Nawang sakit? Lalu, apa hubungannya datang kemari? Memangnya kami keluarga dokter? Aku terus memerhatikan Gendis yang kini sudah duduk di sofa ruang tamu. Insiden beberapa hari yang lalu tentu membuat kami semua bertanya-tanya, kenapa Nawang sakit tetapi salah satu anggota keluarganya malah datang kemari?“Ada apa, Nak Gendis? Kakakmu kenapa?” tanya Ibu memulai obrolan.“Sebelumnya Gendis mohon maaf, Om, Tante, Mbak Kalila, dan terlebih Mas Vino. Gendis pun ke sini tanpa sepengetahuan Papa dan Mama.” Ucapannya terjeda dengan helaan napas lesu. “Papa Mama ngelarang Gendis ngasih tahu Mas Vino kalau Mbak Na sedang sakit.”“Memangnya Nawang sakit apa?” tanya Mas Vino dengan nada datar.“Enggak tahu, Mas. Dua hari Mbak Na enggak mau keluar dari kamar. Makanan yang dianterin ke kamarnya pun enggak disentuh sama sekali. Sampai akhirnya kami kira dia tertidur, tapi ternyata dia pingsan.”“Walau seorang perawat, dia paling anti di bawa ke rumah sakit jika badannya bermasalah. Akhirnya, Papa
Satu masalah selesai, masalah lain datang menghadang. Mungkin memang seperti itu cara semesta mendewasakan manusia. Sebab sejatinya, tidak ada kenikmatan tanpa ujian.Entah kenapa aku lebih stabil dan tidak meledak-ledak menghadapi pelakor kali ini. Menurutku, Nawang tidak semembahayakan Nindi yang lebih nekat dalam setiap tindakannya.Setelah dua minggu hanya beraktivitas di tempat tidur, kini Mas Vino dan mertua mulai memberi izin untuk kami jalan-jalan menghirup udara segar. Pulang dari RS untuk kontrol dan melakukan USG, aku sengaja membujuk Mas Vino untuk datang ke rumah orang tua Nawang. Bukan untuk menjenguknya, tetapi ingin berkunjung karena baby Wira sedang liburan ke rumah kakek neneknya."Loh, Nak Vino? Nak Kalila? Tumben?" Ibu Gendis tampak kaget melihat kedatangan kami."Iya, Tante, mau main sama baby Wira sekalian ketemu Ratu," ucapku sembari mencium punggung tangannya.Ada senyum tipis dan kelegaan dari mimik wajah wanita paruh baya tersebut. Mungkin beliau mengira kami
"Lu keren banget tadi, Nu.""Bukannya dari dulu gue udah keren?""Ah, nyesel muji!" balas Mas Vino.Wisnu terkekeh. “Lu lupa, Vin? Kisah yang gue ceritain ke Nawang, kan, asalnya dari lu?”“Masa?”“Belum jadi bapak udah pikun.”Kali ini ganti Mas Vino yang terkekeh. “Iya, gue inget, kok. Dan kisah itu gue dapet dari Ayah. Beliau kasih nasihatnya pas gue galauin cewek.”“Cewek yang mana?”“Yang udah ngobrak-ngabrik hati gue sampe enggak bisa move on, dan akhirnya kami nikah.”“Cie ....” Ratu dan Wisnu kompak bersorak.Aku hanya tersenyum melihat keakraban Mas Vino dan perwira TNI itu. Mungkin juga kini wajahku sudah bersemburat merah disoraki layaknya anak ABG yang sedang digombali gebetan. Duh ... jadi berbunga-bunga begini rasanya.Dan aku tidak menyangka, bahwa petuah Wisnu yang berhasil meluluhkan amarahku saat melihat kesadaran dari Nawang ternyata berasal dari suamiku sendiri. Ah, ternyata Papa tidak salah memilihnya untuk menjadi menantu. Selain tampan dan kaya, ia juga agamis.
"Eh. Serius?" Binar di wajah Mas Vino berpendar penuh makna.Aku tersenyum. "Tapi harus slow and smooth. Jangan terlalu semangat kayak biasanya.”“Asiaaap!” Mas Vino langsung menyapu bibirku sekilas. “Kita salat Isya dulu.”“Siap, boskyu!”Benar kata Mas Vino, semesta selalu punya cara untuk melebur setiap rasa pada manusia. Tak selamanya yang keras akan membatu, yang curang akan menang, dan tak semua keinginan manusia harus sejalan dengan rencana. Allah Maha Rahman, Allah Maha Rahim. Dia tidak memberikan apa yang diinginkan hamba-Nya, tetapi Dia akan memberikan apa yang dibutuhkan oleh kita.Ketika tahu Nawang sakit karena cintanya tak sampai, aku sempat berpikir bahwa drama ini akan panjang hingga menyeret Mas Vino sebagai pemicu awalnya. Namun, saat aku bersikap tenang dan memasrahkan semuanya pada Sang Pemilik Kehidupan, ternyata tanpa diduga jalan keluar sudah disiapkan oleh Tuhan. Tuhan memang tak menjanjikan hidup kita selalu indah. Namun, Dia berkata bahwa sesudah kesulitan
Sebulan berlalu. Kini, kandunganku sudah berusia lima bulan. Aku mulai kembali beraktivitas walau hanya di depan laptop. Mas Vino masih melarangku untuk melihat kondisi hotel sekalipun dokter sudah mengizinkan jika ingin bepergian.“Ayolah, Mas ... aku pengen gerak lagi,” rayuku.“Bukannya setiap saat kamu juga udah gerak? Bernafas juga gerak, kan? Makan, jalan dari ranjang ke kamar mandi, nonton TV, salat, semua juga termasuk gerak, Sayang.”“Bukan itu maksudnya, Mas ....”Suamiku terkekeh. “Terus yang kayak gimana? Hm?” Salah satu tangannya menopang kepala dengan posisi tidur miring, sementara tangan satunya lagi terulur mengelus-elus perutku.“Aku harus ikut turun tangan nyiapin wedding-nya Luna.”“Harus?”“Iyalah, Mas. Dia sama Ratu itu sahabat aku. Pas Ratu nikah, aku aja sibuk ikut persiapin semuanya walau udah ada tim yang ngerjain. Enggak adil kalau giliran Luna nikah akunya diem-diem bae.”“Siapa bilang kamu diem? Ponsel terus berdering, teleponan enggak berhenti, chat juga l
Pecahan vas bunga di meja santai serambi samping berserakan di lantai. Mas Alan terduduk di kursi dengan memijit pelipis.“Kamu baik-baik aja, Lan?” tanya Mama lembut sembari menyentuh pundak keponakannya.Mas Alan menoleh. “Maaf, Tan. Vas-nya pecah.”“Enggak pa-pa. Tapi, kamu kenapa?”“Permisi, Bu. Ada tamu buat Bu Mirna.” Mbak Lastri datang dengan sedikit tergopoh.“Buat saya? Siapa, Mbak?”“Bu RW, Bu.”“Oh, sudah datang. Ya sudah, entar saya keluar. Mbak Las, tolong ini diberesin dulu. Nanti kalau udah, tolong buatin minum dan bawa camilan ke ruang tamu, ya, Mbak!” pinta Mama.“Baik, Bu.”Mama mendekat dan berbisik, “Kal, temenin Alan di sini, kayaknya dia butuh teman bicara. Mama temuin Bu RW dulu.”Aku mengangguk. Usai Mbak Lastri membersihkan pecahan vas, ia segera berlalu. Kudekati Mas Alan yang masih terdiam seolah tak menyadari kehadiranku yang duduk di kursi seberang meja.Mataku sempat menatap ke dalam. Mas Vino bertanya ‘ada apa?’ dengan gerakan bibir tanpa suara. Aku han
“Ehhem!” Mas Vino berdehem dengan langkah menuruni tangga. Mas Adam langsung menurunkan tangannya dari bahu kursi makan. Ia beranjak dan menyapa Mas Vino.“Apa kabar Vin?”“Alhamdulillah baik, Mas.” Mereka saling menjabat tangan. Tak berapa lama Mas Alan datang dan bergabung. Entak kenapa mereka semua malah ikut duduk di meja makan. Mas Vino mendekatiku. “Anaknya doang yang dikasih makan, papanya juga mau, lho.” Suamiku semakin mendekat dan mengarahkan sendok yang kupegang masuk ke dalam mulutnya.Wajahnya berbinar dan minta disuapi lagi. Sempat kulirik Mas Adam dan Mas Alan. Mereka berdua terlihat bengong sebentar, lalu kembali berbincang. Ah, Mas Vino bisa saja balas dendamnya. Sementara Adiba sedikit cemberut.“Diba, sini, deh. Om pangku, ya.” Mas Vino mengangkat Adiba dan mendudukkan putri Mas Adam itu di pangkuannya.Mungkin ia tak masalah dengan Adiba jika memanggilku dengan sebutan Mama. Namun, rasa-rasanya ia tak suka jika polisi berstatus duda itu mendekati istrinya ini de
“Dia ....”“Lan, kita balik ke hotel, yuk! Besok balik lagi ke sini. Aku capek.” Suara wanita memotong kalimat Mas Alan.“Eh, iya, El. Bentar. Aku baru ngabarin Kalila kalau udah sampai Dili.”“Oh, oke. Aku tunggu di parkiran, ya.”“Iya. Ini udah selesai, kok.”“Emang sekarang kamu sama Mbak Eliz lagi di mana, Mas?”“Begitu landing, kita langsung menuju rumah sakit, Kal.”Aku hanya mengangguk-angguk. Mas Alan segera mematikan sambungan dan berjanji akan menelepon lagi nanti. “Siapa?” tanya Mas Vino.“Mas Alan.”“Udah sampai dia?”“Udah, malah mereka ....” Aku menepuk kening mengingat sesuatu yang belum sempat disampaikan oleh Mas Alan tadi.“Mereka kenapa, Yang?”“Tadi Mas Alan ada bilang sesuatu tentang adik dari ibunya mantan Mbak Eliz yang jadi penyebab beliau masuk RS. Tapi, belum sempet ngomong sambungan udah diputus.”“Ya sudah nanti ditelepon lagi.”Aku mengangguk. Mas Vino menatap dengan pandangan mengepung.“Kenapa?”“Ee ... aku udah minta bantuan Salma buat nyiapin kamar ya
Aku masih bergeming, menatap wanita bergamis biru dongker senada dengan hijab lebarnya itu. Vika tampak tenang dalam gendongannya, sebab sesekali Nindi akan mengajaknya bercanda. "Kamu cantik banget, Sayang. Mirip mamamu, tapi hidung dan matamu mewarisi milik papamu." Vika hanya menatap orang yang tengah menggendongnya, tetapi sesekali mengoceh seolah-olah tengah menimpali obrolan Nindi. "Wah ... kamu pintar. Udah bisa merespons kalau diajak bicara," pujinya dengan terus menatap wajah lucu putriku. Namun, tidak berapa lama Vika merengek. Setelah dilihat, ternyata dia pup. "Biar Mama saja yang ganti popoknya, Kal. Kamu di sini saja temani tamu kita." Aku hanya mengangguk. Setelah kepergian Mama, tiba-tiba Nindi mendekat dan bersimpuh di dekat kakiku. "Eh, Mbak ngapain?" Aku mengganti panggilan yang semula Kakak menjadi Mbak. Tangannya terulur dan menggenggam kedua tanganku. "Makasih, Kal. Makasih karena kamu dan Vino sudah memaafkan Aldrin." "Iya, Mbak, iya. Tapi ... jangan beg
Aku ikut menitikkan air mata melihat Mas Alan tergugu dalam dekapan Papa. Pria matang yang kini telah resmi menghalalkan sang kekasih itu masih erat memeluk satu-satunya wali atas dirinya itu. Cinta pertamaku masih terus menepuk-nepuk bahu sang keponakan."Sudah, ini hari bahagiamu, bukan? Jangan jadi lelaki cengeng," ucap Papa menggoda Mas Alan."Alan enggak akan ngelupain semua kebaikan Om dan Tante.""Kami orang tuamu, Nak. Sudah sepantasnya kami merawat dan menjagamu dengan sebaik-baiknya.""Bahkan ibu dan ayah–""Sudah ...," potong Papa. "Jangan kamu sebut-sebut lagi kesalahan mereka dulu. Om sudah mengikhlaskan semuanya. Mereka sudah tenang di sisi-Nya."Aku pun belum lama mendengar cerita sesungguhnya dari Papa siapa orang tua Mas Alan. Ibu Mas Alan masih terbilang saudara walau urutannya terbilang jauh. Saat itu keuangan keluarga Mas Alan melemah. Sang ayah yang suka main judi setelah usahanya gulung tikar selalu mendesak istrinya untuk meminjam uang pada Papa. Melati–ibu Ma
Vika Zara Kamilah. Kemenangan putri yang sempurna. Nama Vika sendiri diambil dari gabungan namaku dan suami. Vi-Ka, Vino dan Kalila."Nggak mau tahu, pokoknya kita harus besanan, Kal," ucap Ratu bersemangat saat menimang putriku. "Ya ampun, Sayang ... kamu cantik banget ...," lanjutnya sembari mencium gemas pipi Vika."Gantian, dong, Tu. Gue juga mau gendong si Vika," sela Luna."Entar. Kalila, kan, masih marah sama lu."Luna menggaruk-garuk tengkuknya dengan nyengir kepadaku."Bisa-bisanya lu ngira calon besan gue itu setan."Aku mengangguk seraya memajukan bibir walau dalam hati tergelak melihat Luna yang kembali kikuk. Ya, aku memang sempat dinyatakan meninggal walau tidak kurang dari satu jam. Mungkin bisa disebut mati suri.Mas Vino bilang, setelah aku dinyatakan pingsan usai Vika keluar dari rahim, perlahan kuku jemariku mulai menghitam. Setelah diperiksa, dokter pun menyatakan denyut jantungku sudah berhenti dan fungsi otak juga tidak ada tanda-tanda aktivitas lagi."Perasaan
Semalaman Mas Vino menemaniku dengan terus terjaga. Aku sudah menyuruhnya tidur walau sebentar, tetapi dia menolak. Usai salat Subuh, dokter kembali mengecek jalan lahirku, dan beliau bilang sebentar lagi.“Alhamdulillah, sudah hampir mendekati, Bu. Dan ini termasuk cepat untuk persalinan pertama,” ucap dokter dengan tag name Susiana itu. “Sebaiknya ibu makan dulu atau minimal minum susu. Saya akan kembali satu jam lagi.”Sedari tadi, ayat-ayat Al-Quran terus Mas Vino bacakan dekat perutku. Satu hal yang membuatku jatuh cinta berkali-kali padanya. Menantu Papa itu sudah menghafal Surat Ar-Rahman. Semalam saat aku setengah tertidur, ia melafalkannya dengan kedua tangan memegangi perut istrinya ini.Fabiayyi ala irobbikuma tukadz-dziban ... maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?Dititipi suami tampan, saleh, berkecukupan materi, dan baik hati. Ya, hanya dititipi. Bukannya di dunia ini tidak ada seorang pun yang ditakdirkan untuk memiliki? Sebab, sejatinya semua hanya sedang
Aku terus mengaduh. Sakit yang dirasa kian melilit. Mas Vino masuk dan berteriak memanggil Mama Papa. Aku hendak berdiri, tetapi Luna dan Mbak Eliz menahan.“Mau ke mana, Kal?” tanya Mbak Eliz.“Jalan-jalan aja sekitar sini, Mbak. Kalau sakitnya cuma karena kontraksi palsu, pasti berangsur-angsur hilang jika dibuat jalan-jalan," jelasku yang sambil berdiri dan mulai berjalan-jalan di area taman.Mbak Eliz dengan sigap mengikutiku, pun dengan Luna. Satu tanganku berkacak di pinggang bagian belakang, sementara satunya lagi mengelus perut. Tidak lupa bibir terus kubasahi dengan kalimat-kalimat zikir dan selawat. Tidak berapa lama beberapa derap langkah terdengar datang dari dalam rumah."Nak! Kalila!"Aku menoleh dengan kaki terus melangkah pelan. Mama sedikit tergopoh-gopoh menghampiri."Udah kerasa?" tanya wanitaku yang menempelkan tangannya di lengan putrinya ini."Enggak tahu, Ma. Mulesnya sebentar datang, sebentar hilang. Tapi lama-lama makin kerasa." Aku meringis merasai sakit yang
Dalam keremangan, langkahku terus maju menuju taman samping di dekat kolam renang. Pintu kupu tarung berbahan kaca itu kudorong perlahan. Di sana tampak seorang pria tampan sedang mengenakan kemeja panjang warna maroon, salah satu warna favoritku.Kedua tangannya yang disimpan ke belakang terlihat menyimpan sesuatu. Seperti sebuah buket, mungkin buket bunga. Walau masih heran ini acara apa, tak ayal senyumku pun mengembang saat pria itu melangkah menuju arahku."Selamat ulang tahun, Ratuku," ucapnya dengan tatanan rambut yang sangat rapi. Entah kapan Mas Vino mengganti baju dan menyisir rambutnya.Ah, aku bahkan lupa jika hari ini memang tanggal dan bulan di mana dua puluh enam tahun lalu aku melihat dunia. Ternyata Mas Vino mengingatnya.Sebuah buket bunga Lily ia persembahkan untukku. Aku menerimanya dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Sayang."Mas Vino mengangguk dan maju untuk mencium keningku. Sepersekian detik aku hanya bergeming, hingga kemudian rasa bahagia bercampur haru
Setelah bercerita panjang lebar dengan Damian tentang siapa Om Heru berikut Aldrin, pria itu mengangguk-angguk sebentar, kemudian terlihat seperti berpikir."Jadi ... si Nindi ini sedang mengandung bayi dari Aldrin, anak angkat Om Heru, begitu?""Entahlah. Kami belum begitu yakin. Itu benar bayi Aldrin seperti pengakuan Nindi atau malah anak Om Heru. Kami tidak tahu, Pak Ian."Damian meminta kami memanggilnya dengan nama Ian. Sapaan akrabnya."Kami ingin memastikan jika benar janin dalam kandungannya adalah anaknya Aldrin. Semoga setelah tahu kebenarannya, kami bisa mengambil keputusan bijak bagaimana nantinya."Mau tidak mau aku pun bercerita tentang kejahatan Aldrin yang dilakukan pada Mas Vino di awal-awal pernikahan kami. Pria dengan tatanan rambut rapi dan klimis itu berpikir sejenak. Lalu, air mukanya sedikit berubah dan langsung mengambil ponsel yang disimpan di saku celananya.Aku dan suami hanya diam memerhatikan saat pria single di hadapan kami itu menempelkan ponsel di teli
"Maaf, Pak Vino, Bu Kalila, acara bersantap jadi sedikit terjeda," ujar Damian dengan nada seperti tak enak.Pria itu kembali duduk dan bergabung dengan kami."Tidak apa-apa, Pak. Emm ... Maaf sebelumnya, tadi saya dan istri sempat dengar sedikit. Kalau boleh tahu siapa yang meninggal, ya, Pak?"Akhirnya Mas Vino mewakili rasa penasaranku walau tadi kami tak berdiskusi dulu harus bertanya apa tidak. Hanya ingin memastikan saja, bahwa wanita hamil yang dimaksud bukan ... Nindi."Oh, itu. Salah satu penghuni rumah peduli yang dibangun Mama saya, Pak.”Mas Vino melirikku sebentar.“Semacam panti, Pak?”“Iya. Tapi, yang ini khusus menampung para wanita yang hamil di luar nikah. Ada yang sebab diperkosa atau ditinggal kekasihnya begitu saja.”Aku menatap Mas Vino dengan tatapan memohon, agar ia menggali lebih dalam tentang info wanita meninggal itu.“Mari, Pak, Bu. Kita lanjut makan dulu. Nanti dilanjut lagi ngobrolnya.”Akhirnya kami mengangguk dan melanjutkan acara makan siang. Sesekali
“Denger dulu, Yang. Bukan mimpi yang enak-enak, kok. Justru mimpinya bikin aku kepikiran yang enggak-enggak.”Tak ayal kedua alisku hampir menyatu mendengar penuturannya. “Maksudnya?”“Nindi datang dengan pakaian serba putih dan wajah pucat,” jelasnya. “Wajahnya kuyu dan kantung matanya cekung, bahkan area matanya terlihat menghitam. Apa dia sedang kesulitan, ya, Yang?"Aku terdiam. Walau bukan ahli menafsirkan mimpi, tetapi kabar terakhir yang mengatakan bahwa wanita itu sedang hamil sedikit membuatku khawatir juga. Terlebih, setelahnya aku memang memblokir kontaknya agar tak mengganggu kewarasan diri ini.Apa benar bayi yang dikandungnya benar-benar darah daging Aldrin? Apa ia juga benar-benar ingin mempertahankan bayi itu, sebab sudah jatuh hati pada putra angkat sugar daddy-nya?Kalau memang benar, berarti kemungkinan besar saat ini dia sedang mati-matian berjuang untuk membantu Aldrin keluar dari penjara. Aku jadi ikut membayangkan jika berada di posisi kakak kelas masa SMA itu.