Terima kasih. Semoga suka. baca juga "TUAN MENJADI GILA SETELAH NYONYA PERGI"
Dua bayi kembar berada di dalam tabung kaca. Amira di ruang ICU. Wanita itu masih belum sadarkan diri. Dia mendapatkan tranfusi darah dari sang suami dan orang-orang pilihan. “Amira, kenapa kamu belum bangun?” Wijaya menggenggam tangan Amira. Wanita itu terlelap dalam tidur yang panjang. “Amira, kita punya putri kecil yang cantik dan putra tampa. Sekarang anak kita sudah empat. Kamu tidak usah hamil lagi. Ini yang terakhir.” Wijaya tampak kesal sehingga dia tidak juga menggendong sepasang bayi kembarnya. “Aku yang terus memaksa kamu untuk hamil dan melahirkan. Aku tidak tahu bahwa ini yang akan terjadi. Maafkan aku Amira. Aku salah. Tidak seharusnya aku meminta kamu hamil anak kita. Devano dan Keano sudah cukup.” Wijaya mencium tangan Amira. Pria itu sangat ingin anak dari mereka berdua karena Devano dan Keano berbeda. Mereka saudara beda ibu dan ayah. “Tuk tuk.” Pintu kaca diketuk jari-jari kecil sehingga Wijaya segera menoleh. Dia mendapatkan tatapan tajam dari Keano dan raut sed
Keano berada di ruang kerja Wijaya. Anak kecil itu membongkar computer kerja papanya. Dia memeriksa semua untuk mendapatkan semua informasi tentang kehidupan mamanya.“Apa yang kamu cari?” tanya Devano. “Aku selesai.” Keano turun dari kursi milik Wijaya dan keluar dari ruang kerja dengan tidak lupa menutup serta mengunci pintu.“Kamu tidak akan membuat papa bangkrut kan?” tanya Devano mengikuti Keano ke kamar mereka.“Itu tidak mungkin.” Keano memidah data ke komputernya.“Aku hanya mau melihat catatan kesehatan mama,” ucap Keano.“Ini jadwal dari dokter. Program hamil yang sudah direncanakan, tetapi mama masih menolak,” jelas Keano.“Mama pernah keguguran,” ucap Keano. “Apa kamu mengerti?” Keano menoleh pada Devano yang hanya diam saja.“Tentu saja, tetapi untuk apa kamu mencari tahu tentang kesehatan mama?” tanya Devano.“Papa sudah lama ingin mama hamil lagi, tetapi ditolak mama dan menunggu kita lebih besar sehingga program pun ditunda. Aku tahu, mama takut untuk hamil dan melahi
Andika benar-benar tidak bisa masuk rumah sakit. Apalagi mendekati ruangan Amira. Sasarannya adalah anak-anak yang sudah pergi ke sekolah. Pria itu memiliki kesempatan ke tempat belajar Devano dan Keano.“Aku tahu. Keano dan Devano sekolah di sini.” Andika telah mengirim orang untuk menyelidiki dan mencari tahu putranya. Dia benar-benar menjadi gembel di jalanan. Berpindah tempat untuk bersembunyi. Pria itu tidak punya apa-apa lagi selain harta orang tuanya. “Apa yang Anda lakukan di sini?” tanya petugas keamanan kepada Andika yang menunnggu di depan gerbang sekolah. “Aku mau melihat anakku,” jawab Andika.“Siapa anak kamu? Semua yang sekolah di sini adalah orang kaya dari kalangan atas. Tidak mungkin kamu mampu,” ucap petugas.“Anakku ikut mantan istriku yang kaya sehingga bisa sekolah di sini,” tegas Andika.“Artinya kamu tidak ada hubungan lagi dengan anak yang ikut mantan istri. Sebaiknya pergi!” Petugas mendorong tubuh Andika hingga jatuh ke rumput.Mobil mewah yang membawa Kean
Keano dan Devano berlari masuk ke dalam kamar Amira. Dua anak kecil itu berteriak menyapa ibu mereka. “Mama!” Keano naik ke tempat tidur dan mencium pipi Amira. “Mama, bangun!” Devano menangis. Dia memeluk tubuh Amira.Tangis bayi kembar pun semakin kuat. Dokter dan tim memberikan ruang untuk anak-anak Amira dan suaminya.“Amira! Bangun!” Wijaya mengusap tangan Amira. “Mama! Bangun! Aku akan membenci adik!” teriak Keano.“Mama. Aku sayang Mama. Bangunlah!” Devano menggoyang tubuh Amira.Amira melihat Keano dan Devano berlari kepadanya. Dua anak lelaki itu menarik tangan dengan kuat dan terus berteriak.“Keano. Devano.” Amira tersenyum melihat dua putra yang telah dia besarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang.“Mama kembali!” Keano dan Devano sekuat tenaga menarik tangan Amira menjauh dari gadis kecil yang berusaha membawa ibunya pergi bersamanya.“Kamu menjauh!” Keano mendorong gadis kecil hingga terjatuh dan menghilang.“Tidak!” Amira berteriak dan terbangun dari tidurnya.“Hah!
Wijaya benar-benar fokus pada keluarganya. Dia hidup begitu tenang dan bahagia hingga melupakan musuh-musuh yang sudah dilepaskannya. Pria itu berpikir terlalu banyak dosa sehingga membuat istrinya dalam bahaya karena karmanya di masa lalu.“Aku sudah memaafkan semua orang. Aku juga membebaskan musuh-musuh yang aku penjara.” Wijaya menatap Amira yang sedang terlelap di dalam tidurnya. Mereka sudah pulang ke rumah.Dua bayi kembar berada di dalam keranjang bayi. Keano dan Devano pun berada di atas kasur mereka yang telah disiapkan. Ruangan kamar yang luas itu cukup menampung banyak orang.“Apa yang aku inginkan sudah menjadi nyata. Dua putra yang cerdas dari kami berdua dan sepasang bayi kembar.” Wijaya melihat anak-anaknya.“Aku sudah memiliki segalanya. Tidak kekurangan apa pun. Aku benar-benar bahagia.” Wijaya mencium dahi anak-anaknya dan mematikan lampu. Dia naik ke tempat tidur dan memeluk Amira.“Sayang.” Amira merasakan tangan yang memeluk pinggangnya.“Ya. Tidurlah,” bisik Wija
Wijaya melupakan semua musuhnya, tetapi tidak dengan Leon. Pria itu bekerja tanpa diperintah. Dia memastikan keluarga majikannya aman tanpa ada gangguan. “Leon, kenapa kamu masih sibuk dengan computer? Siapa yang kamu awasi?” tanya Jack. “Semua orang yang pernah menjadi muluh Bos. Aku tidak percaya mereka akan melupakan rasa sakit yang telah bos berikan. Banyak manusia yang ingin balas dendam ketika ada kesempatan,” jelas Leon.“Bos membebaskan Andika dan Luna. Aku yakin dua orang itu tidak akan menyerah. Apalagi mereka punya hubungan dengan putra-putra bos kita,” lanjut Leon.“Benar. Apa yang kamu dapatkan? Apa ada pergerakan?” tanya Jack.“Ya. Andika mengunjungi Luna. Pria itu berpergian dengan uang orang tua. Dia menjadi pengangguran,” jawab Leon.“Luwiq kembali ke Italia. Pria itu juga belum melakukan aktivitas apa pun,” lanjut Leon. “Aku harus memastikan mereka tidak akan kembali ke Indonesia,” tegas Leon.“Ya.” Jack menepuk pundak Leon. “Apa yang kalian bicarakan?” Wijaya mas
Cantika yang baru kembali dari luar negeri untuk perawatan kecantikan mendengar kabara bahwa Amira dan Wijaya telah memiliki bayi kembar yang tampan dan cantik. Mereka sudah berusia satu tahun.“Tidak terasa sudah lama aku bekerja dan luar negeri dan kini baru bisa kembali lagi.” Cantika mengambil cuti setelah satu tahun berada di luar negeri.“Kenapa Amira sangat beruntung? Dia mendapatkan apa pun yang diinginkan semua wanita.” Cantika masuk ke dalam mobil yang membawanya pulang ke rumah.“Aku harus membeli hadiah untuk anak-anak Wijaya.” Cantika tersenyum. Wanita itu semakin cantik dan seksi dengan perawatan mahal di luar negeri. Dari atas hingga bawah tidak asli lagi. Dia benar-benar ketagihan dengan operasi untuk mendapatkan kesempurnaan.“Ini bisa dijadikan alasan untuk diriku bertemu dengan Wijaya. Dia pasti akan terpesona dengan kecantikan ku saat ini.” Cantika benar-benar berharap akan perhatian dari Wijaya hingga jatuh cinta padanya.“Kita mampir ke super market,” ucap Cantika
Semua anggota keluarga sudah berada di ruang makan. Mereka bersiap untuk makan malam bersama. Waktu berkumpul yang tidak boleh diganggu.“Ma, apa malam ini bisa tidur di kamar kami?” tanya Keano mengejutkan Wijaya. Pria itu pun ingin istrinya tidur dengannya.“Kenapa mau tidur dengan Mama? Kalian sudah besar,” ucap Wijaya sebelum Amira sempat menjawab pertanyaan putranya.“Devano rindu dengan mama.” Devano tersenyum dan Keano tidak menjawab lagi. “Malam ini, Mama akan tidur di kamar kalian.” Amira tersenyum. “Hm.” Wijaya menghela napas dengan berat.“Terima kasih, Ma.” Keano tersenyum puas. Dia melirik Wijaya yang tampak kecewa.“Kenapa anak-anak memperebutkan Amira? Jika tidak dua kembar. Maka, Keano yang akan mengmbilnya.” Wijaya melihat pada Amira yang tampak tenang menikmati makan malam mereka.“Papa sudah tua. Tidak perlu ditemani mama lagi.” Devano menepuk pundak Wijaya dengan senyuman manisnya.“Benar-benar. Devano paling mengerti. Kalian berdua juga beranjak besar. Kenapa mas
Amira duduk di depan cermin. Dia memandangi wajah cantik diri yang awet muda. Wanita itu bersiap untuk menemani anak-anaknya untuk mengikuti perlombaan berkuda dan memanah. Keano dan Devano bergerak dalam satu tim.“Kenapa masih ada penjahat yang mengintaiku? Apa mereka hanya perampok biasa? Rasanya tidak mungkin.” Amira menggerai rambut hitamnya melewati pundak.“Tetapi siapa musuhku? Siapa orang yang membenciku selain Luna dan Cantika? Apa Andika?” Amira berbicara pada bayangannya yang dipantulkan oleh cermin.“Padahal sudah beberapa tahun ini kehidupanku sangat tenang. Tidak ada gangguan dari siapa pun, tetapi kenapa sekarang tiba-tiba mereka datang lagi? Apa masih ada dendam?” Amira cukup gelisah dan khawatir. Dia takut kejadian yang cukup berbahaya itu akan terulang kembali. Apalagi ketika perlombaab, area pacuan kuda akan jauh lebih ramai oleh para pengunjung dan penonton.“Mama,” sapa Keano dan Devano di depan pintu kamar Amira yang terbuka.“Iya, Sayang.” Amira segera beranjak
Amira berada di dalam kamar dan bersiap untuk tidur. Wanita itu baru saja akan mematikan ponsel dan melihat panggilan dari Wijaya.“Wijaya.” Amira segera menerim panggilan dari suaminya.“Halo, Sayang.” Wijaya tersenyum pada Amira yang terlihat di layar ponsel.“Halo, Sayang. Bagaimana perkerjaan di sana? Apa kamu lelah?” tanya Amira.“Aku tidak lelah, tetapi tersiksa karena merindukan kamu,” jawab Wijaya.“Apa kamu akan tidur?” Wijaya melihat yang istri yang sudah mengenakan piyama.“Aku sedang bersiap untuk tidur,” ucap Amira merebahkan tubuhnya di kasur.“Apa kamu menggodaku?” tanya Wijaya.“Tidak, Sayang. Kamu terlihat sedang bekerja,” jawab Amira.“Ya. Aku tahu kamu akan tidur jadi dengan cepat menghubungi istriku tercinta. Bagaimana hari ini?” Wijaya tersenyum.“Hari ini menyenangkan. Aku menemani anak-anak Latihan berkuda dan memanah. Mereka benar-benar luar biasa. Aku sangat bangga.” Amira terlihat bersemangat menceritakaan kebersamaanya dengan Keano dan Devano. Dia tidak membe
Amira yang menyadari kedua putra yang masih menunggu dirinya segera menepi. Dia tidak butuh lama untuk memuaskan diri berkuda. Wanita itu merasa tidak muda lagi.“Ini menyenangkan.” Amira turun dari kuda dengan bantuan Leon.“Terima kasih,” ucap Amira.“Apa sudah selesai, Ma?” tanya Keano memegang tangan Amira.“Tentu saja, Sayang. Mama hanya perlu naik kuda dan menungganginya. Itu cukup.” Amira mengusap kepala dua putranya yang sudah memiliki postur tubuh tinggi di usia yang masih sangat muda.“Kalian berdua yang harus banyak Latihan karena akan mengikuti lombat,” ucap Amira.“Baik, Ma. Kami akan memperlihatkan penampilan terbaik di depan, Mama.” Keano sudah melompat ke atas kuda. “Wah. Keren.” Amira terkejut melihat gerakan lincah dan gesit dari Keano dan Devano.“Luar biasa. Anak Mama memang hebat.” Amira bertepuk tangan. Dia benar-benar kagum melihat kedua putranya. Wanita itu tidak pernah mengikuti Keano dan Devano ketika Latihan di luar rumah. Dia harus tetap bersama anak kembar
Wijaya telah terbang ke luar negeri. Pria itu benar-benar harus meninggalkan anak istrinya karena pertemuan yang tidak bisa diwakilkan. Dia sudah lama tidak pertemu dengan para pendukungnya sehingga dia tetap bisa terus berada pada puncak kesuksesan. Bisnis legal dan illegal dijalaninya.“Pastikan Leon tetap di rumah bersama anak dan istriku,” tegas Wijaya.“Iya, Pak. Anak-anak akan terus berada dalam pengawasan dan penjagaan,” ucap Jack.“Beberapa tahun ini hidup kita terlalu tenang. Jadi, mulai tingkatkan kembali kewaspadaan. Mungkin musuh dari masa lalu masih mencari kesempatan untuk menyerang balik,” jelas Wijaya.“Pasti, Pak.” Jack mengangguk.Amira selalu senang memasak. Dia dibantu para pelayan membuat cemilan sehat untuk anak-anaknya. Wanita itu tidak bisa hanya diam saja.“Nyonya, Anda dilarang lelah.” Leon menyusul ke dapur. Pria itu benar-benar mendapatkan tugas yang berat yaitu menjaga istri Wijaya Kusuma.“Aku tidak lelah, Leon. Aku biasa melakukan ini.” Amira tersenyum
Cantika meringkuk di atas kasur lusuh. Dia kedinginan karena curah hujan yang cukup tinggi. Wanita itu tidak memiliki selimut.“Dingin sekali. Tubuhku panas dan sakit. Luka ini akan infeksi jika tidak diobati.” Cantika beranjak dari kasur dan berusaha membuka pintu, tetapi terkunci.“Apa?” Cantika kembali ke kasur dengan rasa sakit di seluruh tubuhnya.“Gudang ini sangat pengap. Bagaimana caranya aku keluar?” tanya Cantika yang mulai menangis. “Ma, Pa. Tolong aku.” Cantika terisak seorang diri.Andika mengaktifan ponsel Cantika. Dia melihat pesan dari Ranika dan beberapa panggilan yang tidak terjawab.“Aku akan meminta kembali milikku.” Andika tersenyum. Dia menghubungi ulang Ranika.“Cantika, di mana kamu?” tanya Ranika gelisah karena putrinya belum juga pulang dan hari sudah sangat laru serta hujan lebar.“Di rumahku,” jawab Andika.“Apa?” Ranika terkejut mendengarkan suara seorang pria yang tidak asing.“Siapa kamu?” tanya Ranika.“Apa Anda tidak mengenali saya lagi? Berapa tahun t
Pria yang marah dan terluka benar-benar menjadi sangat kejam. Tidak ada perasaan sama sekali. Dia menyiksa wanita dengan menggila.“Aku sangat sakit, Cantika. Kamu ditolong, tetapi tidak sadar diri. Aku dan Amira sudah sangat baik padamu di masa lalu.” Andika menggendong tubuh Cantika yang penuh luka dan memasukan ke dalam bak mandi yang terisi penuh air sabun.“Aaarhh!” Cantika tersadar karena rasa perih pada luka-luka tubuhnya.“Hah!” Wanita itu benar-benar terkejut mendapatkan dirinya yang sudah berada di dalam bak mandi.“Andika, aku mohon. Lepaskan aku. Aku akan memberikan apa pun yang kamu inginkan.” Tangan gemetar Cantika memegang tepi bak mandi yang licin. Tubuhnya mulai menggigil karena kesakitan dan kedinginan.“Aku akan mati,” ucap Cantika.“Tidak, Cantika. Kamu tidak boleh mati dengan mudah.” Andika menarik tubuh Cantika keluar dari bak dan meletakkan dia atas lantai yang basah serta dingin. Pria itu membungkus tubuh mantan istrinya dengan handuk.“Keringkan tubuh kamu!” An
Cantika terpaksa mengikuti kemauan Andika karena nyawa wanita itu dalam bahaya. Dia pun pergi ke rumah sang mantan suami di bawah ancaman pisau.“Kita sampai,” ucap Cantika.“Kamu juga harus ikut turun.” Andika mengambil kunci mobil dan Cantika. Pria itu keluar dari mobil dengan senyuman puas. “Andika,” teriak Cantika. Wanita itu benar-benar takut masuk ke rumah Andika. Dia pernah disiksa dan hampir mati oleh mantan suaminya.“Kenapa Wijaya tidak memenjarakan kamu?” tanya Cantika dengan nada tinggi sehingga Andika menghentikan langkah kaki dan memutar tubuh mendekati mantan istrinya.“Karena aku adalah papa kandung Devano sama seperti Luna yang ibu kandung Keano,” jawab Andika tersenyum. “Apa maksud kamu?” Cantika bingung.“Wijaya dan Amira tidak mau anak-anak mereka memiliki orang tua yang di penjara,” jelas Andika. “Apa? Bukankah kalian tidak akan pernah bisa mendapatkan Devano dan Keano?” Cantika masih bertahan di dalam mobil. Dia tidak bisa pergi kemana pun. “Tapi darah kami me
Amira pergi ke kamar mandi. Wanita itu berdiri di depan cermin untuk merapikan diri sebelum pulang ke rumah.“Amira,” sapa seorang wanita cantik dengan wajah yang tidak Indonesia lagi..“Ya.” Mahira melihat wanita asing yang tidak dikenalnya dari pantulan cermin kamar mandi.“Maaf, apa aku mengenal Anda?” tanya Amira dengan senyuman manisnya. Dia memutar tubuh menghadap Cantika. Wanita itu selalu tampil elegan karena sudah terbiasa bertemu banyak orang. Pengalaman menjadi sekretaris menjadikannya sangat percaya diri.“Tidak.” Cantika terlihat gugup.“Aku rasa juga tidak, tetapi pasti Anda mengenal saya karena suamiku yang terkenal yaitu Wijaya Kusuma.” Amira tampak bangga dengan suaminya tercinta.“Aku dengar kamu tidak pernah keluar rumah. Apa kamu tidak bosan terkurung di dalam rumah mewah itu?” tanya Cantika.“Kenapa aku harus bosan. Rumahku bagaikan di syurka. Apa pun yang aku inginkan langsung tersedia. Aku tidak susah-susah berbelanja. Jadi, apa lagi yang aku cari di luar?” Amira
Cantika yang tahu bahwa Wijaya dan Amira ke sekolah pun ikut serta. Dia menjadi wakil wali dari seorang murid yang satu kelas dengan Devano. Wanita itu benar-benar tidak menyerah untuk mendapatkan perhatian papa Keano.“Pa, Ma. Kita pergi ke ruangan pertemuan.” Devano memegang tangan Wijaya.“Ayo, Sayang.” Amira terus menggandeng Keano. Mereka berjalan bersama masuk ke dalam aula pertemuan.“Pak Wijaya dan ibu Amira. Ini adalah kursi Anda berdua.” Guru mengantarkan Wijaya dan Amira ke kursi paling depan yang telah disiapkan.“Terima kasih,” ucap Amira. “Apa anak-anak boleh bersama kami?” tanya Amira.“Tentu saja, Bu. Anak-anak memang duduk bersama orang tua mereka,” jawab guru.“Oh, syukurlah.” Amira tersenyum. Dia tahu dua putranya pasti tidak mau jauh darinya.Semua orang duduk di kursi masing-masing bersama anak mereka. Cantika yang tahu lokasi Wijaya pun mendapatkan tempat yang dekat dari pria itu. “Ibu Cantika, kursi Anda.” Guru mengantarkan Cantika yang menggandeng seorang anak