Mendung yang menggantung seolah-olah tengah mendukung. Namun, Mas Vino seperti paham rasa ngilu yang masih kurasakan usai pertempuran semalam. Dia meminta maaf karena membuat jalanku sedikit terlihat aneh. Aku tersenyum malu. Ada-ada saja.Namun, Mas Vino kembali memelukku dengan penuh kasih sayang saat melihat bercak darah yang tertoreh di atas seprai karena ulah kami semalam. Dia kembali menciumi wajahku dengan ungkapan terima kasih karena sudah memberikan kegadisanku padanya.Lagi-lagi aku hanya tersenyum dan kembali membenamkan kepala ke dada bidangnya. Malu, tapi ini pahala yang besar.“Yakin, mau makan bareng di bawah?” tanya Mas Vino. “Aku ambilin aja gimana? Makan di kamar.”Aku menggeleng. “Enggak pa-pa, Mas. Bisa, kok.”“Masih sakit, Sayang?”Aku mengangguk malu-malu.“Tapi, mau lagi, nggak?”Refleks aku mengangguk lagi. Eh, dasar kepala luck-nat. Mas Vino malah terbahak-bahak. Ish! Menyebalkan. Untung sayang.Akhirnya, kami turun untuk sarapan. Kedua orang tuaku berikut san
"Enggak pa-pa, Ma. Soalnya Mas Alan pamitnya keluar sebentar. Bukan nginep di hotel.”“Oh, iya, itu mendadak kata Alan. Enggak enak juga katanya, ketemu teman lama jarang jumpa. Mungkin terlalu asyik bernostalgia.”Aku hanya mengangguk. Untung Mama tidak tanya-tanya lagi soal Mas Alan.“Kamu sudah beresin keperluan yang mau dibawa ke Semarang, Kal?”“Udah, Ma.”Mama mengangguk. Beliau berlalu membereskan piring-piring dibantu dengan Mbak Lastri. Asisten rumah tangga yang kembali lagi setelah izin dua minggu lebih, sebab anaknya terkena DB. Setiap hari wanita paruh baya itu pulang. Jarak rumahnya ke rumah Papa ini terbilang cukup dekat. Hanya lima belas menitan jika berjalan.Perlahan aku melangkah menuju teras samping. Melihat aneka koleksi tanaman Mama yang terkadang juga membuatku nyaman untuk berlama-lama duduk di sana. Rasanya sejuk dan segar saat mata ini dimanjakan dengan pemandangan berbagai jenis tanaman aglaonema dan anggrek yang beraneka warna serta model.Pemandangan Papa d
Mas Vino ternyata sudah tahu perihal Ratu yang ingin menyusul suaminya ke Kota Malang. Katanya, Wisnu sempat cerita lewat chat dengannya.“Selain karena tugas, Wisnu juga sedang menempuh pendidikan untuk bisa naik pangkat. Dan dukungan istrinya pasti sangat dia butuhkan. Apalagi mereka sama seperti kita, pengantin baru. Pengennya nempel melulu.”Aku hanya mengangguk dan membenarnya semua ucapannya. Terlebih di kalimat paling akhir.“Oh, ya. Ratu sempat kasih aku kado, Mas. Bentar!”Aku beranjak. Mengambil kado yang kuletakkan di lemari laci. Kado berbentuk kotak dengan lapisan kertas warna merah jambu dilengkapi pita warna merah hati. Manis sekali. Segera kuhampiri suami dan menunjukkan pemberian istri dari teman baiknya itu.“Coba buka!”"Oke!"Segera kubuka kado tersebut. Katanya khusus untuk pengantin. Isinya apa, ya, kira-kira? Jadi mendadak deg-degan begini. Saat kotak sudah terbuka, keningku berkerut melihat kain berbahan transparan yang berjumlah tiga. Astaga naga! Ratuuu ....
Aku hanya bisa mengangguk dengan gerakan pelan.“Sendiri?”“Enggak, diantar sama Pak Narto. Tadi waktu berangkat belum hujan, Mas. Ini tiba-tiba airnya kek ditumpah dari langit, deres banget.”“Bukannya besok kalian mau berangkat ke Semarang?”Aku kembali mengangguk.“Kenapa enggak dicegah aja Vino mau keluar?”Tuh, kan, perasaanku semakin tidak tenang mendengar kalimat dari Mas Alan. Papa menghentikan tatapannya dari layar ponsel.“Harusnya tadi ketemuannya di rumah saja, Kal. Vino suruh share lokasi rumah Om ke temennya itu.”Aku menatap Papa, pun beliau. Kami tampak baru sadar dengan ide Mas Alan. Ah, sudah telanjur.Hingga jarum jam menunjuk angka sepuluh malam, Mas Vino juga belum sampai rumah. Tidak ada kabar walau hanya sekadar chat yang mengabarkan mau pulang jam berapa. Hujan masih deras. Awet sekali. Aku terus berzikir setelah salat Isya. Mukena masih kupakai. Ponsel suami tidak bisa dihubungi. Mungkin terkendala sinyal karena hujan benar-benar lebat. Begitu juga dengan Pak
Papa menyerahkan dompet Mas Vino kepadaku. Dengan iringan isak tangis yang masih tersisa, kuraih benda itu dari uluran tangan Papa. Pak Narto sudah sadar walau masih terlihat linglung. Beliau ditemani Papa segera menuju kantor polisi untuk membuat laporan, berikut kesaksiannya.Mama dan Mas Alan menemaniku di luar ruangan ICU. Di dalam sana, suamiku sedang terbaring lemah dengan lebam di beberapa bagian wajah. Kedua matanya masih memejam rapat. Tindakan operasi pemasangan pen masih akan dijadwalkan secepatnya. Setelah memastikan hasil rontgen dan lainnya. Kami saling bungkam dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya aku masuk ruangan suamiku setelah memakai pakaian khusus. Aku mendekat dan duduk di sebelah pembaringan Mas Vino, menggenggam satu tangannya, menciuminya, lalu menaruhnya ke pipi.“Mas ... buka matamu, Sayang,” ucapku lirih. “Istrimu di sini. Kamu sudah aman.”Dokter bilang, dia sudah melewati masa kritisnya, tetapi kondisinya masih sangat lemah.“Mas, bangun ....” I
“Vin?”“Iya, Mas. Aku memberanikan diri untuk keluar dari mobil.”“Kenapa enggak coba minta bantuan dengan menelepon seseorang?”“Kondisi panik terkadang menyita setengah dari pikiran manusia,” ucap Mas Vino tenang.Suamiku lalu berkisah. Dua orang tak dikenal itu mengancam akan memecahkan kaca mobil jika keduanya tak mau keluar. Lelaki dengan memar di salah satu ujung bibirnya itu juga bilang, ia masih sempat berpikir, jika kaca mobil dipecahkan, tampaknya mereka berdua akan semakin kesal. Akhirnya, saat Mas Vino membuka pintu, salah satu dari mereka malah merangsek dengan menarik lengan Mas Vino.“Pak Narto berusaha teriak minta tolong, tapi rupanya obat bius di kain sudah disiapkan untuknya.”Kembali Mas Vino menceritakan rentetan peristiwa sampai aksi baku hantam akhirnya terjadi.“Awalnya aku bisa mengimbangi tiap serangan lawan, tapi saat sebuah bogem mendarat di wajahku, satu temannya lagi menendangku dari arah belakang.”Mas Vino menjeda kalimatnya. Emosinya seperti datang saa
Hah? Hamil?Aku menoleh ke arah suamiku yang menatap lekat dari atas bed-nya. Dia tersenyum hingga terlihat barisan giginya yang putih.“Mama, ih. Mana ada aku hamil. Ngadon-nya aja baru beberapa hari, masa iya langsung jadi?” jawabku setengah berbisik.Mama terkikik. “Iya juga, sih.”“Apa aku salah makan, ya?” gumamku.“Atau malah telat makan?” sambung Mama.Aku mengingat kapan terakhir kali mengisi perut. Malam sebelum kejadian, Mas Vino memang tidak ikut makan malam di rumah karena mau ketemuan sekalian makan dengan temannya. Sementara aku memilih tak makan, hanya memasukkan beberapa potong buah saja.“Iya ini, kamu telat makan,” tebak Mama. “Pas Vino keluar, kamu cuma makan buah aja, kan?”Aku meringis, sedangkan Mas Vino menatapku dengan pandangan tak suka.“Semalam kamu enggak makan, Kal?”Aku menggeleng.“Kenapa enggak makan?”“Keganjel buah jadi lupa, Mas. Niatnya mau minta beliin makan pas Mas Vino pulang nanti, tapi mendadak semakin gelisah. Mana hujan gede.”Walau agak lema
“Jay, Bu Jainab, saya mohon maaf sekali lagi. Semua terjadi di luar kuasa kami sebagai manusia.”“Sudahlah, Zeem, jangan terlalu formil. Kita ini sudah menjadi keluarga. Aku juga tidak terlalu mempermasalahkan kejadian yang menimpa Vino. Yang penting Vino masih selamat. Kita fokus saja sama kesembuhannya.”Ada sedikit gurat senyum di wajah papa saat mendengar jawaban besan sekaligus kawan mondoknya itu. Sementara ibu mertua hanya mengembuskan napas pelan seraya mengusap lengan putranya.“Sabar, ya, Nak. Ini ujianmu. Ini juga ujian keluarga kalian,” ucap ibu mertua menatap anaknya dan aku secara bergantian.“Maafin Vino, Bu. Andai Vino peka sedikit saja sama kekhawatiran Kalila, pasti sekarang kita enggak akan kumpul di rumah sakit lagi,” ujar lelaki dengan selang infus di tangannya itu.“Sudah, Nak. Andai-andai itu bisikan setan. Semua sudah terjadi. Yang penting kamu enggak kenapa-napa.”“Makasih, Bu. Maafin Vino ....”Mas Vino mencium tangan ibunya dengan begitu dalam. Aku yang seda
Aku masih bergeming, menatap wanita bergamis biru dongker senada dengan hijab lebarnya itu. Vika tampak tenang dalam gendongannya, sebab sesekali Nindi akan mengajaknya bercanda. "Kamu cantik banget, Sayang. Mirip mamamu, tapi hidung dan matamu mewarisi milik papamu." Vika hanya menatap orang yang tengah menggendongnya, tetapi sesekali mengoceh seolah-olah tengah menimpali obrolan Nindi. "Wah ... kamu pintar. Udah bisa merespons kalau diajak bicara," pujinya dengan terus menatap wajah lucu putriku. Namun, tidak berapa lama Vika merengek. Setelah dilihat, ternyata dia pup. "Biar Mama saja yang ganti popoknya, Kal. Kamu di sini saja temani tamu kita." Aku hanya mengangguk. Setelah kepergian Mama, tiba-tiba Nindi mendekat dan bersimpuh di dekat kakiku. "Eh, Mbak ngapain?" Aku mengganti panggilan yang semula Kakak menjadi Mbak. Tangannya terulur dan menggenggam kedua tanganku. "Makasih, Kal. Makasih karena kamu dan Vino sudah memaafkan Aldrin." "Iya, Mbak, iya. Tapi ... jangan beg
Aku ikut menitikkan air mata melihat Mas Alan tergugu dalam dekapan Papa. Pria matang yang kini telah resmi menghalalkan sang kekasih itu masih erat memeluk satu-satunya wali atas dirinya itu. Cinta pertamaku masih terus menepuk-nepuk bahu sang keponakan."Sudah, ini hari bahagiamu, bukan? Jangan jadi lelaki cengeng," ucap Papa menggoda Mas Alan."Alan enggak akan ngelupain semua kebaikan Om dan Tante.""Kami orang tuamu, Nak. Sudah sepantasnya kami merawat dan menjagamu dengan sebaik-baiknya.""Bahkan ibu dan ayah–""Sudah ...," potong Papa. "Jangan kamu sebut-sebut lagi kesalahan mereka dulu. Om sudah mengikhlaskan semuanya. Mereka sudah tenang di sisi-Nya."Aku pun belum lama mendengar cerita sesungguhnya dari Papa siapa orang tua Mas Alan. Ibu Mas Alan masih terbilang saudara walau urutannya terbilang jauh. Saat itu keuangan keluarga Mas Alan melemah. Sang ayah yang suka main judi setelah usahanya gulung tikar selalu mendesak istrinya untuk meminjam uang pada Papa. Melati–ibu Ma
Vika Zara Kamilah. Kemenangan putri yang sempurna. Nama Vika sendiri diambil dari gabungan namaku dan suami. Vi-Ka, Vino dan Kalila."Nggak mau tahu, pokoknya kita harus besanan, Kal," ucap Ratu bersemangat saat menimang putriku. "Ya ampun, Sayang ... kamu cantik banget ...," lanjutnya sembari mencium gemas pipi Vika."Gantian, dong, Tu. Gue juga mau gendong si Vika," sela Luna."Entar. Kalila, kan, masih marah sama lu."Luna menggaruk-garuk tengkuknya dengan nyengir kepadaku."Bisa-bisanya lu ngira calon besan gue itu setan."Aku mengangguk seraya memajukan bibir walau dalam hati tergelak melihat Luna yang kembali kikuk. Ya, aku memang sempat dinyatakan meninggal walau tidak kurang dari satu jam. Mungkin bisa disebut mati suri.Mas Vino bilang, setelah aku dinyatakan pingsan usai Vika keluar dari rahim, perlahan kuku jemariku mulai menghitam. Setelah diperiksa, dokter pun menyatakan denyut jantungku sudah berhenti dan fungsi otak juga tidak ada tanda-tanda aktivitas lagi."Perasaan
Semalaman Mas Vino menemaniku dengan terus terjaga. Aku sudah menyuruhnya tidur walau sebentar, tetapi dia menolak. Usai salat Subuh, dokter kembali mengecek jalan lahirku, dan beliau bilang sebentar lagi.“Alhamdulillah, sudah hampir mendekati, Bu. Dan ini termasuk cepat untuk persalinan pertama,” ucap dokter dengan tag name Susiana itu. “Sebaiknya ibu makan dulu atau minimal minum susu. Saya akan kembali satu jam lagi.”Sedari tadi, ayat-ayat Al-Quran terus Mas Vino bacakan dekat perutku. Satu hal yang membuatku jatuh cinta berkali-kali padanya. Menantu Papa itu sudah menghafal Surat Ar-Rahman. Semalam saat aku setengah tertidur, ia melafalkannya dengan kedua tangan memegangi perut istrinya ini.Fabiayyi ala irobbikuma tukadz-dziban ... maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?Dititipi suami tampan, saleh, berkecukupan materi, dan baik hati. Ya, hanya dititipi. Bukannya di dunia ini tidak ada seorang pun yang ditakdirkan untuk memiliki? Sebab, sejatinya semua hanya sedang
Aku terus mengaduh. Sakit yang dirasa kian melilit. Mas Vino masuk dan berteriak memanggil Mama Papa. Aku hendak berdiri, tetapi Luna dan Mbak Eliz menahan.“Mau ke mana, Kal?” tanya Mbak Eliz.“Jalan-jalan aja sekitar sini, Mbak. Kalau sakitnya cuma karena kontraksi palsu, pasti berangsur-angsur hilang jika dibuat jalan-jalan," jelasku yang sambil berdiri dan mulai berjalan-jalan di area taman.Mbak Eliz dengan sigap mengikutiku, pun dengan Luna. Satu tanganku berkacak di pinggang bagian belakang, sementara satunya lagi mengelus perut. Tidak lupa bibir terus kubasahi dengan kalimat-kalimat zikir dan selawat. Tidak berapa lama beberapa derap langkah terdengar datang dari dalam rumah."Nak! Kalila!"Aku menoleh dengan kaki terus melangkah pelan. Mama sedikit tergopoh-gopoh menghampiri."Udah kerasa?" tanya wanitaku yang menempelkan tangannya di lengan putrinya ini."Enggak tahu, Ma. Mulesnya sebentar datang, sebentar hilang. Tapi lama-lama makin kerasa." Aku meringis merasai sakit yang
Dalam keremangan, langkahku terus maju menuju taman samping di dekat kolam renang. Pintu kupu tarung berbahan kaca itu kudorong perlahan. Di sana tampak seorang pria tampan sedang mengenakan kemeja panjang warna maroon, salah satu warna favoritku.Kedua tangannya yang disimpan ke belakang terlihat menyimpan sesuatu. Seperti sebuah buket, mungkin buket bunga. Walau masih heran ini acara apa, tak ayal senyumku pun mengembang saat pria itu melangkah menuju arahku."Selamat ulang tahun, Ratuku," ucapnya dengan tatanan rambut yang sangat rapi. Entah kapan Mas Vino mengganti baju dan menyisir rambutnya.Ah, aku bahkan lupa jika hari ini memang tanggal dan bulan di mana dua puluh enam tahun lalu aku melihat dunia. Ternyata Mas Vino mengingatnya.Sebuah buket bunga Lily ia persembahkan untukku. Aku menerimanya dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Sayang."Mas Vino mengangguk dan maju untuk mencium keningku. Sepersekian detik aku hanya bergeming, hingga kemudian rasa bahagia bercampur haru
Setelah bercerita panjang lebar dengan Damian tentang siapa Om Heru berikut Aldrin, pria itu mengangguk-angguk sebentar, kemudian terlihat seperti berpikir."Jadi ... si Nindi ini sedang mengandung bayi dari Aldrin, anak angkat Om Heru, begitu?""Entahlah. Kami belum begitu yakin. Itu benar bayi Aldrin seperti pengakuan Nindi atau malah anak Om Heru. Kami tidak tahu, Pak Ian."Damian meminta kami memanggilnya dengan nama Ian. Sapaan akrabnya."Kami ingin memastikan jika benar janin dalam kandungannya adalah anaknya Aldrin. Semoga setelah tahu kebenarannya, kami bisa mengambil keputusan bijak bagaimana nantinya."Mau tidak mau aku pun bercerita tentang kejahatan Aldrin yang dilakukan pada Mas Vino di awal-awal pernikahan kami. Pria dengan tatanan rambut rapi dan klimis itu berpikir sejenak. Lalu, air mukanya sedikit berubah dan langsung mengambil ponsel yang disimpan di saku celananya.Aku dan suami hanya diam memerhatikan saat pria single di hadapan kami itu menempelkan ponsel di teli
"Maaf, Pak Vino, Bu Kalila, acara bersantap jadi sedikit terjeda," ujar Damian dengan nada seperti tak enak.Pria itu kembali duduk dan bergabung dengan kami."Tidak apa-apa, Pak. Emm ... Maaf sebelumnya, tadi saya dan istri sempat dengar sedikit. Kalau boleh tahu siapa yang meninggal, ya, Pak?"Akhirnya Mas Vino mewakili rasa penasaranku walau tadi kami tak berdiskusi dulu harus bertanya apa tidak. Hanya ingin memastikan saja, bahwa wanita hamil yang dimaksud bukan ... Nindi."Oh, itu. Salah satu penghuni rumah peduli yang dibangun Mama saya, Pak.”Mas Vino melirikku sebentar.“Semacam panti, Pak?”“Iya. Tapi, yang ini khusus menampung para wanita yang hamil di luar nikah. Ada yang sebab diperkosa atau ditinggal kekasihnya begitu saja.”Aku menatap Mas Vino dengan tatapan memohon, agar ia menggali lebih dalam tentang info wanita meninggal itu.“Mari, Pak, Bu. Kita lanjut makan dulu. Nanti dilanjut lagi ngobrolnya.”Akhirnya kami mengangguk dan melanjutkan acara makan siang. Sesekali
“Denger dulu, Yang. Bukan mimpi yang enak-enak, kok. Justru mimpinya bikin aku kepikiran yang enggak-enggak.”Tak ayal kedua alisku hampir menyatu mendengar penuturannya. “Maksudnya?”“Nindi datang dengan pakaian serba putih dan wajah pucat,” jelasnya. “Wajahnya kuyu dan kantung matanya cekung, bahkan area matanya terlihat menghitam. Apa dia sedang kesulitan, ya, Yang?"Aku terdiam. Walau bukan ahli menafsirkan mimpi, tetapi kabar terakhir yang mengatakan bahwa wanita itu sedang hamil sedikit membuatku khawatir juga. Terlebih, setelahnya aku memang memblokir kontaknya agar tak mengganggu kewarasan diri ini.Apa benar bayi yang dikandungnya benar-benar darah daging Aldrin? Apa ia juga benar-benar ingin mempertahankan bayi itu, sebab sudah jatuh hati pada putra angkat sugar daddy-nya?Kalau memang benar, berarti kemungkinan besar saat ini dia sedang mati-matian berjuang untuk membantu Aldrin keluar dari penjara. Aku jadi ikut membayangkan jika berada di posisi kakak kelas masa SMA itu.