"Ehemmhhh!" Rezvan terbatuk. "Jangan salah paham. Ini hanya demi menjagamu," lanjutnya. "Ma–maaf. Sa–saya .... " "Aku jangan saya!" potong Rezvan. "Tidak. Saya ... saya tidak bisa, Tuan!" "Baiklah!" Rezvan kemudian bangkit. "Ya?" "Kalau begitu ...," Rezvan menghentikan ucapan sejenak. "Kalau begitu aku tidak mempunyai alasan untuk menahanmu dari Ethan agar tak membawamu pergi dari sini." "A–Apa? Tu–tuan ... sa–saya tidak mau dibawa Tuan Ethan. Tolong kasihani saya, Tuan," Zeeta mengiba. "Pria itu ... dia tidak akan begitu saja melepaskanmu. Akan tetap berusaha mencari, walaupun kau kembali ke kampung halamanmu. Jadi, aku tidak bisa berbuat apa-apa kali ini
"Anda ini apa-apaan, sih, Tuan? Seperti ABG labil yang bertengkar masalah rebutan wanita saja!" omel Zeeta seraya mengompres pipi dan sudut bibir Rezvan yang lebam. "Argghhh! Sakit, Zeeta!" Rezvan meringis. "Ya, sudah ini kompres sendiri," suruh Zeeta. "Awwhhh!" seru Rezvan lagi. Seakan dengan sengaja ingin membuat Zeeta bertahan di posisinya. "Kenapa lagi, Tuan?" "Pundakku sakit sekali ini. Kayaknya kram," keluh Rezvan seraya menekan jemari pada bagian tubuh yang sakit. "Kok, bisa, Tuan?!" Zeeta tampak bingung antara ingin memijat atau diam saja. "Tadi terbentur pagar balkon. Sakit sekali. Kau saja yang bantu kompres," suruh Rezvan. Seraya memajukan
Rezvan terperanjat oleh sikap Zeeta. "Zeeta ... aku hanya .... " "Coba katakan pada saya, Tuan. Kenapa Anda bisa bersikap baik pada saya? Kenapa hanya pada saya Anda tidak pernah berusaha untuk merampas kehormatan saya? Padahal di rumah sesepi ini, Anda bisa melakukan apa pun yang Anda mau, Tuan. Apalagi hanya menghadapi seorang wanita yang tidak berdaya seperti saya. Coba tanyakan pada diri Anda mengapa hati Anda menjadi lemah saat menghadapi saya, Tuan. Coba Anda berpikir dan tanya pada hati Anda, Tuan, siapa yang bisa membuat Anda bisa bersikap seperti itu?" "Aku tidak tahu!" "Allah SWT yang membuat Anda bisa bersikap seperti ini, Tuan. Kalau Allah SWT sudah berkehendak, tiada siapa pun yang bisa melampaui kehendaknya, Tuan. Dan, jika Dia berkehendak saya habis di tangan Tuan, maka tidak ada juga yang bisa mencegahnya. Mungkin, Anda akan melakukan seperti yang Tuan Ethan katakan. Setelah Anda dan kawan-kawan Anda memerkosa dan
Aku sungguh tak mengerti dengan apa yang terjadi di rumah sebesar ini. Memang terlihat megah dan indah, namun terasa gersang. Berpenghuni seakan tak ada kehidupan di dalamnya. Sukar mengartikan. Setelah melihat kebejatan para pria malam itu di rumah ini, jujur aku sangat ingin menghajar mereka satu per satu andai punya kuasa. Bagaimana mereka bisa membawa beberapa perempuan ke dalam sebuah kamar? Apa yang mereka lakukan? Apa yang mereka cari? Tuan Erga, sungguh tak ada bedanya ia dengan yang lain. Tak lebih dari seorang pria labil yang merasa kehausan di tengah derasnya hujan. Apa yang Anda cari, Tuan? Tuan Rezvan, pria itu memang terlihat apa adanya. Terlihat dari luar dalam, memang seperti itulah dia. Sangat arogan! Terkadang ingin sekali aku menghajarnya menggunakan gagang sapu.
Samar terlihat, Security pun mencoba melerai pergulatan tak imbang antara kami. Namun, bagai orang kesetanan, wanita itu masih tetap saja menarik jilbab sehingga menyebabkan tubuhku bangkit di luar kehendak. Entah wanita bertubuh ramping itu mendapat kekuatan dari mana."Karena kau, Erga selalu menghindariku! Sesama wanita kenapa kau begitu tidak berperasaan!" makinya lagi.Tuan Erga?!Kepalaku terasa berputar-putar. Begitu tak tertahan."Hei! Ada apa ini?" Terdengar suara lantang dari dalam. Samar terlihat Tuan Rezvan muncul.Security pun berhasil melepaskan rekatan wanita itu dari tubuhku. Sedangkan Tuan Rezvan menarik lenganku, lalu memosisikan badanku di balik tubuhnya.Tubuhku ambruk seketika. Namun dalam kondisi masih tersadar."Zeeta!" Tuan Rezvan mendekat padaku
Zeeta menatap datar pada pria di hadapannya. Masih tak mengerti dengan perasaan yang bertahta. "Bagaimana keadaanmu, Zeeta?" tanya Erga lembut. "Alhamdulillah baik, Tuan." "Syukurlah. Bagaimana kau bisa terluka?" "Saya terpeleset saat menjemur pakaian, Tuan," timpal Zeeta. "Kau tidak seharusnya melakukan pekerjaan berat." "Bukan masalah! Sudah tugas saya, Tuan," singkat Zeeta. "Hemh!" gumam Erga. Ada sesuatu yang tak biasa bagi pria itu dari dalam diri Zeeta. Ia merasa bahwa wanita itu selalu berusaha menghindar dari tatapannya. "Ada apa denganmu?" tanyanya kemudian. "Maaf, Tuan. Untuk apa lagi Anda selalu mencari saya?" Zeeta mengangkat kepala, lalu menat
Rezvan mencengkram kaus Erga. "Kau tahu kenapa dia terluka, Ga? Kenapa aku harus membawanya ke rumah sakit?" Erga mengerutkan kening. "Alisha ..., " ucap Rezvan. "Alisha?!" "Kau tanyakan sendiri saja pada wanita itu," tukas Rezvan. "Kau tahu kenapa Zeeta berbohong padamu? Itu karena dia ... memilih untuk mundur!" Pandangan Erga pecah ke seantero sudut ruangan. Bagaimana Alisha bisa tahu akan hal ini? Siapa yang menceritakan semua ini pada wanita itu? Ia tak habis pikir. "Jangan bermimpi, Ga!" Rezvan melepaskan cengkraman pada kaus Erga. "Urus saja kekasihmu yang kurang sopan santun itu!" ***Athikah_Bauzier*** "Aku ingin mengenalkanmu dengan keluargaku," ajak Rezvan. &
Zeeta pun menurut, "Hufthhh!" desahnya. "Entah di belahan bumi bagian mana kau tinggal? Apa-apa tidak bisa," cerca Rezvan. "Cepat, Tuaaannn!" Setelah berkeliling cukup lama memutari kota, Rezvan menghentikan mobil pada sebuah resto terkenal di tengah kota. "Kita makan di sini dulu," ajaknya kemudian. "Saya juga mau ke toilet, Tuan," tutur Zeeta terlihat lemas. ***Athikah_Bauzier*** Sesaat setelah memasuki resto, Zeeta mengarahkan pandangan pada seantero ruangan. Resto elit ini mirip seperti yang pernah ditontonnya di layar TV. "Wah!" gumamnya kemudian. "Zeeta! Jaga sikapmu! Jangan mempermalukan aku," lirih Rezvan, lalu mengedarkan pandangan mencari meja kosong. "Tuan, ini indah sekali! Se
"Hemh! Kau yakin dengan yang kau katakan?" Rebecca menyipitkan pandangan. Ribuan kerikil tajam seolah berdesakan memenuhi kerongkongan Zeeta, sehingga begitu sulit baginya untuk menelan. Ia saling menautkan jari jemari, lalu meremasnya kuat. Berusaha untuk tetap tersenyum dalam getir. "Ya, Bu!" Rebecca tersenyum seraya menyesap cappucino miliknya yang mulai terasa dingin. "Aku perhatikan, ada yang tampak berbeda dari tubuhmu sejak terakhir kali kita bertemu." Ia memindai tubuh Zeeta dari ujung kepala, lalu sedikit menunduk hendak memerhatikan bagian bawah tubuh Zeeta yang terhalang oleh meja. Namun, seketika Rebecca membulatkan mata sempurna. "Katakan padaku, apa kau hamil?" tanyanya lagi, lalu meletakkan cangkir di meja. Walaupun mengenakan pakaian tertutup dan longgar, Rebecca dapat melihat perut Zeeta yang tampak membulat saat dalam posisi duduk. Tatapan Zeeta pecah ke seantero sudut ruangan. "Jangan hiraukan saya, Bu. Saya hanya berharap,
"Anu ... Tuan! Bibi sudah janji pada Non Zeeta agar tidak membocorkan masalah ini." Bi Netty pun akhirnya mengaku. "Jadi, Zeeta di rumah Bi Netty?" Tatap Erga penuh selidik. "I–iya, Tuan." Bi Netty tampak gugup. "Hemh! Sudah kuduga. Aku akan ke sana sekarang." "Maafkan bibi. Sebaiknya jangan dulu, Tuan. Non Zeeta ingin menenangkan diri katanya," cegah Bi Netty seraya menundukkan pandangan. "Tidak apa-apa, Bi. Aku cuma ingin menjelaskan padanya kalau hanya aku yang berwewenang membuat aturan di villa ini, bukan yang lain, apalagi Mama." Erga menatap Cindy yang tengah sibuk memasukkan amplop cokelat ke dalam tasnya. "Maaf, Tuan. Anggap bibi tidak menceritakan ini pada Tuan, ya. Pura-pura saja Tuan tidak tahu kalau sudah bibi kasih tahu." Bi Netty terlihat cemas dan meremas kedua tangan di depan dada. "Bagaimana keadaan dia, Bi?" "Sejujurnya, bibi sangat khawatir dengan keadaan Non Zeeta. Dia susah makan, Tuan. Semua
"Wa–nita itu mengurungkan niat?! Itu berarti, wanita itu sadar sepenuhnya atas apa yang dilakukannya?" Zeeta ingin memastikan ucapan Ethan lagi. "Ya, tidak semuanya wanita yang kami tawarkan adalah hasil penculikan. Bahkan, sebagian dari mereka terang-terangan ingin menjual diri dengan sadar. Wanita itu mendesak ingin menjadi milik Rezvan, tapi Rezvan tidak sadar bahwa pilihannya tertukar. Sengaja aku memilihkan wanita sedikit terlihat liar untuk Rezvan. Kau tahu sendiri Rezvan berbeda dari Erga, bukan?" Dada Zeeta semakin terasa sesak tak tertahankan usai mendengar penjelasan Ethan. Belum juga masalah dengan Rezvan terselesaikan, kini terungkap lagi masalah yang semakin membuatnya semakin tergoncang. Erga yang selama ini ia percaya nyatanya .... "Erga marah besar padaku sehari setelah peristiwa malam di mana kau nyaris saja menjadi mainan kawan-kawan Rezvan. Tapi, ia berusaha terlihat tenang di hadapanmu dan juga Rezvan. Kau pikir apa alasan Erga selalu data
Bi Netty pernah mengatakan pada Zeeta bahwa Erga memiliki ruang pribadi di lantai atas yang tidak ada seorang pun diizinkan masuk ke dalamnya. Ruangan itu berisikan koleksi karya lukisan Erga. Beberapa waktu lalu Erga memang menunjukkan ruangan lain pada dirinya, bahkan mereka berdua beberapa kali menghabiskan waktu di tempat itu untuk melukis dinding. Namun, itu bukan ruangan yang Bi Netty maksud. Zeeta berdiri tepat di depan sebuah ruangan yang bisa jadi itu adalah ruang pribadi milik Erga. Namun, sayangnya ia mendapati ruangan itu terkunci. Ia pun mencari cara agar Bi Netty bisa menyerahkan kunci ruangan itu padanya. "Bi, aku membutuhkan sesuatu, tadi Tuan Erga menyuruhku untuk mengambil sesuatu di ruang pribadinya di atas," ucap Zeeta membuat alasan. "Benarkah, Non!?" Kedua mata Bi Netty berputar seolah merasa terheran. Selain dirinya yang dipercaya untuk membersihkan ruangan itu, tidak ada seorang pun ya
"Wilma ... Wilma! Siapa dia? Wajahnya tampak tak asing. Tapi di mana aku pernah bertemu dengannya?" Berulang kali Rezvan mencoba mengingat. Banyak wanita yang ditemui sehingga membuatnya lupa salah satu di antarnya. "Arrggghhh!" erangnya kemudian.Namun, tak berselang lama, pria itu mengingat sesuatu. "Wanita itu ... apa mungkin dia ... tapi bagaimana mungkin?" gumamnya."Tolong, periksa berkas jual beli lahan Green Bougenvil 5 tahun lalu," perintahnya kemudian pada salah satu staf.Setelah menunggu cukup lama, berkas yang diminta pun diantar ke ruang Rezvan. Lalu, pria itu pun menelisik secara seksama apa yang tertera pada setiap lembarnya. Sontak, ia mendongak seolah mulai mengingat sesuatu. Rentetan adegan beberapa tahun silam berkelebat dalam ingatan Rezvan. Namun, ia masih tak yakin akan terkaannya. Bisa saja itu hanya suatu kebetulan yang tak ada kaitannya sama sekali.Terdengar pintu ruang kerja diketuk pelan. Seorang karyawan masuk ke dalam ruanga
**Athikah_Bauzier*** "Non, istirahat saja, ya! Biar bibi saja yang selesaikan cuci piringnya. Non, kan, lagi hamil muda. Jadi harus banyak istirahat. Bibi juga takut kena marah sama Tuan Erga." Bi Netty meraih apa pun yang hendak Zeeta lakukan. "Bi, saya tidak enak kalau cuma diam saja. Sudah, bibi jangan bilang-bilang sama Tuan Erga kalau saya melakukan semua ini. Jadi, bibi tenang saja, ya!" elak Zeeta. "Tidak perlu, Non. Begini saja, lebih baik Non Zeeta lanjut melukis saja, ya. Biar cepat selesai. Open gallery sudah tinggal beberapa hari lagi, Non. Jadi, ini kesempatan buat Non Zeeta," saran Bi Netty. "Hemh! Baiklah kalau begitu, Bi. Pokoknya kalau Bibi butuh bantuan, panggil saya saja, ya." Zeeta pun mengikuti saran Bi Netty walaupun sebenarnya ia merasa tak nyaman jika tidak melakukan apa pun. Sudahlah menumpang, tapi mau enak-enakan. Itulah yang sering kali membuat Zeeta merasa tidak nyaman. ***Athikah_Bauzier*** "Zeeta!"
"Aku sudah berusaha jujur padamu. Seharusnya aku tidak mengatakan ini mengingatmu sudah menjadi milik Rezvan. Tapi, melihatmu merasa terluka atas perlakuan Rezvan, entah mengapa keinginan itu kembali tumbuh." Zeeta merasa tak menyangka bahwa Erga bisa berpikir sejauh ini. Namun, hati Zeeta tak dapat memungkiri bahwa ia pun sesungguhnya masih memiliki rasa yang sama terhadap pria itu. Akan tetapi, ia harus menyadari posisinya kali ini. Dirinya sudah menjadi milik Rezvan, bahkan saat ini tengah mengandung benih dari pria itu. Jadi, bagaimana mungkin ia melangkahi takdir yang sudah tertulis? "Tuan, saya berterimakasih karena Anda sudah peduli pada hidup saya. Ta–tapi, bisakah kita tidak perlu membahas hal yang sudah berlalu?" pinta Zeeta kemudian dengan tatapan meremang. "Zeeta ... jawab pertanyaanku setidaknya sekali saja. Supaya aku yakin, langkah apa yang harus atau tidak harus aku lakukan setelah ini," Erga terdengar sedikit menekan walau ucapannya terdengar
Zeeta mengamati beberapa lukisan indah yang terpampang pada dinding sebuah padepokan yang berada tepat di belakang Villa. Padepokan itu memiliki ciri khas arsitektur klasik ala pedesaan yang didesign dengan kayu dan bambu. Ditambah berlokasi tepat di tengah bukit hijau, begitu sangat menenangkan pikiran. "Di sini kau rupanya?" Sebuah suara mengejutkan Zeeta yang tengah berkonsentrai menyimak tanda tangan di sudut kanan bawah lukisan. Lantas ia pun menoleh menatap sang pemilik suara. "Tuan Erga! Anda sudah pulang?" "Hemh!" Erga mengangguk seraya mengulas senyum tipis. "Kau suka lukisan?" "Ah, iya, Tuan. Lukisan ini sangat cantik sekali. Begitu realistis. Apakah pelukisnya beraliran Naturalisme dan Realisme, Tuan?" "Hei, rupanya kau banyak tahu tentang aliran lukisan rupanya, ya?" "Sedikit saja, Tuan." Kembali Zeeta mengamati lukisan di hadapannya. "Lukisan di sini bukan karya satu orang saja. Aliran mereka pun berbeda-beda." Erg
**Athikah_Bauzier*** "Hilang?! Bagaimana bisa, Pak? Apa ada orang lain yang masuk ke mari?" Rezvan menatap layar CCTV. Ia berniat untuk mengambil rekaman sejak sebulan lalu tepat di malam percumbuannya dengan wanita yang menyebut dirinya sebagai Wilma. Namun, ternyata rekaman sejak sebulan lalu itu raib. "Saya juga tidak mengerti, Tuan. Saya hanya bisa menemukan rekaman seminggu terakhir." "Apa-apaan ini?! Mengapa sistim keamanan bisa buruk seperti ini, hah!?" hardik Rezvan seraya berkacak pinggang. Amarah dalam dirinya membuncah dan meletup bagai lahar. "Percuma kalian semu kugaji!" "Maafkan saya, Tuan. Saya siap menerima sanksi." Pak Dody menundukkan kepala, "Ta–tapi, jangan pecat saya, Tuan! Anak istri saya makan apa?" Amarah masih menggelegak dalam hati Rezvan. Namun, ia mencoba mengatur napas untuk menetralisir emosi yang tak tertahan. "Arrghhh! Sudahlah!" Ia pun mengibaskan tangan. Rezvan menyadari sesuatu. Ia menatap ruangan, be