Pagi yang cukup cerah. Bias sinar matahari menerobos melalui ventilasi jendela kamar. Risa membuka lebar-lebar jendela kamar agar udara pagi masuk untuk memberikan kesegaran pada rongga dadanya yang masih terasa sesak. Risa merasa senang karena sinar matahari pagi mampu menghangatkan hatinya yang terasa dingin membeku.Risa beranjak dari balkon kamar dan berjalan menuju dapur. Dia ingin menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Gilang sudah mengizinkan Risa melakukan semua yang harus dilakukannya sebagai seorang istri. Tentu saja dia tak ingin melewatkan kesempatan itu.Ketika Risa berada di dapur untuk membuat kopi Gilang, Amira muncul dengan wajah segar menghampiri Risa."Bunda, Amira mau sekolah," ujarnya dengan bibir cemberut."Sekolah?" Risa bingung karena tidak tahu usia Amira."Iya, kan Bunda sudah janji, akan menyekolahkanku," ujarnya lagi.Risa hanya terdiam, selalu begini. Amira selalu mengatakan bahwa dia sudah berjanji. "Sebenarnya kemana ibumu, Nak?" Risa hanya mam
"Kalau Gio saja bingung untuk menjawab pertanyaan Amira, apalagi aku yang sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ibunya Amira. Gadis kecil ini terlalu sering memberikan pertanyaan yang aku sendiri tidak tahu harus menjawab apa." Risa bergumam saat melihat Gio yang hampir kehabisan akal untuk menjelaskannya pada Amira."Amira tinggal di rumah sama Bik Asih, Bunda nanti malam tidak pulang." ujar Gilang tanpa menjawab pertanyaan Amira."Kenapa Bunda sering ninggalin Amira?" Gadis kecil itu mulai terisak."Bunda akan usahakan pulang nanti malam," bujuk Risa."Jadi anak yang manis," Gilang mengecup pucuk kepala Amira dengan lembut.Amira hanya menganggukkan kepalanya, lalu mencium pipi Gilang dan mencium pipi Risa bergantian. Risa mendekatkan wajahnya, dan mencium pipi kiri Amira, bersamaan dengan Gilang mencium pipi kanan Amira."Ooowwwhh ... co cwiitt ..." Gio bertepuk tangan menyaksikan pemandangan itu.Gilang segera berdiri seraya menggenggam tangan Risa, lalu berjala
"Kak ... Dela mau bertemu Tante Tika." sahut Risa."Tidak!" Gilang berdiri dan berjalan menuju dapur. Lelaki itu terlihat marah pada Risa.Risa mengikuti langkah Gilang ke dapur dan masih berupaya dengan sekuat tenaga untuk bisa mengajak Gilang berbicara. "Tapi, Kak. Kasihan Dela, dia tertekan," Risa memegang lengan Gilang. Membuat Gilang memandang tangan Risa yang memegang lengannya dengan kuat.Risa menatap tangannya yang memegang Gilang. "Sepertinya Kak Gilang tidak menyukai aku menyentuh tangannya." Risa bergumam sambil segera menarik tangannya dan menyimpannya di balik punggung."Boleh, tapi nanti, setelah aku pulang kantor." ujar Gilang menatap Risa. Tatapan matanya teramat teduh."Makasih, Kak." Risa mencium tangan Gilang dengan lembut. Risa benar-benar mengucapkan terima kasih kepada Gilang. Tak peduli kalau Gilang akan memarahinya karena mencium tangan lelaki dingin itu. Risa mencium tangan Gilang sebagai tanda kalau dia menghormati dan menghargai Gilang sebagai suami."Aku
Risa tersenyum sendiri jika mengingat kecemburuannya beberapa saat yang lalu kepada Yesi. Sekarang dia sudah merasa lebih baik dan lebih plong karena satu pertanyaan yang bersarang di hati telah terjawab."Aku semakin mengagumi Kak Gilang karena kebaikannya. Kak Gilang ternyata bukan hanya baik kepadaku dan juga Dela, tapi juga kepada Yesi. Orang yang tidak dia kenal tapi dia beri pekerjaan dan obat untuk Ayah Yesi." Risa bergumam di dalam hati.Setelah memasak bersama, Risa lalu memanggil Dela untuk makan siang. Dela sempat menolak berkali-kali dengan alasan dia masih kenyang. Namun Risa tetap memaksanya makan karena dia tidak ingin jika Dela sakit karena banyak pikiran.Akhirnya Dela pun bersedia makan siang setelah Risa paksa untuk menyuapinya. "Kak Gilang nggak akan mau mengantarkan kamu ke penjara kalau wajahmu masih pucat seperti ini," ancam Risa kepada Dela dengan harapan Gadis itu bersedia menerima suapan darinya.Ancaman itu pun manjur. Dela akhirnya bersedia makan sehingga
"Pikir aja sendiri," sahut Risa seraya mengerucutkan bibirnya yang tertangkap oleh Gilang melalui kaca spion mobil.Wajah Dela sudah memudar pucatnya, tapi tubuhnya masih terlihat lemas. Wajahnya juga masih terlihat sembab."Ayang Beb, sepi banget lho, nggak ada kamu di kelas," ujar Gio membalikkan badannya menoleh ke belakang.Dela membisu, bahkan tidak menoleh sedikitpun."Ayang Beb, kasih tau Aak Gio, apa yang bisa Aak lakukan agar Ayang Beb bisa tersenyum." Gio menatap Dela dengan ekspresi konyolnya."Nyumpel mulut kamu," jawab Dela dengan tatapan kesal."Oh Tuhan, nasib aku kok malang amat Yaakk, udah punya Kakak dingin dan suka menindas. Eh, punya calon istri juteknya minta ampun." Gio mengomel sembari melirik Dela."Lo beruntung banget ya, Kak. Punya bini kayak Kak Risa. Udah baik banget, nurut, ngomognya juga lembut banget." Gio mendekatkan wajahnya pada Gilang."Jodoh itu cerminan diri Lo, kali Gi," ujar Gilang datar."Sebentar ... Sebentar." Gio memandang Risa dan Gilang ber
Dela kembali mendekati Tante Tika dan mencoba menenangkan perempuan paruh baya itu."Tidak, Bu. Ayah meninggal karena sakit. Kami menemukannya sedang sekarat." Dela mencoba meraih Tante Tika ke dalam pelukannya. Namun, di tepis oleh Tante Tika dengan kasar.Tante Tika tiba-tiba berdiri dari lantai dan mendekati Risa dan Dela yang sudah menegang karena bingung dan takut melihat sikapnya."Aku mau ke makam suamiku. Aku mau ke makam suamiku." Tante Tika kembali histeris, dan menangis sejadi-jadinya.Risa menoleh kearah Gilang untuk meminta pendapat. "Apa yang harus kita lakukan pada Tante Tika? Tante Tika adalah seorang tawanan di penjara, jadi tidak mungkin jika kita ingin membawa Tante Tika mengunjungi makam Om Herman." Risa menggigit bibir bawahnya.Risa memahami bagaimana perasaan Tante Tika yang tiba-tiba mendengar kabar kematian suaminya. Pasti sangat sakit."Kak apa yang harus kita lakukan?" Risa kembali bertanya kepada Gilang."Sebentar, Risa." Gilang meninggalkan Risa untuk mene
Tante Tika tidak mempedulikan perkataan Gilang. Dia tetap menodongkan pistol itu ke kening Risa membuat tubuh Risa seketika gemetar."Tidak, suamiku sudah mati. Maka Risa juga harus mati." Tante Tika berucap seraya hendak menarik pelatuk pistol tersebut.Ucapan Tante Tika benar-benar membuat Risa takut. Dia teramat sangat takut. Bahkan selama hidup di dunia ini, baru kali ini Risa merasakan ketakutan yang luar biasa. Terlebih, pistol semakin maju mendekati keningnya."Bu, Dela mohon, jangan bunuh Kak Risa, Bu ..." Dela berusaha melangkah maju, tapi di tahan oleh Gio.Dela berusaha membujuk Tante Tika untuk menurunkan pistolnya dari keningku."Tidak akan, Dela. Itu tidak akan terjadi. Aku akan membunuh Risa karena Risa yang telah membuat suamiku hidup menderita," sahut Tante Tika."Tante, saya berjanji akan memberikan apa pun yang Tante mau, asal jangan bunuh istri saya." Gilang mengusap kasar wajahnya. Gilang berjalan selangkah maju. Namun sepertinya ucapan Gilang sudah tidak berpenga
"Risa, Sayang." Risa mendengar suara itu memanggil namanya dan menepuk pipinya dengan pelan. Dia ingin terbangun, tapi rasanya sangat berat. Sehingga Risa kembali memejamkan mata.Sementara itu, Gilang menyugar kasar rambutnya. Dia menyesali keadaan karena tak mampu melindungi Risa dari jahatnya Tante Tika. Berkali-kali lelaki itu mengecup punggung tangan Risa dengan harapan istrinya itu segera bangun dan tersenyum seperti hari kemarin.Gilang yang merasa lelah akhirnya memejamkan mata di samping Risa dengan tangan yang memeluk telapak tangan Risa."Kak ...." Risa terbangun ketika mencium aroma obat . Dia memandang sekeliling. Dia melihat Gilang sedang duduk dengan kepala tertunduk disamping tangannya. Risa mencoba mengumpulkan kesadarannya. Dia merasa tidak percaya bahwa sosok yang saat ini tertunduk di sampingnya adalah Gilang. "Apa aku salah lihat? Rasanya tidak mungkin Kak Gilang begitu teramat sangat mencemaskanku." Risa memegangi kepalanya yang terasa sakit.Untuk memastika
Risa memarkirkan mobil di halaman sekolah yang bercat merah putih tersebut. Ia memasuki ruangan yang di tuju. Acara belum di mulai. Ia memilih duduk di deretan bangku paling depan. Setelah menunggu beberapa menit, Acara pun di mulai. Kepala sekolah menyampaikan pidatonya tentang perkembangan sekolah dan meminta maaf atas nama seluruh majelis guru jika pernah menyinggung perasaan wali murid. Tibalah saatnya pengumuman siswa berprestasi dengan nilai terbaik. "Siswa tersebut adalah ..." Hening "Amira Syakila Gading Putri" Air mata Risa meluncur dengan deras membasahi pipi. Amira naik ke atas panggung, menerima piala dan berjalan menuju mikropon yang telah di sediakan. Amira menunduk sebelum berbicara. Setelah mengangkat wajahnya, Risa baru tahu kalau putrinya itu sedang menangis. "Piala ini .. Amira persembahkan untuk Bunda. Bunda yang telah menjaga dan merawat Amira dengan baik dan penuh kasih sayang. Bunda yang begitu tulus menyayangi Amira. Bunda yang begitu sabar dan tabah
Dear Diary ...Sejak awal pertama aku dilelang oleh Tante Tika, aku tidak pernah menyangka kalau hidupku akan menjadi seperti saat ini.Dinikahi laki-laki yang tidak dikenal bukanlah impianku. Namun, aku selalu berharap, untuk bisa mengabdi pada laki-laki yang telah mengikatku pada ikatan pernikahan yang suci.Sejak pertama kali Kak Gilang menggenggam erat tanganku, aku merasa terlindungi. Aku jatuh cinta padanya. Walaupun sikap Kak Gilang sangat dingin padaku, aku merasa nyaman dengan perhatian dan ketegasannya.Aku merasa terluka saat tahu Kak Gilang memilki seorang ratu di dalam hatinya. Aku berharap, dan selalu berdo'a agar Kak Gilang bisa membuka hatinya untukku dan melupakan cinta di masa lalunya.Cinta membawa keajaiban. Kak Gilang yang dahulu sangat dingin, perlahan mulai sedikit mencair dengan seringnya kami merajut kasih. Dan yang membuat aku sangat bahagia adalah ketika Kak Gilang mengatakan bahwa dia sangat mencintaiku. Dan aku adalah cinta pertama dan terakhir baginya.Na
"Aku tidak ingin Kakak terus-terusan membicarakan tentang kematian. Kita pasti akan menjaga anak kita dengan bersama-sama." Risa membingkai wajah Gilang dan kembali mencium pipi suaminya itu dengan mesra.Lisa meraba dadah Gilang yang terkena bekas tembakan dan dia merasakan bahwa detak jantung Gilang yang sudah semakin melemah."Jantungku akan berhenti berdetak. Tapi, kamu harus terus maju. Jangan pernah berpikir kalau kamu seorang diri membesarkan anak-anak. Karena aku akan selalu menyelimutimu dengan cinta." Gilang menatap Risa dan mengusap air mata istrinya itu yang semakin deras mengalir."Jangan pernah sakiti dirimu dengan memori tentang kita. Karena aku akan selalu mencintaimu. Aku akan selalu ada dalam hatimu, menemanimu. Karena yang akan pergi, hanya ragaku saja. Tapi jiwaku akan selalu ada ...!""Kak ... Tolong. Berhenti bicara seperti itu!" Risa berhambur memeluk suaminya itu. Gilang mendekap tubuh Risa dengan erat. Membelai rambutnya dan mencium kening istrinya itu berkali
Risa dan Gilang sampai di Villa ketika matahari hampir terbenam. Gilang terlihat sangat lemah. Sesekali dia memegang dadanya. Setiap Risa tanya kenapa? Gilang berkata dia baik-baik saja.Mereka duduk di bangku panjang di Balkon kamar yang dulu pernah mereka tempati untuk merajut kasih. Gilang berkata ingin melihat matahari terbenam. Senyum terbit di wajah Gilang. Senyum itu sangat manis. Namun, seperti menyimpan sebuah luka."Kamu bahagia menikah denganku?" Gilang menoleh ke arah Risa sesaat. Lalu kembali menatap matahari yang semakin hilang dan meninggalkan semburat berwarna merah. "Sangat. Aku sangat bahagia. Kebahagiaanku selama hidup adalah menjadi istri Kakak," jawab Risa dengan uraian air mata."Kakak sendiri? Apa Kakak bahagia?" tanya balik Risa.Gilang menatap Risa, lalu mengecup kelopak bibir istrinya itu dengan hangat. Risa pun memejamkan mata menikmati kecupan yang diberikan oleh suaminya itu. Risa merasakan sentuhan bibir Gilang yang kali ini terasa berbeda. Entah mengapa
Beberapa saat kemudian, Perawat membawa Gilang menuju ruang ICU. Risa dan keluarga Gilang di larang untuk masuk. Dan mereka harus menunggu di luar.Risa semakin gelisah. Perasaan takut semakin menghantuinya. Ia ingin segera bertemu Dengan Gilang. Perempuan itu sudah sangat rindu pada suaminya dan ingin melihat kondisi suaminya itu.Sementara itu, Pak Adiguna dan Gio merasa gelisah karena pihak polisi tak kunjung datang ke rumah sakit. Padahal baik Pak Adiguna maupun pihak rumah sakit sudah menelpon pihak polisi sejak setengah jam yang lalu."Apa sebaiknya aku telepon lagi polisi itu?" Dio hendak merogoh ponselnya di dalam saku celana. Namun Pak Adiguna menahan pergerakan putranya karena khawatir pihak polisi menganggap mereka tidak mempercayakannya.Mereka semua merasa gelisah karena satu-satunya kunci untuk mengetahui apa yang terjadi dengan Gilang adalah pihak polisi.Della pun sudah datang kembali ke rumah sakit karena ketiga anak Risa sudah tertidur dengan pulas."Kak, polisinya d
"Mati kau Gilang! Lebih baik kau mati dari pada menambah luka hatiku!" Allea tertawa terbahak-bahak."Allea ....!" Gilang memegangi dadanya.Risa terkejut ketika tiba-tiba Gilang meraba dadanya dan ...Darah mengalir dengan deras."Kakak ...! Ya Allah." Air mata Risa mengalir dengan deras. Dia tidak kuasa melihat Gilang yang bersimbah darah."Alea. Kamu sudah gila!" Mamanya Gilang membantu Risa menyanggah tubuh Gilang yang hampir tumbang."Kita akan mati bersama-sama, Gilang. Aku mencintaimu!"Dhuarr ...!Alea menembakkan pistol tersebut ke dadanya. Mata Alea melotot, dengan darah segar mengalir deras dari mulutnya.Alea ambruk ke lantai. Dengan pistol yang masih di tangannya. Alea merenggang nyawa."Allea ....!" Mamanya Gilang terkejut ketika melihat Allea yang benar-benar sudah tidak berkutik dan sudah mati.Risa memeluk tubuh Gilang yang bersimbah darah. Ia merasakan tubuh suaminya semakin dingin. "Gio... Cepat panggilkan ambulans!" Risa berteriak dengan lantang dan suara yang be
"Ya udah deh. Mama dan Papa nginap di sini." Nyonya Adiguna tersenyum membuat Gilang mencium punggung tangannya dengan takzim."Makasih, Ma. Pa."Gio hanya menggeleng melihat kelakuan kakaknya yang dianggap terlalu lebay. Risa pun sebenarnya merasa melihat Gilang yang memiliki karakter tidak sama dengan suaminya yang begitu tegas dan tidak manja."Gue balik dulu, Kak. Udah malam," ujar Gio melirik jam tangannya."Lo juga nginap di sini, Gi. Gue mohon," ujar Gilang dengan wajah memohon."Eh, Kak. Lo kenapa, sih? Melow amat?" Gio mengerutkan keningnya."Gue pengen aja, kita kumpul rame-rame kayak masih kecil dulu!" Gilang kembali merebahkan kepalanya di pangkuan Mamanya. Hal itu membuat Gio mengurungkan niatnya untuk pulang ke rumah.Akhirnya, malam itu mereka berkumpul bersama. Mereka bercengkrama dengan hangat. Risa sesekali ikut tertawa saat mendengar kekonyolan mereka bertiga ketika masih kecil.*****Pukul dua dini hari, Risa merasa tenggorokannya kering. Ia melihat gelas di atas n
Risa mengecek secara detail persiapan ulang tahun Galuh dan Galih yang dirayakan secara meriah. Gilang sengaja mengundang para relasi bisnis dan teman-temannya dalam perayaan kali ini.Sebelumnya, Gilang tidak setuju kalau ulang tahun anak-anaknya di rayakan dengan meriah. Setiap ulang tahun Amira, Galuh dan Galih, mereka memilih untuk merayakannya di panti asuhan. Berbagi kebaikan pada anak-anak yatim di sana.Namun, kali ini Gilang meminta Risa untuk mengadakan pesta ulang tahun yang meriah. Ketika Risa tanya alasannya, Gilang mengatakan kalau dia ingin melihat anaknya bahagia berada ditengah-tengah pesta. Risa merasa itu jawaban yang aneh. "Nggak biasanya Kak Gilang seperti ini," bisik Risa seorang diri.Gilang juga meminta Risa untuk mengundang anak-anak yatim dan panti asuhan yang sering mereka kunjungi. Gilang mengatakan, ia ingin mengajak anak-anak tersebut melihat pesta ulang tahun dan berbagi lebih banyak lagi.Gilang memang suka berbuat baik. Bahkan sampai Sekarang, Gilang
Prangggg ....!"Benar-benar sial! Tak ada satupun anak buahku di Indonesia yang bisa diandalkan. Mereka semua benar-benar bodoh. Tidak ada yang cerdas satupun!" Allea kembali membanting gelas berisi wine yang berada di tangannya.Dia baru saja mendapat kabar dari anak buahnya bahwa mereka sudah gagal menculik anak Gilang."Sepertinya memang harus aku sendiri yang turun tangan untuk menghabisi mereka. Aku tidak akan pernah lagi membiarkan hatiku sakit melihat Gilang berbahagia dengan keluarganya. Memang harus aku sendiri yang turun tangan dan menyelesaikan masalah ini." Allea menatap sinis pada foto Gilang yang masih terpampang di dalam kamarnya.Perempuan itu pun segera membuka aplikasi Traveloka untuk memesan tiket pesawat. Tak sabar lagi bagi dia ingin segera mengakhiri penderitaannya dan melihat penderitaan keluarga Gilang untuk kedepannya."Aku akan melakukan apapun yang aku yakini bisa membuatku bahagia. Aku tidak akan pernah membiarkan Gilang dan keluarganya hidup tenang. Mereka