PoV Nindi (akhir)Hampir dua minggu aku hidup berdua dengan Aldrin di apartemennya. Dia dengan setia menemaniku bolak-balik ke kantor polisi untuk kasus pelecehan malam itu."Mereka salah satu komunitas LGBT yang beberapa bulan terakhir memang sangat meresahkan," ucap penyidik. "Biasanya video yang berhasil mereka rekam akan diupload ke media sosial untuk merusak moral generasi muda.""Beberapa kamera lainnya berhasil kami amankan, dan video-video yang belum mereka sebar sudah kami lenyapkan secara permanen. Jadi, Nona tidak perlu khawatir."Aku menghela napas lega. Tangan Aldrin masih setia menggenggam jemariku, memberikan tambahan dukungan."Terima kasih atas bantuannya, Pak." Lelaki di sampingku mulai berbicara. "Saya tidak tahu apa yang akan dialami oleh teman saya jika saat itu pihak kepolisian tidak sedang patroli di sekitar TKP.""Justru kami berterima kasih kepada saudara Aldrin karena membantu kami meringkus mereka.""Sama-sama, Pak. Saya hanya khawatir pada teman saya, makan
"Couvade Syndrome atau lebih dikenal dengan kehamilan simpatik." Seorang dokter kandungan memberi penjelasan. "Jadi, mual yang dialami Pak Vino itu terjadi ketika suami merasakan empati kepada istrinya yang tengah mengandung," terangnya diikuti senyum."Tapi, Dok, saat itu kami sama-sama belum tahu kalau ternyata saya sudah berbadan dua," jelasku.Dokter cantik dengan kacamata dan rambut dikepang kuda dengan ujung curly itu tersenyum."Itu wajar, kok, Bu. Suami seperti Pak Vino ini memang ada. Dan kalau kata orang tua zaman dulu, ia tak ingin istrinya terlalu payah dalam menjalani kehamilan. Makanya susahnya dibagi-bagi. Istri yang nggembol, suami yang mabok," tambah dokter dengan kekehan kecil.Mas Vino hanya tersenyum tipis, sementara aku terkikik geli dan menoel sedikit perut suami. “Padahal kita enggak ada perjanjian apa-apa, lho,” bisikku.“Sudah tes kehamilan mandiri, kan, Bu?”“Sudah, Dok.”“Baik. Mari kita lakukan USG untuk mengetahui usia kandungan secara pasti dan memeriksa
“Yang jual harus ganteng, Mas ...,” ulangku.“Iya, Mas denger, kok. Cuma bingung aja.”“Bingung kenapa?”Mas Vino tampak menggaruk alis dengan satu jari. “Ganteng versimu itu seperti apa, Yang?”“Yang sebelas dua belas sama Jeon Jungkook. Emm ... minimal seperti suamiku inilah.”“Ya ampun, Yang ... kamu tahu sendiri, kan, penjual rujak es krim mayoritas bapak-bapak atau ibu-ibu. Yang paling muda juga enggak ada yang seganteng aku.” Ucapannya terjeda dengan embusan napas panjang. “Lagian, kamu tega banget bilang gantengku minimal?”“Kamu tersinggung, Mas?”“Enggak!”“Tuh, kan, tersinggung. Buktinya, kamu jawabnya ketus.” Aku cemberut dan kembali mengunyah keripik tempe rasa balado.Mas Vino tak lagi mendebat dan memilih keluar dengan menyambar kunci mobil.“Mau ke mana, Mas?”“Ke Korea. Beli rujak es krim!”Brak! Daun pintu ditutup dengan sedikit bantingan. Dih, sensi amat!Aku hanya mengedikkan bahu. Jika biasanya wanita hamil akan mudah tersinggung dan mudah menangis, lain halnya den
“Seorang hacker yang bekerjasama dengan tim kami menemukan sebuah bukti tentang ... Zaide Aldrin Mahendra.”Kalimat yang keluar dari mulut Mas Adam berhasil menggiring pandangan kami semua tertuju kepadanya. Papa, Mas Alan, dan suamiku menegakkan punggung. Tak terkecuali aku berikut Mama."Ada bukti apa, Dam?"Mas Adam menunjukkan map yang tadi memang sudah berada di tangannya sejak awal keluar dari mobil."Tim hacker kami dengan mudah meretas nomor ponsel Aldrin berikut email yang dia tautkan dengan nomor ponselnya itu. Hari sebelum insiden Vino dan Pak Narto dihadang dua orang tak dikenal, Aldrin melakukan percakapan via pesan dan juga telepon dengan sebuah nomor yang diduga orang suruhannya.""Sebenarnya semua riwayat panggilan dan juga pesan sudah dihapus, tapi tim kami bisa mendapatkannya kembali dengan mudah. Bahkan rekaman percakapan mereka berhasil kami unduh dan chat pun sudah kami print keseluruhan. Silakan dibaca, Om!"Nada bicara Mas Adam pelan, santai, tetapi cukup tegas.
Kehadiran keluarga dan orang terdekat cukup menguatkan saat kita didera ujian hidup. Kata ‘sabar’ dan ‘jangan terlalu dipikirkan’ adalah pamungkas mereka untuk menghibur dan menenangkan. Namun, nyatanya aku tak bisa sesabar itu saat mengetahui dalang di balik insiden yang menimpa Mas Vino. Jangan terlalu dipikirkan? Mana bisa?“Mas,”“Iya, Sayang?”“Sebaiknya kita tetap tinggal di sini dulu sampai para penjahat itu diamankan,” ucapku yang tidur miring menghadap suami. “Aku takut kamu kenapa-napa.”Mas Vino tersenyum dan mengelus pipiku pelan. “Iya, aku juga khawatir sama kondisi kamu dan calon anak kita. Urusan resto dan cafe biar ayah yang handle.”“Makasih, Mas.”Aku merapatkan tubuh dan memeluk Mas Vino. Menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya yang kian membuat candu. Sementara lelakiku menempelkan bibirnya, mengecup pucuk kepala ini dengan begitu dalam.“Tahu enggak, Yang?”“Apa?”“Negara terkecil di dunia?”“Vatikan.”“Bukan.”“Merkurius.”“Lah? Itu, mah, planet. Aku kan, tanya nega
[Kapan, Lun?][Pas aku jemput Papa, sekitar seminggu yang lalu.]“Kenapa, Yang?”Aku menoleh.“Kok, mukamu langsung anyep gitu?” lanjut Mas Vino.Aku langsung menyodorkan ponsel kepadanya. Suamiku men-scrool layar dengan wajah penuh pertanyaan. Lalu, seketika matanya membola dan kembali menatap wajahku. Kukedipkan mata berulang kali dengan melirik ke arah Mama dan Ibu mertua yang masih terus berbincang. Menggeleng pelan sebagai isyarat agar jangan membahas hal ini dulu. Ibunya tak tahu apa-apa. Jangan sampai kehangatan keluarga berubah saat membahas nama Aldrin.“Kalian kenapa? Kok, malah pada diem-dieman?” Mama mulai curiga.“Ee ... anu, Ma. Luna mau merid. Kalila lagi mikir buat ngelobi dia biar pake jasa WO hotel sekaligus gedungnya.” Enggak sepenuhnya juga aku berbohong, kan?“Oh, ya? Kapan hari H-nya?”“Belum tahu, Ma. Ini lagi mikir cari waktu yang pas buat ketemuan sama Luna dan calonnya.”Mama tak lagi bertanya dan lanjut berbincang dengan besannya. Aku segera memberi kode pad
Setelah keadaannya semakin membaik tanpa mual-mual lagi, Mas Vino izin pulang ke Semarang untuk melihat kondisi resto dan beberapa proyek yang diwakilkan oleh Galang, sang asisten. “Aku ikut!” rengekku sambil bergelayut pada lengannya. Mas Vino menoleh dan mengelus lembut pipiku. “Di sini aja nemenin Mama, Yang. Papa, kan, lagi di Bali.” “Pokoknya aku ikut!” Kuentakkan kaki sedikit sebagai tanda tak mau dibantah. Calon ayah dari anak kami itu malah terkekeh. “Kenapa mau ikut? Hem?” Tak bisa memberi jawaban pasti, tetapi aku memang tak mau berjauhan dengan suami. Wangi tubuhnya benar-benar membuatku rileks. “Takut kamu digangguin ipar-iparnya Ratu!” jawabku. Mas Vino kembali terkekeh dan mencium gemas pipiku. Beberapa hari yang lalu kami mengunjungi Ratu dan Wisnu untuk menengok baby Wira, jagoan pertama mereka. Kapten TNI itu bercerita bahwa adik pertamanya, si Nawang, bertingkah aneh-aneh saat coba dikenalkan dengan laki-laki. “Dijodohin?” tanya Mas Vino. “Enggak juga,” sahut
“Gila, sih, lu, Na. Cowok seganteng dan setajir Andra lu prank begitu.”“Tapi, kalau gue jadi Nawang, sih, auto mikir-mikir juga kalau pedekate sama cowok bersih en super perfect macam Andra. Entar apa-apa dikomentarin. Kurang ini, kurang itu, harus gini, harus gitu. Iyuuuh ....”Aku hanya terkekeh mendengar teman-teman sejawat yang terlihat pro dan kontra saat tahu aku memilih mundur daripada lanjut dengan si super bersih, Andra. “Eh, emang lu beneran enggak mandi, Na, pas mau jalan sama si Andra?”“Iya. Gue cuma mandi pagi doang. Sorenya males mandi karena emang malamnya mau jalan sama dia. Tapi, pas pulang gue langsung mandi.”“Terniat banget jadi perawan ting-ting.”“Sialan, lu!” Kulempar Ayu dengan tutup pulpen.“Masih nungguin suami orang jadi duda, Na?”“Eh, siapa, siapa?” Ayu mulai kepo.Aku menaruh telunjuk di depan bibir. Menyuruh Nanda agar tak bercerita lebih soal curahan-curahan hatiku kepadanya.“Itu si Vi ....”Aku melotot ke arah Nanda.“Vi ... Vi siapa, Nan?” Si Ayu
Aku masih bergeming, menatap wanita bergamis biru dongker senada dengan hijab lebarnya itu. Vika tampak tenang dalam gendongannya, sebab sesekali Nindi akan mengajaknya bercanda. "Kamu cantik banget, Sayang. Mirip mamamu, tapi hidung dan matamu mewarisi milik papamu." Vika hanya menatap orang yang tengah menggendongnya, tetapi sesekali mengoceh seolah-olah tengah menimpali obrolan Nindi. "Wah ... kamu pintar. Udah bisa merespons kalau diajak bicara," pujinya dengan terus menatap wajah lucu putriku. Namun, tidak berapa lama Vika merengek. Setelah dilihat, ternyata dia pup. "Biar Mama saja yang ganti popoknya, Kal. Kamu di sini saja temani tamu kita." Aku hanya mengangguk. Setelah kepergian Mama, tiba-tiba Nindi mendekat dan bersimpuh di dekat kakiku. "Eh, Mbak ngapain?" Aku mengganti panggilan yang semula Kakak menjadi Mbak. Tangannya terulur dan menggenggam kedua tanganku. "Makasih, Kal. Makasih karena kamu dan Vino sudah memaafkan Aldrin." "Iya, Mbak, iya. Tapi ... jangan beg
Aku ikut menitikkan air mata melihat Mas Alan tergugu dalam dekapan Papa. Pria matang yang kini telah resmi menghalalkan sang kekasih itu masih erat memeluk satu-satunya wali atas dirinya itu. Cinta pertamaku masih terus menepuk-nepuk bahu sang keponakan."Sudah, ini hari bahagiamu, bukan? Jangan jadi lelaki cengeng," ucap Papa menggoda Mas Alan."Alan enggak akan ngelupain semua kebaikan Om dan Tante.""Kami orang tuamu, Nak. Sudah sepantasnya kami merawat dan menjagamu dengan sebaik-baiknya.""Bahkan ibu dan ayah–""Sudah ...," potong Papa. "Jangan kamu sebut-sebut lagi kesalahan mereka dulu. Om sudah mengikhlaskan semuanya. Mereka sudah tenang di sisi-Nya."Aku pun belum lama mendengar cerita sesungguhnya dari Papa siapa orang tua Mas Alan. Ibu Mas Alan masih terbilang saudara walau urutannya terbilang jauh. Saat itu keuangan keluarga Mas Alan melemah. Sang ayah yang suka main judi setelah usahanya gulung tikar selalu mendesak istrinya untuk meminjam uang pada Papa. Melati–ibu Ma
Vika Zara Kamilah. Kemenangan putri yang sempurna. Nama Vika sendiri diambil dari gabungan namaku dan suami. Vi-Ka, Vino dan Kalila."Nggak mau tahu, pokoknya kita harus besanan, Kal," ucap Ratu bersemangat saat menimang putriku. "Ya ampun, Sayang ... kamu cantik banget ...," lanjutnya sembari mencium gemas pipi Vika."Gantian, dong, Tu. Gue juga mau gendong si Vika," sela Luna."Entar. Kalila, kan, masih marah sama lu."Luna menggaruk-garuk tengkuknya dengan nyengir kepadaku."Bisa-bisanya lu ngira calon besan gue itu setan."Aku mengangguk seraya memajukan bibir walau dalam hati tergelak melihat Luna yang kembali kikuk. Ya, aku memang sempat dinyatakan meninggal walau tidak kurang dari satu jam. Mungkin bisa disebut mati suri.Mas Vino bilang, setelah aku dinyatakan pingsan usai Vika keluar dari rahim, perlahan kuku jemariku mulai menghitam. Setelah diperiksa, dokter pun menyatakan denyut jantungku sudah berhenti dan fungsi otak juga tidak ada tanda-tanda aktivitas lagi."Perasaan
Semalaman Mas Vino menemaniku dengan terus terjaga. Aku sudah menyuruhnya tidur walau sebentar, tetapi dia menolak. Usai salat Subuh, dokter kembali mengecek jalan lahirku, dan beliau bilang sebentar lagi.“Alhamdulillah, sudah hampir mendekati, Bu. Dan ini termasuk cepat untuk persalinan pertama,” ucap dokter dengan tag name Susiana itu. “Sebaiknya ibu makan dulu atau minimal minum susu. Saya akan kembali satu jam lagi.”Sedari tadi, ayat-ayat Al-Quran terus Mas Vino bacakan dekat perutku. Satu hal yang membuatku jatuh cinta berkali-kali padanya. Menantu Papa itu sudah menghafal Surat Ar-Rahman. Semalam saat aku setengah tertidur, ia melafalkannya dengan kedua tangan memegangi perut istrinya ini.Fabiayyi ala irobbikuma tukadz-dziban ... maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?Dititipi suami tampan, saleh, berkecukupan materi, dan baik hati. Ya, hanya dititipi. Bukannya di dunia ini tidak ada seorang pun yang ditakdirkan untuk memiliki? Sebab, sejatinya semua hanya sedang
Aku terus mengaduh. Sakit yang dirasa kian melilit. Mas Vino masuk dan berteriak memanggil Mama Papa. Aku hendak berdiri, tetapi Luna dan Mbak Eliz menahan.“Mau ke mana, Kal?” tanya Mbak Eliz.“Jalan-jalan aja sekitar sini, Mbak. Kalau sakitnya cuma karena kontraksi palsu, pasti berangsur-angsur hilang jika dibuat jalan-jalan," jelasku yang sambil berdiri dan mulai berjalan-jalan di area taman.Mbak Eliz dengan sigap mengikutiku, pun dengan Luna. Satu tanganku berkacak di pinggang bagian belakang, sementara satunya lagi mengelus perut. Tidak lupa bibir terus kubasahi dengan kalimat-kalimat zikir dan selawat. Tidak berapa lama beberapa derap langkah terdengar datang dari dalam rumah."Nak! Kalila!"Aku menoleh dengan kaki terus melangkah pelan. Mama sedikit tergopoh-gopoh menghampiri."Udah kerasa?" tanya wanitaku yang menempelkan tangannya di lengan putrinya ini."Enggak tahu, Ma. Mulesnya sebentar datang, sebentar hilang. Tapi lama-lama makin kerasa." Aku meringis merasai sakit yang
Dalam keremangan, langkahku terus maju menuju taman samping di dekat kolam renang. Pintu kupu tarung berbahan kaca itu kudorong perlahan. Di sana tampak seorang pria tampan sedang mengenakan kemeja panjang warna maroon, salah satu warna favoritku.Kedua tangannya yang disimpan ke belakang terlihat menyimpan sesuatu. Seperti sebuah buket, mungkin buket bunga. Walau masih heran ini acara apa, tak ayal senyumku pun mengembang saat pria itu melangkah menuju arahku."Selamat ulang tahun, Ratuku," ucapnya dengan tatanan rambut yang sangat rapi. Entah kapan Mas Vino mengganti baju dan menyisir rambutnya.Ah, aku bahkan lupa jika hari ini memang tanggal dan bulan di mana dua puluh enam tahun lalu aku melihat dunia. Ternyata Mas Vino mengingatnya.Sebuah buket bunga Lily ia persembahkan untukku. Aku menerimanya dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Sayang."Mas Vino mengangguk dan maju untuk mencium keningku. Sepersekian detik aku hanya bergeming, hingga kemudian rasa bahagia bercampur haru
Setelah bercerita panjang lebar dengan Damian tentang siapa Om Heru berikut Aldrin, pria itu mengangguk-angguk sebentar, kemudian terlihat seperti berpikir."Jadi ... si Nindi ini sedang mengandung bayi dari Aldrin, anak angkat Om Heru, begitu?""Entahlah. Kami belum begitu yakin. Itu benar bayi Aldrin seperti pengakuan Nindi atau malah anak Om Heru. Kami tidak tahu, Pak Ian."Damian meminta kami memanggilnya dengan nama Ian. Sapaan akrabnya."Kami ingin memastikan jika benar janin dalam kandungannya adalah anaknya Aldrin. Semoga setelah tahu kebenarannya, kami bisa mengambil keputusan bijak bagaimana nantinya."Mau tidak mau aku pun bercerita tentang kejahatan Aldrin yang dilakukan pada Mas Vino di awal-awal pernikahan kami. Pria dengan tatanan rambut rapi dan klimis itu berpikir sejenak. Lalu, air mukanya sedikit berubah dan langsung mengambil ponsel yang disimpan di saku celananya.Aku dan suami hanya diam memerhatikan saat pria single di hadapan kami itu menempelkan ponsel di teli
"Maaf, Pak Vino, Bu Kalila, acara bersantap jadi sedikit terjeda," ujar Damian dengan nada seperti tak enak.Pria itu kembali duduk dan bergabung dengan kami."Tidak apa-apa, Pak. Emm ... Maaf sebelumnya, tadi saya dan istri sempat dengar sedikit. Kalau boleh tahu siapa yang meninggal, ya, Pak?"Akhirnya Mas Vino mewakili rasa penasaranku walau tadi kami tak berdiskusi dulu harus bertanya apa tidak. Hanya ingin memastikan saja, bahwa wanita hamil yang dimaksud bukan ... Nindi."Oh, itu. Salah satu penghuni rumah peduli yang dibangun Mama saya, Pak.”Mas Vino melirikku sebentar.“Semacam panti, Pak?”“Iya. Tapi, yang ini khusus menampung para wanita yang hamil di luar nikah. Ada yang sebab diperkosa atau ditinggal kekasihnya begitu saja.”Aku menatap Mas Vino dengan tatapan memohon, agar ia menggali lebih dalam tentang info wanita meninggal itu.“Mari, Pak, Bu. Kita lanjut makan dulu. Nanti dilanjut lagi ngobrolnya.”Akhirnya kami mengangguk dan melanjutkan acara makan siang. Sesekali
“Denger dulu, Yang. Bukan mimpi yang enak-enak, kok. Justru mimpinya bikin aku kepikiran yang enggak-enggak.”Tak ayal kedua alisku hampir menyatu mendengar penuturannya. “Maksudnya?”“Nindi datang dengan pakaian serba putih dan wajah pucat,” jelasnya. “Wajahnya kuyu dan kantung matanya cekung, bahkan area matanya terlihat menghitam. Apa dia sedang kesulitan, ya, Yang?"Aku terdiam. Walau bukan ahli menafsirkan mimpi, tetapi kabar terakhir yang mengatakan bahwa wanita itu sedang hamil sedikit membuatku khawatir juga. Terlebih, setelahnya aku memang memblokir kontaknya agar tak mengganggu kewarasan diri ini.Apa benar bayi yang dikandungnya benar-benar darah daging Aldrin? Apa ia juga benar-benar ingin mempertahankan bayi itu, sebab sudah jatuh hati pada putra angkat sugar daddy-nya?Kalau memang benar, berarti kemungkinan besar saat ini dia sedang mati-matian berjuang untuk membantu Aldrin keluar dari penjara. Aku jadi ikut membayangkan jika berada di posisi kakak kelas masa SMA itu.