Utsman tertegun saat mendengar Saddam menyebut-nyebut nama calon istrinya. Sahabatnya itu menginginkan perempuan seperti Indana sebagai calon istri? Apa maksudnya?Terlihat, tatapan mata Saddam juga berbeda saat pria itu menyebut nama wanita pujaannya. Saddam terus-menerus memuji Indana, dan dengan jelas mengatakan kalau Indana adalah tipe wanitanya.Sebagai calon suami Indana, Utsman cukup merasa terganggu saat mendengar pria lain berbicara mengenai calon istrinya. Meskipun pria itu sahabat baiknya sendiri, tapi seharusnya Saddam bisa menjaga perasaan Utsman dan tidak menyebut calon istrinya dengan wajah seperti itu."Indana perempuan yang cerdas dan mandiri. Menurut gue, Carla nggak semandiri Indana," ujar Saddam."Tapi siapa tahu lo bisa lihat banyak sisi baru dari Carla kalau lo ngasih kesempatan dia buat deket sama lo," "Gue udah terlanjur nggak tertarik sama Carla. Apa pun yang Carla lakuin, keputusan gue nggak akan berubah. Sampai kapan pun, Carla ngga akan jadi tipe wanita ya
Indana mengerjapkan mata. Entah sejak kapan, tiba-tiba Indana berada di sebuah rumah mewah bersama dengan seorang gadis cantik yang pernah muncul di mimpinya. Ya, gadis cantik yang mirip dengan Saddam itu kembali muncul di hadapannya. Kenapa tiba-tiba anak itu datang lagi? Apa saat ini Indana sedang bermimpi? Tapi ini semua terlalu nyata untuk menjadi mimpi. Senyuman gadis cantik itu terlihat begitu nyata dan jelas di depan mata. "Ayo ke sini!" ucap gadis cantik itu. Indana membalas senyuman gadis kecil itu, kemudian melangkah untuk menghampirinya. Gadis kecil itu terlihat senang berlarian di dalam rumah mewah tersebut. "Sebenarnya ini rumah siapa?" gumamnya sembari celingukan mencari-cari sang pemilik rumah. Tapi sayang Indana hanya melihat gadis kecil itu di rumah mewah ini. Apa mungkin gadis cantik itu adalah penghuni rumah ini? Saat dipandangi wajahnya, semakin lama wajah gadis kecil itu makin mirip dengan Saddam. Meskipun tidak ada sosok Saddam di rumah, tapi tetap saja Inda
Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Saat ini Utsman sedang berada dalam perjalanan untuk mencari tempat makan siang yang nyaman.Pilihannya pun jatuh pada sebuah cafe yang tidak terlalu ramai dikunjungi. "Makan di sini aja, deh. Males juga muter-muter sendiri."Begitu Utsman berjalan menuju pintu masuk, pandangannya langsung tertuju pada dua pengunjung yang tengah menikmati makan siang bersama. "Itu bukannya ...."Sepertinya Utsman kenal dengan dua pengunjung itu. Dia mendekati meja mereka perlahan. Wajah keduanya terlihat makin jelas. Kedua orang itu tak lain ialah Saddam dan Mahiya.Benar-benar kombinasi tak terduga. Bagaimana bisa mereka berdua saling mengenal? Utsman sama sekali tidak tahu kalau Saddam mengenal teman Indana."Saddam?" Sapa Utsman pada Saddam dan Mahiya yang tengah berbincang bersama.Mereka berdua dengan kompak menoleh. Sepertinya mereka terkejut melihat Utsman."Utsman?" Saddam menatap dengan kikuk. Mereka terlihat seperti tersangka yang tertangkap ba
Seperti biasa, Utsman menjalani aktivitasnya di rumah sakit sembari menunggu pasien baru yang siap untuk dia layani. Saat tiba pasien berinyatnya, Utsman dikejutkan dengan pasien yang kebetulan Utsman kenal."Iqbal?" sapa Utsman pada pasien yang ternyata adalah teman lama Utsman.Pria bernama Iqbal itu adalah teman lamanya. Keduanya sudah berteman baik sejak keduanya duduk di bangnya SMP. Iqbal adalah salah satu teman yang bersekolah di SMP yang sama dengannya."Utsman?" Keduanya tak menyangka bisa berjumpa satu sama lain sebagai dokter dan pasien. "Apa kabar? Lo sakit apa?" tanyanya pada Iqbal."Gue baik-baik aja. Gue cuma pengen cek kesehatan aja. Mau medical check up," ungkap Iqbal.Keduanyapun saling berbincang sejenak dan berbasa-basi menanyakan kabar satu sama lain. Setelah pemeriksaan selesai, Utsman pun mengajak Iqbal untuk makan siang bersama."Lo sibuk nggak?" "Nggak kok! Kenapa?"Utsman memeriksa jam dinding yang ada di ruangan. "Sebentar lagi jam makan siang. Gimana kal
"Dokter Utsman?" sapa Mahiya begitu wanita itu datang ke tempat di mana kami membuat janji temu. "Indana beneran nggak ikut?" tanya Mahiya keheranan saat Indana duduk sendiri di sebuah cafe untuk menunggu Mahiya.Utsman menggelengkan kepala. Dia hanya memiliki urusan dengan Mahiya. Dia tidak ingin Indana menyembunyikan sesuatu lagi darinya, jadi Utsman sengaja mengajak Mahiya bertemu tanpa Indana."Aku pengen ngomong berdua aja sama kamu," ucapnya pada Mahiya.Utsman sampai memilih tempat VIP untuk berbincang dengan Mahiya. Dia tidak ingin pembicaraannya dengan Mahiya terganggu sedikitpun. Dilihat dari ekspresi wajahnya, sepertinya Mahiya merasa keheranan dengan tingkahnya yang mungkin berlebihan."Kita ada di ruang VIP tanpa Indana? Kayaknya hal yang mau Dokter Utsman bahas beneran penting, ya?" tanya Mahiya berbasa-basi.Sepertinya Mahiya mulai curiga. Tapi Utsman mengajak Mahiya berjumpa tanpa Indana bukan untuk melakukan hal yang tidak senonoh dengan Mahiya. "Kamu jangan berburuk
Carla menatap Saddam yang saat ini tengah menikmati makan siang bersama dosen lainnya. Setelah dirinya ditolak oleh Saddam, Carla tetap harus bertemu dengan pria itu setiap hari juga masih harus bersikap profesional di tempat kerja.Dia mencoba bersikap biasa setiap kali berjumpa dengan Saddam karena meskipun Carla tidak mendapatkan hatinya, tapi perempuan itu juga tidak ingin hubungan keduanya hancur di tempat kerja.Dari tempatnya sekarang, dapat dilihat Saddam tengah melangkah meninggalkan meja tanpa membawa ponsel. Sudah dapat dipastikan telepon genggam milik pemuda itu tertinggal."Ceroboh banget Pak Dosen satu ini," gumam Carla sembari berusaha meraih ponsel Saddam untuk mengantarkan pada sang pemilik.Namun, tanpa sengaja Carla melihat sesuatu yang terpampang di layar ponsel milik pria yang sempat menolak cintanya itu. Carla melihat dengan jelas sosok seorang wanita di ponsel Saddam. Dilihat-lihat wajahnya sangat familiar.Carla terdiam sejenak sembari memandangi ponsel berlogo
Utsman langsung mengendarai kendaran roda empatnya menuju rumah Saddam. Padahal saat ini dia malas menginjakkan kaki di rumah sahabatnya itu, tetapi karena ada fakta yang harus diketahui, mau tak mau dia tetap melajukan mobilnya membelah jalanan ibukota. “Padahal persiapan pernikahanku dengan Indana sudah hampir rampung, tapi gara-gara omongan Carla, aku harus membuang tenaga begini,” keluh Utsman sembari tetap memfokuskan pandangan pada jalanan di depan. Dia menyalip banyak kendaraan dengan sedikit menaikkan laju mobil. Utsman mencoba tetap beristigfar dalam hati guna mengurangi emosi yang sudah di ubun-ubun, meski begitu dia masih harus menahannya untuk mendengar penjelasan dari mulut Saddam sendiri. Sesaat dia merasakan gawainya yang berada di saku celana bergetar. Tangan kirinya langsung merogoh saku dan melihat sang ibu yang melakukan panggilan. Utsman menarik napas dan mengembuskan secara perlahan, karena tak ingin jika ibunya tahu kalau dirinya dalam keadaan tak baik-baik
Utsman menggeleng-gelengkan kepala, tak menduga jika Saddam akhirnya menceritakan semua kejujuran padanya. “Harusnya gue nggak perlu marah, tapi kenapa gue kesel banget sama Saddam!” Utsman membatin. “Gue minta maaf,” lirih Saddam. “Lo nggak perlu minta maaf karena permintaan maaf Lo tak akan mampu mengembalikan kekecaaun ini! Asalkan lo tahu aja, harusnya lo bilang ini sejak awal dan nggak menutupi semuanya dari gue. Lo bener-bener bikin gue kecewa, Saddam! Kalau akhirnya begini, mending kita nggak perlu sahabatan sejak awal. Lo benar-benar pecundang!” teriak Utsman sembari berdiri, menatap wajah Saddam yang masih duduk di depannya. “Ya, gue pecundang. Tapi apa boleh buat?” Saddam masih menjawab dengan suara yang lemah. Kedua tangan Utsman terkepal kencang hingga baku-baku tangannya terlihat memutih sedangkan wajahnya sudah memerah bagaikan tomat rebus. Tanpa berpikir panjang, pria itu langsung melayangkan beberapa pukulan pada wajah Saddam hingga pria itu terjerembab ke belakang
Pertemuan dengan Utsman hari itu rupanya telah membuka hati Indana kembali. Dia sepakat dengan Utsman bahwa hati tak pernah salah berbicara. Terbukti, seringkali jika mengikuti kata hati, kita takkan salah bertindak dan mengambil keputusan. Indana mulai memikirkan ucapan Utsman tentang kisah-kisah perihal Saddam. Dia berencana untuk menerima Saddam kembali. Karena hati kecilnya selama ini selalu berpihak kepada nama itu.Selepas pulang dari kantor, Indana pergi ke tempat praktek Utsman untuk mengeluhkan kondisi kesehatannya. Utsman memeriksa Indana menggunakan stetoskop dan mengukur suhu tubuh menggunakan thermogun. Utsman mencatat kondisi kesehatan Indana di buku rekam medik."Tekanan darah rendah. Suhu tubuh agak tinggi. Kamu demam juga?""Enggak sih, Mas. Ya, ada lah greges-greges dikit. Tapi diminumin obat biasanya pulih. Sama pegel-pegel gitu bawaannya.""Istirahat yang cukup. Jangan begadang. Jangan kebanyakan pikiran. Tuh, kamu sampe kurusan gini. Jelek.""Ih, apaan, sih Mas U
Mendapat persetujuan dari kedua orang tuanya bukan berarti Indana telah benar-benar yakin sepenuhnya terhadap Saddam. Terkadang, rasa cinta yang masih tersisa untuk Saddam itu hadir begitu menggebu-gebu sehingga dia yakin sekali bahwa Saddam memang jodohnya. Namun, pada kesempatan lain, Indana justru dilanda kegamangan. Hal ini yang membuat Indana maju-mundur saat akan mengambil keputusan.Sebagai wujud terbukanya kembali sikap Indana, dia tak lagi membatasi Saddam. Dia membuka kembali blokiran akses media sosialnya terhadap Saddam. Pun, saat di kantor dia berpesan kepada sekuriti dan resepsionis, perintah tentang larangan Saddam untuk memasuki wilayah kantor telah dicabut.Seperti hari ini, Indana membiarkan bunga kiriman dari Saddam itu berada di kantornya. Dia juga tidak lagi membuang barang-barang yang telah diberikan Saddam. Indana memilih untuk memberikannya kepada karyawannya.Meskipun sikap Indana sudah mulai melunak, bukan berarti saat Saddam mengiriminya pesan atau mengajakn
Pernyataan Saddam ingin melamar Indana tak langsung mendapat jawaban. Kronologi kedatangan Saddam di kehidupan Indana saat ini yang tiba-tiba melamar Indana benar-benar suatu hal yang mengejutkan dan sempat membuat kedua orang tua Indana kebingungan, terutama mamanya.Setelah berbicara empat mata dengan Utsman di taman, Indana melunak. Dia secara baik-baik meminta Utsman dan Saddam untuk pulang. Indana mengatakan dalam beberapa hari akan menghubungi Saddam terkait jawaban atas lamarannya.Utsman dan Saddam pamit kepada Indana dan kedua orang tuanya. Saat bersalaman dengan Saddam, Papa Surya kembali menajamkan tatapannya dan menggenggam telapak tangan Saddam dengan keras. Tidak ada yang tahu bahwa Papa Surya memiliki rencana terselubung yang berkaitan dengan Saddam dan Indana.Malam hari setelah kedatangan Utsman dan Saddam, Indana sulit tidur. Dia memikirkan banyak hal. Tentang urusan kantor, bisnis, terlebih lagi tentang lamaran Saddam.Perlahan, Indana sudah mencoba melupakan Utsman
Saddam mengangguk mendengar pertanyaan Papa Surya. Seketika senyum kecil terkembang di bibir Papa Surya tanpa sepengetahuan siapa pun.Utsman berbisik kepada Saddam agar dia berbicara kepada orang tua Indana tentang maksud dan tujuannya datang ke rumah ini. Saddam mengangguk mantap."Bapak, Ibu. Utsman tadi telah menyatakan maksud kedatangannya ke mari. Sekarang, izinkan saya mengatakan maksud saya. Bahwa kedatangan saya adalah ingin melamar Indana."Mama Cahaya melihat ke arah putrinya. Tampak Indana dengan wajah yang ditekuk."Siapa lelaki ini, Inda? Apakah kamu mengenalnya?""Sahabatnya Mas Utsman," jawab Indana ketus. Sontak Mama Cahaya kaget."Jadi, apa maksud semua ini, Nak Saddam? Kamu mungkin telah tahu bahwa Nak Ustman hampir menikahi Indana. Namun, mendadak Nak Dokter itu memutuskan pinangan karena suatu alasan. Sekarang muncul lagi kamu sebagai sahabatnya Nak Utsman justru ingin melamar Inda. Apa kalian punya rencana terselubung?"Indana kentara sekali merasa tak nyaman. Me
Kerlap kerlip lampu jalanan kota tampak indah di malam hari. Kendaraan bermotor menyemut memadati pusat perbelanjaan dan area hiburan rakyat. Hal ini lumrah terjadi di setiap malam akhir pekan.Malam minggu, Saddam dan Utsman telah duduk berdua di sebuah kafe. Mereka telah bersepakat damai. Utsman telah sepenuhnya ikhlas melepaskan Indana untuk Saddam.Saddam mengaduk-aduk minuman di gelasnya sambil melihat lalu-lalang pengunjung kafe. Sementara Utsman sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon."Siapa, sih? Banyak banget yang nelpon. Cewek baru lu?" tanya Saddam usai Utsman mematikan panggilan.Utsman urung menyedot minumannya, lantas melihat Saddam dengan tatapan kesal. "Cewek apaan? Sembarangan, lu. Itu pasien gue. Kalau malam minggu, kan gue buka konsultasi via telepon. Tapi dibatasi hanya beberapa pasien aja.""Konsultasi masalah cinta ada, nggak?" tanya Saddam iseng. Kontan saja Utsman meletakkan gelasnya di atas punggung tangan Saddam yang ditelungkupkan di meja."Dingin!"
Indana duduk termenung sembari menatap langit malam yang tak diterangi cahaya bintang. Hari sudah larut, tapi sayang matanya masih sulit terpejam. Meski tubuh sudah lelah, tapi pikirannya masih melalang buana. Bayangan wajah Saddam terus mengusik. Semakin hari, Saddam membuatnya semakin gelisah."Apa yang sebenarnya terjadi di malam itu?" gumam Indana mencoba mengingat kembali hari kelam di mana Saddam menghancurkan masa depannya.Separuh hati dia meyakini kalau Saddam sudah menodai, tapi entah mengapa separuh hati yang lain merasa tak percaya Saddam sudah melakukan itu padanya. Namun, Indana terlalu takut untuk mencari tahu. Daripada melakukan visum, Indana lebih ingin mengandalkan ingatannya mengenai peristiwa malam naas tersebut.Sayang, peristiwa itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Perempuan itu mulai ragu apakah dia masih bisa mengingatnya? Apa dia masih bisa mempercayai ingatannya?Indana sibuk memikirkannya semalaman. Tiba-tiba sajaperempuan itu mulai berpikir, bagaimana jik
Indana beranggapan jika Saddam tak benar-benar mencintai dirinya. Mungkin yang Saddam lakukan hanya sebagai bentuk penyesalan dan dia merasa bertanggung jawab atas kemalangan Indana. Bukan Saddam namanya jika tak bersikeras dan berupaya mati-matian untuk terus menemui Indana. Baginya, cinta harus diperjuangkan. Harus ada pengorbanan yang dilakukan sebagai bukti dan bukan bualan semata. Di usianya saat ini dia memiliki pandangan bahwa mencintai seorang wanita berarti siap memperjuangkan wanita itu untuk dinikahi. Saddam tak main-main. Dia mengerahkan seluruh yang ia punya demi Indana, satu-satunya wanita yang dicintainya. Dia tidak peduli jika saat ini Indana terus menolaknya. Saddam meyakini bahwa suatu saat nanti hati Indana akan luluh dan menyadari betapa besar rasa cintanya untuk gadis itu.Indana masih dirundung rasa kecewa oleh sikap Utsman dan Saddam. Baginya kini, dua lelaki itu tak ubahnya penjahat yang telah bersekongkol dan dengan sengaja ingin membuatnya hancur. Gadis i
"Om, Tante. Sebelumnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Mulai saat ini, saya melepaskan pinangan saya terhadap Indana."Kedua orang tua Indana lantas syok. "Ta-pi, kenapa, Nak?" *****Indana dan kedua orang tuanya syok setelah Utsman menyatakan melepaskan pinangan atas Indana. Meskipun sudah menerima keputusan dari Utsman bahwasanya lelaki itu tidak ada kecenderungan terhadap Indana, tetap saja berita itu sulit diterima oleh kedua orang tua Indana. Mereka sangat kecewa. Apalagi tempo hari Utsman menyatakan ingin mempercepat tanggal pernikahan.Lesap sudah harapan kedua orang tua Indana terutama mamanya yang sangat ingin Indana menikah. Berharap setelahnya dapat menimang cucu.Hubungan Indana dan Utsman perlahan merenggang. Gadis itu kecewa Utsman memutuskan secara sepihak tanpa meminta pendapatnya terlebih dulu. Terlebih lagi hanya berbekal pengamatan sepintas dari sikap Indana. Indana jadi menyimpulkan bahwa alasan tidak ada kecenderungan saat istikharah adalah alasan Utsman
Bunyi ketukan sepatu pantofel beradu dengan lantai terdengar menggema di lantai dasar. Para staf dan sekuriti mengangguk sopan begitu melihat Indana yang sedang berjalan di depan mereka. Jam kerja hampir usai. Setelah Indana beranjak meninggalkan kantor, karyawan lainnya bersiap-siap untuk pulang.Indana membetulkan letak tali tas yang dia kaitkan di bahu dan bersiap membuka pintu mobil. Namun, dering panggilan dari ponsel menghentikan aktivitasnya. Segera dia mengambil ponsel dari dalam tas, lalu segera mengusap layar begitu melihat nama peneleponnya."Assalamu'alaikum, Mas Utsman," sapa Indana. Satu tangannya membuka pintu mobil, lalu dia duduk di kursi kemudi."Wa'alaikumsalam. Sudah pulang, Inda?""Ini baru keluar kantor. Mas udah di tempat praktek?""Iya. Tapi kayaknya hari ini list pasien ga sebanyak biasanya. Jadi, Mas bisa pulang lebih awal.""Hemmm, gitu. Ya udah, nanti kalau udah pulang langsung istirahat. Kan, acara pernikahan kita sebentar lagi." "Habis pulang dari prakte