(Pov Kalila)Seminggu berlalu. Tiga hari lagi aku berikut keluarga akan pergi ke Semarang untuk pesta dan acara ngunduh mantu di sana. Namun, acaranya akan digelar dua hari setelahnya.“Biar pengantin bisa istirahat dulu sebelum acara di hari H.” Begitu kata Ibu mertua. Untuk keluarga besar dari Yogyakarta mungkin langsung berangkat di hari yang telah ditetapkan dalam undangan. Aku mulai menyiapkan beberapa keperluan untuk dibawa ke rumah mertua. Untuk urusan hotel, Mas Alan bisa handle sementara. Toh, aku tetap memantau. Mas Vino juga bilang, mungkin memang sementara waktu kami harus menjauh dari pandangan Mas Alan. Biarkan dia menikmati gelenyar-gelenyar perih di hatinya jika itu memang benar adanya. Paling tidak, kebersamaan dan kemesraan kami yang terkadang tidak sengaja tertangkap oleh netra Mas Alan jangan sampai semakin memperkeruh kejernihan berpikirnya.Tidak ada niat untuk memanas-manasi. Namun, jika orang yang hatinya tengah tergores kerap disuguhkan pemandangan yang melu
"Gitu, ya, Tu?” tanya Luna dengan wajah polosnya."Hm!" jawab Ratu dengan mengangguk.“Tapi, aku nanyain Kak Vino enggak ada niat apa-apa, lho, Kal. Sumpah!” Luna mengacungkan dua jarinya membentuk huruf V.Aku hanya tersenyum dan mengangguk.“Makasih, Bu Persit, untuk nasehatnya. Tadi juga cuma becanda, kok.”Ratu pun membalas, “Iya, aku pun paham. Seorang Luna bukan gadis murahan. Aku hanya sedikit mengingatkan.”Keduanya langsung kayak Teletubbies, berpelukan.Ah, bahagia sekali punya mereka. Meskipun seperti Upin-Ipin dan Kak Ros, namun tujuan kami selalu ingin mengingatkan dalam hal kebaikan.“Kita ke sini emang enggak ada rencana sebelumnya, Kal. Soalnya waktunya mepet. Aku sekalian mau pamit,” ucap Ratu.“Hah, pamit ke mana, Tu?”“Mau nyusul suami ke Malang. Aku mau nemenin perjuangan dia di sana.”Seketika bahuku luruh. Salah satu sahabat baik akan menemani suaminya berjihad. Namun, mungkin saja Ratu mulai merasa kesepian setelah menikah. Apalagi masih terhitung pengantin bar
Aku membantu Mama menyiapkan makan malam. Seperti biasa, menu makanan laut, olahan sayur, serta tak lupa aneka buah telah tertata rapi di meja makan.Jika biasanya kami melakukan salat berjamaah di rumah dengan Papa sebagai imamnya, beberapa hari belakangan justru beliau aktif salat di masjid. Tak lupa dengan mengajak menantu satu-satunya itu. Katanya biar lebih akrab dengan warga kompleks. Lebih-lebih tidak lama lagi kami akan pergi ke Semarang.Setelah acara demi acara selesai, aku sudah mengantongi izin dari suami untuk tegap produktif bekerja. Alhamdulillah, Mas Vino mengizinkan.Semua menu hidangan sudah siap. Tinggal menunggu Papa dan suamiku pulang setelah salat Isya.“Kal, akhir-akhir ini ada banyak kegiatan, ya, di hotel?”“Uhmm, enggak juga, sih, Ma. Kenapa?”“Alan pulangnya sering larut akhir-akhir ini.”Aku terdiam sesaat. “Ada beberapa meeting dan brifing tambahan untuk tim direksi dan marketing, Ma. Selama Kalila tidak di tempat, semua Mas Alan yang hendel. Untuk menjala
Aku menggeleng pelan, sesaat setelah mengerti arah pembicaraannya. “Wudu dulu, yuk. Kita salat sunnah pengantin. Belum benar-benar dilakukan, kan?”Aku tersenyum dan mengangguk menuruti perintahnya. Segera kami berwudu dan melaksanakan salat sunnah pengantin dua rakaat.Usai akad nikah di rumah sakit waktu itu, Mas Vino hanya membacakan doa barakah dengan sebelah tangan memegang ubun-ubun istrinya ini. Doa dengan arti yang sangat dalam.“YaAllah, aku meminta kepada-Mu kebaikan istriku dan kebaikan apa yang ia munculkan pada pernikahan. Dan aku berlindung padamu dari keburukan istriku dan keburukan apa yang ia munculkan pada pernikahan.”Dan malam ini, doa itu kembali ia ulangi lagi. Katanya, malam setelah ijab kabul waktu itu tidak langsung terjadi pertempuran, makanya ia ingin kembali merasakan detik-detik mendebarkan itu."Kejadian di hotel setelah pesta resepsi juga belum sempurna sepenuhnya," katanya.Aku kembali menangis saat Mas Vino juga mulai menitikkan air mata usai membacak
Mendung yang menggantung seolah-olah tengah mendukung. Namun, Mas Vino seperti paham rasa ngilu yang masih kurasakan usai pertempuran semalam. Dia meminta maaf karena membuat jalanku sedikit terlihat aneh. Aku tersenyum malu. Ada-ada saja.Namun, Mas Vino kembali memelukku dengan penuh kasih sayang saat melihat bercak darah yang tertoreh di atas seprai karena ulah kami semalam. Dia kembali menciumi wajahku dengan ungkapan terima kasih karena sudah memberikan kegadisanku padanya.Lagi-lagi aku hanya tersenyum dan kembali membenamkan kepala ke dada bidangnya. Malu, tapi ini pahala yang besar.“Yakin, mau makan bareng di bawah?” tanya Mas Vino. “Aku ambilin aja gimana? Makan di kamar.”Aku menggeleng. “Enggak pa-pa, Mas. Bisa, kok.”“Masih sakit, Sayang?”Aku mengangguk malu-malu.“Tapi, mau lagi, nggak?”Refleks aku mengangguk lagi. Eh, dasar kepala luck-nat. Mas Vino malah terbahak-bahak. Ish! Menyebalkan. Untung sayang.Akhirnya, kami turun untuk sarapan. Kedua orang tuaku berikut san
"Enggak pa-pa, Ma. Soalnya Mas Alan pamitnya keluar sebentar. Bukan nginep di hotel.”“Oh, iya, itu mendadak kata Alan. Enggak enak juga katanya, ketemu teman lama jarang jumpa. Mungkin terlalu asyik bernostalgia.”Aku hanya mengangguk. Untung Mama tidak tanya-tanya lagi soal Mas Alan.“Kamu sudah beresin keperluan yang mau dibawa ke Semarang, Kal?”“Udah, Ma.”Mama mengangguk. Beliau berlalu membereskan piring-piring dibantu dengan Mbak Lastri. Asisten rumah tangga yang kembali lagi setelah izin dua minggu lebih, sebab anaknya terkena DB. Setiap hari wanita paruh baya itu pulang. Jarak rumahnya ke rumah Papa ini terbilang cukup dekat. Hanya lima belas menitan jika berjalan.Perlahan aku melangkah menuju teras samping. Melihat aneka koleksi tanaman Mama yang terkadang juga membuatku nyaman untuk berlama-lama duduk di sana. Rasanya sejuk dan segar saat mata ini dimanjakan dengan pemandangan berbagai jenis tanaman aglaonema dan anggrek yang beraneka warna serta model.Pemandangan Papa d
Mas Vino ternyata sudah tahu perihal Ratu yang ingin menyusul suaminya ke Kota Malang. Katanya, Wisnu sempat cerita lewat chat dengannya.“Selain karena tugas, Wisnu juga sedang menempuh pendidikan untuk bisa naik pangkat. Dan dukungan istrinya pasti sangat dia butuhkan. Apalagi mereka sama seperti kita, pengantin baru. Pengennya nempel melulu.”Aku hanya mengangguk dan membenarnya semua ucapannya. Terlebih di kalimat paling akhir.“Oh, ya. Ratu sempat kasih aku kado, Mas. Bentar!”Aku beranjak. Mengambil kado yang kuletakkan di lemari laci. Kado berbentuk kotak dengan lapisan kertas warna merah jambu dilengkapi pita warna merah hati. Manis sekali. Segera kuhampiri suami dan menunjukkan pemberian istri dari teman baiknya itu.“Coba buka!”"Oke!"Segera kubuka kado tersebut. Katanya khusus untuk pengantin. Isinya apa, ya, kira-kira? Jadi mendadak deg-degan begini. Saat kotak sudah terbuka, keningku berkerut melihat kain berbahan transparan yang berjumlah tiga. Astaga naga! Ratuuu ....
Aku hanya bisa mengangguk dengan gerakan pelan.“Sendiri?”“Enggak, diantar sama Pak Narto. Tadi waktu berangkat belum hujan, Mas. Ini tiba-tiba airnya kek ditumpah dari langit, deres banget.”“Bukannya besok kalian mau berangkat ke Semarang?”Aku kembali mengangguk.“Kenapa enggak dicegah aja Vino mau keluar?”Tuh, kan, perasaanku semakin tidak tenang mendengar kalimat dari Mas Alan. Papa menghentikan tatapannya dari layar ponsel.“Harusnya tadi ketemuannya di rumah saja, Kal. Vino suruh share lokasi rumah Om ke temennya itu.”Aku menatap Papa, pun beliau. Kami tampak baru sadar dengan ide Mas Alan. Ah, sudah telanjur.Hingga jarum jam menunjuk angka sepuluh malam, Mas Vino juga belum sampai rumah. Tidak ada kabar walau hanya sekadar chat yang mengabarkan mau pulang jam berapa. Hujan masih deras. Awet sekali. Aku terus berzikir setelah salat Isya. Mukena masih kupakai. Ponsel suami tidak bisa dihubungi. Mungkin terkendala sinyal karena hujan benar-benar lebat. Begitu juga dengan Pak