nampak telah hancur sebagian, dan sebagiannya lagi masih bisa digunakan sebagai tempat berkumpul oleh penghuni alam Tumaya.Zeon mendarat di arena bundar yang nampak berantakan dengan taman yang telah rusak. Begitu singa berbulu emas itu menunduk, aku turun dari punggungnya sambil menatap wajah para Lensana yang nampak telah menunggungku dan menyambutku dengan senyum yang ramah."Salam hormat dari saya, Ayah, Paman Lensana Hijau dan Paman Lensana Merah," ucapku sambil membungkuk."Selamat datang, keponakanku," ucap Lensana Merah."Terimakasih sudah mau kembali ke Alam Tumaya, Keponakanku. Seluruh Penghuni Tumaya sangat membutuhkanmu," ucap Lensana Merah."Sama-sama, Paman," ucapku sambil melangkah menaiki tangga amfiteater, lalu mendekati sebuah kursi kosong berbahan perak di antara para Lensana kemudian dudu
Aku menghindari serangan Letra dengan begitu cepat, dan itu membuat putra Lensana Merah itu semakin geram, "Kau semakin menyebalkan anak lemah!""Jangan memancingku, Letra!" ucapku yang telah bosan dikatakan lemah oleh Jin Hal merah itu."Hiyaahh!" serunya sambil melesat dan menukik ke arahku.Dengan sigap aku berhasil menghindar sambil melakukan tendangan memutar yang membuat Jin Hal merah itu terempas dan menabrak Langkan dermaga hingga Langkan itu patah."Aakh!" jeritnya dengan tubuh yang terguling-guling menuju sebuah pohon."Kau bukan tandinganku! Jadi, jangan coba-coba memaksaku melakukan lebih dari itu!" teriakku sambil menunjuk Letra dengan jantung yang berdebar karena menahan amarah."Aku akan melakukan apapun untuk mengalahkanmu anak manusia," ucap pemuda berjubah merah itu sambil bangkit dan menahan sakitnya. Kakinya nampak bergetar, sepertinya tendangan yang telah kulakukan terlalu keras dan tepat mengenai tulang pinggulnya."Kenapa kau senang sekali mengganggu Nando, apa
"Hanya anakmu satu-satunya harapan kita untuk merebut Permata Seribu, Ariuz," suara Lensana Merah telah terdengar sebelum aku membuka mata."Aku tidak ingin menyerahkan nyawa anakku, Artuz," Ayahku terdengar keberatan.Dan saat aku membuka mata, para Lensana yang berdiri mengelilingiku langsung mengalihkan perhatiannya padaku. Tapi mataku langsung tertuju pada Alora yang duduk memangkuku."Nando," ucapnya dengan senyum yang menawan."Alora, apakah kau baik-baik saja?" tanyaku yang masih ingat apa yang telah terjadi pada gadis itu sebelum bertarung dengan raja Lacodra dan pingsan."Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, apa kau baik-baik saja?" tanyanya dengan pandangan yang sayu, bola matanya nampak lembab."Aku baik-baik saja," jawabku kemudian bangkit dari pangkuannya dengan sedikit sempoyongan, lalu bertanya, "Kenapa kau menangis?""Aku tidak menangis," ucap gadis itu sambil mengusap matanya, lalu berkata, "Kau telah menjadi pahlawan di negeri kita.""Itu benar," ucap Lensana Me