Share

Maksa

Penulis: Olivia Yoyet
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

TBE 43

Aroma kopi yang harum menguar hingga menyentuh hidung dan membuatku terjaga. Setelah mata membuka, aku memindai sekitar sambil mengumpulkan nyawa yang masih berserakan. Beberapa saat berlalu, pintu kamar terbuka dan Viana melangkah masuk dengan membawa nampan. Perempuan itu meletakkan bawaan di meja rias kemudian membuka bungkusan handuk yang melilit di kepalanya, lalu menggosok-gosok rambut lembap itu dengan gerakan pelan.

Sudut bibirku terangkat saat menyaksikan hal itu. Terbayang kembali percintaan kami yang panas sepanjang siang hingga kami kelelahan dan tidur sambil berpelukan dalam satu selimut. Dahaga cintaku belum sepenuhnya terpuaskan dan aku berencana untuk mendapatkannya lagi nanti malam.

"Buruan bangun dan mandi, Mas. Ini udah mau magrib," tukas Viana sambil menyisiri rambut.

"Memangnya sekarang jam berapa?" tanyaku.

"Jam lima lewat. Kalau Mas lama di kamar mandi bisa-bisa waktu Asar lepas. Disatukan dengan Zuhur, tadi kita nggak sempat karena ...." Viana terdia
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • The Blue Eyes    Balasan Buatmu

    TBE 44Mobil baru saja memasuki pekarangan rumah besar itu ketika belasan pekerja di bagian depan serentak berdiri dan mendekat. Viana turun sesaat setelah kendaraan berhenti di bawah pohon yang dulu menjadi tempat sandaran motorku dan menyalami orang-orang tersebut. Seorang perempuan dewasa menghambur dari dalam rumah dan lari hingga tiba di hadapan kami dan saling berpelukan dengan Viana. Selama beberapa saat suasana hening itu diisi dengan isak tangis kedua saudara yang sudah berpisah sekian bulan dan aku benar-benar terenyuh menjadi saksi peristiwa itu. Menjadi anak tunggal aku selalu sendirian dan baru merasa memiliki saudara setelah tinggal bersama orang tuanya Lidya. Sekarang aku menyadari bagaimana rindunya kedua perempuan tersebut yang tidak pernah terpisahkan dari Viana baru lahir.Nining tetap menempel pada adiknya seolah-olah tidak mau berpisah lagi dengan Viana. Beberapa menit berlalu barulah Nining mengajak kami memasuki rumah, sedangkan beberapa pekerja membantu menur

  • The Blue Eyes    Pergilah

    TBE 45Aku terus memperhatikan pria yang tengah mengintip ke bagian dalam mobil. Terdorong rasa penasaran akhirnya aku membuka pintu depan dan maju menghampirinya yang sontak berbalik. Selama beberapa detik kami saling beradu pandang dengan sorot mata nyaris sama, yaitu sangat tajam dan seolah-olah hendak menguliti lawan. Deru angin menampar wajah. Gesekan dedaunan terdengar jelas meskipun pandanganku tetap terkunci pada pria tersebut. Dinginnya udara malam seakan-akan tidak terasa di kulit karena hatiku telanjur panas oleh amarah pada makhluk abadi yang menjadi biang keladi dari semua peristiwa buruk di sekitarku. "We ontmoeten elkaar weer, meneer Haryadi," ucap pria bertubuh tinggi besar itu. (Kita bertemu lagi, Tuan Haryadi) "En dit is de laatste keer dat we elkaar ontmoeten," jawabku. (Dan ini terakhir kalinya kita bertemu)"Is dat zo? Het lijkt erop dat je er alle vertrouwen in hebt om mij te verslaan." (Begitukah? Sepertinya Anda sangat percaya diri untuk bisa mengalahkan sa

  • The Blue Eyes    Pria Kesepian

    TBE 46"Jadi, kakek Haryadi dan Viana tidak pernah kembali ke Bogor lagi?" tanya Risty, sesaat setelah aku selesai bercerita."Iya, waktu dijemput keluarganya itu mereka menolak untuk pulang karena kondisi kesehatan Viana yang belum pulih. Mereka tidak menduga kalau tusukan itu mengenai organ tubuh penting yang menyebabkan Viana sulit bergerak selama beberapa bulan. Setelah dinyatakan pulih oleh dokter, Viana masih sering kesakitan hingga banyak beristirahat," terangku. "Dan sejak itu Peter menghilang," timpal Johan. "Betul, bahkan kakek pun tidak bisa menemukannya. Selain itu Yayan juga berubah, dia tidak lagi berani bertindak kasar pada kedua adiknya. Tapi ternyata hal itu tidak berlangsung lama, rupanya dia tengah menyusun rencana untuk menjebak kakek," jawabku. "Menjebak gimana?" desak Farid. "Dikunci di perpustakaan bareng Sari," ungkapku. "Oh, jadi itu rencananya Yayan, kupikir triknya Peter," sela Opick. "Awalnya aku juga mikir gitu, tapi makin ke sini aku makin yakin kal

  • The Blue Eyes    Jarang Bilang Sayang

    TBE 47Sepanjang hari itu otakku berputar untuk menggali ingatan di mana aku pernah bertemu dengan kedua pria yang merupakan manajer dan asistennya Robi. Namun, kian keras berusaha mengingat maka kepalaku akan sakit hingga akhirnya kegiatan menekan otak itu dihentikan. Langit siang sudah berubah menjadi senja kala aku tersadar akan waktu. Bergegas aku membereskan meja dan berdiri. Jalan menuju pintu dan mengambil remot penyejuk udara sebelum mematikan benda itu serta dilanjutkan dengan menekan sakelar lampu. Aku mengayunkan tungkai ke luar dan menutup pintu. Koridor yang lengang terasa aneh dan hal itu sering dirasakan beberapa hari terakhir. Aku memindai sekitar untuk memastikan tidak ada penampakan sebelum menggeser tubuh dan menyusuri lorong terang. Kala memasuki lift, tiba-tiba lampu di sepanjang koridor itu berkedip-kedip. Aku menekan tombol agar pintu lift menutup dan berharap benda besi ini bisa segera turun serta tiba di lantai lobi. Kala pintu elevator terbuka, kondisi ya

  • The Blue Eyes    Pernikahan Impian

    TBE 48Viana merentangkan jemari tangan kanan dan menggeleng, seakan-akan menolakku untuk mendekatinya. Aku berhenti dua langkah darinya dan mengulurkan tangan untuk menggapainya, tetapi Viana menarik tangannya dan memandangiku dengan tatapan sendu. "Vi," panggilku. "Kemarilah," lanjutku. "Tidak bisa, badanmu memunculkan hawa panas yang buat aku lemah," jawabnya. "Oh, iya, aku lupa." Aku menghentikan mengucap doa dalam hati sambil mengusap-usap tangan dan kaki. "Sekarang udah bisa," tukasku. "Naiklah ke kamarmu, aku akan menunggu di sana." Belum sempat aku menjawab, Viana sudah telanjur menghilang dan hanya menyisakan kabut tipis. Kala suara Dani memanggil, saat itulah baru kusadari alasan Viana menghilang."Mas ngobrol sama siapa?" tanya Dani saat aku menyambanginya. "Nggak ngobrol, cuma lagi latihan pidato," kilahku. "Pidato?" Pria yang usianya lebih muda tujuh tahun dariku itu mengerutkan dahi. "Buat presentasi." Dani manggut-manggut sembari berbalik dan jalan menjauh. Aku

  • The Blue Eyes    Menguasai Hati Sepenuhnya

    TBE 49Aku mengamati saat Risty jalan memasuki kamar mandi sambil menunduk. Senyumanku mengembang karena merasa bila gadis itu tengah malu padaku, hal yang lumrah terjadi pada pasangan pengantin baru. Kilasan kenangan saat menikahi Viana dan Dewi berkelebatan silih berganti. Aku sangat berharap bisa melupakan wajah mereka nanti bila tiba waktunya aku menjemput hak sebagai seorang suami pada Risty. Aku berpindah ke ujung kanan ruangan dan menghamparkan dua sajadah. Sambil menunggu Risty, aku berzikir sambil memejamkan mata. Kemudian berdoa setulus hati agar pernikahan ini menjadi yang terakhir untukku, dan tidak ada lagi masalah berat yang akan menghadang di depan sana. Risty keluar dan mengenakan mukena. Dia menempati sajadah di belakang. Aku berdiri dan memulai salat berjemaah pertama kami sebagai pasangan suami istri. Rasa haru yang menyeruak membuat suaraku sedikit bergetar pada awalnya, sebelum kemudian lancar hingga salat usai. "Mas mau dibuatin minuman apa? Aku mau ke dapur,

  • The Blue Eyes    Kain Biru Berkibar Dekat Jendela

    TBE 50Aku menyusuri lorong remang-remang dengan banyak pintu di kanan dan kiri. Sekali-sekali tangan ditempelkan ke dinding untuk menahan tubuh yang letih. Pandangan kian mengabut dan menjadikanku kesulitan melihat jelas. Hawa dingin kian terasa di tengkuk dan membuatku yakin bila sudah hampir sampai ke ujung. Beberapa langkah dari sebuah lengkungan putih, aku berhenti dan mengatur napas. Kala hati sudah mantap aku meneruskan langkah memasuki suatu area terang dan berhenti sesaat untuk memindai sekitar. Sayup-sayup terdengar suara lembut memanggil. Aku menguatkan diri terus melangkah meskipun sedikit terseok. Lantai berguncang, kian lama kian kencang. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena takut melihat siapa yang mengikuti. "Kamu tidak akan bisa lari dariku, Haryadi!" seru seseorang dengan suara berat dan bergaung di belakang. Aku tidak memedulikan seruan itu dan sekuat tenaga mempercepat langkah sambil berpegangan ke beberapa benda yang berada di sepanjang lorong terang. Soso

  • The Blue Eyes    Satu Peristiwa Besar

    TBE 51"Kata Bibi, di rumah itu memang ada orangnya. Tapi jarang keluar," ujar Risty, sesaat setelah aku menceritakan tentang kejadian beberapa puluh menit lalu. "Ada berapa orang?" tanyaku."Nggak tahu. Coba Mas tanya ke Bibi." "Besok deh. Aku mau tidur awal." "Hmm." "Sini." "Ehm?""Sini, peluk sampai aku tidur.""Males. Ujung-ujungnya minta jatah." "Nggak, aku capek hari ini. Beneran cuma pengen dipeluk." Risty memandangiku sesaat, kemudian menggeser tubuhnya mendekat dan merangkul pundakku yang spontan menempelkan badan ke dadanya serta memeluknya erat. Aku memejamkan mata sambil menghidu aroma tubuhnya yang selalu membuatku tenang. Aku mengatur napas sambil membaca doa sebelum tidur. Tidak lupa menyerap energi yang Risty alirkan lewat usapan di punggungku karena itulah salah satu caranya melindungi.Perlahan sukma melayang tak tentu arah sebelum akhirnya aku tidak dapat mengingat apa pun. Aku terbangun saat merasa dingin di area kaki. Saat memaksakan membuka mata, aku terk

Bab terbaru

  • The Blue Eyes    We Zien Elkaar Weer

    TBE 58"Ini pertemuan kita yang terakhir, Anto," lirih Viana sembari mengurai pelukan dan menatapku saksama. "Kenapa?" tanyaku tanpa memutuskan pandangan. "Aku dan kakekmu sudah menyelesaikan urusan dunia, dan itu berkat bantuanmu. Jadi, tidak ada alasan bagi kami untuk terus berada di sini." Viana mengulaskan senyuman, kemudian berkata, "Meskipun vila itu milik orang tuanya Farid dan Johan, tapi harta di rumah kecil belakang adalah milikmu." "Aku tidak mau harta itu dan tidak akan pernah menggunakannya." "Kalau begitu, bagikan saja pada keluarga para korbannya Peter, terutama pada keturunan keluarga terakhir Kang Yayan. Anggap saja itu hadiah dariku." Aku menoleh ke kanan dan Risty mengangguk, seolah-olah memberikan kode agar aku menyetujui permintaan Viana. Kemudian aku menoleh ke kiri di mana Opick dan Johan serentak mengangguk seperti halnya Risty. Aku mengarahkan pandangan ke depan dan mengamati Viana sesaat. "Baik, akan kulakukan permintaanmu. Walaupun harus dilakukan satu

  • The Blue Eyes    Serang Lagi! Cepat!

    TBE 57Mobil tiba-tiba terdorong dan menabrak tunggul-tunggul pohon sebelum akhirnya berhenti di dekat saung kecil di sebelah kiri rumah. Aku memfokuskan pandangan pada segerombolan makhluk astral yang sepertinya tengah mempersiapkan penyerangan. Suara-suara aneh mereka perdengarkan dan membuatku merinding. Aura mistis terasa berat di sekeliling dan menjadikanku membatin bila mereka berhasil mengintimidasi. Aku terkesiap kala Opick dan Risty maju tiga langkah. Keduanya melakukan gerakan silat yang hampir sama secara berulang-ulang. Perlahan rasa hangat menguar dan menipiskan aura dingin dari pihak lawan. Aku mengambil lipatan kertas yang diselipkan di saku celana dan membukanya, lalu membaca doa yang diberikan guru dengan suara pelan. Gemuruh dari seberang menjadikanku waspada. Muncul rasa takut karena sepertinya pihak lawan mengeluarkan tenaga penuh. Aku membeliakkan mata ketika Risty dan Opick mengubah posisi tubuh hingga berhadapan. Mereka menyatukan telapak tangan kiri, sementar

  • The Blue Eyes    Pertempuran Terakhir

    TBE 56Malam kian larut. Aku mengajak Risty beristirahat di kamar depan. Sementara Johan dan Opick masih mengobrol di ruang tamu. Aku berbaring di kasur bagian kanan. Risty menyusul seusai mematikan lampu utama. Sinar lampu yang menembus lubang angin di bagian atas jendela membuat suasana kamar tidak terlalu gelap. Aku memiringkan badan ke kiri dan memegangi tangan Risty. Sesaat kami saling menatap, sebelum aku memajukan tubuh dan mengecup dahinya. "Perasaanku nggak enak," lirihku sembari menarik diri. "Sama. Kayak ada yang ngawasin kita dari baru nyampe sini," jawab Risty. "Iya. Entahlah ini cuma halusinasi atau bukan, tapi di pohon-pohon kayak ada sosok yang kelebatan." "Aku juga ngerasa gitu. Dan yakin banget itu bukan Viana. Karena dia menunggu di mobil." "Apa Johan dan Opick tahu, ya?" "Aku rasa mereka tahu. Makanya tadi Kang Opick bolak-balik ke mobil, terus ngucurin air doa dari guru ke sekeliling rumah." "Aku mau bergadang aja." "Jangan. Mas tidur aja karena harus rec

  • The Blue Eyes    Rumah Kebun

    TBE 55Mobil yang dikemudikan Johan berhenti di depan pagar rumah besar model lama. Aku mengintip dari balik kaca, mengamati tempat yang diyakini bisa menunjukkan arah di mana sosok Peter Gantala berada. Gangguan demi gangguan serta kemunculan Viana beberapa waktu terakhir membuatku memutuskan bergerak mencari informasi pada orang yang mungkin bisa membantu. Saat aku menceritakan keinginan ke tempat ini, Risty, Johan dan Opick kompak menyetujui. Mereka tahu bila masalah yang tengah terjadi berawal dari sini dan harus diselesaikan di tempat yang sama. Sebab bila tidak, aku tidak akan bisa hidup tenang. Seperti halnya vila, rumah ini adalah saksi bisu kehidupan Peter Gantala puluhan tahun silam. Opick dan Johan yang berada di bagian depan serentak turun. Aku beradu pandang dengan Risty sesaat sebelum membuka pintu dan keluar. Setelah menutup pintu kembali, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, demikian pula dengan yang lainnya. Aku menghela napas dalam-dalam dan melepaskannya sedi

  • The Blue Eyes    Firasat Tidak Enak

    TBE 54Ruangan luas ini terasa sunyi. Hanya detak jam dinding besar model zaman dulu yang berada di dekat tangga menjadi satu-satunya hal yang terdengar. Aku dan Risty berulang kali beradu pandang. Kami sudah sepakat akan menunggu sang pemilik rumah berbicara terlebih dahulu. "Anak kami, Danu dan Heru didatangi seseorang beberapa hari sebelum istri Anda datang, Nak Anto. Danu nggak cerita ke kami karena dia nggak tinggal dengan kami, karena sudah menikah dan punya satu anak," ujar Pak Usman beberapa puluh menit kemudian. "Heru juga baru cerita setelah didatangi polisi yang memintanya datang ke kantor buat ditanyai. Saya dan teman pengacara yang menemani mereka dipanggil sampai tiga kali hingga terbukti tidak terlibat dalam peristiwa tersebut," lanjutnya. "Ya, saya baca laporan itu. Tapi tetap jadi tanda tanya bagaimana bisa mobil yang baru beberapa hari diservis remnya bermasalah," ungkapku. "Saya tidak menyalahkan anak-anak Bapak dan Ibu, karena saya punya keyakinan bila pelaku pen

  • The Blue Eyes    Stop! Jangan Disebut!

    TBE 53Pembicaraan dengan Viana beberapa hari lalu masih terngiang di telinga. Aku kembali merunut peristiwa sebelum dan sesudah kecelakaan yang dialami Dewi. Kesulitan mendapatkan bukti-bukti kuat dan saksi mata menjadikan kasus itu masih jalan di tempat, padahal sudah hampir dua tahun berlalu.Pihak kepolisian dan tim pengacaraku sudah berusaha keras untuk menuntaskan penyelidikan, tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil. Otak yang penuh membuatku pusing dan akhirnya mendatangi ruang kerja Farid siang ini. Pria bertubuh montok itu melirik saat aku melenggang memasuki ruangan dan duduk di sofa hitam di ujung kanan ruangan. Selama beberapa saat kami saling memandang, sebelum sahabatku yang mengaku tampan dan gagah tersebut berdiri serta jalan mendekat."Tumben ke sini, To," ucap Farid. "Jangan bilang karena kamu kangen denganku," selorohnya yang membuatku spontan tersenyum. "Aku mau cerita, tapi jangan disela," tuturku. "Tentang apa?""Misteri kecelakaan Dewi." Farid mengeru

  • The Blue Eyes    Kalian Sama Judesnya

    TBE 52Pemandangan langit terbenam di pantai ini benar-benar indah. Aku terpesona dan nyaris tidak beranjak dari tempat, sebelum akhirnya Risty menarik tanganku dan menyeret menuju kamar kami yang berada di kawasan hotel dengan pantai pribadi.Risty sudah sejak lama menginginkan bisa menginap di tempat ini karena tertarik dengan promosi pihak hotel di berbagai media sosial. Demi memenuhi impiannya, aku rela menggelontorkan dana berjumlah besar agar bisa menginap selama beberapa hari, sebelum nantinya kami akan berpindah ke kawasan wisata lain di Pulau Bali. Seusai mandi dan berganti pakaian, kami menunaikan salat Magrib berjemaah. Setelahnya, kami keluar dan jalan menuju restoran. Melewati koridor panjang dan area luas di tempat ini membuatku terkagum-kagum, demikian pula dengan Risty. Berulang kali kami berhenti untuk mengambil swa foto dengan berbagai gaya. Namun, Risty lebih banyak menjadi modelnya dibandingkan aku yang lebih senang memotretnya. Sekali-sekali aku akan memvideokan

  • The Blue Eyes    Satu Peristiwa Besar

    TBE 51"Kata Bibi, di rumah itu memang ada orangnya. Tapi jarang keluar," ujar Risty, sesaat setelah aku menceritakan tentang kejadian beberapa puluh menit lalu. "Ada berapa orang?" tanyaku."Nggak tahu. Coba Mas tanya ke Bibi." "Besok deh. Aku mau tidur awal." "Hmm." "Sini." "Ehm?""Sini, peluk sampai aku tidur.""Males. Ujung-ujungnya minta jatah." "Nggak, aku capek hari ini. Beneran cuma pengen dipeluk." Risty memandangiku sesaat, kemudian menggeser tubuhnya mendekat dan merangkul pundakku yang spontan menempelkan badan ke dadanya serta memeluknya erat. Aku memejamkan mata sambil menghidu aroma tubuhnya yang selalu membuatku tenang. Aku mengatur napas sambil membaca doa sebelum tidur. Tidak lupa menyerap energi yang Risty alirkan lewat usapan di punggungku karena itulah salah satu caranya melindungi.Perlahan sukma melayang tak tentu arah sebelum akhirnya aku tidak dapat mengingat apa pun. Aku terbangun saat merasa dingin di area kaki. Saat memaksakan membuka mata, aku terk

  • The Blue Eyes    Kain Biru Berkibar Dekat Jendela

    TBE 50Aku menyusuri lorong remang-remang dengan banyak pintu di kanan dan kiri. Sekali-sekali tangan ditempelkan ke dinding untuk menahan tubuh yang letih. Pandangan kian mengabut dan menjadikanku kesulitan melihat jelas. Hawa dingin kian terasa di tengkuk dan membuatku yakin bila sudah hampir sampai ke ujung. Beberapa langkah dari sebuah lengkungan putih, aku berhenti dan mengatur napas. Kala hati sudah mantap aku meneruskan langkah memasuki suatu area terang dan berhenti sesaat untuk memindai sekitar. Sayup-sayup terdengar suara lembut memanggil. Aku menguatkan diri terus melangkah meskipun sedikit terseok. Lantai berguncang, kian lama kian kencang. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena takut melihat siapa yang mengikuti. "Kamu tidak akan bisa lari dariku, Haryadi!" seru seseorang dengan suara berat dan bergaung di belakang. Aku tidak memedulikan seruan itu dan sekuat tenaga mempercepat langkah sambil berpegangan ke beberapa benda yang berada di sepanjang lorong terang. Soso

DMCA.com Protection Status