Suara Anna terdengar melengking saat Ben sedang sibuk membuka koper berisi buku mantera di ruang rahasia miliknya.
Jantungnya berdegup kencang, tangannya bahkan tidak berhenti gemetar saat mengemas seluruh barang penting miliknya.
Beberapa menit kemudian kakinya berlari meninggalkan ruangan seraya berteriak ,"Anna!"
Ia bahkan masih menata napasnya yang masih terengah-entah. Tapi ia sudah dikejutkan oleh kehadiran sosok aneh yang amat menakutkan.
Wajahnya semakin seram saat sengaja menampakkan gigi runcing yang panjangnya melewati bibirnya.
"Hey, siapa kamu!" teriak Ben menahan
Tubuh Ben bersantai, perlahan duduk sambil bersandar di lantai. Ditemani Delano dan juga Anna yang memilih.Mereka bertiga tampak saling menguatkan satu sama lain. Mereka saling berpegangan tangan. Apalagi cuaca bersahabat.Tiba-tiba saja, hujan lebat mengguyur tempat itu. Sementara di luar rumah, angin kencang datang
Delano sangat Malang, ke mana pun ia pergi selalu ditimpa masalah. Bayang-bayang masa lalu selalu mengikutinya. Dadanya kian sesak, ia kembali merasakan sakit yang luar biasa.Rasa itu terasa bersarang di kepalanya. Ia terus meronta-ronta sambil menjerit dan memanggil nama Oscar dan Daren seolah sedang meminta bantuan."Delano, sadarlah kita tidak sedang pergi tamasya, apa lagi liburan." Anna dibantu Sarah terus mengguncang tubuh pemuda itu hingga tak lama kemudian ia terbangun."A-aku di mana?" Delano menatap bingung di lingkungan sekitar.Sarah yang sejak awal memang tak suka, hanya bisa diam. Tatapan mata sinis seketika dilemparkan begitu saja.
Sarah dan Anna saling berpegangan tangan saat Delano meminta mereka memasuki rumah secara bersamaan. Gigil lengkap dengan gumpalan awan putih mengepul memenuhi ruangan ruang tamu rumah besar itu mulai terbuka.Pintunya terdengar berderit membuat nuansa sekitar semakin menyeramkan. Anna bahkan melangkah perlahan sambil menggenggam erat telapak tangan sarah. Ujung buku jemarinya pun terasa dingin."Sssst ... Delano, rumah siapa ini? Mengapa kita kemari?" tanya Sarah seraya berusaha memelankan suaranya.Delano menghentikan langkahnya, ia tidak menjawab dengan kalimat. Hanya isyarat yang sengaja ia tunjukkan. Pemuda itu, memberikan isyarat dengan meletakkan telapak tangannya di depan bi
Delano amat terkejut saat menyadari menghilangnya Sarah. Matanya membiak ke segala arah. Kemudian tatapan matanya bertemu dengan Anna yang terlihat begitu histeris menyadari menghilangnya sahabat terbaiknya."Sssst ... jangan menangis. Pelankan suaramu, aku yakin ada yang sedang mengamati kita." Delano melirik leher Anna ketika berbicara, ia tidak lagi menemukan kalung yang terbuat dari kain berwarna hitam yang semula menggantung di leher gadis itu.Barulah Kemudian ia pun bernapas lega. Baginya, jimat yang dikenakan oleh Anna adalah ketakutan terbesar. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Tidak tahu apa isinya, yang jelas ... ketika berdekatan Delano bagaikan terbakar."Tapi baga
Anna duduk bersimpuh di lantai dengan tubuh lemas. Ia bahkan tidak mampu menopang tubuhnya sendiri hingga kemudian membuatnya ambruk begitu saja.Tak lama kemudian, salah satu sisi dinding terdengar gemuruh diiringi suara bergetar. Pandangan Anna tertuju di dinding itu. Meski raut wajah tampak jelas sedang ketakutan.Terlihat seorang gadis, dengan tubuh semampai, sedang berdiri membelakangi Anna dari jarak sekitar kurang lebih enam meter dari tempat Anna berada.Anna berusaha bangkit perlahan. Ia sepertinya mengenali sosok siapa itu. Tergambar jelas dari raut wajahnya yang sedang mengerutkan dahi, tampak terkejut dengan munculnya si gadis dari balik tembok saat itu.
Anna hanya bisa diam. Membela diri pun rasanya percuma. Toh Sarah sudah melihat sendiri saat ia dan Delano sedang melakukan hubungan sebelum pernikahan. Sungguh. Anna tidak menduga, jika Sarah segila itu dalam menjalin hubungan sesama jenis. Hatinya ingin berteriak saat mendengar pengakuan pahit yang diucapkan oleh Sarah kala itu. Dengan tangan yang masih gemetar. Anna masih tetap mengacungkan pisau ke arah Sarah yang kini memberanikan diri mendekatinya lengkap dengan cinta yang tajam. "Sarah! Jangan lakukan itu," sergah Anna mencoba mencoba. Namun, Sarah sudah menggila bahkan ia seolah hilang akal. Bukannya mengurungkan niatnya untuk melangkah maju, justru ia semakin bersemangat dengan langkah lebar mendekati Anna. Tiba-tiba secepat kilat ia berhasil merebut bilah pisau yang semula berada di genggaman Anna. "Lepaskan! Kamu sudah gila!" teriak Anna dengan wajah mengeras. Kini pisau sudah berpindah ke tangan kanan Sarah, dengan genggaman kuat di sebelah kanan dengan sebelah mata
Suasana hutan tampak riuh. Banyak masyarakat berbondong-bondong datang ingin melihat. Begitu banyak media, polisi, juga ambulans lengkap dengan para petugas medisnya.Tampak juga beberapa perawat yang sibuk menggotong tandu untuk memeriksa korban yang berada di tempat kejadian.Tak lama kemudian, tampak Delano berjalan terpincang sambil dipapah oleh Anna. Pemuda itu hanya mengulas salam ramah pada para wartawan yang sibuk dengan kamera dan juga ingin melakukan wawancara. Kemudian berpindah berpindah pada Anna yang wajahnya tampak tegang."Anna, kau sendiri yang bilang semua sudah berakhir. Apa lagi yang kamu takutkan?" tanya Delano dengan wajah wajah serius diiringi foto teduh pada gadis itu."Aku tidak berhasil membawa buku mantera. Tujuan kita kemari untuk mencarinya, 'kan? Lalu bagaimana jadinya jika orang jahat yang berhasil memiliki buku itu?"Raut wajah Anna yang semula sudah terlihat sumringah seketika berubah tegang sekaligus keningnya berkerut seolah-olah digambarkan jika sed
Malam semakin pekat, di bawah guyuran hujan deras disertai badai, seorang gadis terkulai tak berdaya dalam keadaan terperangkap di dalam mobilnya.Tak ada seorang pun yang melintas. Angin semakin kencang, semua berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya ia sadarkan diri juga. Lehernya masih terasa perih. Tak banyak yang dapat ia lakukan, kecuali menunggu seraya meraba lehernya yang berlubang dan basah akan cairan kental berbau anyir dengan warna merah pekat.Waktu terasa lama jika menunggu. Dengan napas yang terasa berat, Anna berusaha bangkit dari kursi kemudinya. Sakit. Kepalanya bahkan terasa pusing.Badai terasa hampir reda. Hal yang paling ia takutkan saat ini hanya satu. Kematian. Ia tidak ingin mati sia-sia setelah menempuh perjalanan yang mengorbankan dirinya. Ia sangat berharap untuk bisa bertemu dengan Delano atau bahkan Ben Daniel sebelum maut menghampirinya."Delano," rintihnya. Suaranya nyaris tak terdengar akibat menahan sakit dengan dua luka berlubang di leher yang terus m