"Jo, aku ini ibunya. Jika kau membencinya silakan saja. Kau hanya laki-laki yang menjadi peran sebagai ayahnya, kau tidak ikut mengandung, melahirkan, dan menyusuinya. Wajar saja jika bencimu lebih besar dari kasihmu. Yang bertaruh nyawa untuk melahirkan dia, aku. Kenapa kau harus melarangku untuk bertemu dengan anakku sendiri? Hanya karena kesalahan yang dia lakukan melampaui batas, bukan berarti dia berhenti jadi anakmu. Dia tetaplah anakmu. Aku yang melahirkan, jangan minta aku untuk berpisah dengannya. Jika kau tidak mengizinkan dia datang ke sini, biar aku yang mendatanginya." Bu Veronica berkaca-kaca.Bayangkan saja, beliau seperti merasa sakit yang lebih parah, sakit yang terasa dua kali lipat lebih sakit dibandingkan dengan yang sakit yang sudah beliau lewati. Jika untuk maaf, tentu saja Bu Veronica masih berat untuk memberi maaf Danish, tapi bukan berarti beliau harus hilang peduli pada anaknya sendiri. "Ibu, sudah, Bu. Ayah baru keluar dari rumah sakit.
Selesai dengan membujuk ayah dan ibunya, Rafan meninggalkan rumah dengan perasaan yang lega. Ia merasa dengan apa yang ia lakukan ini akan membuka pikiran keduanya. Mungkin terlihat bahwa Rafan yang plin plan dan tak jelas berpihak pada siapa, tapi di balik keputusannya ini, ia akan tetap berada di pihak ibunya. Laki-laki itu akan tetap mempertemukan keduanya tanpa sepengetahuan sang ayah dengan catatan pertemuan itu tidak dilakukan dalam waktu dekat. Hari demi hari yang terus terlewati dengan cepat tak terasa membawa situasi di mana sidang perceraian Yuan dan Danish dibuka. Butuh waktu dua bulan untuk sampai di titik ini. Hingga kurun waktu itu, tak ada yang berubah. Semua tetap sama. Bahkan Yuan dan Danish juga tidak saling berusaha memperbaiki silaturahmi hingga detik ini. Tidak ada yang saling mencari, tidak ada yang mengalah, seakan-akan hubungan mereka berakhir di hari pernikahan mereka yang kedua tahun. Mereka seakan saling membenci satu sama lain. Bahkan hingga sidang ini di
"Aku sedang tidak melantur, tapi aku sedang bicara fakta. Memang itu yang aku dapat dari Ayah. Kau sejak kecil menjadikan Rafan kesayangan dan bertingkah sebaliknya padaku. Selalu mengiyakan apa yang dikatakan Rafan, tapi selalu mengatakan tidak padaku."Pak Jo kini mulai mengerti arah pembahasan Danish. Kini tak perlu lagi beliau melanjutkan obrolan atau percakapan apa pun dengan Danish. Beliau rasa percuma saja bicara dengan anak bungsunya ini. Dari kecil Danish memang tipe anak yang pembangkang dan semaunya sendiri. Dan ternyata beliau baru sadar bahwa beliau gagal merubah Danish kecil. Pak Jo lebih memilih untuk pergi saja dari pada terus mengajak Danish bicara yang beliau tahu pasti akan berakhir pada pertengkaran yang lebih parah. Beliau masih sayang kesehatannya, tidak ingin lagi kesehatannya menurun atau tergerus karena kelakuan sang anak yang ternyata tidak ada perubahan dan justru semakin membuatnya kecewa. Tidak sadar kesalahan dan tidak berusaha berubah, sungguh manusia y
"Yuan? Kau di sini, Nak?" Yuan gugup, niatnya yang akan memberi surprise kekasihnya malah berujung ia yang terkejut. Ia sengaja datang setengah jam sebelum jam makan siang agar ada sedikit waktu lebih banyak. Namun, nasib baik saat ini sepertinya sedang tak berpihak pada wanita itu. Untunglah tadi ia tak memanggil Rafan dengan sebutan sayang, batinnya. Bukan apa-apa, bukan takut atau tak mau hubungannya diketahui oleh mantan mertuanya, hanya saja untuk sekarang sepertinya tidak tepat. Yuan baru saja resmi bercerai, di sisi lain Rafan juga tak ingin rasanya terhadap Yuan ini dinilai rasa kasihan oleh mereka. "Iya, Yah. Yuan memang sering ke sini. Dia antar makan siang, katanya sebagai bentuk rasa terima kasih karena sudah memberi izin tinggal di apartemenku. Sebenarnya aku ada rencana mau masukin dia ke perusahaan. Tapi, kan, aku harus izin dulu sama Ayah.""Boleh, tentu saja boleh. Kau atur saja. Kalau begitu Ayah pergi dulu." Merasa tak enak dan tak nyaman berada di tengah-tengah
"Ponsel ayah tertinggal. Maaf jika kedatangan ayah membuat kalian terkejut." Pak Jo lalu berjalan masuk dan mengambil ponselnya yang tertinggal di meja. Saat pria itu mengambil benda pipihnya di atas meja, di saat itulah beliau menatap Rafan dengan senyum yang tersungging. Rafan sendiri tidak tahu apa makna dari senyuman itu. Apa ayahnya tadi sempat melihat dirinya yang gelagapan melepaskan bibir Yuan? Ah mudah-mudahan saja tidak. Namun, harapan tinggalah harapan. Apa yang diharapkan oleh Rafan nyatanya berbanding terbalik dengan realita. Malam hari seusai makan malam, pria itu bicara empat mata dengan sang ayah. Seperti biasa, di teras samping rumah yang terdengar gemericik air mancur di tengah kolam ikan. Tak jauh dari sana ada kolam renang yang berukuran sedang. "Apa yang membuat ayah mengajakku ke sini?"Rafan ragu jika ayahnya membawa ke sini untuk membicarakan perihal pekerjaan. "Ada hubungan apa kau dengan Yuan?" tanya Pak Jo to the point. Rafan tertawa kecil, "hubungan ap
"Tidak, aku hanya mendengar cerita dari Yuan saja.""Itu artinya kau mengetahuinya akhir-akhir ini. Itu artinya yang patut dipertanyakan adalah perasaanmu padanya. Kau yakin ini cinta? Banyak hal yang kelihatannya sama, tapi perbedaan itu sangat tipis presentasenya. Cinta dengan iba, tulus dan bodoh, dan benci tapi peduli. Kau yang mana?"Rafan terdiam, inilah yang ia takutkan jika kedua orang tuanya tahu lebih cepat soal hubungannya. Akan terasa sulit menjelaskan bahwa apa yang ia rasa ini cinta, bukan iba dan semacamnya. Bagaimana ia meyakinkan mereka dengan kata-kata? Hanya pembuktian lah yang bisa ia berikan. Rafan memahami jika cintanya ini disebut iba oleh beberapa orang. Ia memaklumi karena yang orang tahu saat ini Yuan masih memiliki luka basah, padahal yang sebenarnya terjadi adalah luka Yuan yang mulai kering karena dirinya. Tidak ada yang tahu bagaimana proses keringnya, yang mereka tahu hanya saat ini luka Yuan masih melebar ke mana-mana. Karena yang mereka tahu, Yuan bar
Hari pertama bekerja selalu menjadi momen yang menegangkan sekaligus menyenangkan tak terkecuali bagi Yuan. Meskipun ini bukan pertama kalinya dalam hidup ia bekerja, tetap saja ia merasa ada sesuatu yang membuatnya bahagia, tegang, gugup, dan deg deg an seperti manusia pada umumnya. Yuan berdiri di depan cermin yang terpasang di lemari. Ia melihat penampilan barunya dalam cermin, memastikan bahwa segalanya tampak sempurna.Ia memakai blus berwarna pastel yang dipadukan dengan rok hitam panjang hingga lutut. Sepatu hak tinggi berwarna hitam menghiasi kakinya, menambah tinggi dan rasa percaya dirinya. Rambutnya diikat rapi menjadi ekor kuda, memberikan tampilan yang profesional sekaligus feminin.Wanita itu melihat dirinya sendiri dalam cermin, memastikan bahwa makeupnya tampak natural dan tidak berlebihan. Ia memakai sedikit blush on untuk memberikan warna pada pipinya, dan lipstik berwarna nude untuk menambah kesan natural pada wajahnya.Yuan tersenyum pada dirinya sendiri, "akhirny
Rafan berjalan dengan tergesa-gesa. Tidak kunjung ke kantor dan teleponnya dijawab oleh resepsionis membuat ia khawatir dengan keberadaan sang kekasih. "Di mana kau temukan ponsel calon istriku?" tanyanya begitu sampai di meja resepsionis. "Ponsel ini tergeletak di luar, Pak. Saya juga tidak tahu kronologisnya bagaimana ponsel ini ada di luar apartemen." Rafan lalu beringsut dari sana. Ia akan mencoba untuk mengecek dahulu apartemennya. Barangkali ada sesuatu atau petunjuk ada apa sebenarnya dengan kekasihnya ini, dan ke mana perginya? Pria itu menggeledah seluruh apartemen dan tak ada yang mencurigakan, semua tampak rapi seperti biasanya. Ia gegas kembali ke luar. Ia hendak meninggalkan bangunan besar nan tinggi itu, tapi langkahnya terhenti karena panggilan dari satpam yang menjaga bangunan yang menjulang itu. "Pak," panggil satpam itu terengah-engah. "Iya ada apa?""Tadi saya diberitahu resepsionis kalau Bapak nyari pemilik ponsel yang tergeletak di luar.""Iya, Bapak tahu s
Setelah proses panjang di pengadilan, Rafan dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang terkait dengan kematian Alea. Hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun kepada Rafan.Yuan dan sang ibu mertua hanya bisa menangis sejadi-jadinya, siapa yang menyangka jika hukuman akan selama dan sepanjang ini. Rafan menghampiri keluarganya dengan wajah yang tampak tegar meski lelah, dan ia mencoba tersenyum untuk menguatkan istri dan kedua orang tuanya. Yuan tidak bisa menahan air matanya. "20 tahun, Rafan. Itu waktu yang sangat lama. Bagaimana bisa aku melalui hari tanpamu?" Wanita itu menghambur ke pelukan suaminya. Sayang, Rafan tak bisa membalas pelukan itu lantaran tangannya sudah terborgol. Rafan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tahu, Yuan. Ini memang lama, tapi aku akan menjalani hukuman ini dengan tenang. Aku ingin menebus semua kesalahanku. Dan aku butuh kamu untuk tetap kuat di luar sana."Yuan menggengg
Rafan mengulurkan tangan untuk membantu Antoni duduk sempurna. Napas mereka belum kembali normal, masih beradu dengan kenyataan yang tak hanya membuat lelah fisik. Antoni merasakan tubuhnya lemas, tetapi pikirannya terus berputar. Kata-kata Alea terus terngiang-ngiang di telinganya. "Jangan biarkan cinta merubah apa pun dalam dirimu."Ia menatap Rafan dengan pandangan yang penuh kebencian, tetapi di balik kebencian itu, ada secercah kesadaran. Alea benar, ia telah membiarkan kebencian menguasai dirinya terlalu lama. Jika ia terus berjalan di jalan ini, ia akan menjadi apa yang Alea tidak inginkan. "Antoni, tolong dengarkan aku," suara Yuan terdengar lagi, lebih lembut, "Kita bisa mengakhiri ini sekarang. Rafan bersedia menerima hukumannya. Biarkan hukum yang mengadili."Antoni menatap Yuan dengan mata yang penuh dengan emosi yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia ingin membalas dendam, ingin Rafan merasakan penderitaan yang ia rasakan. Tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan p
Dalam pertarungan itu, Rafan berhasil merebut pistol yang terjatuh saat terjadi baku hantam. Mereka bergulat di lantai, saling rebut senjata. Yuan berteriak memohon agar mereka menyudahi kegaduhan ini. Namun, suara teriakannya tenggelam dalam suara pertarungan sengit itu. "Rafan, lempar pistolnya ke sini! Rafan kau dengar aku? Lempar ke sini, Rafan!" Yuan berteriak sekuat yang ia bisa. Saat ini hanya itu yang bisa ia lakukan. Tak lama kemudian, Rafan melakukan apa yang diminta sang istri, ia melempar senjata itu meski asal. Antoni mengamuk saat senjata itu berada di tangan Yuan. Ia kembali bangkit dengan membawa pukulan dan tendangan yang lebih brutal. Rafan hanya menghindar tak berniat membalas. Ia sedang mengumpulkan tenaga untuk menghentikan ini. Pukulan demi pukulan yang disodorkan tak membuahkan hasil membuat Antoni lelah sendiri. Di saat itulah, Rafan mengerahkan tenaga yang baru ia kumpulkan. Dengan sekali tendang di dada, Antoni tersungkur tak berdaya. "Rafan suda
"Antoni, tolong pikirkan lagi! Apakah ini yang benar-benar diinginkan oleh Alea? Apakah dia ingin kau hidup dengan kebencian dan dendam seperti ini?""Kau tidak tahu apa-apa! Kau mungkin pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kau cintai, seseorang yang kau sayangi, tapi apakah kau pernah kehilangan seseorang dengan cara yang kejam? Sepertinya ikut melenyapkan mu juga pilihan yang bagus. Rafan juga harus merasakan apa yang aku rasakan. Kehilangan seseorang dengan cara yang kejam."Rafan maju perlahan, melihat Antoni yang kesetanan membuat ia takut hilang kendali dan justru mengikutsertakan Yuan dalam permasalahan masa lalunya. "Dengarkan aku Antoni, aku menyesal. Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku. Aku akan melakukan apa pun yang kau minta, lakukan apa saja padaku, tapi jangan libatkan Yuan dalam hal ini. Ini murni kesalahanku, bukan?"Antoni tersenyum miring, "Kau pikir aku akan melepaskan orang yang kau cintai begitu saja? Dia ba
"Yuaaann!"Suara Rafan menggema di seluruh ruangan, memecah keheningan yang melingkupi gedung lantai dua itu. Yuan terkejut melihat suaminya muncul, wajahnya penuh kepanikan dan ketakutan, napasnya pun sudah tersengal-sengal. Nampaknya ia berlari dari halaman gedung hingga naik ke titik ini. Antoni menoleh, tatapannya sangat memperjelas bahwa kebencian dirinya terhadap Rafan benar-benar berada di puncak. "Kau!" teriak Antoni mengarahkan pistolnya ke arah Rafan. "Akhirnya kau datang juga, akhirnya aku dengan leluasa bisa melihat wajahmu. Kau adalah awal dari segala penderitaanku. Kau harus membayar semuanya, Rafan. Nyawa, kebahagiaan, waktu, sakitku, dan hancurnya kehidupanku hanya karena kau!"Rafan mengangkat kedua tangannya, berusaha menunjukkan bahwa ia tak bersenjata dan tidak ada niatan untuk melawan. "Dengar aku! Aku dan kau tidak saling kenal, aku tidak tahu di sini kau siapa, tapi aku tahu siapa yang yang kau maksud. Aku tahu yang kau maksud adalah Alea, wanita yang ada di
Yuan masih terpaku di tempat. Pandangannya tak lepas dari layar monitor yang terus berjalan menampilkan gambaran masa lalu raffan yang tidak ia ketahui. Dalam waktu beberapa menit itu, slide-slide itu seolah menayangkan hampir setengah kehidupan masa muda sang suami. Semua masih menampilkan wajah-wajah yang sama, tak ada yang aneh. Rafan memang setia dalam menjalin hubungan. Bukankah wajar dan tidak ada keanehan dengan foto-foto yang ditampilkan? Itu bagian dari masa lalu dan apa masalahnya? Hingga akhirnya, pikiran Yuan yang begitu positif itu terkacaukan dengan sebuah chat. Selintas ia membaca kata "gugurkan" dan membuatnya mengatakan... "Stop! Kembali ke slide sebelumnya!"Antoni menurut, ia kembali menampilkan foto sebelumnya. "Sekarang kau tahu kenapa hingga detik ini Rafan tidak punya anak? Karma. Dia sedang menjalani karmanya. Pasti kau bertanya-tanya, siapa perempuan itu, siapa aku, apa hubungannya dengan kekacauan dalam hidupmu? Aku yakin banyak pertanyaan dalam benakmu. K
"Apa maksudnya dia mengirimku ke tempat seperti ini?! Apa aku sedang dibodohi?" gerutu Yuan seraya berjalan kembali ke mobilnya. Wanita itu belum selesai dengan keterkejutannya yang tanpa sengaja mendatangi sebuah rumah aborsi ilegal. Namun rupanya, semesta masih memberinya kejutan dengan kehadiran sosok pria berkulit putih di dalam mobilnya. "Siapa kau?" tanyanya dalam keadaan terkejut. Bagaimana tidak? Pria itu duduk kursi samping kemudi. "Itu tidak penting, yang lebih penting adalah informasi yang aku bawa. Informasi yang bisa menentukan masa depan dan jalan hidupmu selanjutnya. Jalan sekarang! Ikuti petunjuk yang aku berikan! Atau kau ... akan ditemukan menjadi mayat sebelum kau tahu rahasia besar yang dirahasiakan suamimu." Antoni mengarahkan pistol tepat di kepala Yuan. Manusia mana yang tidak gemetar jika dihadapkan dengan senjata tajam sementara dirinya tak menguasai apa pun dalam perkelahian atau menjinakkan senjata tajam, jangankan melakukan itu, memegang dengan benar da
Rafan beberapa kali membolak-balikan kertas itu untuk meyakinkan diri. Tak ada apa-apa di benda itu. Bahkan setitik noda tinta pun tak ada. Ia juga dengan teliti memastikan bahwa tak ada apa-apa lagi di kaleng itu. Memang tidak ada, kosong, itulah kenyataan yang ada di hadapannya sekarang. Rasa takut, cemas, dan kekhawatirannya tak terbukti. Ia merasa lega karena tak ada hal apa pun yang menambah kecurigaan sang istri terhadapnya. Namun, kelegaan itu hanya berlangsung sementara saja, ia merasa kembali dikuliti saat mendapati tatapan sang istri yang mengarah padanya. Tatapannya biasa saja, tidak menakutkan bagi Rafan, tapi entah kenapa ia merasa terintimidasi oleh sorot mata wanita itu. Mungkin ini adalah efek lantaran dirinya yang menyembunyikan hal besar dari semua orang. "Sudah puas, Sayang? Tidak ada apa-apa, jadi tidurlah. Aku akan menyusul setelah mandi." Rafan kembali menggulung kertas dan memasukkan ke kaleng lalu ia letakkan benda itu di meja rias.Yuan mengangguk, tetapi ek
Rafan hendak membuka mulutnya untuk kembali menjawab pertanyaan dari Frans. Hanya saja, getaran di ponselnya membuat ia mengalihkan perhatian. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal terpampang di layar. Baginya sekarang tak mengherankan lagi ada banyak nomor yang menghubunginya. Si peneror seringkali mengganti nomornya saat menghubungi. Wajah yang semula biasa saja kini mendadak membuat raut tegang, wajahnya pucat, dan ia mulai di serang panik. "Sial! Frans, aku harus pulang." Hanya kalimat itu yang mampu Rafan keluarkan. Ia tergesa membawa dirinya keluar dari apartemen. Pesan dari peneoror ini membuat ia kembali kalang kabut. Rafan meluncur di jalan dengan kecepatan tinggi, hatinya berdegup kencang. Pemandangan di sekitarnya menjadi blur, hanya fokus pada satu tujuan, pulang. Ketegangan memenuhi udara di dalam mobil saat ia meraba-raba kantong saku, mengeluarkan ponselnya dengan gemetar. Layar ponsel terangkat menampilkan foto ancaman yang menakutkan. Rafan merasa napasnya se