“Bram, apa Tian tidak tidak pernah cerita sama kamu soal ... kehidupan rumah tangganya?” tanya Nezia dengan nada biasa ketika dirinya sedang tidak ada konsultasi pelanggan.“Tidak,” jawab Bram segera. “Tidak mungkin lah Tian cerita kehidupan pribadinya, kamu seperti tidak tahu saja bagaimana dia.”Nezia diam, dia sengaja memilih kata-kata yang tepat supaya tidak menimbulkan kecurigaan Bram.“Oh, aku kira kamu tahu ... sejak menikah, Tian jadi jarang ke sini—ada apa, ya? Maksud aku, apakah Lea melarangnya?”Bram mengangkat bahu. “Entahlah, tapi memang dari dulu fokus Tian adalah ke karirnya sebagai pengacara, bukan pebisnis.”Nezia tetap saja penasaran.“Jadi kita tidak tahu ya kira-kira Tian sudah punya momongan atau belum?“Aku tidak tahu, kalau iya pasti ada kabar yang datang. Tapi kalau Tian, aku tidak yakin juga karena dia bukan tipe orang yang suka bercerita hal pribadi termasuk sama temannya sendiri.” Sampai di sini, Nezia memutuskan untuk menyerah. Dia khawatir kalau B
“Anaknya lucu sekali ya, Pak?” komentar Denis sambil menimang Nayra tanpa canggung.Rendra melirik Silvi. “Kenapa kamu sembarangan membiarkan Nayra digendong orang asing?”Silvi mengerjabkan matanya sebentar.“Iya ... tadi Pak Denis mau ada rencana memperpanjang kontrak rumah kita!” ucap Silvi buru-buru. “Dan ya ... Nayra kan anaknya gampang dekat sama orang asing, Mas!”Rendra melirik Denis lagi, Nayra memang tidak terlihat rewel dalam gendongannya. Apakah wajar jika bayi sekecil Nayra begitu tenang berada dalam gendongan orang yang bukan ayahnya?“Kamu naik apa tadi?” tanya Rendra curiga ketika Silvi menumpang mobilnya bersama Nayra untuk pulang.“Aku ... tadi pesan taksi,” jawab Silvi yang menggendong Nayra di pangkuannya.“Kenapa nggak minta aku buat antar kamu?” “Ya aku nggak tahu, kamu sendiri juga nggak bilang kalau mau ke sana.”Rendra tidak ingin buru-buru mengungkapkan kecurigaannya, karena itu dia mengemudi mobilnya tanpa banyak bicara.“Aku mau bicara sama kam
Baru juga dia akan masuk ke dalam mobil kembali, tatapan mata Rendra tanpa sengaja menangkap sosok Leandra yang sedang berjalan di samping seorang wanita seumuran Widi.Perhatian Rendra langsung tertuju ke arah perut Leandra yang sudah membesar. Hatinya serta merta seperti dihantam oleh sebongkah batu besar yang teramat keras, menimbulkan nyeri yang tak terperi.Yang dikandung Leandra adalah anak Tian, bukan anaknya. Rendra berkali-kali mengingatkan dirinya sendiri, tapi rasa nyeri pada hatinya tidak bisa hilang secepat itu.Seperti rasa cintanya terhadap Leandra yang sejujurnya masih tersisa.Andaikan Rendra dan ibunya bersabar sedikit saja, mungkin kini dia dan Leandra tinggal menunggu kelahiran buah hati mereka.“Aku dikasih momongan setelah delapan tahun menunggu,” kata Arman, salah satu pemasok stok sabun dan sampo ketika mereka berdua bertemu di kantor. “Itu juga setelah aku dan istri konsultasi ke dokter.”“Kira-kira apa yang membuat kalian membutuhkan waktu yang tidak se
Leandra melirik Tian dengan ekspresi menahan marah, lalu dia memalingkan wajah dan meneruskan langkahnya dengan sangat hati-hati.Di dekatnya, Tian tetap berjaga karena khawatir terjadi apa-apa.“Kamu ngapain sih ngikutin aku, Mas?” tanya Leandra uring-uringan, sorot matanya melirik Tian dengan galak.“Aku kan juga mau ke kamar, Lea ... kamu ini kenapa sensi sekali—tumben?”Leandra menarik napas dan memalingkan wajah.Begitu tiba di kamar, Tian terkejut ketika Leandra langsung menutup pintu dan hampir saja mengenai wajahnya.Dia geleng-geleng kepala dan berusaha memaklumi emosi Leandra yang sedang tidak stabil karena hamil.“Copot bajunya,” suruh Leandra sambil memandang Tian dengan wajah merah padam.“Apa?”“Copot baju kamu, Mas. Sekarang,” ulang Leandra. Tian sempat menggaruk kepalanya, heran dengan sikap Leandra yang tidak seperti biasa. Setiap dia pulang kerja, sang istri hanya akan menyuruhnya untuk segera mandi, bukan melepas pakaian seperti ini.“Nunggu apalagi sih,
“Aku tidak ada hubungan apa pun sama Silvi.” Rendra menatap Denis tidak percaya, dia heran karena pria itu tidak segera angkat kaki dari rumah pribadinya. “Kita sudah bahas ini sejak pertama kali kamu mencurigai aku ada apa-apa sama Silvi,” kata Denis melanjutkan. “Sekali lagi aku tegaskan, bahwa aku bukan orang ketika di antara kalian.” Rendra mendengus pelan. Pagi itu dia sengaja mampir ke rumah pribadinya sebelum berangkat kerja, dan siapa sangka kalau Denis masih punya muka untuk tetap tinggal di sana hingga masa sewa selesai. “Maling mana ada yang mau mengaku,” kata Rendra datar. “Kamu ini lucu sekali,” komentar Denis. “Justru karena aku terbukti tidak salah, aku masih berani tinggal di rumah ini karena masa sewanya masih tersisa ... Bukankah kita juga sudah sepakat di depan satpam perumahan? Kalau aku terbukti salah, mereka pasti sudah mengusirku dari kemarin.” Rendra menatap Denis dengan penuh curiga, tapi pria itu terlihat tidak terganggu sama sekali. “Sudah selesai masa
Leandra mengerjabkan matanya ketika Tian menunjukkan selembar undangan setelah pulang kerja. “Apa ini, Mas?” tanya Leandra tidak mengerti. “Kamu buka saja, tapi jangan kaget.” Tian berpesan. Karena penasaran, Leandra segera mengamati sampul undangan itu dan lantang terpana. “Dari Rendra dan Silvi!” katanya terkejut sembari membuka plastik yang melapisi surat undangan itu. “Syukuran Nayra ... anak mereka? Kapan kamu dapat undangan ini, Mas?” “Tadi aku mampir ke klinik dan dikasih Nezia,” jawab Tian. “Kamu mau datang atau tidak?” Leandra berpikir cukup lama sebelum menjawab. “Kalau tidak mau datang, tidak masalah.” Tian seolah mengerti kebimbangan yang dirasakan Leandra. “Aku malah heran karena mereka mengundang kamu, menurut aku aneh saja.” Leandra menatap suaminya. “Terus apa tujuan mereka mengundang aku ya, Mas?” Tian mengangkat bahu. “Mungkin mau menunjukkan sesuatu? Atau Rendra mau memastikan kalau kamu sebentar lagi akan punya anak?” Leandra tersenyum getir, apa saja yang
Silvi mengamati sikap Rendra lebih teliti daripada hari-hari biasanya. Sejak keributan yang terjadi di rumah pribadi mereka beberapa waktu yang lalu, dia berusaha memberikan perhatian yang lebih baik kepada sang suami. “Kamu mau dimasakin apa, Mas?” tanya Silvi tepat ketika Rendra tiba di rumah. “Tumben kamu masak,” komentar Rendra dengan kening berkerut. “Memangnya salah kalau aku masak buat suami aku sendiri?” balas Silvi sambil tersenyum. “Sekalian aku juga mau masak buat ibu juga.” “Ibu aku ada sakit darah tinggi, kamu nggak bisa sembarangan masak.” Rendra mengingatkan. “Ya makanya ini aku tanya sama kamu biar nggak salah,” kata Silvi berusaha sabar, meski dalam hati dia ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. Namun, apa pun akan dia lakukan supaya rumah tangganya dengan Rendra tetap utuh terlepas apa yang terjadi. “Aku sudah kenyang,” tandas Rendra sambil mengendurkan dasinya. “Ada bibik yang masak untuk makan malam nanti.” Sebelum Silvi sempat berkomentar, Rendra langsun
“Pak, saya kok khawatir sama Bu Lea!” Asisten rumah tangga Tian tergopoh-gopoh mendatangi penjaga sekaligus tukang kebun yang sedang bersih-bersih dekat pintu gerbang. “Kenapa, Bik? Saya juga ketemu tadi, Bu Lea bilang mau antar makan siang buat Pak Tian ... padahal kandungannya sudah sebesar itu.” “Coba susul, Pak! Minimal sampai Bu Lea benar-benar dapat taksi!” “Ya sudah, Bik! Saya jadi ikutan khawatir, takut lahiran di jalan ....” “Jangan bercanda, Pak!” “Bibik tenang, jangan bikin saya tambah panik begini!” Tukang kebun bernama Adi itu segera meletakkan sapu dan serokannya, kemudian terburu-buru menyusul Leandra yang sudah lebih dulu pergi. Leandra sedang berdiri di pinggir jalan besar yang terletak di depan gang perumahan untuk menunggu taksi yang lewat. “Kok tumben sepi begini,” batin Leandra dalam hati. “Bisa-bisa Mas Tian telat makan siang.” Leandra memandang arlojinya dengan resah, dia mulai lelah berdiri dan juga sedikit kepanasan. Tidak lama setelah itu, sebuah ta