Druf langsung tenar di sekolah barunya. Namun, hal tersebut malah membuatnya uring-uringan. Tak henti-hentinya ia mengumpat dalam hati dan berjanji akan mencekik Brian nanti sampai di rumah. Bukan ketenangan yang di perolehnya. Tapi malah kerepotan dengan ulah gadis-gadis gila di sekolahnya. Bayangkan saja, tiap kali ia lewat. Para gadis langsung meneriakinya dengan teriakan gak jelas. Tiap dia diam. Berjalan bahkan ke kamar kecil. Selalu saja ada cewek yang membuntutinya. Druf menghela nafas. “Ke kantin yuk.” Sapa teman kelasnya Andi. Druf mengangguk. Ia mengekor di belakang Andi. Namun baru saja kakinya sampai di kantin. Cewek-cewek tiba saja meneriakinya. Saking terkejutnya ia menarik Andi keluar dari kantin. “Dimana tempat sepi yang gak berisik di sekolah ini. Gue capek. Mereka berisik.” Ucap Druf dengan logat yang meniru cara remaja itu bicara, yang langsung di balas cengiran Andi. “Salah lu sih, cakep.” Ia tertawa. Lesung pipit di kedua pipinya langsung nampak.”lu tun
Druf pulang dengan lesu. Tas punggungnya ia panggul dengan sebelah tangannya. Para mahasiswa Blue Sky yang melihatnya terpukau. Sebagian merasa shock dan sebagian lagi menatap dengan kagum. Baru kali ini mereka melihat Druf dengan setelan tanpa jas. Bahkan meski tak mengerti mengapa Druf memakai seragam SMA mereka tetap saja memujanya. Sampai di ruang makan Druf melempar tasnya sembarangan. Pelayan yang melihat itu langsung tergopoh-gopoh mengambil tas punggungnya. Setelah mencuci tangan ia menyingsikan lengan seragam sekolahnya. Kemudian makan dengan lahap. Frans yang melihat hal itu langsung menggodanya. “Aihhhh... , anda sedang makan tuan?” Tanya Frans. “Gue lagi konser.” Sahutnya yang membuat Frans menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil nyengir. “Gue ada perlu nanti sama kamu dan Brian. Kalian harus ke ruang kerjaku nanti setelah rapat para raja.” Ucap Druf. Frans mengiyakan. Rapat para raja memang di jadwalkan kembali. Dan baru kali ini dilaksanakan. Setelah selesa
Druf melihat Frans dan Brian di halaman rumah. “Mengapa kalian di sini. Bukankah suduh kukatakan untuk menemuiku di ruang kerja.” Bentak Druf kesal. Frans dan Brian terkejut. Keduanya saling bertatapan. Apakah Druf melihat pengusiran Misha atau tidak. Mereka berdua tidak yakin. Tapi sepertinya sikap Druf menunjukkan bahwa ia tidak apapun tentang kasus Misha.“Baik Tuan.” Sahut Frans dan menarik Brian untuk segera mengekor di belakang Druf. Sesampainya di ruangan Druf berdiri di depan lukisan Raja Cezar dan Ratu victoria. “Ya Tuan.” Sahut Brian. “Aku ingin kalian menyingkirkan lukisan Mom. Aku hanya ingin lukisan Dad di sini. Aku merasa sesak dan terbakar jika melihat lukisan Mom Di sini.” Ucap Druf dengan suara bergetar. Frans dan Brian sangat paham dengan maksud tuannya. “Kedua. Aku ingin mulai besok kita pindah ke kota. Hubungi penjaga rumahku yang di London untuk membersihkan kamar disana karena kita akan segera pindah. Telpon juga penyedia jasa layanan pengangkut ba
Tok. Tok. Tok. Frans mengangkat alis. Tumben ada tamu yang datang. Karena penasaran Frans langsung membuka pintu. Gadis berkacamata itu tertegun. “Em, ma..af. Druf ada di rumah?” Tanyanya gugup. Frans sejenak berpikir. Tapi kemudian ia mempersilahkan tamunya masuk. “Silahkan duduk. Saya panggil Druf dulu.” Frans langsung memanggil Druf di kamarnya. “Ada tamu tuh. Kirain Lavender.” Ucapnya. “Heh!?” Druf mengernyit. Astaga ia lupa kalau ada janji sama Elena. Ia segera turun tanpa memedulikan Frans yang masih berbicara teorinya tentang sosok Lavender. Yang sempurna. Bukan gadis Nerd yang kini berada di ruang tamu. “Maaf, menunggu lama ya.” Sapa Druf mengejutkannya. Ia hanya memandang Druf sekilas. Gugup. “Mmm... kita akan latihan dimana?” Tanyanya. Ia takut memandang Druf lama. Takut rasa sukanya di ketahui cowok itu. “Hari ini kita hanya akan jalan-jalan. Saling mengenal satu sama lain. Dengan begitu kita bisa akrab. Dan kau tak merasa gugup nantinya jika menari bersamaku.
Andi menemani Druf di bangku mereka. Waktu istirahat mereka habiskan di dalam kelas. “Eh, line kamu berapa sih?” Tanya Andi. “Gue males pegang hp. Noh di tas. Tengok ja ndiri.” Druf hanya menggerakkan dagunya. Andi mengubek tas Druf sekenanya. Ia mendapati ponsel Druf dan segera membukanya. Tak jauh dari mereka Lavender memperhatikan dengan seksama. Ia penasaran dengan id. line Druf. “Udah gue tambahkan. Nanti bales klo gue ngirim line.” “Hmm.” Sahut Druf malas. Entah mengapa ia sangat mengantuk sekali. Rapat perusahaan dan rapat antar raja vampir menguras tenaganya. Druf kelelahan. Bahkan ia lupa kapan terakhir minum darah. Oh ya, darah Evelyn. Tapi itu sebulan yang lalu. “Eh an. Gue ijin ke uks ya.” “La. Kalo ada guru masuk gimana?” Tanya Andi bingung. Bilang aja gue lagi gak enak badan. Gue ngantuk berat. Hoahm. Nitip tas gue ma elu ya.” Tanpa menunggu jawaban Druf langsung pergi ke UKS. Berharap ia bisa tidur nyenyak di sana. “Siang..” Sapanya pada penjaga UKS. G
Frans mengemudikan mobilnya pelan. “Druf, beneran nih jalan yang ini?” Tanyanya. Druf hanya mengangguk. Saat ini mobil mereka memasuki areal perkebunan. “Gue heran deh, kenapa elu milih dia sih.” Tanya Frans. “Harusnya calon ratu gue itu perfect. Cantik. Sexy... Bla....Bla...” Druf sama sekali tak mendengar ocehan Frans. Matanya yang tajam mencari sosok Elena yang menunggunya. Tak lama matanya menangkap sosok itu. Dadanya langsung berasa deg-degan. “Itu Elena.” Tunjuk Druf pada gadis yang menatapnya menyamping. Kini Frans melongo. Ia hampir tak percaya jika sosok itu adalah gadis berkaca mata yang datang kerumahnya kemarin. Druf menepuk pundak Frans dan berbisik.”Lu masih di bumi kan?” “Astaga.” Frans menutup mulutnya. Awas ya elu. Dia milik gue.” Ancam Druf pada Frans. Ia turun membawa sesuatu di tangannya dan menemui Elena. “Kau sudah gila ya.” Ucap Druf memasangkan selimut kecil di pinggang Elena. Ia tidak ingin paha gadis itu di lihat orang lain. “Kamu apaan sih.” P
'Tak ada seorang pun yang boleh menjadi istrimu selain aku.’ Kata-kata itu terus terngiang di benak Druf. Sejak tadi ia hanya menunduk pada buku kosong di hadapannya. Penjelasan guru sama sekali tak dihiraukannya. Sampai bunyi bel istirahat berbunyi ia tetap tak bergeming. “Nih.” Andi menyodorkan roti cream vanila kesukaannya. “Sejak tadi lu bengong aja. Untung lu tuh pinter. Jadi gue gak perlu hawatir lu ketinggalan pelajaran.” Druf tersenyum masam. Mulutnya hendak berkata sesuatu tetapi urung. Sesuatu dalam penciumannya menarik perhatiannya. Aroma vampir. Yang jelas itu bukan Andi. Bukan pula seluruh teman kelasnya. Beberapa hari di sekolah ini. Baru kali ini ia merasakan kehadiran sekaligus bau vampir lain. Diambilnya botol parfum dari dalam tas. Tanpa malu disemprotkannya ke kulit leher dan bagian tubuhnya yang lain. Parfum racikan husus dari Frans itu akan menyembunyikan bau Druf dari vampir lain. “Ish, semprot-semprot kayak cewek lu.” Goda Andi. “Serah.” Balas Druf d
Dalam perjalanan tak satupun ada yang bicara. Baik Elena maupun Druf. Mereka berdua sama-sama canggung. Di benak Elena kini ada perasaan takut. Mengingat kejadian tadi siang di sekolah. Mungkin kali ini rasa takutnya lebih besar dari perasaan sukanya pada Druf. Cowok di sampingnya itu tidak mudah di tebak. Kadang baik, kadang kejam. Berbeda dengan Brian maupun Frans, mereka ramah. Jangan-jangan mereka bertiga bukan bersaudara seperti yang dikatakan Druf. Tapi Elena mana tahu selama kerumahnya ia belum pernah bertemu dengan orang tua Druf. “Turun.” Ucap Druf singkat. Elena kebingungan. Andaikan ia tidak melihat keluar mungkin ia tak paham dengan maksud Druf. Mereka telah sampai. Sepatu hak tinggi Elena menyentuh karpet merah. Aula sekolah sudah berubah jadi ruangan pesta kelas elit. Bahkan ada karpet merah segala. Sejenak Elena merasa malu. Baru kali ini ia memakai gaun sebagus ini. Itupun di pinjamkan Brian, katanya ia punya butik merek sendiri. Syukurlah gaun itu pas di tubuhnya.
Pesawat yang membawa Elena tiba di Sydney. Mereka di jemput seorang lelaki setengah baya ber-jas rapi yang tak lain bawahan Druf di perusahaan Sydney Blue Sky. Selama perjalanan Samuel tidak banyak bicara. Sebenarnya ia sudah mengetahui kabar Druf yang sedang koma. Ia chattingan dengan William. Membantunya melakukan penyelamatan darurat sebisa mungkin. Ia mengirim pesan-pesan yang harus William lakukan. Andaikan Frans ada di sana ia tidak akan sehawatir ini. Samuel mendesah. Pikirannya kalut. Wajahnya tampak muram dan kusut. Elena yang melihat hal itu memandangnya dengan curiga. “Apa kau sudah mendapat kabar dari William?” Tanyanya antusias. “Eh, belum.” Kejut Samuel. Dengan cepat ia menyembunyikan ponselnya di saku jasnya. Elena melihat gerakan Samuel yang menurutnya mencurigakan. “Tolong, jangan sembunyikan apapun dariku.” Ucap Elena dengan mata berkaca-kaca memandang Samuel.”Aku akan lebih menderita jika kau menyembunyikan sesuatu dariku. Aku berjanji akan tangguh dan siap
“Sebelum kau melawan tuanku. Hadapi kami dulu!!” Teriak Brian dan Frans bersamaan. Ratu Victoria menyeringai. “Kalian bukanlah tandinganku HUH!!”Gertaknya. Druf memegang satu bahu Frans dan satu bahu Brian. Keduanya menoleh. “Kalian..Pergilah susul Samuel dan Elena.” Ucap Druf dalam mindline. “Tapi tuan.” Ucap Brian dan Frans bersamaan. “Ini perintah... Aku titipkan Elena dan anakku.”Mata Druf terlihat sendu. “...........” Frans dan Brian saling pandang, menunduk lalu mundur. Mata Druf bertemu dengan mata ibunya. Dua bola mata yang dulu pernah berwarna sama kini telah berubah. Druf memandang dengan iba sedangkan ibunya memandangnya penuh gairah. Ia tidak tahu mengapa harus seperti ini. Apakah ia sanggup melawan ibunya sendiri. “Seraaaang!!!!!” Perintahnya kepada setiap yang hadir. William langsung mengambil alih. Sebagai jenderal ia langsung memimpin para vampir melawan makhluk berjubah hitam. Sedangkan Druf fokus pada ibunya. “Pangeranku yang tampan. Aku tidak tahu a
Seorang wanita cantik berdiri menatap Elena lekat. Matanya merah menyala di penuhi kemarahan. Elena ketakutan. Diliriknya Druf yang tengah memandang wanita itu dengan waspada. “Itu siapa?” Bisik Elena di telinga Druf. Kemunculannya yang diawali dengan makhluk berjubah hitam yang kini sedang menawan para undangan. Membuat Elena yakin, jika wanita itu bukan teman. “My Mom.” Ucap Druf datar. Elena terkejut mendengar jawaban itu. Bukan karena usia wanita cantik itu yang tampak muda. Melainkan ia masih mengingat ucapan Frans tempo hari untuk tidak mendekati wanita itu, meski dia ibu Druf sekalipun. “Paman Sam, keluarlah!!!” Teriak Druf. Seorang pemuda muncul dari balik kursi yang Druf duduki. Brian dan Frans terkejut mengetahui keberadaannya. Bahkan keduanya yakin jika tuannya sengaja menyembunyikan keberadaannya. “Heh, mau apa kau Sam!!” Ucap wanita itu lantang. Para undangan menahan nafas. Mereka kenal betul siapa wanita ini. Dia adalah Ratu Victoria, ratu kegelapan. Seolah
Deru mobil Brian terdengar. Druf yang sedari tadi menunggu dalam diam masih mematung. Tiga jam ia duduk di sana. Dengan wajah datar tanpa bicara sepatah kata pun. Elena gelisah menatapnya. Sementara David duduk dengan lesu di dekat pintu yang mengunci Anggelica. Kadang-kadang gadis itu masih berteriak. Pintu terbuka. Brian muncul di sana dengan wajah muram. Tak lama setelahnya muncul seorang gadis cantik berambut pendek. Matanya berbinar melihat ke arah Druf yang masih tidak menatapnya. “Druf.” Gadis itu berlari dengan riangnya. Ditangkupnya wajah Druf dengan kedua tangannya.”Lama sekali kita tidak berjumpa.” Ucapnya tersenyum. Brian menatap frustasi ke arah Dilara. Bagaimanapun ia sudah sangat mencintai gadis itu. Hatinya sedikit sakit melihat gadisnya begitu memuja tuannya. Druf yang tidak merespon apapun berdiri. Bahkan ia sama sekali tidak melihat ke arah Dilara. “Brian, bawa dia ke kamarmu.” Ucap Druf. “Tidak. Aku tidak mau. Aku masih ingin bicara denganmu.” Teriak D
Nafas berat Druf semakin terasa. Elena tak dapat lagi menutupi kegeliannya. Bahkan nafasnya memburu. Ia merasa sesuatu yang nyaman dan geli bersamaan. Hingga tanpa sadar ia mencengkram rambut Druf kuat. Dan mulutnya tanpa sengaja mengeluarkan erangan yang kemudian ia tahan. Druf bergerak. Mungkin ia terjaga karena cengkraman tangannya. Elena menatap Druf yang tengah menatapnya sayu. Dan entah atas dorongan apa. Elena mencium bibir Druf. Mengulumnya. Ia merasakan kenikmatan luar biasa saat melakukannya. “Jangan Elena. Aku akan menikahimu sesuai adat bangsamu.” Ucap Druf saat bisa menghindar. Elena menatapnya dengan nafas yang semakin memburu. “Ta..Tapi.” Elena menyatukan dahinya dengan dahi Druf. Hidungnya mencium wangi nafas Druf yang menggoda. Ia kembali kehilangan akal sehatnya. Mengecup bibir Druf kembali dan merasakan kenikmatan yang mungkin tak banyak orang tahu. Tanpa sengaja tangannya menyentuh dada Druf yang bidang dan berotot. Tangannya mengusapnya dan memainkannya. Druf
Elena tersadar. Dirabanya lengannya yang masih perih. Ia melihat sekeliling. Ini kamar Druf, batinnya. Peristiwa memalukan itu kembali terbayang di matanya. Saat ia melihat handuk yang dipakai Druf terjatuh. Seketika wajah Elena memerah. Dihapusnya segera bayangan itu dari ingatannya saat ini. Pikirannya kembali mengingat peristiwa sebelumnya. Tapi, bagaimana ia bisa ada di sini. Seingatnya malam itu ia hendak dibawa wanita cantik namun ia melihat paman Samuel. Setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi. Krieeeettttt. Elena terkejut. Terdengar bunyi engsel pintu yang dibuka paksa. Elena mematung. Ia seperti melihat bayangan seseorang yang bungkuk mendekat ke arahnya. Elena tidak bisa bernapas. Tubuhnya juga tidak bisa bergerak. Ia shock. Melihat bayangan itu samar-samar telah mendekati tepian kasurnya. Ia mendongak menatap Elena di kegelapan. Sepasang matanya hitam pekat. Elena sangat ketakutan luar biasa. Ia ingin lari tapi tak bisa. Ia juga ingin teriak tapi tenggorokannya terceka
“Tuan, kita tidak bisa menemukannya. Tapi dari baunya. Sepertinya Elena lari ke arah sini.” Frans menyisir tempat itu dengan teliti. Druf membenarkan hal itu. Ia bisa mencium wangi bunga Levender. “Tuan, ada dua mayat vampir.” Ucap Frans. Druf mendekat. Ia yakin itu prajurit ibunya. Bahkan hidungnya pun bisa mencium wangi wanita itu. Wanita yang telah melahirkannya sekaligus membuat hidupnya lebih menderita dari kematian. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari sikap ibunya yang ingin menikahi putranya sendiri. Druf memegang dadanya. Ia merasakan luka yang luar biasa sakit. Ia tidak ingat sama sekali mengapa ibunya bersikap seperti itu. Kehidupan macam apa ini. Walaupun manusia biasa menganggapnya iblis. Tapi Druf masih punya hati nurani. Virus vampir sama sekali tidak akan mengubah hatinya menjadi iblis. Mana ada seorang ibu yang mencintai anaknya sendiri seperti seorang kekasih. “Sudah paman katakan kan Druf, apapun yang ada di dirimu adalah candu. Siapa yang pernah bersent
Secantik apapun cewek yang berdiri telanjang di hadapan. Takkan bergairah tanpa adanya rasa suka. Itupun kalo jiwa elo masih waras. Alexandru Cezar. *** “FRAAAANNNNNNSSSS.” Teriaknya. Ia meraih handuknya cepat. Memakainya sekenanya kemudian keluar dari kamar itu. Frans yang tadinya masih nyantai, sampai tersedak melihat tuannya keluar dari kamar dengan kondisi yang bisa dibilang me-nak-jub-kan. “W- o -w.” Ucap frans. Yang diikuti anggukan Brian. Druf mendelik melihat kedua penjaganya malah mematung memerhatikannya. “Jangan bengung aja lu. Cepat bius tuh gadis gila biar tiduRrr.” Bentaknya. Bukannya segera melaksanakan apa yang diperintahkan, Frans malah ngomong ngelantur. “Perasaan staminanya dan bodynya yang hot gak bakalan kalah kan naklukin tuh cewek. Iya nggak Brian?” Ucap Frans masih sempat menyeruput tehnya dan diikuti anggukan Brian.”Trus kenapa dia melarikan diri, padahal anunya kenceng gitu.” Pletakk. Pletakk. “Auu!!” Teriak Brian dan Frans bersamaan. Kepal
Dalam perjalanan tak satupun ada yang bicara. Baik Elena maupun Druf. Mereka berdua sama-sama canggung. Di benak Elena kini ada perasaan takut. Mengingat kejadian tadi siang di sekolah. Mungkin kali ini rasa takutnya lebih besar dari perasaan sukanya pada Druf. Cowok di sampingnya itu tidak mudah di tebak. Kadang baik, kadang kejam. Berbeda dengan Brian maupun Frans, mereka ramah. Jangan-jangan mereka bertiga bukan bersaudara seperti yang dikatakan Druf. Tapi Elena mana tahu selama kerumahnya ia belum pernah bertemu dengan orang tua Druf. “Turun.” Ucap Druf singkat. Elena kebingungan. Andaikan ia tidak melihat keluar mungkin ia tak paham dengan maksud Druf. Mereka telah sampai. Sepatu hak tinggi Elena menyentuh karpet merah. Aula sekolah sudah berubah jadi ruangan pesta kelas elit. Bahkan ada karpet merah segala. Sejenak Elena merasa malu. Baru kali ini ia memakai gaun sebagus ini. Itupun di pinjamkan Brian, katanya ia punya butik merek sendiri. Syukurlah gaun itu pas di tubuhnya.