Jevran dengan cepat melihat ke tangannya yang memiliki luka. Ah, ini ternyata. Mau bagaimanapun juga lama-lama identitas aslinya akan ketahuan. Jevran tau itu. Tapi tak pernah mengira jika akan terjadi secepat ini."Okey aku nyerah. Ini emang aku." Jevran melepas kacamatanya dan duduk di samping sang kakek."Bagus.""Sekarang mau kakek apa? Aku balik lagi ke rumah? Gak akan. Kecuali kalau perjodohan itu batal."Wilan bersedekap dada. "Bukan itu. Kamu kalau mau pergi dari rumah, bisa pergi ke luar negeri atau kemana pun dengan uang kamu. Tapi kenapa harus jadi anak kampung seperti ini? Kamu bahkan bekerja sebagai OB di perusahaan mu sendiri. Untuk apa?""Emangnya kenapa kalau aku begini?""Kakek tau kalau kamu direndahkan orang-orang.""Tapi aku merasakan apa yang dirasakan para pekerja di sini. Aku bisa tau keluh kesah mereka selama kerja di sini. Aku gak masalah. Awalnya mungkin aku gak suka, tapi aku banyak belajar dari sini."Di tengah itu, Jerry hanya menyimak perdebatan kecil ant
Bjjnb"Papa?" Naura menghampiri pria yang dipanggilnya Papa itu dan memeluknya erat. Begitu juga dengan Ajun yang ikut memeluk."Kenapa kalian bisa datang samaan?" tanya Naura lagi."Papa sama Rival udah janjian untuk pulang sama-sama. Untungnya hari ini kita gak kena macet, jadi bisa datang lebih awal."Pria di samping itu terkekeh pelan. Dia adalah Rival, anak pertama di rumah ini. "Keliatan banget kalian berdua kangen sama Abang.""Idih, PD banget!"Ditengah pertemuan itu, Arga dan Jevran masih sama-sama berdiri di belakang. Arga memang sudah kenal dengan Ayah dan Kakaknya Naura. Namun, Jevran sendiri sudah bisa menebak ketika melihat kedekatan gadis itu dengan dua orang di depannya."Lo ngapain di sini? Masih berani deketin Naura?" tanya Rival melihat Arga. Jangan salah, dia sudah tau kalau Arga ini menyukai adiknya. Namun tetap saja Rival akan terus mengulang bahwa Naura tidak boleh pacaran. Meskipun dengan embel-embel sahabat seperti Arga sekarang."Cuma main, Bang. Lagian ini a
Pagi-pagi sekali Naura bangun dan bersiap-siap untuk pergi. Rencananya dia akan mulai mengirim lamaran ke perusahaan ternama, Cube cooperation. Walaupun sempat merasa tidak percaya diri namun kali ini Naura sangat berharap bisa bekerja di sana. Walaupun itu bukan sebagai sekertaris.Gadis itu tidak masalah bekerja di bagian apapun. Dia hanya ingin mendapat pekerjaan. Meskipun menurut Ayahnya sering mengatakan jika Naura lebih baik di rumah saja, itu benar-benar membosankan. Dia bahkan sudah dewasa dan sudah seharusnya mengetahui lebih tentang dunia luar.Saat melewati kamar Ayahnya, Naura melihat pria paruh baya itu tengah duduk di atas kasur sambil memeluk sebuah bingkai foto. Kebetulan pintu kamarnya terbuka setengah. Perlahan Naura masuk ke dalam dan mendekati Ayahnya."Papa kenapa?" tanya Naura lirih."Eh, kamu di sini? Papa gak kenapa-kenapa," ucapnya namun mengusap sedikit air mata yang keluar."Jangan bohong." Naura mengambil bingkai foto yang sempat dipegang oleh Bahar. "Papa
"Joko! Gimana? Urusan kamu teh sudah beres?" tanya Ujang menghampiri Jevran yang baru masuk ke dalam pantry."Sudah. Gak ada masalah lagi, jadi kamu tenang aja.""Syukurlah kalau begitu."Jevran terduduk di salah satu kursi dan menatap teman-teman OB-nya. "Kalian kenapa pada kumpul di sini? Nanti kalau dimarahin atasan karena gak kerja gimana?""Udah kamu teh tenang aja atuh. Kepala OB itu saya. Lagian belum ada kerjaan lagi, kok. Jadi saya teh mau ngasih tau kamu kalau nanti Minggu kita semua OB di sini mau makan-makan di luar. Hayuk atuh kamu juga harus ikut.""Minggu ini? Tapi saya gak tau bisa apa engga.""Harus bisa. Kamu juga harus kenalan sama OB yang lain supaya mereka juga kenal sama kamu," kata Ujang memaksa.Masalahnya Jevran sejak dulu tidak terlalu suka kumpul-kumpul dengan banyak orang apalagi teman kerjanya. Satu-satunya orang yang diajak Jevran nongkrong hanya Jerry. Karena itu dia tidak terlalu berbaur dengan lingkungannya. Dan mungkin salah satu alasan diberikannya p
Ajun masuk ke pekarangan rumahnya dengan wajah lelah. Dia pikir pulang sekolah akan dijemput Ayahnya, ternyata tidak bisa karena mobilnya sedang mogok. Dia bahkan melihat sendiri sang Ayah yang tengah berada di halaman rumah, memeriksa kap mobilnya."Pulang sama siapa? Ojek?" tanya Bahar yang masih menatap kabel-kabel di depannya."Jalan kaki.""Jalan Kaki? Kenapa gak naik ojek atau nebeng temen kamu?" Pria itu kini menatap putra bungsunya.Ajun mendengus pelan dan membuang wajahnya ke arah lain. "Uang aku abis. Bang Rival gak bisa di telepon, Kak Naura gak aktif. Temen-temen aku juga gak bisa nganterin.""Abang kamu lagi ke luar beli makan. Tapi kakak kamu ada di dalam, tuh.""Papa, aku bawain minum, nih."Tak berselang lama Naura keluar dari rumah dengan membawa segelas jus jeruk di tangannya. Wajahnya benar-benar ceria hari ini. Karena Naura baru mendapat kabar baik pagi tadi, maka dirinya dalam keadaan mood yang bagus."Kenapa senyum-senyum?" tanya Ajun mendelik. "Giliran tadi di
Rival menuntun Jevran turun dari mobilnya. Jevran benar-benar sudah sangat lemas, bahkan rasanya kedua kakinya seakan diseret. Luka di wajahnya membuat darah-darah segar itu mengalir di bagian kening dan lebam yang menghiasinya. Jevran sudah tidak peduli dengan kaca mata miliknya yang entah kemana. Yang dia coba tutupi adalah pipinya, di mana tompelnya terlepas dan menjadi satu-satunya penyamaran yang mengundang kecurigaan. Namun untungnya rambut palsu miliknya tidak ikut bermasalah saat perkelahian tadi. Hm, menjadi Joko ternyata memiliki banyak drama."Naura! Papa! Ajun!" teriak Rival memanggil orang-orang di rumah. Mendengar suara Rival mereka segera keluar dari rumah. Bahar yang melihat Rival membawa seseorang yang babak belur langsung menghampirinya. Memastikan sang anak baik-baik saja. "Ada apa ini?" "Ini, pah. Di jalan aku ketemu tetangga kita ini. Dia dikeroyok sama preman di depan komplek.""Joko?" Naura berlari kecil mendekatinya. "Ya ampun ini darahnya banyak banget. Ha
"aw!" Jevran meringis saat Ajun menekan lukanya dengan cukup keras. "Pelan-pelan.""Masa gitu aja lemah? Makanya Kak Joko itu belajar bela diri. Jakarta itu beda sama di kampung. Di sini itu keras, karena itu Papa sama bang Rival ngajarin aku sama Kak Naura bela diri dari kecil. Tapi bukan cuma soal berantem doang."Jevran mengangguk paham. Ternyata walaupun dia masih remaja tapi pemikirannya bisa dewasa juga. Jevran terlalu sering dimanja dan selalu mengandalkan anak buahnya, sedangkan dia sekarang tidak bisa terus bergantung pada mereka."Lepas kaca matanya ya.""Eh, jangan!" Ucapan Jevran seketika terhenti saat tiba-tiba Ajun menarik kaca mata yang dikenakannya. Pria itu menahan nafasnya sesaat dan langsung menunduk. "B-biar aku obatin sendiri aja.""Nah, dari tadi kek."Ajun menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Memperhatikan lelaki yang lebih tua di hadapannya. "Kalau dilihat-lihat kak Joko kayak beda kalau gak pake kaca mata. Mirip....""Mirip siapa?" tanya Jevran cepat.
Seorang pria baru saja membawa mobilnya masuk ke halaman rumah besar di hadapannya. Beberapa pengawal yang berjaga di rumah itu membuka jalan dan menyapa saat pria tersebut keluar dari dalam mobilnya. Dia adalah Jerry, meskipun hanya teman Jevran yang merangkap sebagai asisten, dia juga sudah dianggap menjadi bagian dari keluarga ini. Jadi bahkan sudah tidak canggung lagi dengan keluarga Jevran.Ngomong-ngomong saat ini dia berada di rumah Kakeknya Jevran. Malam ini mereka akan pergi ke rumah Jevran untuk mengetahui kabarnya secara langsung. Katanya pria itu diserang oleh beberap preman di depan Sebelum itu mereka juga harus memastikan jika pergi ke rumah Jevran, tak ada yang melihat. Karena pada dasarnya mereka tidak ingin penyamaran Jevran diketahui orang lain. Jerry berjalan menghampiri pria tua yang menunggunya di teras rumah. Dia sudah menunggunya cukup lama. "Maaf Kek, tadi ngurusin kerjaan di kantor dulu, soalnya banyak banget," ucap Jerry mengusap tengkuknya pelan."Memangnya
Tok.. tok.. tok...Naura yang baru saja mengganti pakaian pergi ke depan untuk membuka pintu. Ternyata yang datang adalah Jevran. Pria itu merentangkan tangannya."Jevran?" Naura memeluknya dan disambut dengan hangat."Tadi aku ke toko ternyata kamu udah tutup. Jadi langsung ke sini.""Ayo masuk."Naura mengajak Jevran masuk dan kembali menutup pintunya. Jevran menatap ke sekeliling. "Ajun mana?""Baru aja pergi. Katanya mau nginep di rumah temen dua hari."Jevran mengikuti Naura yang berjalan menuju dapur. Sepertinya Naura akan membuat kue, terlihat dari bahan-bahan yang sudah disiapkan. Apakah gadis ini tidak lelah membuat kue sepanjang hari? Pria tersebut melihat-lihat belanjaan di atas meja. "Mau buat keu, ya?""Iya pesenan Jerry, katanya buat temennya. Tapi jujur ini pertama kali aku buat kue yang tinggi kayak gini," kata Naura terdengar ragu."Kamu bisa, kok. Oh iya, Ra. Besok aku mau ajak kamu makan malam. Nanti aku jemput, ya?""Makan malam di rumah kamu?" tanya Naura."Di lu
Hari demi hari berlalu. Hari ini Jevran melakukan pelepasan gips pada tangannya. Dokter sendiri yang datang ke rumah. Karena ini hari Minggu ada Naura dan Ajun juga yang menemani. Seperti kata Jevran sesibuk apapun mereka berdua setidaknya luangkan satu hari untuk bersama dan itu adalah akhir pekan.Begitu benda tersebut dilepaskan Jevran mulai merasa lega. Akhirnya hari ini tiba dimana ia bisa beraktivitas seperti biasa. Tidak perlu kesusahan lagi untuk melakukannya."Silahkan pelan-pelan digerakkan tangannya. Pelan aja biar gak kaget," ucap sang dokter.Jevran mengatur nafasnya sesaat. Ia meluruskan tangan kanannya dan bergerak sesuatu arah. Kanan, kiri, atas, bawah, dan berputar sesuai arah jarum jam."Bagaimana?""Gak sakit," jawab Jevran."Kalau begitu tangannya sudah sembuh dan kembali seperti semula. Selamat, ya.""Terimakasih, dok."Nilam mengusap punggung Jevran. "Syukurlah kalau sudah sembuh total.""Kalau begitu tugas saya selesai, Pak, Bu. Saya pamit kembali ke rumah sakit
Kemarin Jevran mengeluarkan banyak uang untuk belanja es krim anak-anak di taman. Tapi dia menikmati waktunya yang menghabiskan sebagian harinya dengan anak kecil. Semua itu menyenangkan apalagi jika ada Naura di sampingnya.Karena semakin hari semakin membaik, Jevran berusaha mencari ide agar dirinya tidak merasa bosan. Tangannya juga semakin pulih dan saat pagi tadi pemeriksaan, dokter bilang beberapa hari lagi gips sudah boleh dilepas. Itu membuatnya tenang.Setelah pulang dari rumah sakit untuk mengecek keadaannya, Jevran langsung ke tempat Naura. Ya, di toko kue tempat Naura mendapat kesibukannya. Gadis itu juga belum tau kalau Jevran akan datang ke sini sekarang. "Permisi, saya mau pesan kue.""Silahkan ma-" saat menoleh Naura terkejut melihat kehadiran Jevran. "Kamu kok di sini? Sama siapa? Kenapa gak bilang mau ke sini?""Stttt...."Jevran menempelkan telunjuknya pada mulut Naura. "Aku gak disuruh masuk?""Oh, iya. Ayo masuk."Pria itu masuk ke dalam dan melihat sekitar. Bagu
Sementara itu di atas sana kini Jevran berdiri di depan jendela. Dia sedang mencoba menghubungi Naura karena hari ini belum mendengar kabar darinya. "Kamu lagi dimana? Aku pulang hari ini kenapa gak ikut jemput aku?"'Loh, kamu udah pulang? Aku lagi di toko. Tadinya aku mau ke rumah sakit nanti sore. Tapi ternyata kamu udah pulang.'"Yaudah, gak usah."'Maaf, ya. Beneran deh hari ini ada pesanan. Sayang kalau aku tolak. Kamu gak marah, kan?' tanya Naura terdengar menyesal. Jevran terkekeh pelan. "Gak apa-apa, aku ngerti kok. Tapi besok ke sini, ya."'siap, bos.'"Papa kamu udah berangkat, Ra?"'Papa sama Bang Rival udah berangkat. Terus mereka titip salam buat kamu semoga cepet sembuh. Mereka gak sempet jenguk kamu lagi.'Naura sudah tau jika Papanya memberi restu pada hubungan Jevran dan Naura. Dia benar-benar senang dan tidak bisa mengatakan apapun lagi selain mengatakan jika dirinya bahagia. Perjuangan Jevran ternyata tidak sia-sia.Sebelum pergi Bahar juga bilang oada Naura jika
Ajun keluar dari kamarnya dengan tubuh yang lebih fresh. Karena sudah mandi setelah seharian menggunakan seragam sekolah sampai tidur di rumah sakit. Dia sudah kembali pulang hari ini.Pemuda itu berjalan menuju dapur untuk minum namun ia mengurungkan niatnya. Di sana ada Bahar, Rival, dan Naura. Ajun sedang kesal dan dia belum mau bertemu dengan mereka. Apalagi Abangnya."Mau kemana? Sini makan sama-sama," kata Naura melihat Ajun yang hendak pergi."Gak laper.""Sini, Jun. Papa mau bicara sama kamu."Ajun berdecak pelan dan kembali berbalik menghampiri mereka. Dia berdiri di samping Papanya dan tepat dihadapan Rival dan Naura. "Kenapa?""Abang kamu udah cerita sama Papa."Rival yang sedang makan menghentikan makanannya. Ia mengambil minum dan fokus pada pembicaraan. Dia juga tidak bisa menjelaskan pada Ajun sendiri jadi Rival harap dengan Papanya tau masalah ini mereka bisa sama-sama berubah.Sesaat Ajun membuang muka ke samping. Dia tak mau membicarakan masalah ini sebenarnya. "Teru
"Maafin aku.""Liat sini." Jevran meminta Naura menatapnya. "Apapun keputusan Papa kamu. Aku bakal terima itu, kok. Tapi bukan berarti aku berhenti buat perjuangin kamu.""Tapi bagi aku kamu berhasil."Gadis itu mendongak menahan air matanya agar tak terus keluar. Naura memeluk Jevran dari samping dan menyandarkan kepalanya di bahu kiri. Namun Jevran tersentak saat Naura melakukan itu.Jevran menahan nafasnya karena sebenarnya bahu yang kiri juga sakit, meski tak separah yang kanan. Tapi dia tak mau Naura melepaskan pelukannya. Jadi Jevran tetap membiarkan gadis itu di sana."Jangan nangis lagi. Aku gak bisa peluk kamu," ucap Jevran hanya menggenggam tangan Naura.Gadis itu terkekeh. Seketika ia duduk tegap dan menghapus air matanya. "Gak nangis, kok.""Bagus.""Eumm... Kamu lagi makan tadi? Aku ganggu dong? Aku bantuin, ya." Naura mengambil semangkuk bubur ke pangkuannya namun Jevran menahan."Aku bisa sendiri.""Tangan kamu lagi sakit. Aku suapin aja, ya."Jevran menggeleng. Sungguh
"Heh! Bangun!"Dengan susah payah Jevran meraih satu pack tisu dan melemparnya ke arah sofa dimana Jerry dan Ajun tengah tidur di sana. Sayang sekali meleset. Ia mencari benda lain yang aman untuk dilempar.Semalam mereka bilang akan menjaga Jevran 24 jam. Tapi buktinya semalaman mereka tidur pulas sedangkan Jevran masih sadar dan terus menatap langit-langit ruangan. Padahal semalam hanya ditinggal tidur sebentar tapi begitu Jevran bangun karena haus mereka sudah tidur semua. "Ini udah jam berapa? Bangun! Sebenarnya yang sakit siapa sih? Kenapa jadi gue yang jagain mereka," kata Jevran kesal.Pria itu mengambil botol plastik bekas minum yang sudah habis. Kembali dilempar ke arah mereka namun tetap tidak ada yang bangun. Ini kebo semua."Ish! Berisik apaan sih ganggu orang tidur aja."Jevran mendelik melihat Jerry yang merenggangkan tubuhnya. "Bangun! Katanya mau jagain tapi dua-duanya malah tidur.""Eh, iya ya?""Bantuin geu ke kamar mandi buruan. Gue pengen kencing."Jerry masih sem
"Pah, Jevran sadar, Pah!" Nilam menepuk pundak Haris agar suaminya menoleh. Setelah lama menunggu Jevran terlihat mulai sadar. Pria itu mengerjapkan matanya beberapa kali menyeimbangkan cahaya yang masuk ke Indra pengelihatannya. "Jevran? Kamu denger Mama? Ini Mama sayang."Jevran meringis pelan ketika merasa tubuhnya seperti tak bisa digerakan. Apalagi bagian bahu membuatnya ngilu dan pegal. "Mah? Minum," ucapnya terbata-bata. "Sini, pakai sedotan aja." Haris membantu Jevran minum air melalui sedotan."Naura mana?"Sepasang suami istri itu saling tatap. "Udah pulang.""Tapi dia baik-baik aja?""Kamu gak usah khawatirkan Naura, dia aman. Sekarang fokus sama kesembuhan kamu dulu. Ada keluhan gak? Biar Papa panggilkan Dokter."Jevran menggeleng pelan. "Gak ada."Tok... Tok... Tok... "Loh, Ajun? Kok bisa datang sama Jerry?" tanya Haris."Tau nih Om. Ketemu di jalan terus maksa mau ke sini buat jenguk Jevran.""Tapi itu masih pakai seragam sekah," kata Nilam bingung.Ajun tersenyum ca
"Apa aku bilang? Kamu itu cuma anak mami yang gak bisa apa-apa tanpa ajudan kamu itu. Jadi gimana kamu mau bebasin Naura sedangkan kamu kesakitan kayak gini?"Jevran tak mendengarkan perkataan Aurel dengan baik. Dia hanya sedang merasakan sakit yang luar biasa. Di kepalanya hanya berputar suara Naura yang mengalun. Jika Jevran seperti ini apa yang akan terjadi lada gadis itu?Tak ada tenaga lagi untuk melawan. Jevran pasrah karena tangannya sudah mati rasa. Punya kesadaran untuk membuka mata saja sudah bersyukur.Aurel melepaskan bekapan mulut Naura. "Silahkan. Ada kata-kata terakhir sebelum kalian berpisah?""Tolong bebasin Jevran. Dia kesakitan. Biar aku aja yang gantiin dia.""Eum, romantis banget. Tapi gak ngaruh. Jadi gimana kalau kalian berdua aja yang sama-sama pergi?"Di sisa kesadarannya Jevran merasakan tak ada lagi tangan yang menginjak bahunya. Mereka berdua justru berjalan menghampiri Naura. "Jangan sentuh Naura!" ucapnya pelan.Mereka menghiraukan perkataan Naura. Jevran