Share

Brownie

Penulis: Olivia Yoyet
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

TBE 36

Hiruk pikuk Kota Jakarta kembali membuatku pusing. Setahun tidak terjebak kemacetan menjadikan makian berulang kali terlontar dari mulut. Meskipun jarak tempuh dari rumah menuju kantor sebetulnya tidak terlalu jauh, tetapi karena kepadatan jalan raya membuat jaraknya seakan-akan ratusan kilometer.

Setibanya di tempat parkir sebuah gedung perkantoran di kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan, aku turun dan menutup serta mengunci pintu Xpander putih yang sudah menemani sejak dua tahun silam, tetapi diistirahatkan ketika aku memutuskan untuk menyepi di Salabintana, Sukabumi.

Sudut bibirku terangkat membingkai senyuman, merasa senang karena Dani dan pak Idim benar-benar menunaikan janji untuk merawat kendaraanku dengan baik. Setelah beberapa saat termenung, aku memutar tumit dan jalan menuju pintu masuk gedung. Dua petugas keamanan serentak menghormat, lalu menyalami dan menyapaku dengan ramah.

Hal yang sama juga dilakukan beberapa karyawan lama yang pastinya mengenaliku, sedangk
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • The Blue Eyes    Petunjuk Keberadaan Peter

    TBE 37Angin yang bertiup kencang tidak menyurutkan niatku untuk terus bertahan duduk di kursi teras belakang bersama dengan Risty. Perempuan itu tampak sibuk merapikan catatannya yang berisi daftar barang-barang yang harus dipersiapkan untuk acara lamaran kami yang akan dilaksanakan dua minggu lagi. Sekaligus daftar barang-barang antaran pernikahan yang akan digelar satu bulan setelah lamaran. Ibunya Risty saat ini tinggal di Malang bersama dengan ayah tiri dan kedua adik lelakinya. Ayah kandung Risty yang merupakan anak bungsu Kakek Munir telah wafat saat Risty masih kecil. Kala Risty SMP, ibunya menikah kembali dan ikut pindah bersama suami barunya yang merupakan duda beranak satu. Sebab itulah semua urusan pembelian ditangani sendiri oleh Risty dan aku mendukung dengan menyediakan dana serta doa agar semuanya berjalan lancar.Aku baru dua kali melihat ibunya Risty yang bernama Rini, dan kedua adik lelaki kandungnya yang bernama Dirga dan Irfan, itu pun melalui sambungan video jar

  • The Blue Eyes    Tindakan Balas Dendam

    TBE 38"Apa Viana menemui Mas?" tanya Risty, sesaat setelah kami berada di mobil.Aku tidak langsung menjawab, melainkan menekan pedal gas hingga mobil keluar dari pekarangan rumah. Setelah melewati depan blok barulah aku menoleh ke kiri dan mengamatinya sesaat, sebelum berkata, "Ya, tadi malam dia datang. Dan ... dia sekarang ada di kamar utama." "Sudah kuduga, karena sejak tadi ada hawa aneh di area depan kamar itu." Risty menyentuh bagian samping kiri rambutku dan berucap, "Ubanmu pun keluar lagi, bahkan lebih banyak." "Mukaku berubah nggak?" "Kayaknya nggak." Dia menunjuk ke punggung tangan. "Tapi yang itu udah kelihatan kerut," sambungnya. Aku mendengkus pelan, lalu bertanya, "Apakah akan begini terus sampai aku sepenuhnya tua?" "Mungkin begitu, kayak kata guru spiritualku." "Kapan aku bisa ketemu beliau?" "Nanti, Mas. Beliau harus melakukan sesuatu agar pada saat bertemu nanti bisa langsung membebaskanmu dari lingkaran pesona Viana.""Viana cuma ingin melindungiku, Ris."

  • The Blue Eyes    Diciumin Hantu

    TBE 39Aroma harum yang menguar mencapai hidungku yang sensitif. Aku membuka mata dan memindai sekitar, kemudian menyadari bila saat ini aku tengah menginap di rumah Kakek Munir. Aku bangkit dan duduk, mengumpulkan nyawa yang masih belum kembali sepenuhnya sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Setelahnya aku berdiri dan jalan gontai ke kamar mandi yang berada di sudut kiri ruangan ini. Saat aku keluar belasan menit berikutnya, kamar sudah dalam kondisi terang-benderang berkat gorden yang dibuka lebar-lebar hingga sinar sang surya menembus masuk melalui jendela yang juga telah terbuka. Aku melihat Risty tengah merapikan tempat tidur dengan sangat serius. Perlahan aku jalan menghampiri dan memeluk pinggangnya dari belakang. Gadis itu menjerit tertahan sebelum akhirnya diam dan mengusap dada sambil menoleh dan mendelik ke arahku. "Mas nih, ngagetin mulu," protesnya. "Masa kamu nggak lihat aku di depan pintu kamar mandi?" tanyaku tanpa menghiraukan omelannya. "Aku lagi serius, lagian jal

  • The Blue Eyes    Tabir Cinta Viana

    TBE 40Acara kencan yang tertunda dari minggu lalu akhirnya bisa terealisasi. Aku menggandeng tangan kanan Risty dengan rasa bangga yang tidak bisa ditutup-tutupi, terutama karena saat ini pendampingku itu tampil sangat memukau. Gaun panjang berbahan halus ungu muda itu membalut tubuh rampingnya dengan pas. Rambutnya diikat sedikit di bagian tengah sementara sisanya dibiarkan tergerai di punggung. Wajah aslinya yang sudah cantik itu kini didandani make up tipis yang kian memancarkan keelokan parasnya. Tas bahu putih kecil dan sepatu senada menyempurnakan penampilan gadis tersebut. Aku tahu Risty bukan tipe yang senang dengan gaun terbuka bagian atasnya, sehingga bila saat ini kami dipandangi banyak pengunjung restoran tidak membuatku khawatir bila aset keindahannya turut dinikmati banyak pria. Bahkan aku sangat bangga karena sebentar lagi dia akan menjadi milikku seutuhnya. "Dari tadi mandangin mulu, Mas," lirih Risty, beberapa saat setelah kami duduk di kursi yang sudah kupesan da

  • The Blue Eyes    Darah

    TBE 41Angin berembus lembut menerpa kulit. Daun-daun bergoyang dan beberapa helai terjatuh serta melayang ke tanah. Kicau burung-burung peliharaan Ayah di samping kanan rumah terdengar hingga ke teras di mana aku dan Risty alias Isti berada. Sejak aku keluar beberapa menit lalu, perempuan bergaun hijau panjang itu belum mengatakan apa-apa. Aku berusaha menahan pandangan agar tetap lurus ke depan meskipun sebenarnya ingin menoleh ke kanan dan memandanginya sampai puas. Aku lupa kapan terakhir kali kami bertemu. Ingatan sebelum berada di Salabintana masih belum kembali sepenuhnya dan itu membuatku gundah karena sangat ingin mengurai semuanya agar dapat menemukan Peter, sebab di masa Haryadi saat inilah ada petunjuk tentang pria tersebut. "Selamat atas pernikahannya, Mas," ucap Isti dengan suara pelan. "Dan ini ada kado dariku," sambungnya sambil mengangkat kotak berukuran cukup besar dari lantai dan meletakkannya di atas meja bulat yang berada di antara kedua kursi yang kami tempati

  • The Blue Eyes    Pulang

    TBE 42Wajah pucat kesi Viana membuatku iba dan sangat menyesal telah melukai hatinya. Seharusnya semenjak akad, aku harus mengubur dalam-dalam nama Isti. Akan tetapi, semua telah terjadi, dan yang harus dilakukan sekarang adalah membantu Viana memulihkan diri. Perempuan berhidung mancung itu masih marah padaku, karena sejak bangun beberapa belas menit lalu dia sama sekali tidak mau melihatku. Hal itu membuatku merasa kian bersalah, terutama karena mengingat pengorbanannya yang kabur dari rumah hanya karena ingin terus bersamaku. "Vi, mau minum?" tanyaku untuk kesekian kalinya. Namun, dia bergeming. Jangankan untuk menjawab pertanyaan, menoleh pun tidak. "Kamu harus banyak minum, itu kata dokter," sambungku sembari mengangsurkan segelas air.Viana masih bungkam dan aku sudah kehabisan kata-kata untuk memujuknya. Merasa lelah untuk terus bertanya, akhirnya aku berdiri dan meletakkan gelas ke atas lemari kecil di samping kanan ranjang. Aku baru hendak membalikkan badan ketika mendenga

  • The Blue Eyes    Maksa

    TBE 43Aroma kopi yang harum menguar hingga menyentuh hidung dan membuatku terjaga. Setelah mata membuka, aku memindai sekitar sambil mengumpulkan nyawa yang masih berserakan. Beberapa saat berlalu, pintu kamar terbuka dan Viana melangkah masuk dengan membawa nampan. Perempuan itu meletakkan bawaan di meja rias kemudian membuka bungkusan handuk yang melilit di kepalanya, lalu menggosok-gosok rambut lembap itu dengan gerakan pelan. Sudut bibirku terangkat saat menyaksikan hal itu. Terbayang kembali percintaan kami yang panas sepanjang siang hingga kami kelelahan dan tidur sambil berpelukan dalam satu selimut. Dahaga cintaku belum sepenuhnya terpuaskan dan aku berencana untuk mendapatkannya lagi nanti malam. "Buruan bangun dan mandi, Mas. Ini udah mau magrib," tukas Viana sambil menyisiri rambut. "Memangnya sekarang jam berapa?" tanyaku. "Jam lima lewat. Kalau Mas lama di kamar mandi bisa-bisa waktu Asar lepas. Disatukan dengan Zuhur, tadi kita nggak sempat karena ...." Viana terdia

  • The Blue Eyes    Balasan Buatmu

    TBE 44Mobil baru saja memasuki pekarangan rumah besar itu ketika belasan pekerja di bagian depan serentak berdiri dan mendekat. Viana turun sesaat setelah kendaraan berhenti di bawah pohon yang dulu menjadi tempat sandaran motorku dan menyalami orang-orang tersebut. Seorang perempuan dewasa menghambur dari dalam rumah dan lari hingga tiba di hadapan kami dan saling berpelukan dengan Viana. Selama beberapa saat suasana hening itu diisi dengan isak tangis kedua saudara yang sudah berpisah sekian bulan dan aku benar-benar terenyuh menjadi saksi peristiwa itu. Menjadi anak tunggal aku selalu sendirian dan baru merasa memiliki saudara setelah tinggal bersama orang tuanya Lidya. Sekarang aku menyadari bagaimana rindunya kedua perempuan tersebut yang tidak pernah terpisahkan dari Viana baru lahir.Nining tetap menempel pada adiknya seolah-olah tidak mau berpisah lagi dengan Viana. Beberapa menit berlalu barulah Nining mengajak kami memasuki rumah, sedangkan beberapa pekerja membantu menur

Bab terbaru

  • The Blue Eyes    We Zien Elkaar Weer

    TBE 58"Ini pertemuan kita yang terakhir, Anto," lirih Viana sembari mengurai pelukan dan menatapku saksama. "Kenapa?" tanyaku tanpa memutuskan pandangan. "Aku dan kakekmu sudah menyelesaikan urusan dunia, dan itu berkat bantuanmu. Jadi, tidak ada alasan bagi kami untuk terus berada di sini." Viana mengulaskan senyuman, kemudian berkata, "Meskipun vila itu milik orang tuanya Farid dan Johan, tapi harta di rumah kecil belakang adalah milikmu." "Aku tidak mau harta itu dan tidak akan pernah menggunakannya." "Kalau begitu, bagikan saja pada keluarga para korbannya Peter, terutama pada keturunan keluarga terakhir Kang Yayan. Anggap saja itu hadiah dariku." Aku menoleh ke kanan dan Risty mengangguk, seolah-olah memberikan kode agar aku menyetujui permintaan Viana. Kemudian aku menoleh ke kiri di mana Opick dan Johan serentak mengangguk seperti halnya Risty. Aku mengarahkan pandangan ke depan dan mengamati Viana sesaat. "Baik, akan kulakukan permintaanmu. Walaupun harus dilakukan satu

  • The Blue Eyes    Serang Lagi! Cepat!

    TBE 57Mobil tiba-tiba terdorong dan menabrak tunggul-tunggul pohon sebelum akhirnya berhenti di dekat saung kecil di sebelah kiri rumah. Aku memfokuskan pandangan pada segerombolan makhluk astral yang sepertinya tengah mempersiapkan penyerangan. Suara-suara aneh mereka perdengarkan dan membuatku merinding. Aura mistis terasa berat di sekeliling dan menjadikanku membatin bila mereka berhasil mengintimidasi. Aku terkesiap kala Opick dan Risty maju tiga langkah. Keduanya melakukan gerakan silat yang hampir sama secara berulang-ulang. Perlahan rasa hangat menguar dan menipiskan aura dingin dari pihak lawan. Aku mengambil lipatan kertas yang diselipkan di saku celana dan membukanya, lalu membaca doa yang diberikan guru dengan suara pelan. Gemuruh dari seberang menjadikanku waspada. Muncul rasa takut karena sepertinya pihak lawan mengeluarkan tenaga penuh. Aku membeliakkan mata ketika Risty dan Opick mengubah posisi tubuh hingga berhadapan. Mereka menyatukan telapak tangan kiri, sementar

  • The Blue Eyes    Pertempuran Terakhir

    TBE 56Malam kian larut. Aku mengajak Risty beristirahat di kamar depan. Sementara Johan dan Opick masih mengobrol di ruang tamu. Aku berbaring di kasur bagian kanan. Risty menyusul seusai mematikan lampu utama. Sinar lampu yang menembus lubang angin di bagian atas jendela membuat suasana kamar tidak terlalu gelap. Aku memiringkan badan ke kiri dan memegangi tangan Risty. Sesaat kami saling menatap, sebelum aku memajukan tubuh dan mengecup dahinya. "Perasaanku nggak enak," lirihku sembari menarik diri. "Sama. Kayak ada yang ngawasin kita dari baru nyampe sini," jawab Risty. "Iya. Entahlah ini cuma halusinasi atau bukan, tapi di pohon-pohon kayak ada sosok yang kelebatan." "Aku juga ngerasa gitu. Dan yakin banget itu bukan Viana. Karena dia menunggu di mobil." "Apa Johan dan Opick tahu, ya?" "Aku rasa mereka tahu. Makanya tadi Kang Opick bolak-balik ke mobil, terus ngucurin air doa dari guru ke sekeliling rumah." "Aku mau bergadang aja." "Jangan. Mas tidur aja karena harus rec

  • The Blue Eyes    Rumah Kebun

    TBE 55Mobil yang dikemudikan Johan berhenti di depan pagar rumah besar model lama. Aku mengintip dari balik kaca, mengamati tempat yang diyakini bisa menunjukkan arah di mana sosok Peter Gantala berada. Gangguan demi gangguan serta kemunculan Viana beberapa waktu terakhir membuatku memutuskan bergerak mencari informasi pada orang yang mungkin bisa membantu. Saat aku menceritakan keinginan ke tempat ini, Risty, Johan dan Opick kompak menyetujui. Mereka tahu bila masalah yang tengah terjadi berawal dari sini dan harus diselesaikan di tempat yang sama. Sebab bila tidak, aku tidak akan bisa hidup tenang. Seperti halnya vila, rumah ini adalah saksi bisu kehidupan Peter Gantala puluhan tahun silam. Opick dan Johan yang berada di bagian depan serentak turun. Aku beradu pandang dengan Risty sesaat sebelum membuka pintu dan keluar. Setelah menutup pintu kembali, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, demikian pula dengan yang lainnya. Aku menghela napas dalam-dalam dan melepaskannya sedi

  • The Blue Eyes    Firasat Tidak Enak

    TBE 54Ruangan luas ini terasa sunyi. Hanya detak jam dinding besar model zaman dulu yang berada di dekat tangga menjadi satu-satunya hal yang terdengar. Aku dan Risty berulang kali beradu pandang. Kami sudah sepakat akan menunggu sang pemilik rumah berbicara terlebih dahulu. "Anak kami, Danu dan Heru didatangi seseorang beberapa hari sebelum istri Anda datang, Nak Anto. Danu nggak cerita ke kami karena dia nggak tinggal dengan kami, karena sudah menikah dan punya satu anak," ujar Pak Usman beberapa puluh menit kemudian. "Heru juga baru cerita setelah didatangi polisi yang memintanya datang ke kantor buat ditanyai. Saya dan teman pengacara yang menemani mereka dipanggil sampai tiga kali hingga terbukti tidak terlibat dalam peristiwa tersebut," lanjutnya. "Ya, saya baca laporan itu. Tapi tetap jadi tanda tanya bagaimana bisa mobil yang baru beberapa hari diservis remnya bermasalah," ungkapku. "Saya tidak menyalahkan anak-anak Bapak dan Ibu, karena saya punya keyakinan bila pelaku pen

  • The Blue Eyes    Stop! Jangan Disebut!

    TBE 53Pembicaraan dengan Viana beberapa hari lalu masih terngiang di telinga. Aku kembali merunut peristiwa sebelum dan sesudah kecelakaan yang dialami Dewi. Kesulitan mendapatkan bukti-bukti kuat dan saksi mata menjadikan kasus itu masih jalan di tempat, padahal sudah hampir dua tahun berlalu.Pihak kepolisian dan tim pengacaraku sudah berusaha keras untuk menuntaskan penyelidikan, tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil. Otak yang penuh membuatku pusing dan akhirnya mendatangi ruang kerja Farid siang ini. Pria bertubuh montok itu melirik saat aku melenggang memasuki ruangan dan duduk di sofa hitam di ujung kanan ruangan. Selama beberapa saat kami saling memandang, sebelum sahabatku yang mengaku tampan dan gagah tersebut berdiri serta jalan mendekat."Tumben ke sini, To," ucap Farid. "Jangan bilang karena kamu kangen denganku," selorohnya yang membuatku spontan tersenyum. "Aku mau cerita, tapi jangan disela," tuturku. "Tentang apa?""Misteri kecelakaan Dewi." Farid mengeru

  • The Blue Eyes    Kalian Sama Judesnya

    TBE 52Pemandangan langit terbenam di pantai ini benar-benar indah. Aku terpesona dan nyaris tidak beranjak dari tempat, sebelum akhirnya Risty menarik tanganku dan menyeret menuju kamar kami yang berada di kawasan hotel dengan pantai pribadi.Risty sudah sejak lama menginginkan bisa menginap di tempat ini karena tertarik dengan promosi pihak hotel di berbagai media sosial. Demi memenuhi impiannya, aku rela menggelontorkan dana berjumlah besar agar bisa menginap selama beberapa hari, sebelum nantinya kami akan berpindah ke kawasan wisata lain di Pulau Bali. Seusai mandi dan berganti pakaian, kami menunaikan salat Magrib berjemaah. Setelahnya, kami keluar dan jalan menuju restoran. Melewati koridor panjang dan area luas di tempat ini membuatku terkagum-kagum, demikian pula dengan Risty. Berulang kali kami berhenti untuk mengambil swa foto dengan berbagai gaya. Namun, Risty lebih banyak menjadi modelnya dibandingkan aku yang lebih senang memotretnya. Sekali-sekali aku akan memvideokan

  • The Blue Eyes    Satu Peristiwa Besar

    TBE 51"Kata Bibi, di rumah itu memang ada orangnya. Tapi jarang keluar," ujar Risty, sesaat setelah aku menceritakan tentang kejadian beberapa puluh menit lalu. "Ada berapa orang?" tanyaku."Nggak tahu. Coba Mas tanya ke Bibi." "Besok deh. Aku mau tidur awal." "Hmm." "Sini." "Ehm?""Sini, peluk sampai aku tidur.""Males. Ujung-ujungnya minta jatah." "Nggak, aku capek hari ini. Beneran cuma pengen dipeluk." Risty memandangiku sesaat, kemudian menggeser tubuhnya mendekat dan merangkul pundakku yang spontan menempelkan badan ke dadanya serta memeluknya erat. Aku memejamkan mata sambil menghidu aroma tubuhnya yang selalu membuatku tenang. Aku mengatur napas sambil membaca doa sebelum tidur. Tidak lupa menyerap energi yang Risty alirkan lewat usapan di punggungku karena itulah salah satu caranya melindungi.Perlahan sukma melayang tak tentu arah sebelum akhirnya aku tidak dapat mengingat apa pun. Aku terbangun saat merasa dingin di area kaki. Saat memaksakan membuka mata, aku terk

  • The Blue Eyes    Kain Biru Berkibar Dekat Jendela

    TBE 50Aku menyusuri lorong remang-remang dengan banyak pintu di kanan dan kiri. Sekali-sekali tangan ditempelkan ke dinding untuk menahan tubuh yang letih. Pandangan kian mengabut dan menjadikanku kesulitan melihat jelas. Hawa dingin kian terasa di tengkuk dan membuatku yakin bila sudah hampir sampai ke ujung. Beberapa langkah dari sebuah lengkungan putih, aku berhenti dan mengatur napas. Kala hati sudah mantap aku meneruskan langkah memasuki suatu area terang dan berhenti sesaat untuk memindai sekitar. Sayup-sayup terdengar suara lembut memanggil. Aku menguatkan diri terus melangkah meskipun sedikit terseok. Lantai berguncang, kian lama kian kencang. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena takut melihat siapa yang mengikuti. "Kamu tidak akan bisa lari dariku, Haryadi!" seru seseorang dengan suara berat dan bergaung di belakang. Aku tidak memedulikan seruan itu dan sekuat tenaga mempercepat langkah sambil berpegangan ke beberapa benda yang berada di sepanjang lorong terang. Soso

DMCA.com Protection Status