Astagfirullah ....Aku beristigfar lirih mendengar kabar dari Mas Adam. Dengan saksama telingaku mendengarkan penuturan darinya. Tiga orang lainnya yang berada di dalam mobil hanya diam sembari menunggu. Segera kututup telepon setelah mengucap terima kasih.“Ada apa, Yang?”“Aldrin resmi jadi tersangka, Mas. Dia sudah jadi tahanan di rutan Dili.”“Terus kenapa kamu kayak kaget begitu, Yang?”“Dia masuk penjara gara-gara kasus lain. Percobaan pembunuhan pada ayah angkatnya sendiri.”“Maksudnya ... Om Heru?”Aku mengangguk.“Kalian pada ngomongin soal apa? Siapa yang masuk penjara?” tanya Ibu, dan tatapan Ayah dari kaca tengah mobil juga seolah-olah ikut menunggu jawaban dariku.Aku lebih dulu menoleh pada Mas Vino. Meminta izin untuk menjelaskan semuanya. Mereka juga perlu tahu. Suamiku hanya mengangguk dengan senyum tipis. Namun, mobil sudah berbelok ke arah gang masuk rumah.“Nanti Kalila pasti cerita, Bu, Yah.”“Yawis, Nduk. Nanti saja. Ini kita sudah sampai.”Ayah dan Ibu turun leb
Nawang sakit? Lalu, apa hubungannya datang kemari? Memangnya kami keluarga dokter? Aku terus memerhatikan Gendis yang kini sudah duduk di sofa ruang tamu. Insiden beberapa hari yang lalu tentu membuat kami semua bertanya-tanya, kenapa Nawang sakit tetapi salah satu anggota keluarganya malah datang kemari?“Ada apa, Nak Gendis? Kakakmu kenapa?” tanya Ibu memulai obrolan.“Sebelumnya Gendis mohon maaf, Om, Tante, Mbak Kalila, dan terlebih Mas Vino. Gendis pun ke sini tanpa sepengetahuan Papa dan Mama.” Ucapannya terjeda dengan helaan napas lesu. “Papa Mama ngelarang Gendis ngasih tahu Mas Vino kalau Mbak Na sedang sakit.”“Memangnya Nawang sakit apa?” tanya Mas Vino dengan nada datar.“Enggak tahu, Mas. Dua hari Mbak Na enggak mau keluar dari kamar. Makanan yang dianterin ke kamarnya pun enggak disentuh sama sekali. Sampai akhirnya kami kira dia tertidur, tapi ternyata dia pingsan.”“Walau seorang perawat, dia paling anti di bawa ke rumah sakit jika badannya bermasalah. Akhirnya, Papa
Satu masalah selesai, masalah lain datang menghadang. Mungkin memang seperti itu cara semesta mendewasakan manusia. Sebab sejatinya, tidak ada kenikmatan tanpa ujian.Entah kenapa aku lebih stabil dan tidak meledak-ledak menghadapi pelakor kali ini. Menurutku, Nawang tidak semembahayakan Nindi yang lebih nekat dalam setiap tindakannya.Setelah dua minggu hanya beraktivitas di tempat tidur, kini Mas Vino dan mertua mulai memberi izin untuk kami jalan-jalan menghirup udara segar. Pulang dari RS untuk kontrol dan melakukan USG, aku sengaja membujuk Mas Vino untuk datang ke rumah orang tua Nawang. Bukan untuk menjenguknya, tetapi ingin berkunjung karena baby Wira sedang liburan ke rumah kakek neneknya."Loh, Nak Vino? Nak Kalila? Tumben?" Ibu Gendis tampak kaget melihat kedatangan kami."Iya, Tante, mau main sama baby Wira sekalian ketemu Ratu," ucapku sembari mencium punggung tangannya.Ada senyum tipis dan kelegaan dari mimik wajah wanita paruh baya tersebut. Mungkin beliau mengira kami
"Lu keren banget tadi, Nu.""Bukannya dari dulu gue udah keren?""Ah, nyesel muji!" balas Mas Vino.Wisnu terkekeh. “Lu lupa, Vin? Kisah yang gue ceritain ke Nawang, kan, asalnya dari lu?”“Masa?”“Belum jadi bapak udah pikun.”Kali ini ganti Mas Vino yang terkekeh. “Iya, gue inget, kok. Dan kisah itu gue dapet dari Ayah. Beliau kasih nasihatnya pas gue galauin cewek.”“Cewek yang mana?”“Yang udah ngobrak-ngabrik hati gue sampe enggak bisa move on, dan akhirnya kami nikah.”“Cie ....” Ratu dan Wisnu kompak bersorak.Aku hanya tersenyum melihat keakraban Mas Vino dan perwira TNI itu. Mungkin juga kini wajahku sudah bersemburat merah disoraki layaknya anak ABG yang sedang digombali gebetan. Duh ... jadi berbunga-bunga begini rasanya.Dan aku tidak menyangka, bahwa petuah Wisnu yang berhasil meluluhkan amarahku saat melihat kesadaran dari Nawang ternyata berasal dari suamiku sendiri. Ah, ternyata Papa tidak salah memilihnya untuk menjadi menantu. Selain tampan dan kaya, ia juga agamis.
"Eh. Serius?" Binar di wajah Mas Vino berpendar penuh makna.Aku tersenyum. "Tapi harus slow and smooth. Jangan terlalu semangat kayak biasanya.”“Asiaaap!” Mas Vino langsung menyapu bibirku sekilas. “Kita salat Isya dulu.”“Siap, boskyu!”Benar kata Mas Vino, semesta selalu punya cara untuk melebur setiap rasa pada manusia. Tak selamanya yang keras akan membatu, yang curang akan menang, dan tak semua keinginan manusia harus sejalan dengan rencana. Allah Maha Rahman, Allah Maha Rahim. Dia tidak memberikan apa yang diinginkan hamba-Nya, tetapi Dia akan memberikan apa yang dibutuhkan oleh kita.Ketika tahu Nawang sakit karena cintanya tak sampai, aku sempat berpikir bahwa drama ini akan panjang hingga menyeret Mas Vino sebagai pemicu awalnya. Namun, saat aku bersikap tenang dan memasrahkan semuanya pada Sang Pemilik Kehidupan, ternyata tanpa diduga jalan keluar sudah disiapkan oleh Tuhan. Tuhan memang tak menjanjikan hidup kita selalu indah. Namun, Dia berkata bahwa sesudah kesulitan
Sebulan berlalu. Kini, kandunganku sudah berusia lima bulan. Aku mulai kembali beraktivitas walau hanya di depan laptop. Mas Vino masih melarangku untuk melihat kondisi hotel sekalipun dokter sudah mengizinkan jika ingin bepergian.“Ayolah, Mas ... aku pengen gerak lagi,” rayuku.“Bukannya setiap saat kamu juga udah gerak? Bernafas juga gerak, kan? Makan, jalan dari ranjang ke kamar mandi, nonton TV, salat, semua juga termasuk gerak, Sayang.”“Bukan itu maksudnya, Mas ....”Suamiku terkekeh. “Terus yang kayak gimana? Hm?” Salah satu tangannya menopang kepala dengan posisi tidur miring, sementara tangan satunya lagi terulur mengelus-elus perutku.“Aku harus ikut turun tangan nyiapin wedding-nya Luna.”“Harus?”“Iyalah, Mas. Dia sama Ratu itu sahabat aku. Pas Ratu nikah, aku aja sibuk ikut persiapin semuanya walau udah ada tim yang ngerjain. Enggak adil kalau giliran Luna nikah akunya diem-diem bae.”“Siapa bilang kamu diem? Ponsel terus berdering, teleponan enggak berhenti, chat juga l
Pecahan vas bunga di meja santai serambi samping berserakan di lantai. Mas Alan terduduk di kursi dengan memijit pelipis.“Kamu baik-baik aja, Lan?” tanya Mama lembut sembari menyentuh pundak keponakannya.Mas Alan menoleh. “Maaf, Tan. Vas-nya pecah.”“Enggak pa-pa. Tapi, kamu kenapa?”“Permisi, Bu. Ada tamu buat Bu Mirna.” Mbak Lastri datang dengan sedikit tergopoh.“Buat saya? Siapa, Mbak?”“Bu RW, Bu.”“Oh, sudah datang. Ya sudah, entar saya keluar. Mbak Las, tolong ini diberesin dulu. Nanti kalau udah, tolong buatin minum dan bawa camilan ke ruang tamu, ya, Mbak!” pinta Mama.“Baik, Bu.”Mama mendekat dan berbisik, “Kal, temenin Alan di sini, kayaknya dia butuh teman bicara. Mama temuin Bu RW dulu.”Aku mengangguk. Usai Mbak Lastri membersihkan pecahan vas, ia segera berlalu. Kudekati Mas Alan yang masih terdiam seolah tak menyadari kehadiranku yang duduk di kursi seberang meja.Mataku sempat menatap ke dalam. Mas Vino bertanya ‘ada apa?’ dengan gerakan bibir tanpa suara. Aku han
“Ehhem!” Mas Vino berdehem dengan langkah menuruni tangga. Mas Adam langsung menurunkan tangannya dari bahu kursi makan. Ia beranjak dan menyapa Mas Vino.“Apa kabar Vin?”“Alhamdulillah baik, Mas.” Mereka saling menjabat tangan. Tak berapa lama Mas Alan datang dan bergabung. Entak kenapa mereka semua malah ikut duduk di meja makan. Mas Vino mendekatiku. “Anaknya doang yang dikasih makan, papanya juga mau, lho.” Suamiku semakin mendekat dan mengarahkan sendok yang kupegang masuk ke dalam mulutnya.Wajahnya berbinar dan minta disuapi lagi. Sempat kulirik Mas Adam dan Mas Alan. Mereka berdua terlihat bengong sebentar, lalu kembali berbincang. Ah, Mas Vino bisa saja balas dendamnya. Sementara Adiba sedikit cemberut.“Diba, sini, deh. Om pangku, ya.” Mas Vino mengangkat Adiba dan mendudukkan putri Mas Adam itu di pangkuannya.Mungkin ia tak masalah dengan Adiba jika memanggilku dengan sebutan Mama. Namun, rasa-rasanya ia tak suka jika polisi berstatus duda itu mendekati istrinya ini de