Anna menutup pintu kamarnya dengan perlahan. Menyandarkan tubuhnya di balik pintu dan seketika itu juga senyuman di wajahnya terkembang. Dia mengingat perlakuan Eric yang sangat perhatian padanya. Pria ini, nampak tidak main-main dengan perasaannya. Seperti yang dia katakan adalah memang kenyataan. Namun, Anna sudah berkali-kali ditipu mengenai perasaan seseorang. Orang yang dia kira tidak akan menyakitinya, malah menjadi orang yang paling membuatnya tersiksa. Membuat dia sangat kecewa dan berujung hilangnya kepercayaan dirinya. Anna tidak mau lagi memberikan kepercayaannya dengan mudah. Dia tidak mau lagi merasa kecewa dengan seseorang. Anna tidak siap jika kebahagiaan yang dia rasakan adalah kebahagiaan semu seperti sebelumnya. Anna menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Dia berjalan menuju ranjang dan memilih untuk beristirahat dengan cepat. Masalah hari ini, biar dia pikirkan esok hari. Saat ini pikirannya sudah terlalu lelah dengan permasalahan yang telah
Anna mengerjapkan kedua matanya, dia tersadar setelah beberapa kali Eric memanggil namanya. Pria ini hanya sedang dinas beberapa hari di luar kota tetapi entah kenapa dia malah merasa kehilangan. Seperti hatinya menjadi kosong dan terasa hampa. "Ya, aku masih di sini," jawab Anna. "Ehm ... berapa hari kau di sana?" tanya Anna ragu-ragu. "Kenapa? Apakah kau sudah merindukanku?"Anna berdecak, "Sudahlah! Lupakan saja! Anggap aku tidak pernah mempertanyakannya.""Mana bisa seperti itu? Kau sudah mengatakannya dan aku juga sudah mendengarnya. Tidak bisa kulupakan begitu saja!" "Kalau begitu, jawab saja tanpa harus menggodaku!" sergahnya kesal. "Kau merindukanku, benarkah?" "Tidak!""Katakan saja dengan jujur, kau merindukanku, bukan?" Eric semacam mendapatkan kesenangan baru dengan menggoda Anna. Mendengar suara istrinya yang merengut kesal, membuat hatinya menjadi bahagia."Kututup telfonnya!"Panggilan langsung diputus begitu saja tanpa mendengar jawaban Eric. Anna menggerutu semba
"Pantas saja dia mengirimku ke kota ini," Eric mencibir. Padahal sudah lama sekali dia ditugaskan di luar kota. Biasanya sang ayah akan menyuruh Jason yang berangkat, tetapi tiba-tiba malah Eric yang disuruh melaksanakan tugas yang bahkan tidak berhubungan dengan proyek yang sedang dia kerjakan. Eric melirik sinis ke arah Liam, "Kenapa kau baru mengatakannya setelah kita berada di sini?""Maaf, Tuan. Saya juga baru mengetahui kebenarannya," Liam menundukkan kepala, saat ini tatapan Eric sangat berbeda dari sebelumnya ketika tuannya itu sedang menelpon istrinya. Untuk pertama kalinya dia melihat wajah Eric yang biasa dingin menjadi hangat. Pria yang tidak pernah tersenyum, tadi malah jelas sekali tertawa meski tidak terlalu besar suaranya. Ketika dia membicarakan tentang ayahnya, perubahan ekspresi sangat jelas terlihat. Eric tentu saja tidak senang dengan hal yang dia laporkan. Eric memejamkan kedua mata, dia memijat pelipisnya untuk mengurangi rasa sakit di kepala. Pria tua yang
Setelah keluar dari restoran, Anna langsung mengambil ponselnya dan menekan nomor sang kakak. Dia terus saja menelepon Clarissa tetapi tentu saja tidak dijawab. Saat ini kakaknya itu pasti sedang berada di lokasi syuting. Jadi dia berniat untuk pergi menghampiri.Ketika dia baru saja sampai, melihat Clarissa berada di dalam sebuah tenda yang sedang dirias, dia langsung berjalan menghampirinya."Maaf, bisa tinggalkan kami berdua?" Anna bertanya pada penata rias dan juga manajer Clarissa. Clarissa melihat Anna dengan sinis, lalu beralih pada sang manajer, "Tunggu di luar!" Setelah hanya ada mereka berdua, Clarissa tanpa melihat Anna, mengambil bedak padat dan mengoleskan bedak itu ke wajahnya. Dia bersikap seperti tidak ada Anna, hanya ada dia ruangan make up. "Apa tujuanmu ikut dalam film ini?" Anna langsung bicara ke inti. "Tentu saja karena aku ingin," jawab Clarissa tak acuh. "Apakah kau tidak tahu bahwa film ini adalah film pertama yang menggunakan naskahku?" Anna berharap, ba
Anna semakin tidak mengerti dengan perkataan Sean pada seseorang yang sedang dia telpon. Baru saja Anna ingin bertanya, tiba-tiba pintu ruangannya dibuka. Menampilkan sosok yang sangat dia kenal. Kedua mata Anna terbelalak, dia langsung bangun dari duduk dan berjalan menghampiri pria itu. "Kenapa kau ada di sini?" Anna bertanya."Untuk menjemputmu." Eric berjalan mendekatinya kemudian mengambil tangan Anna dan membawanya keluar dari ruangan itu. "Lepaskan aku!" Anna berseru sembari terus berusaha melepaskan diri. Namun, tenaga Eric jauh lebih kuat darinya. Hingga pergerakan Anna sangat percuma. Anna tidak tinggal diam, dia menghempaskan tangan Eric yang sedang menariknya ketika pria itu sedang lengah. Dia segera memundurkan tubuh, menjauhinya. Anna berbalik, melihat Sean yang menatap dengan senyuman. "Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa yang sebenarnya terjadi?" Anna bertanya pada Sean. Anna masih merasa bahwa dia harus mendengar penjelasannya dari Sean. Sebab pria itu adalah CE
Anna tidak pernah berekspektasi bahwa dia yang akan menjadi pemilik dari Gwenevieve grup. Bahkan ketika dulu sang ibu tiri menjabat, dia tidak pernah meminta lebih dari yang dia tuntut. Anna tidak pernah menggilai sebuah jabatan, apalagi kepemilikan perusahaan milik sang ayah. Dia hanya ingin beberapa persen saham sebagai pertanda bahwa dia juga anak Agatha.Namun, setelah mengetahui bahwa dia adalah anak hasil perselingkuhan, meski dia masih memiliki hak dari sang ayah, tetap saja Anna merasa dia tidak berhak. Anna menundukkan kepala, pantas Clarissa berkata bahwa dia akan membuatnya merasakan seperti yang ibunya rasakan. Sebab saat ini Agatha sudah tidak memiliki apapun untuk berkuasa di Gwenevieve grup. Meski bukan dia yang memberhentikannya, tetap saja secara tidak langsung, dia telah membuat Eric melakukan hal itu. Anna jadi memahami alasan Clarissa masuk ke dalam projek film pertamanya. Tetapi, bukan dia yang membuat Agatha tidak lagi memiliki kekuasaan. Seharusnya Clarissa m
Anna menatap kedua mata Eric, dia tidak mau mempercayai pria itu tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan sebuah kebenaran. Eric sama sekali tidak mengada-ngada mengenai perasaannya pada Anna. Pria itu dengan tulus memiliki perasaan pada istrinya, Eric sungguh mencintai Anna. Anna menundukkan kepalanya, dia melihat jarinya yang saling bertaut. Dalam kepalanya saat ini seperti penuh dengan pemikiran tentang pria itu. Beberapa saat mereka tidak saling berbicara, setelah anda merasa siap, dia mengangkat kepala, "Aku butuh waktu." "Aku tidak memaksamu untuk cepat membalas perasaanku. Bukankah malam itu sudah kukatakan bahwa aku akan menunggumu? Selama apapun, aku akan selalu menunggumu membalas cintaku." Seumur hidup Anna, tak sekalipun dia merasa dicintai oleh orang lain. Sejak kecil dia selalu diperlakukan tidak adil. Meski saat itu ada Ayah yang mencintainya, tetapi sang ayah tidak setiap saat hadir. Pada akhirnya Anna memilih untuk menjawab perasaannya pada Eric nanti. Dia tidak
Anna melihat perubahan ekspresi di wajah sang ayah yang sulit dia baca. Tidak tau apa yang dipikirkan olehnya, dalam hati Anna hanya menginginkan sebuah jawaban."Ayah yang sudah memintanya melakukan hal itu." Kedua mata Anna terbelalak, dia bahkan tidak pernah menduga jawaban seperti itu yang terdengar dari bibir sang ayah. Dalam kepalanya hanya memikirkan bahwa Eric yang sudah melakukannya. Terlebih pria itu sama sekali tidak menyinggung apapun mengenai ayahnya. "Jadi, mengenai ...." Anna menghentikan perkataannya, tanpa bertanya, dia sudah jelas tahu jawabannya. Anna menundukkan kepalanya, kedua matanya terpejam untuk beberapa saat hingga akhirnya dia kembali mengangkat wajah dan berkata pada sang ayah, "Kenapa Ayah melakukannya?""Apakah butuh alasan bagi seorang ayah memberikan sesuatu pada putrinya?"Anna tidak bisa menanggapi perkataan Cedric. Dia mengerti tentang hal itu, tetapi perusahaan bukanlah suatu barang yang bisa diberikan dengan mudah. Ada banyak sekali nasib karya