Bara api di dapur, seolah kini pindah di dadaku. Darahku bahkan seperti mendidih melihat tingkah Siska pada Mas Adrian. Namun, aku masih menahan diri. Aku ingin tahu bagaimana respon Mas Adrian. Secara, dia tidak tahu kalau aku sudah pulang.
Mas Adrian tampak menoleh setengah terkejut ke arah Siska. Lalu, lelaki itu menggaruk tengkuknya.
"Emh, maaf, Bu, saya nanti makan bareng istri saya saja," tolak Mas Adrian.
Ternyata Mas Adrian jujur, dia benar-benar panggil Siska Bu.
"Aduh, Mas, panggil Siska aja!" pinta Siska dengan suara manja. "Kita juga kayaknya seumuran," ucapnya.
Mas Adrian terlihat tersenyum kaku. Lucu sekali suamiku itu.
"Iya, kan, Mas?" ucap Siska lagi.
"Mungkin," jawab Mas Adrian.
"Mbak Nana pulangnya masih lama, kan?" tanya Siska lagi.
"Enggak, kok, paling sebentar lagi pulang," jawab Mas Adrian.
"Ah, masa, sih? Biasanya sampai rumah sore, kan? Mending Mas makan dulu aja! Siapa tahu Mbak Nana sampai sore."
"Maaf, ya, Bu, saya makan nanti aja!" tolak Mas Adrian.
Tampak suamiku itu hendak meninggalkan Siska. Bergegas aku menghampirinya, berpura-pura baru tiba.
"Mas!" panggilku sembari mendekat padanya. Kini aku berdiri di samping Mas Adrian menatap Siska penuh kemenangan.
"Kamu udah pulang, Mbem?" tanya Mas Adrian sembari menghentikan langkahnya.
"Baru aja," dustaku.
Sementara Siska terlihat kesal melihatku.
Langsung saja aku menyapanya pura-pura ramah, "Mbak Siska makasih, ya, udah ikut bantu-bantu."
"Iya, Mbak. Kebetulan pas enggak ada acara," jawabnya.
"Ya udah, Mbak, aku masuk dulu, ya!" pamitku.
Tetangga penggoda itu mengangguk dengan mimik wajah masih tak ramah. Terkesan memusuhiku, atau membenciku. Kurang lebih begitu.
"Ya udah, yuk, Mbem!" ajak Mas Adrian.
Aku mengangguk. "Yuk!"
Mas Adrian berjalan mendahuluiku. Kemudian aku mengekor melewati Siska. Sengaja lengan kiriku menabrak mangkuk soto di tangan Siska. Sampai tumpah ke bajunya.
"Aduh!" pekiknya.
Aku pura-pura terkejut juga. "Aduh, Mbak, maaf!" seruku.
Sementara hatiku berkata, "Maaf, aku sengaja!" Sambil tertawa membahana di dalam dada.
"Iya, enggak apa-apa!" ucapnya kesal.
"Ya udah, aku ke kamar dulu, ya!" pamitku lagi.
Sementara ia tampak kesal mengibas-ngibas bajunya yang terkena tumpahan soto. Walaupun mangkuknya tak sampai jatuh, tetapi kuahnya tumpah juga.
Saat aku sudah di ruang keluarga, terdengar Siska memanggilku.
"Mbak Nana!" panggilnya.
Aku menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya.
"Aku pinjam bajunya, ya!" pintanya sambil berjalan mendekatiku.
Aduh, alasan apa, ya?
Aku tak mau wanita ini sampai meminjam bajuku. Karena aku pernah dengar, kalau meminjamkan baju pada orang lain itu pamali. Katanya bisa jadi suamiku bakal dipinjam juga.
Ih, amit-amit!
"Mbak!" panggil Siska sambil mengibaskan tangan di depanku. "Kok, malah bengong?"
"Ehm, itu, Mbak. Bajuku belum sempat aku bongkar," dustaku. "Baru ambil beberapa aja, itu juga udah pada kotor belum kucuci."
"Kotor juga enggak apa-apa, kok, Mbak!" paksanya.
"Aduh, jangan, lah! Mending Mbak pulang dulu aja, enggak apa-apa. Bukannya enggak mau kasih pinjam, tapi emang belum aku bongkar," kilahku.
"Hm, ya udah, deh!" ketusnya. Kemudian menghentakkan kaki meninggalkanku.
Huh! Enak aja mau pinjam-pinjam baju!
"Kenapa? Kok lama?" tanya Mas Adrian saat aku memasuki kamar.
"Itu, si keong racun mau pinjam bajuku."
"Jiah! Keong racun!" seru Mas Adrian sembari terbahak.
"Hus! Jangan keras-keras! Banyak orang di luar!" tegurku.
Mas Adrian masih tak bisa menahan tawanya.
"Terus mau kamu pinjami?" tanyanya setelah berhenti tertawa.
"Enggak, lah! Enak aja!"
"Benar-benar, deh, istriku ini. Galaknya tak tertandingi!" kelakarnya.
"Biarin! Salah sendiri berani goda suamiku. Belum tahu dia siapa aku!"
Mas Adrian kembali terbahak. "Salut, lah, sama si Embem ini. Makin cinta deh aku!"
"Kenapa tadi enggak mau makan soto dari dia?" tanyaku.
Mas Adrian tampak terkejut. "Kamu lihat?"
"Iya, lah. Makanya aku tumpahin itu sotonya."
Mas Adrian lagi-lagi terbahak-bahak. "Aduh, Mbem, kamu ada-ada aja, ya!"
"Siapa suruh rayu-rayu suami orang! Untung aja enggak aku siramin itu soto ke wajahnya. Cantik, sih, cantik, tapi kalau kelakuan minus, bikin jijik!"
"Aduh, duh duh duh! Istriku ini emang, ya! Keren kamu, Mbem!" Mas Adrian masih belum bisa berhenti tertawa.
Setelah berganti baju, aku mengajak Mas Ardian untuk makan. Tadi di kantor aku belum makan siang, karena ingin pekerjaanku cepat selesai.
"Aku juga emang belum makan siang, loh, Mbem. Sengaja nungguin kamu," ucap Mas Ardian saat kami berjalan ke dapur.
"Kalau aku sampai sore?"
"Ya, kalau enggak tahan makan, lah. Daripada aku pingsan."
Tiba di dapur aku menyapa Bu Pur, Bu Mirna, dan Mbak Rani. Mereka tampak sibuk meracik isian soto di mangkuk.
Mereka menghentikan aktivitasnya sebentar saat kami mengobrol. Kemudian aku ajak makan sama-sama.
Ternyata mereka semua sudah makan siang. Bu Pur yang mengkoordinir. Aku jadi tenang. Bu Pur benar-benar bisa dipercaya.
Saat aku makan bersama Mas Adrian, Mbak Rani membacakan status WA Siska.
"Tetangga baru pelitnya minta ampun! Dibantuin dari pagi, cuma mau pinjam baju aja enggak dikasih!"
Kontan kami semua berpandangan. Kemudian aku jelaskan pada mereka kalau bajuku belum dibkngkar. Ya, aku tak sepenuhnya berdusta. Karena memang aku baru bongkar baju yang akan kupakai saja.
"Enggak usah dilayanin, Mbak!" pesan Mbak Rani. "Dia emang gitu orangnya. Mbak Nana pasti kaget, ya?"
"Hehehe, iya, sih, Mbak."
Melihat Bu Mirna, aku jadi teringat Pak Abas. Apa dia tahu kalau suaminya main curang dengan Siska?
Ah, sepertinya tidak. Wanita inj terlihat sangat bersahaja dengan wibawanya.
Menjelang Mahrib, kedua orang tua Mas Adrian datang. Sedang orang tuaku tak bisa datang karena tinggal di luar kota. Aku memang tak memaksa mereka datang karena usianya sudah cukup senja. Kasihan capai di perjalanan.
Semua persiapan untuk acara sudah beres. Setelah solat maghrib, aku, Mas Adrian, Bapak, Ibu, Bu Pur, Pak Pur, Bu Mirna, dan Pak Abas, duduk bersama di ruang keluarga. Kami berbincang-bincang ringan.
Tak berselang lama Siska datang menuntun anaknya yang berusia sekitar dua tahunan kira-kira. Wanita itu menyalami kami semua. Aku mengamati bagaimana saat dia bertemu Pak Abas yang sedang bersama Bu Mirna. Rupanya penggoda itu cukup pintar bersandiwara. Kedua manusia pengkhianat itu bisa bersikap sewajarnya.
Kami masih mengobrol panjang lebar. Anak Siska berjalan ke sana kemari memainkan bola plastik kecil yang dibawanya dari rumah. Bola itu dilemparnya kemudian diambil kembali. Tak sengaja bola itu dilempar ke pangkuan ibu mertuaku.
Kontan begitu anak itu mendekat, ibu mertua langsung meraihnya. Apalagi anak Siska memang cukup menggemaskan. Putih mirip ibunya.
"Siapa namanya?" tanya ibu mertuaku.
"Diva, Bu," jawab Siska dengan logat kemayu.
Begitu tahu namanya, ibu mertua langsung mengajak ngobrol ala bayi pada anak itu. Ibu terlihat sangat senang.
"Oh, iya. Mbak Nana udah berapa lama, nih, menikah?" tanya Siska. "Udah lama kan, ya, pastinya? Kok belum punya anak juga?"
"Belum dikasih, Mbak," jawabku berusaha santai. Karena jujur, pertanyaan itu salah satu pertanyaan yang sangat mengganggu. Karena urusan rezeki seperti anak itu diluar kendali manusia.
"Kasihan itu ibunya. Udah ingin sekali nimang cucu, loh, Mbak," ucapnya sok tahu.
"Nimang anak kamu dulu, lah, Mbak. Boleh, kan?" gurauku.
"Boleh, aja, sih. Tapi, apa Mbak Nana enggak ingin punya anak kayak aku?"
Aku tak menjawab. Kalimatnya sudah mulai terdengar tidak enak.
"Apa jangan-jangan ... Mbak Nana mandul?" lanjut Siska membuat kami semua menoleh ke arahnya.
Hah! Keterlaluan Siska!
Mas Adrian langsung berdiri. Matanya nyalang menatap Siska. Seakan hendak memakannya hidup-hidup. Hidungnya kembang-kempis, wajahnya pun merah padam. Namun, yang ditatap tampak biasa saja."Benar-benar kamu, ya!" hardik Mas Adrian. "Apa kamu enggak bisa mikir dulu sebelum ngomong, hah?""Yan! Sudah, jangan begitu! Malu banyak orang!" tegur ibu mertua.Dahiku mengernyit menatap ibu mertua. Entah mengapa, aku jadi merasa ibu mertua seperti tidak memihakku."Enggak, Bu! Aku enggak terima ada yang ngata-ngatain Nana seperti itu," bantah Mas Adrian. Kemudian kembali menatap tajam pada Siska. "Aku benar-benar enggak habis pikir, ada manusia seperti kamu, ya!" hardik Mas Adrian. "Apa kamu enggak takut, ucapanmu itu akan berbalik pada keluargamu?""Ya, jelas enggak, lah, Mas," jawab Siska dengan santai. "Kan, udah jelas, aku udah punya anak.""Hah?" Mas Adrian tertawa getir. "Kamu enggak mikir itu bisa berbalik ke anakmu?" cecar Mas Adrian.Siska membuka mulutnya, kemudian mengatup kembali."
Sambungan telepon Bu Mirna dan Pak Abas terputus begitu saja. Aku melihat ada sorot kesedihan di mata Bu Mirna. Apa sebenarnya dia tahu yang dilakukan suaminya?"Dimatiin, Mbak," ucapnya.Aku mengelus lengan Bu Mirna. Tak tahu harus berkata apa. Rasanya tak tega melihat wanita seusia dia terluka."Em, apa Ibu mau cek ke rumah?" tawarku.Kebetulan kalau dari rumahku ke rumah Bu Mirna, melewati rumah Siska. Feelingku Pak Abas di rumah Siska.Bu Mirna menatapku ragu. Mungkinkah dia takut memergoki suaminya bermain gila? Atau ingin menutupi aib suaminya dari orang lain sepertiku?Ah, lelaki, kenapa tak kau pikirkan perasaan istrimu saat bermain gila? Tahukah kamu jika istrimu begitu takut aibmu akan terbongkar?"Ya udah, yuk, Mbak temani aku!" ajak Bu Mirna.Kami pun segera berpamitan kepada Bu Pur dan ibu mertua.Baru saja kami tiba di halaman rumahku, Pak Abas tergopoh-gopoh datang."Loh, Ibu mau kemana?" tanyanya pada Bu Mirna."Mau cari Bapak," jawab Bu Mirna. Kemudian menoleh kepadak
Sambungan telepon Bu Mirna dan Pak Abas terputus begitu saja. Aku melihat ada sorot kesedihan di mata Bu Mirna. Apa sebenarnya dia tahu yang dilakukan suaminya?"Dimatiin, Mbak," ucapnya.Aku mengelus lengan Bu Mirna. Tak tahu harus berkata apa. Rasanya tak tega melihat wanita seusia dia terluka."Em, apa Ibu mau cek ke rumah?" tawarku.Kebetulan kalau dari rumahku ke rumah Bu Mirna, melewati rumah Siska. Feelingku Pak Abas di rumah Siska.Bu Mirna menatapku ragu. Mungkinkah dia takut memergoki suaminya bermain gila? Atau ingin menutupi aib suaminya dari orang lain sepertiku?Ah, lelaki, kenapa tak kau pikirkan perasaan istrimu saat bermain gila? Tahukah kamu jika istrimu begitu takut aibmu akan terbongkar?"Ya udah, yuk, Mbak temani aku!" ajak Bu Mirna.Kami pun segera berpamitan kepada Bu Pur dan ibu mertua.Baru saja kami tiba di halaman rumahku, Pak Abas tergopoh-gopoh datang."Loh, Ibu mau kemana?" tanyanya pada Bu Mirna."Mau cari Bapak," jawab Bu Mirna. Kemudian menoleh kepadak
"Emang sebagus apa akhlak Mbak Nana sampai disandingin sama Aisyah?" ketus Siska.Ya Allah, masih jawab juga!"Walaupun istriku enggak semulia Aisyah, seenggaknya dia enggak pernah ngurusin urusan orang lain. Apalagi sampai nyakitin perasaannya!" ketus Mas Adrian. "Kamu pikir Nana enggak sakit hati kamu ungkit-ungkit masalah dia belun hamil?" geram Mas Adrian."Ya aku, kan, cuma ngomong biasa aja," kilah Siska."Udah, udah, Yan! Enggak baik sama tetangga begitu!" lerai ibu mertua."Mbak Siska, maaf, kami mau keluar sekarang." Aku mengusirnya dengan halus. Karena orang baru di sini, aku tak mau bersikap terlalu frontal. Aku juga belum tahu watak orang-orang di sini seperti apa. Salah langkah, malah bisa-bisa aku yang dimusuhi semua orang."Iya, deh, silahkan! Yang bawa-bawa anakku ke sini juga bukan aku!" ketus Siska kemudian pergi dengan wajah kesal sembari menggendong anaknya.Aku menghela napas panjang setelah mendengar suara pintu depan ditutup. Kemudian duduk di sofa."Bu, besok-b
Kuminta sopir taksi online yang kupesan untuk mengebut. Aku tak mau sampai terlambat tiba di rumah. Bisa panjang urusannya kalau sampai Mas Adrian tidak kuat iman.Mas Adrian lelaki normal, tentu tak mudah menghindari penggoda nekat macam Siska. Beli sayur saja berani memakai baju tidur seksi, apalagi ini di rumahnya sendiri.Aduh, aku enggak bisa bayangin!"Pak, bisa lebih cepat lagi enggak?" tanyaku pada sopir taksiku."Jalanan padat, Mbak. Aku enggak berani terlalu ngebut," jawabnya.Memang hari minggu begini jalanan padat merayap. Orang-orang pasti banyak yang jalan menghabiskan waktu bersama keluarganya."Aduh, tapi aku buru-buru banget, Pak!""Iya, Mbak. Sabar dulu, ya!"Aduh, harusnya aku pakai ojek saja. Kenapa malah pesannya taksi? Aduh!"Pak, maaf, nih," ucapku tak enak."Iya, Mbak, gimana?" tanya sopir tersebut."Kalau aku pesan ojek aja, gimana? Bapak tetap antar belanjaanku sampai titik, kok," ucapku dengan perasaan tidak enak. "Soalnya aku buru-buru.""Oh, iya, enggak ap
Mas Adrian terperangah melihatku dan Mas Guntur. Ia sampai mematung cukup lama."Ya ampun, Mas! Kamu!" seruku.Mas Adrian malah tersenyum lebar ke arahku. Sembari melambaikan tangannya yang memegang pipa dan pemotongnya."Kamu mau bantuin aku, Mbem?" tanyanya masih sambil tersenyum lebar."Ish!"Tiba-tiba kami dikejutkan oleh pekikan Siska. "Loh, kalian ngapain di sini?"Kontan aku langsung menoleh ke asal suara. Istri Mas Guntur tersebut berdiri di belakangku dan Mas Guntur. Ia membawa segelas besar teh panas dengan asap masih mengepul.Namun, yang membuat kedua bola mataku hendak keluar dari tempatnya, ia mengenakan kaos lengan pendek cukup tipis dalam kondisi basah kuyup. Sehingga memperlihatkan apa yang tak seharusnya ia tunjukkan pada orang lain. Apalagi sepertinya ia tidak mengenakan pakaian dalam. Jadi terlihat jelas bagian yang seharusnya ditutupinya.Celananya pun tak kalah luar biasa. Ia mengenakan hot pants sangat pendek dan basah juga. Sehingga paha basahnya terekspos mema
Aku menatap rendang yang seharusnya menggugah selera itu dengan perasaan ngeri. Aku benar-benar jadi parno sendiri.Apalagi selain perkataan Lisa, aku juga pernah menonton acara talk show yang membahas seorang artis yang berhasil merebut suami orang. Konon, ia menggunakan bantuan paranormal untuk memikat lelaki idamannya itu.Ih, mengerikan!"Kenapa, Mbem?" tanya Mas Adrian.Aku terkejut karena sejak tadi pikiranku melayang-layang membayangkan yang bukan-bukan."Oh, enggak apa-apa, Mas," jawabku."Kamu mau makan sekarang, Yan?" tanya ibu mertua pada Mas Adrian setelah selesai menyiapkan makanan dari Siska tersebut.Jantungku jadi berdegup tak karuan mendengar pertanyaan ibu mertua. Aku takut Mas Adrian mau makan makanan dari Siska itu. Pikiran buruk semakin penuh di kepalaku. Aku benar-benar takut.Lelaki yang ditanya ibunya itu malah menoleh kepadaku dengan tatapan meminta pendapat. Mungkin Mas Adrian ingat kue yang sampai aku hancurkan gara-gara takut diguna-guna Siska."Yan!" pangg
"Mbak, maaf, aku enggak tahu-menahu sama masalahmu!" ucapku tegas. "Kalau kamu punya masalah dengan suamimu, selesaikan baik-baik! Enggak mungkin Mas Guntur sampai pergi kalau kamu enggak keterlaluan!""Sok tahu sekali kamu Na!" seru Siska tampak tak terima. Ia bahkan langsung memanggilku dengan nama. "Kami bertengkar gara-gara mulutmu yang ember!""Oh, ya? Emang Mas Guntur bilang apa?" tantangku.Siska tampak gelagapan beberapa saat kemudian ia kembali berkata, "Kalau kamu enggak bilang apa-apa sama dia, kenapa kalian datang sama-sama?""Kamu tahu enggak kalau di luar jam kerja suamimu jadi ojol?" tanyaku.Siska tampak tercengang. Entah ia tidak tahu atau dia malu suaminya diketahui orang lain kalau melakukan pekerjaan sambilan."Aku pesan ojol dan yang terima orderanku suamimu," lanjutku.Siska seperti kaget. Ia bahkan sampai terdiam beberapa saat."Terus dia bilang apa?" tanya Siska lagi. Kini nada bicaranya melemah. Tak ketus seperti tadi."Dia bilang kamu pelakor dalam rumah tang
"Mas! Tunggu! Mas!" teriak Siska sembari mengenakan pakaiannya. Wanita itu seolah sudah tak peduli berapa banyak pasang mata yang menyaksikan tubuh polosnya. Setelah mengenakan seluruh pakaiannya, Siska berlari hendak mengejar Mas Guntur. Namun, Bu Mirna menghalanginya. "Mau ke mana kamu?" Bu Mirna mencekal lengan Siska. "Lepas! Bukan urusanmu!" ketus Siska. Plak! Siska mengelus pipinya yang terasa pedih dan panas oleh tamparan Bu Mirna. Kontan mata Siska melotot pada Bu Mirna. Aku benar-benar baru tahu kalau pelakor lebih galak dari istri sah. Bahkan Siska sama sekali tak merasa takut atau bersalah pada Bu Mirna. “Apa? Mau apa kamu?” tantang Bu Mirna. Sementara Siska melotot pada istri selingkuhannya sembari memegangi pipinya.“Bawa mereka berdua!” titah Bu Mirna pada warga yang berbondong-bondong di kamar hotel Pak Abas dan Siska. “Jangan gila kamu, Bu!” seru Pak Abas sembari memegangi selimutnya agar tidak lolos dari tubuh polosnya. “Lepas!” teriak Pak Abas lagi. Tanganny
Mas Adrian membuka kunci pintu pagar. Bu Mirna langsung mendekat saat pintu telah terbuka."Mbak Nana!" panggilnya."Iya, Bu. Maaf, ini ada apa, ya?" tanyaku sembari memandangi beberapa tetangga yang sudah berkumpul di depan rumahku."Mbak, saya mau minta tolong." Kali ini Mas Guntur yang bicara."Iya, Mas, mau minta tolong apa?" tanyaku sembari menoleh pada Mas Adrian. Aku takut kalau apa yang kulakukan pada Siska berbalik ke arahku."Boleh kami masuk, Mbak? Biar enggak di pinggir jalan gini," pinta Mas Guntur."Oh, iya, iya. Silakan masuk!" perintah Mas Adrian.Para tetangga berbondong-bondong masuk sampai memenuhi halaman rumahku yang tak begitu luas. Mas Guntur, Bu Mirna, Pak RT, Bu RT, Pak RW dan Bu RW berdiri di teras rumahku."Ada apa ini, Mas Guntur?" tanya Mas Adrian."Maaf sekali, Mas, sebelumnya. Mas Adrian pasti kaget, ya?" tanya Mas Guntur.Aku dan Mas Adrian kompak mengangguk. "Iya, ada apa?" tanya Mas Adrian lagi."Jadi, tadi aku dan Bu Mirna ngobrol-ngobrol. Intinya te
"Mas, kita jahat banget apa enggak, sih?" tanyaku pada Mas Adrian saat kita sudah bersiap tidur."Ke Siska?" tanya lelaki berkaos putih itu.Aku mengangguk. "Kayaknya tadi dompetnya terkuras, deh. Dia sampai rela nebeng kita padahal sempit gitu.""Udahlah, biarin aja." Mas Adrian langsung memelukku dan memejamkan mata.Sementara Mas Adrian tidur, mataku tak juga bisa terpejam. Akhirnya aku mengambil ponsel Mas Adrian, ingin melihat hasil kerjanya tadi pada Siska.Rupanya Mas Adrian berhasil menyadap WA Siska. Segera kulihat percakapan wanita itu di WA.Terlihat baru saja dia mengirim pesan untuk Pak Abas. Dia mengadu tentang kejadian traktiran tadi. Namun, dia tak mengatakan yang sebenarnya. Siska bilang, aku yang memintanya mentraktir sebagai balas budi Mas Adrian telah membantunya mendapatkan pekerjaan. Karena hal itu, sekarang uang gajinya ludes. Sehingga dia meminta uang pada Pak Abas. Aku salut, sih. Dia pintar sekali merayu untuk meminta uang seperti itu. Namun, balasan Pak Ab
Gara-gara membaca pesan Siska yang berusaha mengadu domba aku dengan Mas Adrian, aku jadi penasaran ingin melihat status WA-nya. Apakah dia menyindirku, atau seperti apa?Kuatur WA Mas Adrian agar tak muncul namanya saat melihat status orang lain. Setelahnya baru kucari status Siska.Status pertama di-posting kemarin sore.[Dasar enggak punya attitude! Bermesraan di depan umum! Wanita rendahan, ya, begitu! Dicium di mobil, kok, mau!]Dahiku mengernyit membaca status itu.Kira-kira dia ngatain siapa, ya? Ternyata dia enggak cuma penggoda, tetapi suka julid juga.Ck! Dasar!"Apaan, Mbem?" tanya Mas Adrian."Ini, Siska bikin status kemarin. Ngata-ngatain orang ciuman di mobil.""Oh, ya? Jangan-jangan kemarin dia lihat kita?" tebak Mas Adrian."Kita?" tanyaku bingung."Iya, pas di garasi, loh, Mbem!" Mas Adrian mengingatkan."Masa, sih? Emang bisa kelihatan dari luar?""Mungkin aja. Garasi kita kan lebih tinggi dari halaman, jadi orang bisa lihat dari balik pagar.""Tapi, kan, pasti engga
"Mas, kita udah melangkah, Siska udah masuk ke perangkap. Kalau kita mundur, Siska enggak mungkin mau keluar dari perangkap kita. Yang ada dia akan semakin menjadi-jadi," ucapku sembari meyakinkan diri sendiri."Jadi, kita lanjutin, Mbem?""Harus!" jawabku mantap. "Masalah salah paham ini, nanti bisa diluruskan saat rencana kita berhasil.""Ya udah, Mbem. Bismillah." Mas Adrian tersenyum hangat."Makasih, ya, Mas!""Makasih, doang? Ogah, ah!""Ish! Ngelunjak!" ketusku."Oh, awas kamu, Mbem!"Mas Adrian menarikku dan menghujaniku dengan ciuman. Aku menjerit-jerit sembari tertawa menahan geli.Malam hari saat kami bersantai sembari menonton televisi, terdengar suara bel berdentang."Siapa, ya, Mas?" tanyaku. Karena tak biasanya kami kedatangan tamu. "Jangan-jangan Siska lagi!""Coba aku lihat."Mas Adrian beranjak dari sofa kemudian berjalan menuju pintu pagar. Aku mengikutinya dari belakang.Dari teras aku bisa melihat siapa yang bertamu. Bukan Siska, tetapi seorang laki-laki. Karena c
Mas Adrian menyetujui rencanaku untuk memberi pelajaran pada Siska. Semoga dengan apa yang nanti aku lakukan, bisa membuat perempuan itu jera."Kamu harus janji, loh, Mbem, enggak boleh cemburu! Kalau kamu ribut sendiri, aku enggak mau," ucap Mas Adrian."Iya, yang penting kamu turuti aku."Kemudian kubalas pesan dari Siska, seolah-olah Mas Adrian yang membalasnya.[Iya, Bu.]Tak berselang lama Siska membalas.[Jadi Mas terima tawaran makan dariku? Tapi, Mas jangan panggil aku bu terus, dong!][Iya.] balasku.[Wah, senang banget aku, Mas. Makasih, ya. Mas benar-benar baik. Mas adalah laki-laki terbaik yang pernah aku temui.]Aku menatap balasan dari Siska tanpa bisa berkata-kata.Ya Allah, gini banget ini perempuan!"Kenapa, Mbem?" tanya Mas Adrian.Mungkin dia bingung melihat ekspresiku setelah membaca pesan dari Siska. Segera saja kutunjukkan pesan itu padanya.Di luar dugaan, Mas Adrian malah terbahak-bahak."Apanya yang lucu?" tanyaku sembari menatapnya aneh."Hahahaha. Ada, ya, M
Dadaku semakin panas saat mendengar suara perempuan menyahut ucapan Mas Adrian di ruang kerja Mas Adrian. Meski aku tak bisa mendengar obrolan mereka dengan jelas, tetapi aku bisa memastikan kalau itu suara perempuan.Aku tak langsung membuka pintu di depanku itu. Namun, kuputuskan untuk menelepon Mas Adrian terlebih dahulu. Aku ingin tahu apakah ia akan jujur atau berbohong.Melihat apa yang terjadi di sekitarku, aku tidak ingin percaya seratus persen pada siapapun. Termasuk suamiku sendiri. Karena bagaimanapun, dia tetap orang lain yang isi hatinya seperti apa, aku tidak benar-benar tahu keseluruhannya.Kucari nomor Mas Adrian dan langsung menghubunginya. Telepon berdering, tetapi cukup lama tidak langsung diangkat. Hingga akhirnya saat hampir kuakhiri, Mas Adrian mengangkatnya."Iya, Mbem?" ucapnya begitu telepon terhubung."Kok, lama? Lagi ngapain?" tanyaku tanpa basa-basi."Ini, Mbem, lagi ada teman di ruangan," jawabnya."Siapa?""Habis ini aku kirim pesan, ya, Mbem? Kamu udah
"Loh, itu bukannya Diva?" tanyaku pada Mas Adrian saat kami berpapasan dengan Mas Guntur. Tampak lelaki itu menggendong Diva di dadanya sembari mengendarai sepeda motor."Iya, ya, Mbem. Masa Mas Guntur resign?" tanya Mas Adrian."Masa, sih?" Rasanya keterlaluan kalau sampai Mas Guntur resign. Siska saja belum tentu diterima."Kalau benar resign gimana, Mbem?" tanya Mas Adrian."Gimana apanya?" tanyaku tak mengerti arah pembicaraan Mas Adrian."Apa aku tetap minta Pak Robert buat tolak Siska?""Terima aja, terus sekalian berangkat, pulang, di kantor, makan siang, sama-sama dia terus," ketusku."Jaelaah! Istriku ngambek!" kelakarnya."Terserah!" ketusku. Aku memilih buang muka menatap ke kaca pintu mobil. Rasanya kesal sekali mendengar Mas Adrian peduli pada Siska."Aku cuma bercanda, Mbem Sayang. Enggak usah ngambek gitu, dong! Ih, pagi-pagi udah ngambek, entar keriput, loh!""Biarin!" ketusku."Utu utu utu, istriku, ngambeknya serem!" goda Mas Adrian."Enggak lucu!""Iya, deh, serem.
Aku melangkah keluar dari rumah Bu Mirna dengan perasaan sangat ringan. Setelah sejak semalam merasa seperti menanggung beban yang begitu berat. Akhirnya hari ini dapat solusi juga. Mas Adrian pasti nanti kaget mendengar apa yang sudah aku lakukan.Saat tiba di pertigaan, aku berbelok ke kanan. Dari tempatku berdiri rumahku sudah kelihatan karena berjarak sekitar lima rumah lagi. Sembari berjalan kaki aku mengamati perempuan dengan pakaian cukup terbuka berwarna pink magenta sedang mendorong sepeda roda tiga anak-anak."Kayaknya itu Siska, deh!" gumamku. "Ngapain dia mondar-mandir di depan rumahku? Hm, dasar! Mau caper dia sama Mas Adrian pasti! Dia pikir suamiku sudah pulang? Hah! Dasar!"Aku terus berjalan sampai kemudian berpapasan dengan Siska."Eh, Mbak Nana baru pulang, ya? Kok, jalan kaki?" tanyanya.Tumben? Biasanya kalau ketemu dia langsung pergi. Apa dia sudah enggak marah?"Iya, Mbak," jawabku malas."Eh, Mbak, tahu enggak?" tanyanya.Aku malas sekali meladeni wanita itu. C