Pertama kali melihat wajah yang mampu mencuri perhatiannya, saat itu lah hidupnya yang semula berantakan kini kembali bergelora.
Delano semakin terhanyut dan mengingat wajahnya. Setiap waktu, gadis itu selalu memenuhi pikirannya. Di setiap pejam dan kedipnya, dan juga helaan napasnya, wajahnya selalu terbayang mengiringi setiap langkah pria yang hidupnya sedang kacau itu.
Sejak pertama gadis cantik itu memberikan selembar undangan pesta, Delano sudah terpana. Napasnya kian memburu setiap kali mereka bertatap muka.
Namun, setelah mengetahui ternyata ia adalah kembar, cara pandang pria itu berbeda. Ia menjadi seorang yang pemilih.
Wajah mereka memang sa
Perlahan Delano melangkahkan kakinya, menyusul Anne yang terlihat sedang terlibat pertengkaran dengan seseorang. Apa lagi, terlihat jelas usia pria itu lebih pantas disebut ayah bagi perempuan itu. Membuat Delano bukan saja penasaran, tapi Nia juga sangat cemas.Dengan langkah gusar ia menapaki anak tangga, tapi ia dikejutkan oleh pria berusia paruh baya yang baru saja terlihat bertengkar dengan Anne melintas tepat di depan matanya.Hal itu membuat Delano menghentikan langkahnya. Ia menoleh menatap dan mengamati wajah pria itu. Wajahnya begitu mirip dengan Anne. Mungkinkah ia memiliki hubungan darah dengannya? Dan kenapa ia terkesan bersikap keras di tempat seramai ini?Delano kembali melanjutkan langkahnya. Tapi ia mendengar kedua sau
Jimmy telah berhasil mengusir Aleandro pergi. Mungkin saja mereka yang lain bisa sedikit lega. Akan tetapi Anna, ia terlihat berbeda. Tatapan matanya berubah sayu. Langit seakan mendung baginya.Keceriaan yang setiap hari menghiasi hari-harinya, sirna seketika. Sekejap, ia mengingat kembali kebersamaan saat terakhir kalinya.Masih segar diingatannya, ketika keduanya bertengkar memperebutkan kasih sayang sang ayah. Maklum, sejak kecil Ben—ayah si kembar, selalu mengatakan kepada kedua putrinya jika ibu mereka telah mati bunuh diri.Bip ... bip ... bip ....Ponsel Anne berdering. Tapi Anna justru tercenung menatap saudari kembarnya yang lemas terkulai di reru
Hanya Jimmy seorang yang melihat perempuan paruh baya itu. Perempuan yang terlihat memandangi ombak lautan sambil diam membeku. Rambutnya panjang tergerai, pakaian yang dikenakannya sedikit terkoyak. Namun, wajahnya terlihat masih cantik meski kulitnya berwarna sawo matang. Perempuan setengah tua itu mengetahui kedatangan gerombolan anak muda. Ia tersenyum getir menatap Jimmy yang juga sejenak menatapnya. Jimmy seolah menunggu wanita itu berlalu. Setelah perempuan itu tidak lagi terlihat, ia bergegas memberikan aba-aba kepada teman-temannya agar membantu mengangkat tubuh Anne. "Hey, teman-teman! Ayo, mumpung sepi, kita harus bergegas membawanya turun." Jimmy membuka jok bagian belakang mobil. Mereka s
Anna mendekatkan diri. Ia penasaran dengan apa yang dilakukan Ben—ayah Anna. Tatapan matanya begitu lekat memperhatikan Ben yang mengganti bingkai foto miliknya dan menukarnya dengan milik saudarinya yang telah tiada. "Kamu meninggalkan Anna di mana?" tanya Ben tanpa menoleh sambil tetap berkutat dengan bingkai foto di hadapannya. "Apa yang Papa coba katakan? Aku adalah Anna," kilah gadis itu. Ia bersih keras kalau dirinya adalah Anna bukan Anne. Tapi Ben tetap meyakini jika gadis di hadapannya adalah sebaliknya. "Dengar, bukan hal yang rumit buatku mengenali kalian berdua. Sejak bayi, aku merawat kalian sendiri. Tanpa ibu kalian, apa kau lupa?"
"Masih banyak yang harus dikerjakan, agar teman-teman kamu tidak lagi curiga." Ben segera bangkit, diikuti Anne di belakangnya.Keduanya berjalan menuju kamar si kembar. Ben membuka lemari milik Anna, kemudian ia menunjukkan bagaimana gaya berpakaian anak kesayangannya."Dia suka merias diri. Jadi mulai sekarang kamu harus belajar menjadi dia, dia suka pakaian dengan tambahan pernak-pernik agar terlihat menarik. Wajah kalian sama, tidak akan ada yang curiga asal kamu terlihat seperti dia. Lekas ganti baju, temui teman-teman kamu agar mereka tidak curiga," jelas Ben kemudian pergi meninggalkan Anna."Ya, terimakasih, Pa." Anne melangkah malas menuju kamar mandinya.
Delano masih menatap dari kaca spion mobilnya. Ia merasa ada yang aneh. Seperti biasa, semua yang terjadi seperti pernah dialaminya di alam mimpi atau bahkan alam bawah sadar ia tak yakin.'Semoga kalian baik-baik saja. Aku tak yakin, setelah aku menyadari David itu benar-benar ada. Tapi mengapa ia seolah belum pernah mengenalku? Apa dia berpura-pura?' Delano membatin sambil terus mengemudikan mobilnya.Ketika mobil Delano telah melesat jauh dari jalanan. Anna dan teman-temannya duduk berkumpul. Meskipun sebenarnya mereka lebih banyak merenungi nasibnya.Rasa takut kian menggerogoti jiwa mereka. Sadar atau tidak, kini hidup mereka mulai terusik. Di deretan bangku penonton, di sebuah lapangan basket. Mereka duduk berjajar sambil saling
Ben terkejut ketika tahu dirinya dipanggil ke kantor polisi. Hatinya bergejolak. Langkahnya terasa berat, bahkan perasaannya tak nyaman. Ditambah lagi ia melihat Anna dan juga teman-temannya.Delano ternyata juga turut hadir memenuhi undangan polisi. Semuanya dikumpulkan dalam satu ruangan. Secara terang-terangan polisi menginterogasi mereka."Maaf, selamat sore. Maaf mengganggu aktivitas kalian semua. Langsung saja, saya di sini ingin menanyakan poin-poin penting mengenai peristiwa pembunuhan Aleandro dan juga hilangnya Anne—putri dari Ben Daniele."Hening.Semua tampak gugup serta gemetar. Gelagat aneh tersebut ditangkap oleh mata seorang polisi bernama Alberto."Kalian diam, bera
Tangan Anna gemetar, ia salah tingkah bahkan memainkan ujung kain yang dikenakannya. Ia menatap Megan dengan tatapan tajam penuh amarah. Selain itu ia juga terus mengumpat dalam hatinya.Ia menduga kalau sang ayah meminjamkan laptop miliknya saat berkunjung ke pondok tempat tinggal mereka. Mengingat Megan adalah pacar baru dari Ben Daniele—ayah si kembar."Megan, kau benar-benar polisi menyebalkan! Ingin menikahi Papa dan menjadi ibu tiri ku? Jangan harap aku akan menyetujuinya!" ucap Anna dengan nada ditekan, kemudian pergi bersama Delano meninggalkan semua teman-temannya.**Tok ... tok ... tok ....Suara ketukan pintu mengagetkan Anna dan Delano yang sedang ber
Delano terbaring di ranjang pasien, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak mata tertutup, seolah terjebak dalam mimpi buruk yang menakutkan. Beberapa orang mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan lembut, berusaha membangunkannya dari koma panjang yang telah lama menahannya."Delano, bangunlah! Tolong bangun!" suara lembut namun tegas memanggilnya.Perlahan, Delano membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Matanya kemudian fokus pada sosok di sisi ranjangnya. "Papa?" Delano berkata dengan suara serak, penuh ketidakpercayaan. "Papa Hilton?"Jeff Hilton, ayahnya yang sudah lama ia kira meninggal, duduk di sana dengan senyuman penuh kelegaan."Ya, Nak. Ini Papa," jawab Jeff dengan suara lembut, menyentuh tangan Delano dengan lembut.Delano menatap sekeliling, melihat wajah-wajah yang begitu akrab namun terasa seperti dari dunia lain. Di dekat pintu, seorang pria botak berdiri denga
"Tuan, Delano, saya sangat menganjurkan untuk beristirahat sejenak," ujar Oscar dengan nada penuh kekhawatiran, mencoba meyakinkan Delano yang masih tegar berdiri meski tubuhnya bergoyang-goyang."Dengarlah, Delano. Kesehatanmu sangat penting," tambah Miranda, ibu Delano, sambil menggenggam erat tangan anaknya. "Kami semua khawatir padamu."Delano menggeleng tegas, matanya bersinar penuh tekad. "Saya tidak bisa beristirahat, Ibu. Saya harus menemukan gadis itu, membantunya sebelum terlambat."Oscar mendesah, mencoba meredakan kepanikan yang mulai melanda. "Tapi, Delano, kamu tidak dalam keadaan yang baik. Kamu butuh istirahat.""Tidak, Oscar. Saya sudah memberikan kata-kata saya pada gadis itu, dan saya akan memenuhinya," balas Delano, suaranya terdengar lemah namun penuh tekad. "Saya tidak bisa tinggal diam ketika seseorang membutuhkan bantuan."Miranda menatap putranya dengan penuh kebanggaan, meskipun juga khawatir. "Kamu adalah anak yang mulia, Delano. Tapi, pikirkanlah juga keseh
Cahaya berkilauan di sekeliling Ben Daniel, melibatkan tubuh Delano dalam mantra penggabungan jiwa. Sementara itu, saat Delano melafalkan mantra tersebut, keajaiban terjadi. Di tengah keheningan, suasana berubah, dan tiba-tiba, Delano merasakan sensasi transmisi yang menakjubkan. Dalam sekejap, Delano terbangun di sebuah kasur empuk, menyadari bahwa ia berada di dalam istana yang ia yakini sebagai keluarga ayahnya. Keheranan meliputi dirinya sendiri, dan dalam kebingungan, ia melihat ibunya—Oscar, mendekatinya dengan penuh kelembutan. Dengan mata penuh kegembiraan, Oscar menceritakan kisah pahit selama tiga bulan terakhir. Delano, tanpa sadar, telah berada dalam koma yang panjang. Perasaan kehilangan dan rindu ibu yang menyayangi anaknya menjadi permainan emosi di antara mereka, meruntuhkan hati Delano yang baru saja terbangun dari dunia lain. Miranda menatap Delano dengan matanya yang penuh kekhawatiran, "Delano, bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan selama ini?" Delano meng
Usai membantu membebaskan Anna dari cengkraman makhluk jahat, Ben Daniel segera menjadi remaja dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara di dalam rumah usang di tengah hutan, masih menyisakan suasana mencekam.Ben Daniel merasakan detak jantungnya semakin cepat saat ia melihat Delano berubah menjadi makhluk yang menakutkan. Dengan tangan gemetar, ia segera meraih botol ramuan yang telah disiapkan sebelumnya. "Kembalilah, Delano!" serunya sambil berusaha menjaga kestabilan emosinya.Delano yang kini tampak seperti makhluk buas, merintih kesakitan saat ramuan itu menyentuh kulitnya. Bulu-bulu lebatnya mulai rontok, dan matanya yang tajam terlihat melemah. "Aku... tidak ingin melukaimu, Delano," Ben Daniel berbisik sambil terus mengoleskan ramuan itu.Sambil terus mengucapkan mantra dengan penuh konsentrasi, ia merasakan energi magis mengalir dari tubuhnya ke ramuan. Dia merasa bahwa ada kekuatan di dalam dirinya yang dapat melawan pengaruh gelap yang merasuki Delano. Pandangan mata
Dari embusan angin yang terasa kencang seolah menampar-nampar wajah, Ben Daniel sudah menyadari kehadiran sosok jahat di dekat Delano. Dengan cekatan, tapi diam-diam, Ben Daniel menyembunyikan botol kecil berisi ramuan yang dibuatnya sendiri di balik baju yang ia kenakan. Kemudian, ia mendorong kendaraan miliknya yang sebelumnya sempat ia sembunyikan di bawah rerantingan kering dan juga dedaunan yang menutupinya. Namun, yang mengejutkan. Tiba-tiba saja mobil tersebut bergerak cepat seolah ringan melesat cepat di jalanan sambil disentuh pelan. Delano, kau meminta bantuan kepada siapa? Tanya Ben Daniel sambil menatap tajam, seolah mengisyaratkan kemarahan. Delano tergemap seketika. Bibirnya terkatub rapat. Tak ada kecuali katapun yang keluar sebagai pembelaan, sedangkan matanya membelalak lebar. "Delano!" bentak Ben Daniel. Delano berjingkrak dan kembali menatap si empunya mobil tua yang baru saja dikeluarkan dari tempat persembunyiannya. "Tidak ada, Om. Mungkin perasaan Om Ben s
Delano melangkah perlahan ketika hendak menemui Ben Daniel. Pria paruh baya itu, bahkan bisa menerka jika Delano sedang mencemaskan sesuatu dari mukanya yang sedang ditekuk."Ayo kita pergi sekarang!" ajak Ben Daniel, meski sedikit ragu.Perlahan ia melangkah keluar rumah. Namun, Delano tetap berdiri di pijakannya. Tercekat tanpa kata."Delano, ayo! Tidak ada waktu untuk melamun. Anakku dalam bahaya!" teriaknya.Ben Daniel sengaja bersuara keras agar Delano yang pikirannya tampak terganggu segera kembali fokus dan santai mengikuti langkahnya.Bukannya melangkah, akan tetapi Delano yang saat itu masih berdiri di taman pintu justru terjatuh dan terkulai lemas di lantai.Seolah mengalami demam tinggi, pemuda itu kembali terlihat aneh. Tubuhnya yang menggigil pun mengeluarkan suara erangan menyeramkan.Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah seklera matanya saja. Terang saja mata Ben Daniel membulat sempurna. Saya benar-benar terkejut dengan perubahan Delano.Delano, apakah ini artinya
Karena merasa terganggu dengan bisikan-bisikan gaib. Akhirnya, Delano memutuskan menggunakan penutup mata. Ia mencari-cari seutas tali menyerupai pita lebar berwarna hitam. Segera. Dengan cekatan, tangannya memegangnya dan mengikat memutar di kepalanya hingga pelupuk matanya benar-benar tertutup.'Kali ini kau bahkan tak bisa mengusik pikiranku. Tapi aku juga tidak ingin melihat bagaimana pun wujud aslimu. Dasar, iblis sialan!' Batin Delano terus merutuk.Dengan mata terpejam, jemarinya genggam kuas yang sudah ia oleskan ke palet dengan warna yang sudah ia hapal tata letaknya di palet sebelumnya. Setelahnya, ia goreskan di kanvas yang sebelumnya melukis gambar Daren setengah jadi.Anehnya. Delano mahir melukis meski dengan mata tertutup sekalipun. Ia bahkan tidak kesulitan memilih warna di palet, dan gambar yang dihasilkan pun sangat rapi. Ya. Lukisan tersebut benar-benar menggambar wajah tampan Daren yang sedang duduk di sebuah kursi dengan bantalan empuk berwarna hitam.Seolah sedan
Suasana sepi disertai angin berembus kencang dan juga gemericik hujan yang tak kunjung pergi membuat Delano semakin resah. Ia seakan patah semangat. Dan memilih duduk menunggu di sudut ruangan. "Om Ben, apakah waktu yang dibutuhkan untuk meracik ramuanmu itu sangat lama?" tanya Delano sambil menampakkan wajah sendunya. "Tergantung," balas Ben menatap sekelias sepersekian menit kemudian tatapannya kembali ke arah kendi keramik yang di genggamnya. "Jelasin yang rinci dong! Nanggung banget, yang di culik sebenarnya anak siapa sih?" geram Delano saat menyadari respons Ben yang seolah biasa saja. “Anak Om Ben sama Lisa, sudah pernah dibahas! Saya ngomong tergantung, sebab belum tahu apakah bahan yang mau saya racik itu sudah lengkap atau tidak," jelas Ben seolah mencoba menekan agar Delano diam. Benar. Delano tercengang mendengarnya. Kemudian ia memilih diam memandang sekilas tentang David. Dan pikirannya kembali, seperti kaset yang diputar. Ia mengingat David pernah datang berulang k
Malam semakin pekat, di bawah guyuran hujan deras disertai badai, seorang gadis terkulai tak berdaya dalam keadaan terperangkap di dalam mobilnya.Tak ada seorang pun yang melintas. Angin semakin kencang, semua berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya ia sadarkan diri juga. Lehernya masih terasa perih. Tak banyak yang dapat ia lakukan, kecuali menunggu seraya meraba lehernya yang berlubang dan basah akan cairan kental berbau anyir dengan warna merah pekat.Waktu terasa lama jika menunggu. Dengan napas yang terasa berat, Anna berusaha bangkit dari kursi kemudinya. Sakit. Kepalanya bahkan terasa pusing.Badai terasa hampir reda. Hal yang paling ia takutkan saat ini hanya satu. Kematian. Ia tidak ingin mati sia-sia setelah menempuh perjalanan yang mengorbankan dirinya. Ia sangat berharap untuk bisa bertemu dengan Delano atau bahkan Ben Daniel sebelum maut menghampirinya."Delano," rintihnya. Suaranya nyaris tak terdengar akibat menahan sakit dengan dua luka berlubang di leher yang terus m