Darren duduk termangu di ruang kebesarannya. Kini ia adalah penguasa di galeri Jeff Hilton. Setelah kepergian Delano, dirinyalah yang mengambil alih seluruh kekuasaan bahkan juga hartanya.
Sesekali jemarinya gemulai menari di atas laptop miliknya. Sementara matanya menatap tanpa kedip ke arah layar.
Dengan lincah ia mengirimkan surel untuk Elis. Seorang wanita berusia paruh baya yang belakangan terakhir sering ditemui Delano.
Bibirnya merekah setelah tahu ada jawaban surel untuknya. Pertanda Elis menyetujui permintaannya untuk bertemu.
"Hmmm … jadwal berkunjung. Kita akan bertemu lagi, Elis," katanya sambil tersenyum licik.
Tepat pukul sembilan malam
Ini tentang seorang pria yang selalu dihina sepanjang hidupnya. Ia bahkan bukan hanya dikucilkan, tetapi ia juga juga begitu sedih karena kehilangan kedua orangtuanya.Namanya Delano, ia sejak kecil sering di hina karena ia terlahir berbeda. Warna kulitnya yang aneh membuat siapapun tak ingin dekatnya.Itu kenapa Delano tidak memiliki banyak teman di dunia nyata. Lingkungan seakan enggan bersahabat dengannya.Bahkan hidup terasa sulit saat ia kehilangan ibu angkatnya untuk selama-lamanya.Delano yang unik dan penyendiri pada akhirnya memiliki banyak teman, tapi anehnya para teman Delano ini tidak semuanya bisa dilihat oleh semua ora
Darren mematung menatap cermin di hadapannya. Ia melihat Delano yang seolah samar di dalamnya. Matanya sendu. Kini ia tidak tahu pasti apa yang harus dilakukan. Sementara itu, suara teriakan tanpa henti mengusik ketenangannya."Keluarkan kami, apa salah kami? Pengecut! Beraninya hanya dengan perempuan!" pekik Stefani sambil terus menggedor pintu kamar tanpa jeda.Di ruangan yang lainnya pun juga sama. Kedua gadis itu juga saling berteriak, sengaja menciptakan kegaduhan. Langkah kaki Delano terhenti di depan beberapa pintu yang berderet.Sementara matanya, perlahan menyisir satu persatu pintu yang terdengar gaduh. Dan tatapannya terhenti di pintu pertama. Dengan langkah pasti ia mengayunkan langkah menuju tempat yang ia yakini.&nb
Stefani masih menempelkan telinganya di daun pintu. Berharap bisa menerka-nerka apa yang sedang terjadi di luar sana. Suara jeritan dan dentuman langkah kaki tak lama kemudian mulai berhenti. Membuat Stefani semakin cemas tak karuan. Saat masih menempelkan telinganya, tiba-tiba pintu tersebut terdesak keras, hingga tubuhnya terpental dengan kerasnya. "Kenapa kamu di depan pintu?" tanya Darren. Ia seolah memberikan waktu untuk ketiganya saling bertatapan juga pelukan hangat. Ketiganya berpelukan penuh haru. Darren memperhatikan ketiganya. Seharusnya mereka hanya diam, dan berterimakasih atas kebaikan Darren. Naasnya Lucy yang masih merasa kesal, langsung menyerang Darren.
Di malam yang begitu gelap itu semua berubah hening setelah teriakan Darren menggema. Ketiga gadis duduk meringkuk memeluk lututnya masing-masing sembari menunggu kepastian nasib mereka.Sepuluh menit. Lima belas menit. Masih saja hening. Ketiganya juga memilih membisu. Mungkin mereka terlalu takut meski sekedar untuk mengeluarkan sepatah dua patah kalimat.Dua puluh menit berlalu, suara langkah kaki mendekat mengangetkan ketiganya. Stefani segera bangkit, dan berdiri. Meski ia tertatih dan sedikit pincang, dengan kaki gemetar, ia mencoba meraih gagang pintu.Sama seperti sebelumnya, ia begitu berani mengintip dari celah lubang kunci di pintu. Ia melihat sebuah lentera yang ditenteng oleh sepasang tangan kekar lelaki yang mengarah masuk ke kamarnya. 
Lampu masih belum juga menyala. Suasana di kastil tua itu masih sepi. Delano pergi menuju kamarnya. Kemudian ia duduk di sebuah meja dengan komputer tua terpasang di sana. Masih jelas diingatkannya bahwa ia sempat mengirimkan janji temu pada psikiater berkelas tersebut. Wajahnyakini bermuram durja. Ia resah, gelisah. Dan juga takut pada banyak hal. Setelah menghela napas panjang, akhirnya Delano memberanikan diri membuka sebuah laci yang sejak kedatangannya ia kunci rapat-rapat. Tiga slop berisi penuh obat yang diberikan Elis untuknya agar bisa tidur nyenyak dan juga memenangkan diri. Meski nyatanya tak satu pun dari pil pahit itu ditelannya. Ia teru
Hari sudah hampir tengah malam, dan saat bulan tersenyum lebar menerangi kastil yang mati lampu tanpa penerangan. Di dalam sangatlah gelap. Meski di luar begitu benderang.Elis mengekor mengikuti langkah Delano, awalnya ia merasa yakin jika dengan datang dan menemuinya adalah keputusan yang tepat, tapi sepertinya ia mulai berubah pikiran setelah berada di dalam kastil sepi itu."Delano, tidak kah kamu memiliki lampu?" tanya Elis, dengan raut ketakutan.Delano yang semula memimpin berjalan di depan menghentikan langkahnya dan mengeluarkan sebuah korek api. Setelah ia tarik pemantiknya, api pun mulai menyala.Bermodal korek api keduanya terus berjalan hingga bebera
Netra perempuan itu terus mengedar menelusuri sekitar ruangan. Sementara Delano sok sibuk seperti biasa ketika ada orang tamu yang datang."Tadinya aku mau ke sana, Elis. Tapi karena kau kemari duluan, maka—" ucapan Delano terhenti. Ia berubah murung dengan kepala tertunduk.Sementara Elis, hanya menghela napas sambil terus memperhatikannya. Ia mencurigai sesuatu sedang terjadi. Terutama lorong dan juga kamar yang berderet.'Untuk apa kamar-kamar itu? Dan apa isinya?' batin Elis kemudian berpura-pura menyesap minuman yang disodorkan oleh Delano."Elis, kau baik-baik saja?" sapa Delano membuyarkan lamunannya.
Sosok menakutkan itu kini berubah kejam. Dalam kegelapan ia terus melangkah mencari keberadaan dua gadis yang lari darinya. Ia memiliki dendam karena hinaan.Siapa sangka jika dendam mampu mengubah seseorang menjadi apapun yang diinginkan. Bahkan nekad berbuat sesuatu diluar nalarnya sendiri.Di tempat berbeda, Elis terbangun. Ia beringsut duduk, sesekali ia mengucek matanya. Mencoba mengerjap beberapa kali meski hasilnya tetap sama. Pandangannya berubah nanar, berkunang-kunang.Ia mencoba merangkak mendekati sebuah meja di sudut ruangan. Meski tertatih wanita tua itu berusaha bangkit dengan tangan dan kaki yang masih gemetar. Elis berpegang di sudut meja.Ya. Ki
Delano terbaring di ranjang pasien, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak mata tertutup, seolah terjebak dalam mimpi buruk yang menakutkan. Beberapa orang mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan lembut, berusaha membangunkannya dari koma panjang yang telah lama menahannya."Delano, bangunlah! Tolong bangun!" suara lembut namun tegas memanggilnya.Perlahan, Delano membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Matanya kemudian fokus pada sosok di sisi ranjangnya. "Papa?" Delano berkata dengan suara serak, penuh ketidakpercayaan. "Papa Hilton?"Jeff Hilton, ayahnya yang sudah lama ia kira meninggal, duduk di sana dengan senyuman penuh kelegaan."Ya, Nak. Ini Papa," jawab Jeff dengan suara lembut, menyentuh tangan Delano dengan lembut.Delano menatap sekeliling, melihat wajah-wajah yang begitu akrab namun terasa seperti dari dunia lain. Di dekat pintu, seorang pria botak berdiri denga
"Tuan, Delano, saya sangat menganjurkan untuk beristirahat sejenak," ujar Oscar dengan nada penuh kekhawatiran, mencoba meyakinkan Delano yang masih tegar berdiri meski tubuhnya bergoyang-goyang."Dengarlah, Delano. Kesehatanmu sangat penting," tambah Miranda, ibu Delano, sambil menggenggam erat tangan anaknya. "Kami semua khawatir padamu."Delano menggeleng tegas, matanya bersinar penuh tekad. "Saya tidak bisa beristirahat, Ibu. Saya harus menemukan gadis itu, membantunya sebelum terlambat."Oscar mendesah, mencoba meredakan kepanikan yang mulai melanda. "Tapi, Delano, kamu tidak dalam keadaan yang baik. Kamu butuh istirahat.""Tidak, Oscar. Saya sudah memberikan kata-kata saya pada gadis itu, dan saya akan memenuhinya," balas Delano, suaranya terdengar lemah namun penuh tekad. "Saya tidak bisa tinggal diam ketika seseorang membutuhkan bantuan."Miranda menatap putranya dengan penuh kebanggaan, meskipun juga khawatir. "Kamu adalah anak yang mulia, Delano. Tapi, pikirkanlah juga keseh
Cahaya berkilauan di sekeliling Ben Daniel, melibatkan tubuh Delano dalam mantra penggabungan jiwa. Sementara itu, saat Delano melafalkan mantra tersebut, keajaiban terjadi. Di tengah keheningan, suasana berubah, dan tiba-tiba, Delano merasakan sensasi transmisi yang menakjubkan. Dalam sekejap, Delano terbangun di sebuah kasur empuk, menyadari bahwa ia berada di dalam istana yang ia yakini sebagai keluarga ayahnya. Keheranan meliputi dirinya sendiri, dan dalam kebingungan, ia melihat ibunya—Oscar, mendekatinya dengan penuh kelembutan. Dengan mata penuh kegembiraan, Oscar menceritakan kisah pahit selama tiga bulan terakhir. Delano, tanpa sadar, telah berada dalam koma yang panjang. Perasaan kehilangan dan rindu ibu yang menyayangi anaknya menjadi permainan emosi di antara mereka, meruntuhkan hati Delano yang baru saja terbangun dari dunia lain. Miranda menatap Delano dengan matanya yang penuh kekhawatiran, "Delano, bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan selama ini?" Delano meng
Usai membantu membebaskan Anna dari cengkraman makhluk jahat, Ben Daniel segera menjadi remaja dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara di dalam rumah usang di tengah hutan, masih menyisakan suasana mencekam.Ben Daniel merasakan detak jantungnya semakin cepat saat ia melihat Delano berubah menjadi makhluk yang menakutkan. Dengan tangan gemetar, ia segera meraih botol ramuan yang telah disiapkan sebelumnya. "Kembalilah, Delano!" serunya sambil berusaha menjaga kestabilan emosinya.Delano yang kini tampak seperti makhluk buas, merintih kesakitan saat ramuan itu menyentuh kulitnya. Bulu-bulu lebatnya mulai rontok, dan matanya yang tajam terlihat melemah. "Aku... tidak ingin melukaimu, Delano," Ben Daniel berbisik sambil terus mengoleskan ramuan itu.Sambil terus mengucapkan mantra dengan penuh konsentrasi, ia merasakan energi magis mengalir dari tubuhnya ke ramuan. Dia merasa bahwa ada kekuatan di dalam dirinya yang dapat melawan pengaruh gelap yang merasuki Delano. Pandangan mata
Dari embusan angin yang terasa kencang seolah menampar-nampar wajah, Ben Daniel sudah menyadari kehadiran sosok jahat di dekat Delano. Dengan cekatan, tapi diam-diam, Ben Daniel menyembunyikan botol kecil berisi ramuan yang dibuatnya sendiri di balik baju yang ia kenakan. Kemudian, ia mendorong kendaraan miliknya yang sebelumnya sempat ia sembunyikan di bawah rerantingan kering dan juga dedaunan yang menutupinya. Namun, yang mengejutkan. Tiba-tiba saja mobil tersebut bergerak cepat seolah ringan melesat cepat di jalanan sambil disentuh pelan. Delano, kau meminta bantuan kepada siapa? Tanya Ben Daniel sambil menatap tajam, seolah mengisyaratkan kemarahan. Delano tergemap seketika. Bibirnya terkatub rapat. Tak ada kecuali katapun yang keluar sebagai pembelaan, sedangkan matanya membelalak lebar. "Delano!" bentak Ben Daniel. Delano berjingkrak dan kembali menatap si empunya mobil tua yang baru saja dikeluarkan dari tempat persembunyiannya. "Tidak ada, Om. Mungkin perasaan Om Ben s
Delano melangkah perlahan ketika hendak menemui Ben Daniel. Pria paruh baya itu, bahkan bisa menerka jika Delano sedang mencemaskan sesuatu dari mukanya yang sedang ditekuk."Ayo kita pergi sekarang!" ajak Ben Daniel, meski sedikit ragu.Perlahan ia melangkah keluar rumah. Namun, Delano tetap berdiri di pijakannya. Tercekat tanpa kata."Delano, ayo! Tidak ada waktu untuk melamun. Anakku dalam bahaya!" teriaknya.Ben Daniel sengaja bersuara keras agar Delano yang pikirannya tampak terganggu segera kembali fokus dan santai mengikuti langkahnya.Bukannya melangkah, akan tetapi Delano yang saat itu masih berdiri di taman pintu justru terjatuh dan terkulai lemas di lantai.Seolah mengalami demam tinggi, pemuda itu kembali terlihat aneh. Tubuhnya yang menggigil pun mengeluarkan suara erangan menyeramkan.Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah seklera matanya saja. Terang saja mata Ben Daniel membulat sempurna. Saya benar-benar terkejut dengan perubahan Delano.Delano, apakah ini artinya
Karena merasa terganggu dengan bisikan-bisikan gaib. Akhirnya, Delano memutuskan menggunakan penutup mata. Ia mencari-cari seutas tali menyerupai pita lebar berwarna hitam. Segera. Dengan cekatan, tangannya memegangnya dan mengikat memutar di kepalanya hingga pelupuk matanya benar-benar tertutup.'Kali ini kau bahkan tak bisa mengusik pikiranku. Tapi aku juga tidak ingin melihat bagaimana pun wujud aslimu. Dasar, iblis sialan!' Batin Delano terus merutuk.Dengan mata terpejam, jemarinya genggam kuas yang sudah ia oleskan ke palet dengan warna yang sudah ia hapal tata letaknya di palet sebelumnya. Setelahnya, ia goreskan di kanvas yang sebelumnya melukis gambar Daren setengah jadi.Anehnya. Delano mahir melukis meski dengan mata tertutup sekalipun. Ia bahkan tidak kesulitan memilih warna di palet, dan gambar yang dihasilkan pun sangat rapi. Ya. Lukisan tersebut benar-benar menggambar wajah tampan Daren yang sedang duduk di sebuah kursi dengan bantalan empuk berwarna hitam.Seolah sedan
Suasana sepi disertai angin berembus kencang dan juga gemericik hujan yang tak kunjung pergi membuat Delano semakin resah. Ia seakan patah semangat. Dan memilih duduk menunggu di sudut ruangan. "Om Ben, apakah waktu yang dibutuhkan untuk meracik ramuanmu itu sangat lama?" tanya Delano sambil menampakkan wajah sendunya. "Tergantung," balas Ben menatap sekelias sepersekian menit kemudian tatapannya kembali ke arah kendi keramik yang di genggamnya. "Jelasin yang rinci dong! Nanggung banget, yang di culik sebenarnya anak siapa sih?" geram Delano saat menyadari respons Ben yang seolah biasa saja. “Anak Om Ben sama Lisa, sudah pernah dibahas! Saya ngomong tergantung, sebab belum tahu apakah bahan yang mau saya racik itu sudah lengkap atau tidak," jelas Ben seolah mencoba menekan agar Delano diam. Benar. Delano tercengang mendengarnya. Kemudian ia memilih diam memandang sekilas tentang David. Dan pikirannya kembali, seperti kaset yang diputar. Ia mengingat David pernah datang berulang k
Malam semakin pekat, di bawah guyuran hujan deras disertai badai, seorang gadis terkulai tak berdaya dalam keadaan terperangkap di dalam mobilnya.Tak ada seorang pun yang melintas. Angin semakin kencang, semua berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya ia sadarkan diri juga. Lehernya masih terasa perih. Tak banyak yang dapat ia lakukan, kecuali menunggu seraya meraba lehernya yang berlubang dan basah akan cairan kental berbau anyir dengan warna merah pekat.Waktu terasa lama jika menunggu. Dengan napas yang terasa berat, Anna berusaha bangkit dari kursi kemudinya. Sakit. Kepalanya bahkan terasa pusing.Badai terasa hampir reda. Hal yang paling ia takutkan saat ini hanya satu. Kematian. Ia tidak ingin mati sia-sia setelah menempuh perjalanan yang mengorbankan dirinya. Ia sangat berharap untuk bisa bertemu dengan Delano atau bahkan Ben Daniel sebelum maut menghampirinya."Delano," rintihnya. Suaranya nyaris tak terdengar akibat menahan sakit dengan dua luka berlubang di leher yang terus m