Delano seperti dialiri listrik ribuan watt. Seketika tubuhnya kejang. Kemudian seketika ia berhasil membuka kedua kelopak matanya hingga sempurna.
Kendati pun, ia seperti orang linglung. Tidak langsung bangun. Ia melihat kondisi sekitar ruangan. Tampak Oscar berdiri di sisi ranjang. Sementara Melinda di sisi ranjang lainnya.
Sekeliling ruangan hanya diterangi oleh nyala lilin. Ruangan yang ditempati olehnya pun terasa asing.
Delano beringsut duduk lalu memundurkan tubuhnya hingga bersandar di tembok kamar.
"Ini kamar siapa? Dan kalian ini siapa?" tanya Delano.
Oscar dan Melinda tersentak mendengarnya. Mereka berdua
Delano beranjak pergi meninggalkan Melinda yang terus berteriak memanggilnya. Wanita tua itu tidak kuasa menahan kesedihan melihat putranya begitu malas menanggapi ucapannya.Ia begitu dingin bahkan tak acuh. Bersikap seperti kepada orang lain yang bahkan tidak pernah kenal sama sekali.Sementara Oscar, pria berkepala plontos yang begitu setia itu segera berjalan mengekor mengikuti langkah Delano menuju mansionnya.Sepanjang perjalanan, pemuda itu ingin mengulang kilas balik kejadian masa lalu yang mulai ia rindukan.Ditiupkannya sudut kalung batu safir, tiupan menghasilkan suara yang mirip pluit dan tak lama kemudian anjing dalmantian benar-benar dat
Hari mulai senja, dan Delano masih di dalam kereta. Ia bepergian jauh ke tempat terpencil yang belum pernah ia kunjungi.Tidak ada rencana apapun. Ia pergi begitu saja dengan perbekalan baju seadanya. Meski begitu, ternyata Oscar meninggalkan banyak uang saku di dalam tas ransel miliknya. Mata Delano mendelik melihatnya.Bukan hal yang mustahil, itu semua ada hasil penjualan karyanya. Oscar memang orang yang bisa diandalkan. Tidak ada yang perlu ditakutkan kali ini, begitu pikir Delano sambil menghela napas panjang.Ia memeluk tas ransel miliknya, sementara di sisi tempat duduknya ia juga membawa koper berisi keperluan sehari-harinya.Beberapa pasang pakaia
Waktu masih menunjukkan sepertiga pagi. Karena kelelahan, Delano melanjutkan tidurnya. Kali ini harapannya adalah, semoga tidak bermimpi buruk lagi hingga nyenyak.Ia pun terlelap. Ia belum memutuskan ingin seperti apa kehidupannya nanti. Yang penting, ia ingin tidur lebih lama, bebas melakukan aktivitas apapun yang dia inginkan.Ketika itu, mentari sudah menampakkan sinarnya. Bahkan panasnya terasa hangat saat menyentuh kulit. Sejenak ia menggeliat, melakukan peregangan otot yang sejak lama tidak ia lakukan.Samar-samar terdengar suara ketukan pintu. Membuatnya terperanjat bangun dan melangkah menuju ruang tamu dan membuka pintu.Namun, ketika pintu terbuk
Pertama kali melihat wajah yang mampu mencuri perhatiannya, saat itu lah hidupnya yang semula berantakan kini kembali bergelora.Delano semakin terhanyut dan mengingat wajahnya. Setiap waktu, gadis itu selalu memenuhi pikirannya. Di setiap pejam dan kedipnya, dan juga helaan napasnya, wajahnya selalu terbayang mengiringi setiap langkah pria yang hidupnya sedang kacau itu.Sejak pertama gadis cantik itu memberikan selembar undangan pesta, Delano sudah terpana. Napasnya kian memburu setiap kali mereka bertatap muka.Namun, setelah mengetahui ternyata ia adalah kembar, cara pandang pria itu berbeda. Ia menjadi seorang yang pemilih.Wajah mereka memang sa
Perlahan Delano melangkahkan kakinya, menyusul Anne yang terlihat sedang terlibat pertengkaran dengan seseorang. Apa lagi, terlihat jelas usia pria itu lebih pantas disebut ayah bagi perempuan itu. Membuat Delano bukan saja penasaran, tapi Nia juga sangat cemas.Dengan langkah gusar ia menapaki anak tangga, tapi ia dikejutkan oleh pria berusia paruh baya yang baru saja terlihat bertengkar dengan Anne melintas tepat di depan matanya.Hal itu membuat Delano menghentikan langkahnya. Ia menoleh menatap dan mengamati wajah pria itu. Wajahnya begitu mirip dengan Anne. Mungkinkah ia memiliki hubungan darah dengannya? Dan kenapa ia terkesan bersikap keras di tempat seramai ini?Delano kembali melanjutkan langkahnya. Tapi ia mendengar kedua sau
Jimmy telah berhasil mengusir Aleandro pergi. Mungkin saja mereka yang lain bisa sedikit lega. Akan tetapi Anna, ia terlihat berbeda. Tatapan matanya berubah sayu. Langit seakan mendung baginya.Keceriaan yang setiap hari menghiasi hari-harinya, sirna seketika. Sekejap, ia mengingat kembali kebersamaan saat terakhir kalinya.Masih segar diingatannya, ketika keduanya bertengkar memperebutkan kasih sayang sang ayah. Maklum, sejak kecil Ben—ayah si kembar, selalu mengatakan kepada kedua putrinya jika ibu mereka telah mati bunuh diri.Bip ... bip ... bip ....Ponsel Anne berdering. Tapi Anna justru tercenung menatap saudari kembarnya yang lemas terkulai di reru
Hanya Jimmy seorang yang melihat perempuan paruh baya itu. Perempuan yang terlihat memandangi ombak lautan sambil diam membeku. Rambutnya panjang tergerai, pakaian yang dikenakannya sedikit terkoyak. Namun, wajahnya terlihat masih cantik meski kulitnya berwarna sawo matang. Perempuan setengah tua itu mengetahui kedatangan gerombolan anak muda. Ia tersenyum getir menatap Jimmy yang juga sejenak menatapnya. Jimmy seolah menunggu wanita itu berlalu. Setelah perempuan itu tidak lagi terlihat, ia bergegas memberikan aba-aba kepada teman-temannya agar membantu mengangkat tubuh Anne. "Hey, teman-teman! Ayo, mumpung sepi, kita harus bergegas membawanya turun." Jimmy membuka jok bagian belakang mobil. Mereka s
Anna mendekatkan diri. Ia penasaran dengan apa yang dilakukan Ben—ayah Anna. Tatapan matanya begitu lekat memperhatikan Ben yang mengganti bingkai foto miliknya dan menukarnya dengan milik saudarinya yang telah tiada. "Kamu meninggalkan Anna di mana?" tanya Ben tanpa menoleh sambil tetap berkutat dengan bingkai foto di hadapannya. "Apa yang Papa coba katakan? Aku adalah Anna," kilah gadis itu. Ia bersih keras kalau dirinya adalah Anna bukan Anne. Tapi Ben tetap meyakini jika gadis di hadapannya adalah sebaliknya. "Dengar, bukan hal yang rumit buatku mengenali kalian berdua. Sejak bayi, aku merawat kalian sendiri. Tanpa ibu kalian, apa kau lupa?"