"Pulang!" Desis Ken perlahan yang sontak dibalas anggukan kepala oleh Elsa.
Elsa bangkit, mengemasi barang-barangnya dan melambaikan tangan ke beberapa temannya yang terpaku di dalam ruangan khusus untuk anak koas itu.
Elsa menghampiri Ken yang berdiri dengan begitu gagah di depan pintu, kemudian melangkah mengekor di belakang Ken, meninggalkan beberapa temannya yang masih melonggo tidak percaya.
"Mereka pacaran?" Tanya Radit yang belum mau berkedip
Residen paling ganteng di poli obsgyn pacaran sama Elsa? Eh ... tunggu! Kalau dilihat-lihat sih cocok juga mereka, Elsa cukup cantik, tidak jelek-jelek amat kalau harus bersanding dengan sosok itu.
"Entah, yang jelas mereka semakin hari semakin dekat," sambung yang lain sambil saling pandang.
Mereka kompak angkat bahu, sementara si Cindy, nampak memanyunkan bibirnya. Kenapa residen itu malah nyantol sama Elsa? Bukan dirinya? Tampak gadis itu bersunggut-sunggut, apa bagusnya Elsa yang keturunan da
"Sausnya kemana-mana."Elsa menegang, Ken mengulurkan jemarinya untuk menyeka saus yang belepotan di sudut bibir Elsa, membuat Elsa mengangkat wajahnya dan menatap Ken dengan seksama.Apa yang membuat dia begitu lain? Biasanya mereka tidak seperti ini. Elsa masih ingat ketika mereka makan malam di restoran Korea kemarin malam. Ken masih dengan usil menjitak kepalanya sampai dua kali, bilang jangan GR tentang status pacaran pura-pura mereka, tapi kenapa sekarang ....Sebuah perkataan sosok itu masih terngiang di pikiran Elsa, perihal apa yang diucapkan Ken beberapa saat yang lalu.'Daripada kita pacaran bohongan, kenapa nggak pacaran betulan saja?'Ah ... Apakah kepala Ken habis terbentur? Sampai kemudian berkata demikian? Atau bagaimana? Elsa tertegun, menundukkan wajahnya ketika mata mereka masih saling menatap begitu dalam."Sa, soal ucapanku tadi ....""Hanya bercanda, kan?" Potong Elsa dengan jantung berdegup kencang.Ken s
Ken melepaskan pagutan bibir mereka, posisi mereka sudah cukup mengkhawatirkan. Ia nampak menindih tubuh mungil itu dibawah tubuhnya, dan Ken berani bertaruh bahwa Elsa menyadari sesuatu dari dirinya yang menyembul di balik celana scrubnya itu.Wajah Elsa nampak memerah, begitu menggemaskan luar biasa dengan bibir sedikit bengkak. Kalau saya tadi bapak Elsa tidak menintipkan dan berpesan pada Ken untuk menjaga gadis ini, rasanya Ken ingin melucuti pakaian Elsa dan langsung menhujamkan miliknya kedalam inti tubuh gadis yang dulu sangat menyebalkan ini.“Entah sejak kapan, aku sendiri juga tidak tahu, Sa. Yang jelas rasa itu tumbuh dan berkembang untukmu, aku jatuh cinta padamu,” desis Ken sambil kembali meraup bibir itu.Rasanya sungguh benar-benar manis dan memabukkan, membuat Ken makin gila. Hasrat itu sudah meronta-ronta, Ken segera melepaskan pagutan bibirnya, mencoba menghentikan gelayar dan gelora itu perlahan-lahan.“Jika kamu bers
"Stase apa setelah ini? Yang paling perlu di waspadai itu stase bedah, residen nya buaya semua itu. Mau yang lajang, beristri, semuanya sama, buaya darat!""Ingat, awas aja kalau ada residen rese yang berani godain kamu ntar. Nggak boleh genit sama residen mu, jangan dikira kita beda poli lantas aku lengah, ya?"Elsa mengerucutkan bibirnya, perhari ini dia sudah lulus dari stase obsgyn. Siap pindah ke stase lain meneruskan perjuangannya kepaniteraan klinik guna meraih cita-citanya. Namun bukannya memberi selamat, sang kekasih hati malah menceramahi Elsa panjang kali lebar, tampak Ken sangat tidak suka jika Elsa harus lulus dari stase obsgyn."Nggak percayaan banget sih jadi orang?" Elsa mencebik, memangnya dia apaan main Genit-genit sama laki-laki lain?"Bukan begitu, kenapa sih kamu nggak paham-paham?" suara Ken meninggi, untung mereka sedang ada di apartemen Ken, jadi bebas lah kalau Ken mau teriak-teriak sekalipun."Paham apa l
“Sudah ada bukaan?” tanya dokter Tjandra pada Ken yang tampak melepas handscoonnya.“Sudah, baru tiga, Dok.”Tampak dokter Tjandra menggangguk pelan, “Berarti masih aman ya? Saya tinggal dulu.”Ken sontak mengumpat dalam hati. Kebiasaan para konsulen pasti seperti ini. Itu artinya Ken harus stand by terus sampai kemudian pasien bukaan lengkap, sementara sosok itu entah hendak kemana. Sungguh masa residensi di Indonesia ini sebagian besar memang tidak begitu sehat.Ken hanya bisa menghela nafas pasrah, menjatuhkan diri di sebuah kursi lantas merogoh iPhone miliknya di dalam saku. Siapa lagi kalau bukan Elsa yang hendak dia hubungi? Sebenarnya Ken ini ke rumah kekasihnya itu, meminta maaf perihal apa yang sudah terjadi tadi. Dia tahu Elsa marah dan kecewa kepadanya, hal itu lah yang kemudian membuat Ken sama sekali tidak tenang dan ingin pergi ke rumah Elsa guna meminta maaf.“Nomor yang Anda hubungi sedang s
“El, bangun! Ada panggilan dari rumah sakit, kenapa ponselmu kamu matikan?”Elsa lamat-lamat mendengar suara itu, sejenak ia mencerna apa yang dia dengar. Apakah dia mimpi? Tapi ketukan bertubi-tubi di pintu kamarnya membuat Elsa akhirnya membuka matanya dan mencoba menyadari bahwa semua ini bukanlah mimpi dan halusinasi.“El, cepetan bangun, takutnya pasien kamu makin parah!”TUNGGU!Panggilan rumah sakit apaan? Ia sudah selesai koas di stase obsgyn dan besok baru masuk stase baru, dan ini dia ada panggilan? Panggilan apa? Elsa sontak bangun, membuka pintu kamar dan mendapati sang mama sudah berdiri di depan pintu kamarnya.“Panggilan rumah sakit apaan sih? Dari mana Mama tahu?” tanya Elsa sambil menguap, mumpung bisa tidur malam, kan? Besok rasa-rasanya dia sudah harus kembali sibuk lagi di rumah sakit.“Tuh dokter Ken di depan. Cepetan, nanti pasienmu kenapa-kenapa bisa gawat, El.” Tampak wa
“Ken, Papa mau bicara!”Ken baru saja masuk rumah, hendak naik ke lantai atas ketika tiba-tiba papanya muncul dan bersuara dengan begitu tegas dan serius. Ken menghela nafas panjang, ia sudah tahu keman arah pembicaraan papanya ini. Pasti perihal kedekatan Ken dengan Elsa, bukan?“Soal apa, Pa?” Ken yang hendak melangkah itu sontak berhenti, menatap sang papa dengan begitu serius.“Ikut Papa keruangan Papa, Ken, ada banyak hal yang ingin Papa bicarakan.” Sosok Darmawan Wijaya itu melangkah dengan begitu tenang dan angkuh, membuat Ken sontak menghela nafas panjang dan terpaksa mengikuti langkah sang papa menuju ruang kerjanya.Aura dingin langsung menyergap Ken begitu ia masuk ke ruangan sang papa. Sorot mata itu begitu tajam, membuat Ken merasa tertusuk seketika begitu netranya membalas tatapan itu. Ia bergegas duduk di kursi yang ada di depan meja sang papa, menantikan dengan cemas hal apa yang hendak papanya itu bicar
Elsa selesai membalut luka Ken, dia sekarang duduk di sofa ruang depan, dengan Elsa yang masih nampak membereskan peralatan dressing-nya."Kau belum menjawab pertanyaan aku, Sayang!" tegur Ken ketika Elsa lebih fokus pada luka di jemari Ken daripada pertanyaan sakral yang Ken ajukan.Elsa mengangkat wajahnya, menatap manik mata yang masih memerah itu. Senyum Elsa tersungging begitu manis, "Jadi dokter umum mana yang hendak kau sodorkan untuk aku nikahi?""Aku!" jawab Ken tegas dan mantab.Elsa sontak membulatkan matanya, ia menatap Ken yang tersenyum getir itu dengan seksama. Apa tadi Ken bilang?"K-kau?" Elsa tidak mengerti, bagaimana bisa? Ken seorang dokter residen, itu artinya dia calon dokter spesialis. Kenapa kemudian dia mengatakan bahwa dokter umum yang tadi Ken maksud adalah dirinya sendiri?Ken meraih tangan Elsa, meremasnya dengan begitu lembut. Membuat jantung Elsa berdebar seketika, lambat laut Elsa
"JANGAN!" Elsa berteriak sekencang-kencangnya, namun itu sama sekali tidak membuat Ken mengurungkan niatnya. Tangannya mencengkeram kuat sprei, Elsa berusaha merapatkan kakinya, namun tangan Ken membuka paksa kembali paha itu."KO... JA-JANGAN.... AHH... SAAKIITT!" teriakan itu terdengar begitu keras, bersamaan dengan milik Ken yang sudah terbenam sempurna dalam inti tubuh Elsa.Ken memejamkan matanya erat-erat, sesuatu dalam diri Elsa sudah berhasil ia tembus dengan sekali hentakan kuat, membuat Elsa makin seperti orang kesetanan menggeliat menahan pedih. Tangisnya pecah, wajahnya memerah dengan keringat sebesar bulir jagung yang membasahi wajahnya. Dan Ken sudah tidak memperdulikan apapun lagi, dia mulai memacu tubuh itu dengan begitu beringas, tidak peduli Elsa memekik, merintih kesakitan, Ken tidak peduli.Yang Ken pedulikan hanya satu, mensukseskan rencananya untuk membuat Elsa tetap berada di sisinya. Jika sudah Ken rusak seperti ini, Els
Ken menatap nanar pemandangan yang ada di depannya itu. Ini hari terakhir dia berada di ruangan ini. Setelah deretan pemeriksaan psikologis yang harus dia lalui, akhirnya ia lulus juga keluar dari klinik ini.Gilbert menepati janjinya. Membantu Ken sembuh sebagai permohonan maaf atas apa yang dulu dia dan Jessica lakukan. Sebuah tindakan yang lantas membuat Ken harus bertubi-tubi mengalami hal-hal tidak mengenakkan yang membuat Ken hampir kehilangan kewarasannya.Ken menghela nafas panjang, bunyi ponsel beruntun itu membuat dia sontak menoleh dan meraih benda itu. Senyum Ken merekah begitu tahu siapa yang mengirimkan dia pesan.Mama BellaItu nama yang Ken berikan untuk nomor itu. Nomor yang tak lain dan tak bukan adalah nomor milik Elsa.Tidak salah kan, Ken memberinya nama itu? Elsa memang ibu dari anaknya, anak yang harus lahir karena kegilaan Ken di masa lalu.Ken segera membuka kunci layar ponselnya, senyumnya ma
Elsa yang tengah menulis status pasien itu melonjak kaget mendengar dering ponselnya. Elsa menatap pasiennya, yang mana langsung dibalas anggukan kepala sang pasien yang paham bahwa dokter yang tengah mengunjunginya ini harus menerima telepon.Elsa tersenyum, segera merogoh ponselnya dan sedikit bingung dengan nomor asing yang menghubunginya ini. Nomor siapa? Mantan pasien? Salah seorang anak koas? Atau siapa?"Mohon maaf saya izin sebentar, Ibu."Kembali pasien itu mengangguk, "Silahkan, Dokter."Elsa sontak melangkah keluar, tidak sopan dan tidak nyaman rasanya mengangkat panggilan di ruangan itu. Ada dua orang pasien yang harus beristirahat di sana, tentu obrolannya akan menganggu, bukan?"Halo?" sapa Elsa begitu ia sudah berada di luar kamar inap pasien."Sa, maaf kalau aku menganggu mu. Hanya memastikan bahwa nomor kamu aktif, sudah aku simpan."Suara itu... ini suara Ken! Jadi ini nomor Ken? Elsa mendadak
"Kamu serius, Ken?" Darmawan duduk di depan Ken, menatap putranya itu dengan penuh air mata.Ken tersenyum, menghela nafas panjang lantas mengangguk guna menekankan bahwa apa yang tadi mereka bicarakan adalah serius, Ken tidak main-main."Ken sangat serius, Pa. Dia pantas dan layak dapat yang lebih baik. Dia berhak bahagia, Pa."Darmawan tersenyum getir, "Lantas bagaimana denganmu, Ken?""Papa jangan khawatirkan Ken, Pa. Ken baik-baik saja. Tolong kali ini hargai keputusan Ken, Pa. Biarkan Ken memilih sendiri jalan hidup yang hendak Ken ambil."Darmawan menepuk pundak Ken, tentu! Darmawan tidak ingin Ken kembali terperosok begitu jauh karena ulahnya. Dapat dia lihat bahwa Ken begitu menderita selama ini dan semua ini gara-gara Darmawan yang tidak mau mendengarkan apa yang putranya ini inginkan.Ken tidak hanya kehilangan gadis yang dia cintai, tetapi juga anak mereka. Sejenak Darmawan bersyukur jiwa Ken masih bisa diselamat
Tania tersenyum, sekali lagi –entah sudah yang keberapa kali, ia menyeka air matanya dengan jemari. Sosok itu masih menggenggam erat tangannya, dan dia juga tidak berniat menyingkirkan atau melepaskan tangan itu. Ia ingin menikmati momen ini, yang mana mungkin akan menjadi momen terakhir mereka begitu dekat macam ini.“Aku benar-benar minta maaf, Tan. Maaf aku hanya hadir untuk menyakitmu. Aku lakukan ini agar aku tidak lagi menyakitimu.” Desis Ken lirih, mungkin ini kejam, tapi Ken takut dengan tetap bersatunya mereka malah hanya akan menyakiti Tania makin dalam.“It`s okay, Ken. Aku mengerti.” Tania menghirup udara banyak-banyak, sungguh dadanya sangat sesak sekali.“Biar nanti aku yang ketemu papa, biar aku yang bilang semua sama papa. Aku siap dengan segala resikonya, Tan.”“Untuk itu, tunda lah dulu, Ken. Fokus pada kondisimu, setelah semuanya beres, baru kita bicarakan perihal ini kedepan mau bagaimana
Sungguh, setelah kedatangan dua orang tadi, hati Ken menjadi lebih tenang. Pikirannya lebih jernih. Seolah-olah semua beban yang dia pikul selama ini melebur sudah. Dan jangan lupakan obat-obatan yang diresepkan Gilbert untuknya, konseling yang selalu Gilbert lakukan untuk perlahan-lahan menyembuhkan dirinya, semua bekerja sangat baik. Ternyata benar, ikhlas adalah kunci dari semua masalah Ken. Ken hendak memejamkan matanya ketika pintu kamarnya terbuka. Ia mengerutkan kening seraya melirik jam dinding yang tergantung di tembok. Pukul delapan malam, siapa lagi yang hendak mengunjungi dirinya? Sosok itu muncul dari balik pintu, tersenyum dengan wajah yang nampak lelah. Dia lantas melangkah mendekati ranjang Ken, duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Ken dan meletakkan bungkusan yang dia bawa di nakas meja. “Maaf, aku baru bisa mengunjungimu.” Gumamnya lirih. “Nothing, Tan. Aku tahu kamu sibuk, aku tidak mempermasalahkannya.” Tania
“Kalian bicara apa, tadi?” tanya Elsa ketika dia sudah berada di dalam mobil bersama sang suami.Yosua tersenyum, membawa mobil itu bergegas pergi dari halaman klinik milik psikiater itu. Tampak isterinya itu begitu penasaran, membuat Yosua sengaja tidak menjawab apa yang sang isteri tanyakan kepadanya.“Kamu ingin tahu saja atau ingin tahu banget?” goda Yosua yang langsung mendapat gebukan gemas dari sang isteri.“Serius, Bang! Kalian nggak baku hantam lagi, kan?”Hanya itu yang Elsa khawatirkan. Mereka macam kucing dan tikus, setiap bertemu pasti baku hantam. Terlebih dengan kondisi Ken yang seperti itu, dia sangat tidak stabil emosinya, membuat Elsa khawatir laki-laki itu kembali nekat dan perkelahian itu kembali terjadi.“Apakah aku nampak seperti orang yang habis terlibat baku hantam?”Elsa kembali menatap wajah itu, memang tidak nampak, tapi tidak ada salahnya kan kalau Elsa menanyakan ha
"Aku harap kamu cepat pulih, cepat pulang. Pasien kamu pasti udah kangen."Ken mengangkat wajahnya, menatap Elsa yang tersenyum begitu manis di hadapannya. Senyumnya ikut tersungging, ia lantas mengembalikan ponsel itu pada sang pemilik."Boleh tinggalkan nomor ponselmu di kertas? Ponselku hancur kemarin."Elsa mengangguk perlahan. Tentu, sesuai kesepakatan panjang lebar yang sudah mereka bicarakan tadi, tentu kedepannya dia dan Ken perlu banyak berkomunikasi guna membahas perihal Bella."Mana kertas? Akan aku tulis."Ken bangkit melangkah ke nakas yang ada di sebelah ranjangnya. Meraih selembar kertas dan pulpen yang langsung dia serahkan pada Elsa. Tampak Elsa langsung menuliskan dua belas digit nomor ponselnya di kertas itu, lalu menyerahkannya kembali pada Ken."Aku pamit, sudah terlalu lama aku di sini dan aku rasa kamu perlu istirahat, bukan?" Elsa meletakkan plastik yang dia bawa di meja, bangkit dan bersiap melangka
Ken menatap nanar sosok itu, sedetik kemudian ia menghambur memeluknya, mendekap erat tubuh yang selama dua tahun ini begitu dia rindukan.Tubuh ini masih begitu hangat, yang mana artinya ini asli, bukan fatamorgana atau ilusi semata. Ini benar sosok yang begitu Ken rindukan! Ini Elsa-nya.Ken terisak, membuat Elsa menepuk punggung laki-laki itu dan membawanya menuju sofa yang ada di sana. Mendudukkan laki-laki itu dan melepaskan pelukan itu."Sa, aku benar-benar minta maaf atas kejadian kemarin. Kamu nggak apa-apa, kan?" Tanya Ken dengan cucuran air mata.Elsa tersenyum, ia hanya mengangguk pelan dan menatap lurus ke dalam mata itu. Ada setitik perasaan iba dalam hati Elsa, namun ia sudah bertekad bahwa hubungan mereka memang sudah cukup sampai di sini, ada orang lain yang Elsa prioritaskan dan sekarang orang itu bukan Ken!"Sa... Please aku mohon, ceraikan dia! Menikah sama aku, mau kan?" Ken meraih tangan Elsa, meng
"Temui saja dia, kalian perlu bicara baik-baik empat mata."Elsa yang tengah menyeruput minuman collagen sontak terbatuk-batuk, Yosua hanya melirik sekilas, meraih cangkir kopi dan menyesapnya perlahan-lahan."Abang serius? Tapi untuk apa?" Elsa meletakkan gelasnya, fokus pada suaminya yang sudah rapi dengan setelan scrub warna biru muda."Tentu." Yosua balas menatap sang isteri. "Aku tidak memungkiri di antara kalian ada Bella, meskipun sekarang aku tidak berkenan dia bertemu Bella, tapi bagaimana pun suatu saat nanti Bella harus tahu bahwa ayah kandungnya adalah Ken, bukan aku, Sayang."Elsa tersenyum, bangkit dan duduk di sisi Yosua. Ia melingkarkan tangannya di perut Yosua. Kenapa makin lama dia makin cinta? Bukan salah Elsa, bukan kalau kemudian dia begitu mencintai Yosua?"Mau mengantarku?" Tawar Elsa sambil menatap Yosua."Tentu, tapi aku tidak mau bertemu dengannya. Cukup kamu sendiri ke dalam dan bicara denga