Di sebuah rumah besar, tampak penghuninya sedang gusar. Berjalan ke sana-kemari di dalam rumah sambil memegang sebuah kertas yang mirip seperti undangan pernikahan. Ya, lelaki itu adalah Devano yang sedang menunggu kedatangan dari papanya. Lelaki itu gusar setelah menerima undangan dari Yasmin, wanita yang mentah-mentah meinggalkan dirinya di depan penghulu empat tahun lalu. Namun ada yang lebih membuatnya gusar, yaitu nama orang tua yang tertera pada kartu undangan adalah Jonathan Ortiz, semoga bukan orang yang ada dalam pikiran Devano.Suara pintu gerbang terbuka, Vano setengah berlari menghampiri mobil orang tuanya yang baru saja masuk ke dalam pekarangan rumah. Tampak lelaki paruh baya dengan tubuh tinggi kurusnya keluar dari mobil dengan raut wajah yang sama gusarnya. Vano memperhatikan tangan papanya yang juga memegang kertas yang sama seperti dirinya.“Pa, gawat! Ini bukan Mister Jo yang dari Spanyol’kan?” tanya Vano tak sabar.“Biarkan papamu ini duduk dulu,” ujar Broto, papa
****21Jaja mengulangi lagi kalimat akadnya, “saya terima nikah dan kawinnya, hiks …, Yasmin Maulida binti Hendroyas Miharja dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan emas seberat dua ratus gram dibayar tunai!“Bagaimana saksi? Sah?”“Sah.”“Barakallahu laka wa baarakaa alaikai wa jama ‘a bainakuma fii khoir, yang artinya mudah-mudahan Allah memberkahimu, baik dalam suka maupun duka dan selalu mengumpulkan kamu berdua dalam kebaikan. Aamiin.”Acara dilanjut pada prosesi pemakaian cincin pernikahan, kemudian dilanjutkan dengan adegan Yasmin mencium punggung tangan Jaja dengan takzim. “Sudah boleh dicium istrinya, Mas,” seru Pak Penghulu menggoda.Cup…Bukannya mencium kening seperti pengantin lainnya, Jaja malah dengan tak sabar mengecup bibir Yasmin, yang disambut tawa dan riuh seluruh penghuni ballroom hotel. Bahkan Jaja menjadi bulan-bulanan ledekan dari para tamunya. Di dekatnya sudah ada Bu Ambar yang menangis haru saat proses sungkeman berlangsung, begitu tampan da
["Apa, Jaja dibawa ke rumah sakit? T-tapi kenapa, Yasmin?"]["Ma, saya ceritanya nanti saja ya. Ini saya sudah diam bukan, sedang menuju rumah sakit terdekat. Mama nyusul ke sini ya."]["Oh, oke, Sayang, Mama segera ke sana." ]Jo menatap Bu Ambar dengan kening berkerut. "Kenapa?" tanyanya. "Jo, kita susul Jaja dan Yasmin ke rumah sakit. Anak kamu pingsan, Jo. Pasti dia gak bisa disadarkan lebih dari 5 menit, sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Ayo, cepat! Ya ampun, anak itu." Tanpa menunggu jawaban Jonathan, Bu Ambar sudah menyambar tas dari atas tempat tidur. Ia berjalan lebih dahulu dibandingkan Jonathan yang sibuk memakai kembali kemejanya secara asal. "Reza bagaimana?" tanya Jo pada Bu Ambar, saat keduanya sudah berada di lift menuju lobi. Alex sudah diberi tahu untk standby di lobi menunggunya dan Bu Ambar turun. Jonathan juga menghubungi dua bodyguard yang nanti akan mengawalnya sampai rumah sakit. "Reza pasti sudah tidur. Kita sampai dulu ke rumah sakit, baru mengabark
"Maafin saya ya, Bu. Masih pengantin baru, malah saya bikin masalah. Maafin ya," ujar Jaja sambil mencium tangan Yasmin. Di kamar perawatan saat ini hanya ada dirinya dan juga istri yang sabar menungguinya. "Gak papa, Sayang, yang penting kamu sehat dulu." Yasmin tersenyum mafhum. Menunggu bertahun-tahun saja ia bisa, apalagi hanya menunggu beberapa hari lagi sampai suaminya sehat. "Dokter sebentar lagi akan datang membacakan hasil pemeriksaan, semoga tidak ada penyakit yang serius. Sayang, apa sih yang dirasakan saat bersentuhan dengan saya atau mungkin dengan orang lain? Kenapa bisa pingsan?" tanya Yasmin penasaran. Jaja tersenyum miris sambil menggeleng. "Saya gemetar dan pandangan tiba-tiba gelap. Pasti seperti itu kalau sentuhan terhadap orang lain terlalu berlebihan," jawab Jaja sedih. "Berarti mungkin semacam trauma apa phobia ya?" Jaja menggeleng tidak paham. Sampai sekarang saja ia tidak tahu kenapa bisa seperti ini setiap kali bersentuhan terlalu berlebihan dengan ora
"Berdasarkan hasil pemeriksaan kami, kondisi Mas Javier saat ini disebut Haphephobia, yaitu gangguan kecemasan yang ditandai dengan rasa takut saat bersentuhan, baik dengan orang yang belum dikenal, maupun sudah dikenal, seperti keluarga. Termasuk di dalam kasus Mas Javier saat ini disentuh oleh istri. Mau bergandengan tangan, berciuman, berpelukan, kecemasan itu bisa tiba-tiba datang," terang psikater pada Bu Ambar, Jonathan, Pak Miharja dan juga Yasmin. Empat orang dewasa itu duduk di depan meja konsultasi psikiater yang dua hari ini rutin memeriksa kondisi Jaja. Suasana memang sedikit kaku karena masing-masing tengah berdebar menantikan penjelasan dokter selanjutnya. "Dok, tapi Jaja itu sejak kecil anaknya biasa aja, Dok. Gak ada takut sama apapun, maksudnya apa jijik sama hewan apa atau geli makan beras, yang begitu deh. Kenapa anak saya bisa mengidap sakit ini, Dok? Kasihan sekali, ya ampun." Wajah Bu Ambar nampak sedih dan kecewa. Ia merasa gagal sebagai orang tua dalam mendete
"Halo, Vano, apa kamu tahu kabar terbaru menantu Jonathan?" "Jaja? Memangnya kenapa pemuda itu?""Katanya masuk rumah sakit.""Wah, sakit apa? Langsung meninggal gak?""Hust! Ini Papa lagi cari tahu apa yang terjadi dengan menantu Jonathan. Siapatahu Papa bisa mengobati sedikit rasa kesal ini dengan melemparkan kabar ke media. Pengantin baru, tetapi sudah masuk rumah sakit bahkan belum lagi lewat malam. Pasti anak Jonathan punya penyakit serius. Kamu gak usah mikir yang macam-macam, cukup Papa saja. Tugas kamu adalah mengatur kembali urusan sisa perusahaan kita yang sebagian sudah kembali pada Yasmin dan papanya.""Yakinlah kali ini Papa tidak melakukan kesalahan. Jika yang lalu kita berurusan dengan Miharja, kali ini musuh kita kelas berat dan kita gak boleh salah melangkah, atau perusahaan kita taruhannya.""Oke, Papa paham."Sambungan itu diputus oleh Pak Broto. Perihal bahwa Javier masuk rumah sakit baru saja ia terima dari salah satu orang suruhannya yang memata-matai Jonathan.
Tidak ada yang terjadi malam itu. Seperti arahan dari dokter, Yasmin dan Jaja diminta untuk bersabar dan menikmati proses terapi yang sudah mulai dijalani sejak kemarin di rumah sakit. Setiap hari Jaja akan datang ke rumah sakit untuk menjalankan terapi selama dua jam. Seharusnya cukup satu jam untuk satu kali terapi, tetapi Jonathan yang meminta dua jam sehari agar progress kesembuhan Jaja juga lebih cepat. Seminggu lagi ia akan kembali ke Spanyol dan saat itu ia ingin kondisi putranya sudah jauh membaik. Keduanya tidur sambil berpegangan tangan dalam satu selimut yang sama. Yasmin tidak memedulikan Untung yang tegak di balik celana boxer suaminya karena memang tidak boleh. Daripada celaka dan harus lari ke rumah sakit lagi, lebih baik mereka bersabar. Pagi hari, semuanya sudah berkumpul di ruang makan. Aneka menu sarapan tersedia di atas meja yang mampu menggugah selera siapapun yang melihatnya. Jaja beberapa kali menelan air liur saat melihat sambal goreng hati sapi dengan kenta
"Halo, Nang," sapa Jaja gembira sambil mendorong pagar rumah Nanang. Di belakangnya ada Yasmin yang mengekori dan tentu saja ikut tersenyum senang melihat Nanang menyambut kedatangan mereka. Jaja dan Nanang berpelukan erat. Lalu dengan Yasmin ia bersalaman dengan penuh hormat. Bagaimanapun Yasmin pernah menjadi bosnya, ditambah lagi sekarang Yasmin adalah istri teman baiknya. "Aduh, saya malu nih sama Bu Yasmin, rumah saya berantakan. Mari masuk," ajak Nanang ramah. Memang benar rumah pria itu berantakan, tetapi berantakan mainan anak-anak yang berhamburan di ruang depan. "Istri sama anak-anak lu ke mana, Nang?" tanya Jaja. "Lagi ke rumah mertua, Ja. Untung lu datang pagi ke sini, kalau siang gue udah jalan kerja. Sebentar, gue bikinin minum dulu." "Jangan repot, Nang!" Seru Yasmin sembari memperhatikan sekeliling rumah Nanang. Ada foto Nanang, istrinya, dan juga dua anak Nanang. "Yank, Nanang nikah sama janda juga ya?" tanya Yasmin berbisik. Jaja mengangguk. "Janda tanpa a
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan di ballroom sebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman sekolah Amira, dan tentu saja belum lagi tamu dari pihak keluarga R
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya. Bagaimana bisa?"Bang Reza, Om, Tante, jangan bin
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan senyuman tersungging di bibirnya. Diraihnya tangan sang istri untuk duduk mendekat
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertemu Amira. Sepertinya Amira yang masih malu-malu," ujar Reza deng
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi. Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis."Papa baik-baik aja. Cuma agak lebay!" belu
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira. Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Bohong dosa loh, Mira," balas Andini."Ish, gak percaya
Dasar Amira! Terbiasa tak punya ponsel, sehingga ia melupakan benda itu. Padahal sudah satu bulan ini ia pakai. Namun, Amira lebih sering mengabaikan ponselnya, karena tak ada akun media sosial apapun di dalam sana. Hanya, WA, musik, dan aplikasi ruang guru.Mulai dari bangun tidur, mandi, salat, kemudian berpakaian, Amira masih tak sadar dengan keberadaan ponselnya. Benda itu jatuh di kolong tempat tidurnya sehingga ia pun tak menyadarinya. Ponsel itu disilent dan saat ini tengah berkelap-kelip, tanda seseorang tengah menghubungi dirinya. Namun sayang, Amira yang sibuk dengan hari pertama mulai masuk sekolah, memilih langsung keluar kamar dengan aneka pernak pernik di tubuhnya.Ranselnya penuh dengan barang persiapan pengenalan lingkungan sekolah. Mulai dari tanah liat, chiki, sampai bola bekel ada di dalam tasnya. Amira tak tahu saja, bahwa kekasih hatinya tengah memendam penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat. Padahal lelaki itu hendak mengucapkan kalimat selamat hari per
"Mira, mau ke mana?" tanya Aminarsih pada puterinya. "Naik ke kamar, Bu. Daah ... makasih Ibu kejutannya," ujar Amira yang baru saja hendak naik ke atas, lalu berbalik badan, mencium pipi ibunya, lalu dengan berlari cepat ala goib, sudah berada di dalam kamar sambil memegang ponsel. Jika yang lain perlu mengatur napas, maka Amira tak perlu karena berlari secepat apapun ia tidak akan terengah-engah."Hallo, Sayang," ucapnya sambil menutup mulut menahan tawa."A-a-apa?" suara terbata Reza di seberang sana."Sayang."Brugh!Brugh"Hallo ... hallo ...."Amira memandang sambungan telepon yang terputus. Apakah sinyalnya jelek? Gadis itu mencoba melakukan panggilan lagi, tetapi tidak tersambung. Ia tak marah atau kecewa, gadis itu malah terus saja tersipu malu, bahkan ia membawa tubuhnya berputar-putar karena rasa senang yang luar biasa. Akhirnya, setelah dua tahun setengah memendam rindu, ia dapat mendengar suara itu. Suara yang membuatnya meleleh seperti hari ini. CupAmira mencium ponse
Dua tahun lebih sudah berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan Amira dari seragam biru putih. Semua siswa menanti dengan debaran tak bisa dikendalikan. Mereka antre dari pagi untuk membaca penguman kelulusan. Pagar besar sekolah masih terkunci. Karena masih pukul lima lebih lima belas menit. Gerbang sekolah biasa dibuka pukul lima tiga puluh. Antrean semua siswa sudah tak sabar ingin membaca papan pengumaman di kelas mereka masing-masing.Sudah ada Amira yang semakin hari semakin cantik dan mempersona. Begitu juga dengan ketiga teman kembar tiganya. Mereka tumbuh menjadi gadis yang menggemaskan sekaligus cerdas. Jika Amira lebih menonjol pada aktifitas olah raga, berbeda dengan Andrea dan Aleta yang berprestasi di bidang akademis. Keduanya selalu saja mendapat peringkat tiga besar di kelas. Lain lagi Andini, si gadis tidak nyambung itu memiliki suara yang sangat bagus dan masuk ke dalam group paduan suara sekolah. "Lu udah sarapan?" tanya Andrea pada Amira yang berdiri di sampingnya.