Venus masih terdiam menatap Dion kala ia bercerita tentang keseriusannya untuk melepaskan semuanya jika perlu. Tangannya lalu meraba jemari Dion dan meremasnya lembut.
“Apa cita-cita dan impian kamu sesungguhnya, Mas? Apa itu menjadi seorang Polisi?” tebak Venus menutur lembut. Dion menarik banyak udara ke paru-parunya lalu mengalihkan pandangan menatap ujung meja dengan bibir terkatup.
“Dulu aku berusaha keras di sekolah untuk mendapatkan nilai-nilai sempurna. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa menolong orang lain. Aku melihat salah satunya adalah dengan menjadi seorang polisi.”
“Lalu aku berkuliah juga masih dengan impian yang sama. Aku masuk dan mendaftar dengan semua kemampuan yang aku miliki. Aku yakin aku bisa dan aku berhasil, tapi ternyata keluarga Laras juga ikut berperan untuk meloloskan aku masuk ke akademi kepolisian.” Dion tersenyum dan menundukkan wajahnya lagi.
“Waktu itu aku tidak mempermasalahk
Cumbuan itu makin agresif diberikan Rico pada Laras. Keduanya bergumul dalam peluh di atas ranjang mencoba mencapai puncak hubungan badan yang tengah dilakukan.Ada hal yang dirasakan Rico pada Laras yang tidak ia temukan pada Sisca, istrinya. Logikanya telah tumpul dan yang dirasakan Rico hanyalah deru nafsu syahwat tak terkendali.Lenguhan tinggi Rico terdengar cukup keras usai ia naik ke puncak yang diinginkannya. Laras pun terengah cukup hebat. Sekali pun mereka tidak bisa melakukan hubungan seperti biasanya namun hal itu tidak membuat Rico kehilangan gairahnya pada Laras.Rico pun berbalik melepaskan diri dari Laras berguling dan membaringkan punggungnya di atas ranjang di samping Laras. Laras menarik selimutnya dan ikut menenangkan diri usai hubungan yang berbatas karena kehamilan. Rico menoleh dan ikut tersenyum menatap Laras yang selalu bisa memuaskannya.“Aku benar-benar kangen sama kamu, Sayang. Udah lama banget kita gak seperti ini,&rdquo
“Sisca?” sebut Dion dengan wajah sedikit keheranan. Fransisca yang merupakan istri Hendrico berpapasan tidak sengaja dengan Dion usai keluar dari kamar mandi pria. Rupanya Sisca juga berada di restoran yang sama dan duduk di salah satu sudut. Ia tidak bisa mengenali Dion karena pria itu selalu memakai masker.“Kamu sudah pulang, Mas?” tanya Sisca separuh ketus pada Dion. Dion berbalik sepenuhnya menghadap Sisca dan mengangguk.“Sudah berapa lama?”“Sekitar hampir satu bulan, kenapa memangnya?” balas Dion datar tanpa ekspresi apa-apa. Sisca mendengus tersenyum agak sinis dan menggelengkan kepalanya.“Gak kenapa-kenapa! Bagus kalau kamu sudah pulang. Ternyata itu alasan Mas Rico sudah pulang lagi ke rumah. Karena kamu sudah kembali ke Indonesia.” Kening Dion mengernyit seraya masih memandang Sisca keheranan.“Apa hubungannya?” tukas Dion mulai ketus.“Ya kan kamu pul
Dion masuk ke sebuah warung sate kambing Madura yang berada di sebuah food court pinggir jalan usai membuat janji bertemu dengan Pak Dhe Halim. Pak Dhe ternyata sudah berada lebih dulu dan duduk dengan nyamannya di salah satu sudut sambil menikmati satenya.“Sudah lama, Pak Dhe?” sapa Dion. Pak Dhe Halim langsung menyuruh Dion untuk duduk dan memanggil pelayan untuk memesan lagi.“Sekitar 10 menit. Makan dulu!” ajak Pak Dhe sambil mengambil satu tusuk sate dan menarik daging dengan giginya. Dion tersenyum dan menggeleng ingin menolak.“Ndak usah, Pak Dhe. Aku sudah makan ...” tolak Dion tapi pelayan sudah berdiri di samping Dion dengan sebuah buku catatan kecil.“Sudah makan lagi saja!” Dion pun hanya tersenyum dan ikut memesan menu yang sama dengan Pamannya sekaligus minuman untuk menemani mereka.“Kamu sudah ndak pernah pulang berapa hari toh, Le? Aku ke kontrakanmu weis sepi, ndak ada orang!
Hari ini Dion masuk kantor seperti biasa di pagi hari. Menjelang siang nanti dia akan kembali ke hotel tempat konferensi untuk dinas luarnya seperti biasa. Sebenarnya Dion tidak perlu masuk pagi ini, tapi karena ia butuh bicara dan berdiskusi dengan Jasman dan Peter, Dion pun datang lebih pagi.“Peter ... Jasman? Ke ruangan saya sebentar ya!” tegur Dion pada keduanya ketika berpapasan.“Siap, Dan!”Peter dan Jasman pun ikut masuk ke ruangan Dion dan duduk di kursi tamu yang ada di sana sesuai dengan perintah Dion.“Saya mau ngomong sama kalian berdua. Saya ingin meminta pendapat sekaligus berdiskusi,” ujar Dion membuka omongan. Peter dan Jasman tidak menjawab selain hanya mengangguk saja.“Kalian kan tahu masalah pribadi saya sekarang?” keduanya mengangguk lagi.“Dan kalian pun kenal dengan Laras dan Rico. Saya gak mau menikah dengan Laras, tapi saya gak mau menyakiti Nenek saya. Mbah Las
“Komandan!” Jasman menerobos masuk ke ruangan Dion usai Laras pergi. Jasman menutup pintu dan langsung menghampiri Dion.“Komandan, gak apa-apa kan?” tanya Jasman lagi. Dion sedang mengatur napas untuk menghilangkan emosi yang sempat terpancing gara-gara ancaman Laras.“Saya gak pa-pa. Mana Peter?” tanya Dion cepat.“Udah berangkat!” Dion mengangguk lagi dan matanya kembali melihat pada undangan di tangannya. Begitu pun dengan Jasman yang ikut melirik pada benda yang sama.“Itu apa, Dan?” Dengan kesal dan membuang muka, Dion memberikan undangan itu pada Jasman. Jasman mengambil dan membacanya. Mata dan mulutnya sama-sama terbuka karena kaget.“Buset, nekat amat! Kok udah ada tanggalnya? Kan sidangnya belum!” cetus Jasman dengan nada tinggi. Dion benar-benar kesal setengah mati. Dia sudah ketinggalan banyak hal dan tidak menyadari jika tanggal pernikahan bahkan sudah ditetapkan
Deru napas Dion mulai bisa menyesuaikan kala ia bergerak pelan mengentak lembut pada pinggul Venus. Namun detak jantungnya belum bisa tenang sama sekali. Detaknya berdentum seperti drum perang yang tengah ditabuh keras dan seolah terdengar keluar dari tubuhnya.Ujung jemari Dion bergerak menjalar dari kulit sisi lengan yang mulai lembap lalu naik ke atas menyentuh tulang selangka Venus. Ia ingin semua indranya bisa merasakan Venus yang tengah dimilikinya. Venus pun mulai bergelinjang dengan menekukkan lehernya ke belakang membuat Dion menaikkan pandangan bola mata hitamnya untuk mengintip pose paling manis dan sensual dari dewinya.“Aku mencintaimu ...” rapal Dion di depan kulit susu Venus yang terus membuat Dion mabuk kepayang. Ia tak pernah membayangkan akan mengalami saat pertama yang begitu indah dan tidak pernah terbayangkan sama sekali. Sekali lagi itu terjadi bersama Venus, seorang Dewi yang datang baru-baru ini dalam hidupnya.Bibirnya kembal
Venus Harristian dibawa masuk ke kediaman keluarga Dion Juliandra untuk diperkenalkan secara formal. Dion mengambil risiko dengan membawa kekasihnya sementara ia sedang menempuh proses pernikahan dengan Laras. Tapi Dion harus memiliki rencana cadangan selain terus mencari bukti soal hubungan Laras dan Rico, ia tetap harus menunjukkan bahwa yang dicintainya bukan Laras melainkan Venus.“Pak Dhe, Bu Dhe ... perkenalkan ini Venus Harristian,” ujar Dion memperkenalkan Venus pada kedua paman dan bibinya. Venus pun tersenyum ramah dan saling menempelkan telapak tangan untuk bersalaman sopan ala orang Indonesia. Venus sampai belajar hal-hal seperti itu dari Dion sebelum ia datang.“Selamat datang ...” sapa Budhe Dewi dengan ramah pada Venus. Venus pun menundukkan kepalanya lebih rendah meskipun tinggi tubuhnya lebih tinggi dari Budhe Dewi. Budhe Dewi sangat terkesan dengan sikap Venus yang sopan dan memiliki tata krama. Ia seperti orang Indonesia pada
“Jangan mengajariku, Dion! Aku yang menyaksikan seperti apa penderitaan Mamamu! Aku yang mengambil jenazah Papamu dari Jakarta untuk dimakamkan di Surabaya! Sekarang sudah besar kamu malah pacaran sama anak darah daging keluarga Winthrop!” tukas Nenek Sulastri mulai marah dan napasnya agak tersengal. Budhe Dewi langsung menenangkan ibunya agar tidak terlalu menumpahkan emosinya yang berlebihan.“Sabar ... Bu, sing sabar ...”“Bagaimana aku bisa sabar menghadapi ini? Dion sudah berani menentangku sebagai Neneknya! Dia ndak nurut, dia ndak patuh!” pekik Mbah Lastri makin emosi.“Mbah, aku sangat sayang sama Mbah. Aku ndak mau Mbah jadi sakit karena pernikahanku dan Laras yang ndak akan pernah langgeng. Aku sudah tidak bisa mempercayai Laras lagi. Mbah!” sanggah Dion masih berusaha membela diri.“Le, sudah toh!” Pak Dhe Halim ikut angkat bicara dan mencoba meminta Dion untuk lebih tenang. Suasana ja
Setelah celingukan memastikan tidak ada yang mengikutinya, Dion masuk ke sebuah restoran mewah di kawasan Brooklyn milik chef terkenal Brema Mahendra. Restoran berbintang Michelin itu tidak sembarangan bisa dimasuki oleh orang lain kecuali pengunjung yang telah memesan tempat dan sahabat dekat si pemilik restoran.Maka ketika Dion masuk, para penguntitnya tertahan di depan. Sementara Dion bebas berjalan masuk ke dalam sampai ke area terlarang yaitu dapur. Di sana, Brema sudah menunggu dengan mejanya yang telah disiapkan untuk pertemuan mereka. Ares baru tiba beberapa saat kemudian. Ia masuk dari jalan belakang.“Apa masih ada yang mengikutimu?” tanya Brema setelah Dion duduk di kursinya.“Iya, mereka ada di luar.” Brema langsung memanggil salah satu stafnya untuk mengusir non pengunjung dan yang menguntit Dion dari lingkungan restorannya.“Jauhkan mereka dari parkiran!” perintahnya lebih lanjut.“Baik
Dengan panik, Venus masuk ke kamar mandi lalu menguncinya. Ia langsung memeriksa kulit lehernya lewat cermin dan melihat dengan jelas seperti apa bentuk bekas ciuman yang memerah di kulitnya. Dion memergoki langsung ada bekas pria lain di tubuh Venus. Seketika Venus menahan teriakan dengan membekap mulutnya sendiri.Air mata berlomba-lomba jatuh dan kakinya tidak kuat menopang berat tubuh. Venus jatuh di lantai terduduk menangisi dirinya sendiri. Sangat menyakitkan saat ia harus menyakiti Dion seperti itu. Hati Venus hancur melihat rasa kecewa di mata Dion padanya.“Mas Dion, maafin aku ... maafin aku ...” Venus merapal tanpa suara sambil meremas pakaian di dadanya.“Venus? Cinta? Tolong keluar, Sayang. Ayo kita bicara ...” terdengar suara Dion yang bergetar namun masih lembut memanggil istrinya. Dion tidak meledak marah meski ia menemukan dengan jelas pengkhianatan Venus. Namun hal itu hanya membuat Venus makin terluka.“Aku
‘Mas Dion? Mas Dion, tolong aku! Tolong, Mas ...’Seketika mata Dion terbuka dan ia kaget. Suara Venus memohon pertolongan darinya membuat ia terbangun dari mimpinya. Dion kebingungan. Ia masih berada di kamar. Bedanya ia tidak tidur di ranjang melainkan duduk di sofa dan tertidur. Di tangannya masih tersemat tasbih rosario kala ia berdoa untuk Venus.“Venus? Sayang!” panggil Dion bangun dan berjalan keliling kamar mencari Venus yang ternyata belum pulang. Hari sudah pagi namun belum ada kabar dari istrinya sama sekali. Dion mencoba kembali menghubungi Venus dan masih sama saja seperti ratusan panggilan yang ia lakukan seharian.“Gak, aku gak bisa diam saja! Aku harus cari dia.” Dion akhirnya mengambil keputusan dan keluar dari kamar. Dion kembali menanyakan pada Edward yang juga tidak kunjung mendapatkan kabar dari Venus.“Manajemennya sudah menyebarkan orang-orang mereka untuk mencari Nyonya Venus. Tapi sampai s
“Beatrice memasang banyak kamera di ruanganku dan mungkin hampir di seluruh bangunan kantor, aku gak tahu. Sekarang aku dan Kyle sedang berpura-pura gak akur untuk mengelabui dia.” Dion menjelaskan dengan detail apa yang terjadi di perusahaannya sekarang.“Kenapa gak dipecat aja, Mas?”“Aku gak akan pernah tahu siapa dalangnya kalau dia dipecat. Aku sudah memecat Kyle sehingga dia bisa menyusup. Gara-gara kamera tersembunyi itu, aku gak bisa melayani pembicaraan Venus di sana. Tapi dia malah jadi salah paham.”“Kalau sudah begini, masalah jadi lebih rumit ...” Dion mengangguk mengerti.“Beatrice ingin menyasar Venus, itu yang baru aku ketahui sekarang.” Rei mendengus panjang dan masih terus memperhatikan Dion.“Kyle bilang, Beatrice mengaku jika dia menyasar keluarga kamu dan Venus adalah korban pertamanya.” Rei makin membesarkan matanya cukup kaget mendengar hal seperti itu.
Dion berhasil masuk melewati jalan belakang ke kantor label rekaman Skylar. Ia bahkan belum kembali ke King Corp untuk mengonfirmasi perihal alarm yang dibunyikan saat kebakaran terjadi. Tujuan Dion adalah untuk bertemu dengan Rei.Rei juga telah menghubunginya tadi pagi bertanya jika ia dan Venus bertengkar. Ia tidak bicara banyak tentang apa yang terjadi. Kini Dion mulai penasaran apa yang terjadi dalam satu hari ini.“Rei, maaf aku mengganggu, aku harus bicara sama kamu.” Dion berujar sepruh berbisik pada Rei yang tengah ada di salah satu koridor di dekat ruangannya.“Mas Dion? masuk lewat mana?” Dion menarik lengan Rei agar mereka bisa berjalan bersama.“Lewat belakang. Kita ke ruangan kamu ya.” Rei mengangguk dan membukakan pintu untuk Dion. Dion sempat melihat ke semua arah sebelum ikut masuk dan menutup pintu.“Apa Venus kemari?” tanya Dion bahkan sebelum ia duduk di salah satu sofa di ujung ru
Terjadi sedikit kebakaran di area perakitan A 2.1 di dalam pabrik yang belum diketahui penyebabnya. Kebakaran itu sempat membuat panik beberapa pekerja namun dapat di atasi dengan baik. Sesuai dengan langkah pengamanan, seluruh mesin dan listrik dimatikan saat kecelakaan itu terjadi.Dion langsung bergegas melihat yang terjadi. Beberapa pekerja tengah memadamkan api dengan alat pemadam darurat sampai akhirnya api mengecil lalu hilang.“Pastikan tidak ada percikan sama sekali!” perintah Dion masih mengawasi proses tersebut. Alarm kebakaran masih berbunyi keras dan seluruh pekerja sudah di evakuasi.“Pak, ini hanya kebakaran biasa,” lapor salah satu kepala divisi yang sudah mengecek.“Apa ada ledakan?” Dion balik bertanya untuk memastikan.“Tidak ada, Pak. Aku rasa hanya ada masalah listrik!”“Pastikan semuanya aman sebelum memasukkan para pekerja kembali. Coba cek jika ada yang terluka ...
Venus tidak membantah sama sekali. Rei terus mengomel karena dirinya yang kabur begitu saja dari lokasi pemotretan. Belum lagi, ia membatalkan acara tiba-tiba sehingga penyelenggara harus merugi karena tiket yang terlanjur dijual.“Ada apa sama kamu, Ven? Kamu gak pernah kayak gini!” tukas Rei dengan ekspresi keheranan. Venus begitu ngotot mau mengakhiri kerjasama dengan beberapa penyelenggara musik.“Aku cuma ingin istirahat, Kak. Itu saja!” sahut Venus bersikeras. Ekspresinya tampak berbeda dan dia seperti tertekan.“Istirahat? Tapi kamu kan ga perlu sampai harus memutuskan kontrak enam bulan ke depan! Kamu mau istirahat selama apa sih?” Venus mendengus kesal dan rasanya ingin berteriak.“Kakak ga ngerti!” Venus makin meninggikan suaranya.“Ya mana aku ngerti kalau kamu gak memberikan penjelasannya, Baby!” DREET DREET … ponsel Venus bergetar saat ia akan mulai bicara. Venus mengin
“Love ... Cintaku! I’m home!” ucap Dion memanggil Venus dengan mesra seperti biasanya. Ia masuk ke dalam dengan sebuket bunga dan mencari istrinya. Venus ternyata berada di dekat meja makan tengah mengatur makan malamnya. Dion langsung semringah lebar melihat istrinya sudah pulang. Ia menghampiri dan memberikan bunga tersebut pada Venus.“Hei, Love ...” ucap Dion mengecup pipi Venus lalu memberikan bunga untuknya. Venus ikut tersenyum lalu membalas mengecup pipi Dion.“Wah, makan malamnya kayaknya enak,” puji Dion melihat beberapa menu yang terhidang.“Sebaiknya kamu ganti pakaian dan setelah itu kita makan malam,” ujar Venus sembari membelai dada Dion. Dion tersenyum lebar dan mengecup Venus sekali lagi sebelum ia berbalik keluar ruang makan menuju kamar. Senyuman Venus hilang terutama saat ia menoleh ke arah kamera yang terus memantaunya.Makan malam Dion dan Venus berlangsung seperti biasanya. Dion
Dion hanya duduk sesaat sambil memandang meja kosong di depannya. Pandangannya menoleh pada seisi ruangan. Semua sudah beranjak pergi dan sebuah suara kini ikut memanggil.“Dion, ayo!” Ares memanggil Dion yang kemudian mengangguk. Dion beranjak dari kursinya ikut pergi bersama Ares dan seluruh sahabatnya yang lain.“Bagaimana sekarang?” tanya Dion pada Rei dan Ares yang masuk satu lift dengannya. Di dalamnya juga ada Cass, Brema serta Devon.“Ayahku masih marah. Aku tidak menyarankan untuk bicara dengannya sekarang. Pengakuan Andy benar-benar membuat dia syok,” ujar Rei kemudian.“Apa kamu tahu soal itu?” celetuk Brema kemudian.“Tidak, dia tidak tahu. Yang tahu hanya aku, Jupiter dan Aldrich!” aku Ares dengan nada rendah. Rei sontak menoleh pada Ares yang juga melirik padanya.“Kenapa kamu tidak cerita padaku Ares?”“Untuk apa? kamu akan membunuh Andy begit