Setelah suasana hati kembali tenang, Yuan dan Rafan berjalan dengan mesra ke lantai dasar. Seperti rencana awal bahwa mereka akan merefresh otak, sudah banyak jejalan di kepala Yuan akan ke mana perginya hari ini. Tak ingin jauh-jauh dari kota. Tujuan utamanya adalah salon dan mall. Tidak ada yang lebih merefresh otak wanita dari kedua tempat itu. Sampai di ruang tamu, pandangan mereka bertemu dengan Feli dan Bu Veronica. Nampak kedua wanita yang tengah bercengkrama itu juga menatap ke arah mereka. Pandangan Yuan lagi-lagi terarah pada batita yang berada di pangkuan sang ibu. Hanya beberapa detik saja, setelah itu ia mengalihkan tatapannya ke sembarang arah. "Mau ke mana?" tanya Bu Veronica. "Jalan-jalan sebentar, Bu. Biar segar pikiran Yuan," jawab Rafan seraya menarik tangan sang istri agar segera pergi sebelum suasan hatinya rusak kembali. Ia paham bahwa suasana hari Yuan saat ini bisa berubah dengan cepat tanpa ia duga. Pandangan Bu Veronica beliau lempar ke arah menantunya ya
Feli memasuki lapas dengan hati yang berdebar. Setiap langkahnya terasa berat, mengingat kondisi suaminya yang kini menjadi narapidana. Setelah melewati serangkaian prosedur keamanan, Feli diarahkan menuju ruang kunjungan.Tak butuh waktu lama bagi wanita itu untuk duduk menunggu, Danish sudah muncul di hadapannya dengan seorang petugas yang mengantarkan. Walaupun tak ada kata-kata, ekspresi pada wajah mereka menjadi narasi sendu di balik jeruji besi itu. Feli mencari kehangatan di balik kenyataan kehilangan, dan Danish mencoba menyampaikan penyesalan tanpa kata-kata. Di ruang sepi itu, kehadiran mereka menciptakan narasi haru, di mana cinta dan penyesalan bergelayut di antara jeruji besi yang memisahkan.Feli merenung pada masa lalu yang kini terhimpit oleh tembok penjara. Meskipun terpisah, kisah cinta mereka menciptakan narasi emosional yang menembus batas jeruji besi, mengingatkan bahwa di balik hukuman dan kesalahan, cinta masih tetap ada, meski terkurung dalam bayang-bayang jer
Hari-hari berlalu, mengajak setiap makhluk hidup di bumi untuk terus melangkah meninggalkan masa lalu. Sejauh apa pun perjalanan waktu itu membawa, baik atau buruk, tak ada yang dapat menahan langkah mereka untuk lebih lama menikmati hari yang telah berlalu.Di tengah rutinitas yang kadang monoton, orang-orang berusaha mencari kegiatan baru untuk mengusir kebosanan. Yuan pun tak luput dari keinginan untuk mencari sesuatu yang berbeda.Trauma yang masih membekas akibat kehadiran orang baru di rumahnya membuat Rafan mengambil keputusan untuk kembali tinggal bersama orang tua. Keputusan ini membuat Yuan merasa senang, terlebih dengan kedekatan yang sudah terjalin sebelumnya. Tinggal bersama Pak Jo dan Bu Veronica, Yuan tak perlu lagi waspada saat Rafan pergi bekerja. Kehadiran banyak orang di rumah mertuanya memberikan rasa nyaman dan aman.Dalam keadaan baru ini, mungkin akan terbuka peluang untuk mendalami dinamika hubungan antara Yuan, Rafan, dan keluarga mertua. Kesempatan untuk memp
"Kau pasti sedang lelah itu sebabnya kau tidak fokus pada jalanan. Bagaimana ini bisa terjadi kalau kau fokus pada jalanan? Kau tidak akan ditabrak oleh orang," omel Yuan saat mengobati siku dan lengan suaminya yang tergores aspal. Tak parah luka yang di terima oleh Rafan, hanya luka ringan, namun berukuran cukup panjang di lengan pria itu. "Kau tidak curiga bahwa ini adalah hal yang disengaja?" lanjut Yuan. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Sayang. Mungkin orang itu sedang buru-buru sama seperti aku.""Se buru-burunya dia, harusnya dia tanggung jawab karena sudah mencelakai orang. Bagaimana jika efek yang dia akibatkan–""Sayang, sudah, ya. Ini hanya luka ringan kau sudah mengobatinya dan ini sudah lebih baik. Aku tidak akan mati hanya dengan goresan seperti ini, tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu yang kecil secara berlebihan, hm?"Tidak pernah melihat Rafan celaka membuat Yuan merasa khawatir yang berlebihan. Mendengar cerita yang ia dengar tentu saja membuat pikirannya tidak
Yuan memilih pergi dibandingkan harus menggendong anak dari mantan suaminya. Entah rasa apa yang ia miliki terhadap keluarga kecil itu, ia tak membenci Dafi. Ia tidak sepicik itu untuk membawa kebenciannya terhadap Danis lalu ia limpahkan juga pada anaknya. Bukan kebencian yang ia utamakan, tapi perasaan yang tak nyaman itulah yang membuat Yuan merasa tak perlu berbasa-basi dengan siapa pun yang berhubungan dengan Danish. "Sayang!" panggil Rafan mengikuti langkah sang istri yang berjalan ke kamar. "Kau ini kenapa tidak membiarkan semuanya mengalir seperti apa adanya. Ikuti saja alurnya, ikuti saja ke mana arus membawa kita melangkah. Jangan melawan arus atau membuat sesuatu yang tidak nyaman di antara kita semua," kata Pak Jo yang melihat keadaan menjadi canggung. "Aku sedang tidak melawan arus, Jo. Aku ini sedang mengusahakan untuk kedamaian di antara keluarga kita. Bukankah kau sendiri yang mengatakan aku harus berdamai dengan Feli? Kalau kau menyuruhku untuk melakukan itu, aku
Rafan menyadari bahwa dirinya berada di tengah-tengah dilema yang rumit. Di satu sisi, ia ingin mendukung istrinya yang sedang berusaha menjauh dari konflik dengan Danish. Namun, di sisi lain, ada keinginan ayahnya untuk menjaga kedamaian keluarga."Aku mengerti, Ayah. Aku akan mencoba sebaik mungkin untuk tetap menjaga keseimbangan di antara semuanya. Kedamaian keluarga adalah prioritas bagiku," ucap Rafan dengan mantap.Pak Jo tersenyum, "Terima kasih, Rafan. Ayah yakin kau akan membuat keputusan yang bijak. Keluarga ini butuh waktu dan pengertian dari setiap anggotanya.""Kau sudah menjenguk anak bungsumu?" Pak Jo menggeleng, "Ayah ingin, tapi ada kalanya jika kita memberikan pelajaran dengan cara seperti ini. Mendengar kabar bahwa dia sehat sudah cukup bagi Ayah." Pria berkacamata itu lalu meninggalkan Rafan yang duduk termenung seorang diri. Ia nampak diam, tapi pikirannya tengah kalut. Banyak sekali yang bicara di dalam otaknya. Biar bagaimanapun ia adalah manusia biasa yang t
Bulan-bulan berlalu, Danish terus menjalani masa hukuman di penjara. Sementara itu, Rafan dan Yuan yang tinggal bersama orang tua merasakan dinamika keluarga yang rumit. Mereka berusaha menjalani hari-hari mereka dengan kedamaian sembari meresapi perjalanan hidup yang telah memperumit hubungan mereka.Feli, meski terus berusaha memperbaiki hubungan dengan Rafan dan istrinya, masih merasakan resistensi dari Yuan. Setiap kali mencoba mendekati atau memperdalam hubungan, suasana tetap terasa tegang. Namun, Feli tetap bertekad untuk memberikan yang terbaik bagi keluarganya, termasuk masa depan yang akan dihadapi Danish setelah keluar dari penjara.Danish di penjara mulai merenungkan arti kehidupannya dan pelajaran yang bisa diambil dari kesalahannya. Ia merencanakan untuk menjalani hidup yang lebih baik setelah bebas, dengan harapan bisa membangun kembali hubungan yang pernah hancur. Ini demi pengorbanan istrinya yang berjuang sendirian di luar sana, sementara di sini ia tak bisa berbuat
Dengan pikiran yang sedikit terganggu karena penelpon misterius yang mengganggunya sejak kemarin, Rafan turun menuruni anak tangga satu persatu dengan pikiran yang sedikit melayang tentunya, karena pikirannya sudah benar-benar tidak fokus hanya dengan satu perkara saja. Lamunannya itu seketika tersentak tatkala tak sengaja mendengar ucapan Bi Ijah, asisten rumah tangga yang sudah lama setia mengabdikan diri di rumah Bimantara. "Siapa yang kirim paket sepagi ini?" tanya Bu Veronica yang entah ditujukan pada siapa. Pak Jo, Bu Veronica, dan juga Yuan yang sudah duduk siap menyantap makan paginya menjadi menunda aktivitas itu karena datangnya paket. Semua perhatian dan pandangan mereka berada pada kotak berukuran sedang yang terhias pita berwarna merah. Pak Jo dan Yuan memperhatikan kotak itu seakan menunggu dengan penasaran dan tidak sabar apa yang ada di dalamnya. Tidak ada nama pengirim dan untuk siapa paket itu ditujukan hanya tertulis alamat rumah saja. "Apa isinya?" tanya Pak J
Setelah proses panjang di pengadilan, Rafan dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang terkait dengan kematian Alea. Hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun kepada Rafan.Yuan dan sang ibu mertua hanya bisa menangis sejadi-jadinya, siapa yang menyangka jika hukuman akan selama dan sepanjang ini. Rafan menghampiri keluarganya dengan wajah yang tampak tegar meski lelah, dan ia mencoba tersenyum untuk menguatkan istri dan kedua orang tuanya. Yuan tidak bisa menahan air matanya. "20 tahun, Rafan. Itu waktu yang sangat lama. Bagaimana bisa aku melalui hari tanpamu?" Wanita itu menghambur ke pelukan suaminya. Sayang, Rafan tak bisa membalas pelukan itu lantaran tangannya sudah terborgol. Rafan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tahu, Yuan. Ini memang lama, tapi aku akan menjalani hukuman ini dengan tenang. Aku ingin menebus semua kesalahanku. Dan aku butuh kamu untuk tetap kuat di luar sana."Yuan menggengg
Rafan mengulurkan tangan untuk membantu Antoni duduk sempurna. Napas mereka belum kembali normal, masih beradu dengan kenyataan yang tak hanya membuat lelah fisik. Antoni merasakan tubuhnya lemas, tetapi pikirannya terus berputar. Kata-kata Alea terus terngiang-ngiang di telinganya. "Jangan biarkan cinta merubah apa pun dalam dirimu."Ia menatap Rafan dengan pandangan yang penuh kebencian, tetapi di balik kebencian itu, ada secercah kesadaran. Alea benar, ia telah membiarkan kebencian menguasai dirinya terlalu lama. Jika ia terus berjalan di jalan ini, ia akan menjadi apa yang Alea tidak inginkan. "Antoni, tolong dengarkan aku," suara Yuan terdengar lagi, lebih lembut, "Kita bisa mengakhiri ini sekarang. Rafan bersedia menerima hukumannya. Biarkan hukum yang mengadili."Antoni menatap Yuan dengan mata yang penuh dengan emosi yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia ingin membalas dendam, ingin Rafan merasakan penderitaan yang ia rasakan. Tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan p
Dalam pertarungan itu, Rafan berhasil merebut pistol yang terjatuh saat terjadi baku hantam. Mereka bergulat di lantai, saling rebut senjata. Yuan berteriak memohon agar mereka menyudahi kegaduhan ini. Namun, suara teriakannya tenggelam dalam suara pertarungan sengit itu. "Rafan, lempar pistolnya ke sini! Rafan kau dengar aku? Lempar ke sini, Rafan!" Yuan berteriak sekuat yang ia bisa. Saat ini hanya itu yang bisa ia lakukan. Tak lama kemudian, Rafan melakukan apa yang diminta sang istri, ia melempar senjata itu meski asal. Antoni mengamuk saat senjata itu berada di tangan Yuan. Ia kembali bangkit dengan membawa pukulan dan tendangan yang lebih brutal. Rafan hanya menghindar tak berniat membalas. Ia sedang mengumpulkan tenaga untuk menghentikan ini. Pukulan demi pukulan yang disodorkan tak membuahkan hasil membuat Antoni lelah sendiri. Di saat itulah, Rafan mengerahkan tenaga yang baru ia kumpulkan. Dengan sekali tendang di dada, Antoni tersungkur tak berdaya. "Rafan suda
"Antoni, tolong pikirkan lagi! Apakah ini yang benar-benar diinginkan oleh Alea? Apakah dia ingin kau hidup dengan kebencian dan dendam seperti ini?""Kau tidak tahu apa-apa! Kau mungkin pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kau cintai, seseorang yang kau sayangi, tapi apakah kau pernah kehilangan seseorang dengan cara yang kejam? Sepertinya ikut melenyapkan mu juga pilihan yang bagus. Rafan juga harus merasakan apa yang aku rasakan. Kehilangan seseorang dengan cara yang kejam."Rafan maju perlahan, melihat Antoni yang kesetanan membuat ia takut hilang kendali dan justru mengikutsertakan Yuan dalam permasalahan masa lalunya. "Dengarkan aku Antoni, aku menyesal. Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku. Aku akan melakukan apa pun yang kau minta, lakukan apa saja padaku, tapi jangan libatkan Yuan dalam hal ini. Ini murni kesalahanku, bukan?"Antoni tersenyum miring, "Kau pikir aku akan melepaskan orang yang kau cintai begitu saja? Dia ba
"Yuaaann!"Suara Rafan menggema di seluruh ruangan, memecah keheningan yang melingkupi gedung lantai dua itu. Yuan terkejut melihat suaminya muncul, wajahnya penuh kepanikan dan ketakutan, napasnya pun sudah tersengal-sengal. Nampaknya ia berlari dari halaman gedung hingga naik ke titik ini. Antoni menoleh, tatapannya sangat memperjelas bahwa kebencian dirinya terhadap Rafan benar-benar berada di puncak. "Kau!" teriak Antoni mengarahkan pistolnya ke arah Rafan. "Akhirnya kau datang juga, akhirnya aku dengan leluasa bisa melihat wajahmu. Kau adalah awal dari segala penderitaanku. Kau harus membayar semuanya, Rafan. Nyawa, kebahagiaan, waktu, sakitku, dan hancurnya kehidupanku hanya karena kau!"Rafan mengangkat kedua tangannya, berusaha menunjukkan bahwa ia tak bersenjata dan tidak ada niatan untuk melawan. "Dengar aku! Aku dan kau tidak saling kenal, aku tidak tahu di sini kau siapa, tapi aku tahu siapa yang yang kau maksud. Aku tahu yang kau maksud adalah Alea, wanita yang ada di
Yuan masih terpaku di tempat. Pandangannya tak lepas dari layar monitor yang terus berjalan menampilkan gambaran masa lalu raffan yang tidak ia ketahui. Dalam waktu beberapa menit itu, slide-slide itu seolah menayangkan hampir setengah kehidupan masa muda sang suami. Semua masih menampilkan wajah-wajah yang sama, tak ada yang aneh. Rafan memang setia dalam menjalin hubungan. Bukankah wajar dan tidak ada keanehan dengan foto-foto yang ditampilkan? Itu bagian dari masa lalu dan apa masalahnya? Hingga akhirnya, pikiran Yuan yang begitu positif itu terkacaukan dengan sebuah chat. Selintas ia membaca kata "gugurkan" dan membuatnya mengatakan... "Stop! Kembali ke slide sebelumnya!"Antoni menurut, ia kembali menampilkan foto sebelumnya. "Sekarang kau tahu kenapa hingga detik ini Rafan tidak punya anak? Karma. Dia sedang menjalani karmanya. Pasti kau bertanya-tanya, siapa perempuan itu, siapa aku, apa hubungannya dengan kekacauan dalam hidupmu? Aku yakin banyak pertanyaan dalam benakmu. K
"Apa maksudnya dia mengirimku ke tempat seperti ini?! Apa aku sedang dibodohi?" gerutu Yuan seraya berjalan kembali ke mobilnya. Wanita itu belum selesai dengan keterkejutannya yang tanpa sengaja mendatangi sebuah rumah aborsi ilegal. Namun rupanya, semesta masih memberinya kejutan dengan kehadiran sosok pria berkulit putih di dalam mobilnya. "Siapa kau?" tanyanya dalam keadaan terkejut. Bagaimana tidak? Pria itu duduk kursi samping kemudi. "Itu tidak penting, yang lebih penting adalah informasi yang aku bawa. Informasi yang bisa menentukan masa depan dan jalan hidupmu selanjutnya. Jalan sekarang! Ikuti petunjuk yang aku berikan! Atau kau ... akan ditemukan menjadi mayat sebelum kau tahu rahasia besar yang dirahasiakan suamimu." Antoni mengarahkan pistol tepat di kepala Yuan. Manusia mana yang tidak gemetar jika dihadapkan dengan senjata tajam sementara dirinya tak menguasai apa pun dalam perkelahian atau menjinakkan senjata tajam, jangankan melakukan itu, memegang dengan benar da
Rafan beberapa kali membolak-balikan kertas itu untuk meyakinkan diri. Tak ada apa-apa di benda itu. Bahkan setitik noda tinta pun tak ada. Ia juga dengan teliti memastikan bahwa tak ada apa-apa lagi di kaleng itu. Memang tidak ada, kosong, itulah kenyataan yang ada di hadapannya sekarang. Rasa takut, cemas, dan kekhawatirannya tak terbukti. Ia merasa lega karena tak ada hal apa pun yang menambah kecurigaan sang istri terhadapnya. Namun, kelegaan itu hanya berlangsung sementara saja, ia merasa kembali dikuliti saat mendapati tatapan sang istri yang mengarah padanya. Tatapannya biasa saja, tidak menakutkan bagi Rafan, tapi entah kenapa ia merasa terintimidasi oleh sorot mata wanita itu. Mungkin ini adalah efek lantaran dirinya yang menyembunyikan hal besar dari semua orang. "Sudah puas, Sayang? Tidak ada apa-apa, jadi tidurlah. Aku akan menyusul setelah mandi." Rafan kembali menggulung kertas dan memasukkan ke kaleng lalu ia letakkan benda itu di meja rias.Yuan mengangguk, tetapi ek
Rafan hendak membuka mulutnya untuk kembali menjawab pertanyaan dari Frans. Hanya saja, getaran di ponselnya membuat ia mengalihkan perhatian. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal terpampang di layar. Baginya sekarang tak mengherankan lagi ada banyak nomor yang menghubunginya. Si peneror seringkali mengganti nomornya saat menghubungi. Wajah yang semula biasa saja kini mendadak membuat raut tegang, wajahnya pucat, dan ia mulai di serang panik. "Sial! Frans, aku harus pulang." Hanya kalimat itu yang mampu Rafan keluarkan. Ia tergesa membawa dirinya keluar dari apartemen. Pesan dari peneoror ini membuat ia kembali kalang kabut. Rafan meluncur di jalan dengan kecepatan tinggi, hatinya berdegup kencang. Pemandangan di sekitarnya menjadi blur, hanya fokus pada satu tujuan, pulang. Ketegangan memenuhi udara di dalam mobil saat ia meraba-raba kantong saku, mengeluarkan ponselnya dengan gemetar. Layar ponsel terangkat menampilkan foto ancaman yang menakutkan. Rafan merasa napasnya se