Untuk sesaat Levon terdiam. Kendala hubungannya dengan Luel adalah sang mama. Kebencian sang mama menjadi masalah untuknya. “Pi, mereka baru jadian. Untuk apa ditanyakan sekarang?” Mami Loveta berusaha untuk mencairkan suasana yang sedikit tegang. “Mereka memang baru jadian, tapi jika sampai mereka sudah saling cinta, tapi mamanya tidak memberikan restu, lalu mau apa?” Papi Liam kali ini lebih tegas. Sebelum hubungan anaknya lebih jauh, maka dia harus menegaskan. “Saya akan jelaskan pada mama, Uncle. Harusnya mama bisa menerima keputusan saya. Luel tidak terkait dengan kebencian mama. Jadi saya rasa, harusnya mama menerima.” Levon langsung memberikan penegasan. “Baiklah jika begitu. Aku akan tunggu kamu mengatakan pada mamamu.” Papi Liam memberikan kesempatan pada Levon. Apa pun keputusannya, dia menyerahkan semua pada Levon. Anaknya harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Jadi Papi Liam membiarkan saja. Luel melihat keseriusan Levon. Jika sudah begini, dia yakin se
Seminggu yang lalu Isha sudah menyampaikan apa yang diinginkannya. Fotografer meminta waktu untuk menyiapkan apa yang diminta oleh Isha. Hingga akhirnya setelah seminggu semua siap. Danish menyiapkan sudut ruangan di rumah untuk didekor. Saat pihak fotografer datang, mereka langsung mendekorasi tempat yang sudah diberitahukan Danish. Untuk membuat penampilan sang istri sempurna, Danish mengundang make up artis. Mereka datang sebelum pihak fotografer datang. Di kamar Isha sedang dirias. Mereka merias Isha untuk pemotretan pertama. Pemotretan pertama tampak santai. Isha memakai gaun press body berwarna hitam, sedangkan Danish hanya memakai kemeja celana jeans warna hitam. Saat semua siap, pemotretan dimulai. Danish dan Isha mulai berpose di depan kamera. Mereka diarahkan untuk berpose. Tampak Isha dan Danish begitu bahagia. Beberapa kali mereka berpose mesra sesuai yang diarahkan oleh fotografer. Beberapa pose memperlihatkan Danish yang mencium perut Isha tanpa ditutupi apa pun. Itu
Danish dan Isha bingung memilih yang mana. Dua nama itu sama bagusnya. Jadi mereka bingung. “Nanti kami pikirkan dulu.” Danish yang bingung pun memilih meminta waktu. “Pikirkan saja dulu. Kalian masih punya waktu.” Mami Neta tersenyum. Dia beralih ke menantunya. “Ayo, Mami mau lihat kamar bayi. Bagaimana kamar bayi sekarang?”Isha segera mengajak Mami Neta ke kamar bayi. Kamar memang sudah siap. Baju-baju yang dibeli Isha juga sudah dirapikan. Pintu penghubung kamar Danish dan Isha pun juga sudah jadi. Semua sudah siap untuk menyambut kedatangan bayi. “Sepertinya semua sudah siap.” Mami Neta melihat jika kamar sudah siap. “Iya, Mi, semua sudah siap.” “Kalau bisa kamu siapkan barang yang akan dibawa ke rumah sakit. Jadi nanti saat kamu mau melahirkan, tinggal kamu membawanya saja.” Mami Neta memberikan saran pada Isha. “Baik, Mi. Nanti aku akan siapkan.” Isha mengangguk. “Kamu jangan stress memikirkan kelahiran. Tenang saja. Pasti semua akan baik-baik saja.” Mama Neta
Waktu menunjukkan jam lima. Perut Isha semakin terasa sakit. Mulas yang dirasa seperti semakin intens terasa. “Sebaiknya kita ke rumah sakit saja.” Akhirnya Danish memutuskan untuk mengajak Isha untuk pergi ke rumah sakit. “Baiklah.” Akhirnya Isha setuju. Lagi pula sakit yang dirasakan semakin intens. “Kamu tunggu di sini dulu. Aku akan masukkan semua barang lebih dulu.” Danish meminta Isha untuk menunggu di kamar. Dia harus menyelesaikan semuanya. “Baiklah.” Danish segera keluar dari kamar. Dia mencari asisten rumah tangga. Meminta asisten rumah tangga untuk memasukkan tas-tas yang sudah disiapkan oleh Isha ke dalam mobil. Sambil membantu asisten memasukkan barang-barang ke mobil, Danish menghubungi orang tuanya. “Mi, aku mau bawa Isha ke rumah sakit sekarang. Kalau bisa, Mami menyusul ke sana.” Danish memberitahu sang mami. “Baiklah, Mami akan ke sana.” Setelah sambungan telepon terhenti, Danish langsung kembali ke kamar. Menghampiri sang istri. “Sayang, ayo kita ke rumah s
Keluarga Fabrizio melihat anak Danish dan Isha yang berada di ruang bayi. Bayi Isha dan Danish tampak menggemaskan sekali. Membuat mereka semua begitu senang melihatnya. “Seperti Danish sewaktu kecil.” Mami Neta merasa jika cucunya mirip dengan Danish. “Iya, seperti Danish sewaktu kecil.” Papi Dathan membenarkan ucapan sang istri. Dia melihat wajah Danish di cucunya. “Aku tidak sabar membelikan baju untuknya.” Nessia begitu bersemangat sekali. Dia ingin segera membelikan keponakannya itu baju-baju. “Aku akan buatkan sepatu khusus untuknya nanti.” Loveta juga tak kalah bersemangat. Dia tentu saja akan ambil andil dalam kebahagiaan ini. **** Setelah melalui proses cek kesehatan, akhirnya anak Isha sudah diberikan kepada sang ibu. Semua keluarga menyambut hangat. Loveta menggendong keponakannya itu. Benar-benar senang melihat keponakannya. “Rasanya rindu menggendong anak-anak seperti ini.” Loveta begitu senangnya. “Iya, tapi jangan lama-lama. Gantian aku.” Nessia merasa sang kaka
Suasana rumah tampak begitu ramai sejak anak Danish dan Isha lahir. Suara tangis bayi terdengar mengisi rumah. Rumah juga ramai kedatangan tamu yang ingin menjenguk anak mereka.Pagi ini Danish menemani sang putra berjemur. Rasanya senang saat bisa menemani anaknya. Danish memang sengaja tidak masuk kerja karena mau fokus pada anaknya.“Anak Papi tampan. Anak pintar.” Danish memuji anaknya sambil berjemur.Isha yang sedang menyiapkan sarapan, tersenyum melihat sang suami yang sedang berjemur dengan anaknya.“Uncle Danish bicara dengan Rio, Aunty?” tanya Luel.“Iya.”“Padahal Rio tidak bisa menjawab.” Luel tertawa melihat hal itu.“Saat orang tua punya anak, mereka akan berkomunikasi dengan anak mereka meskipun tidak ada jawaban. Seperti ibu hamil. Dia disarankan untuk bicara dengan bayi di dalam kandungan. Walaupun hanya bicara sendiri, tapi bayi yang di dalam perut, bisa mendengar. Bisa merasakan.”Luel mengerti apa yang dijelaskan oleh Isha. Mungkin karena dirinya belum menikah, jad
Beberapa sebelumnya ....Levon pulang ke rumah setelah nyaris dua bulan tidak pulang. Dia benar-benar sibuk sekali. Tadinya dia ingin berangkat setelah pulang kuliah, alhasil karena lelah, dia memilih berangkat pagi.Papa Levon sudah meninggal dunia. Jadi yang di rumah hanya tinggal sang mama saja. Beruntung beberapa saudara tinggal tak jauh dari rumah Levon, jadi sang mama masih aman.“Mama pikir kamu lupa jalan pulang.” Dona menyindir anaknya yang tak kunjung pulang.“Astaga, aku sibuk, Ma. Bukan lupa pulang.”Levon langsung memeluk sang mama. Dia tahu mamanya sangat kecewa sekali karena sudah cukup lama tidak pulang. Jadi Levon paham kekesalan sang mama.Dipeluk sang anak membuat Dona lebih baik. Sebenarnya, dia hanya merindukan anaknya saja. Apalagi sang anak cukup lama tidak pulang.“Sudah taruh barang-barangmu dulu. Mama akan siapkan sarapan.”Levon mengangguk, kemudian masuk ke kamarnya untuk menaruh tasnya. Saat masuk ke kamar, Levon melihat kamarnya tampak bersih sekali. Pada
“Kamu menjalin hubungan dengan keluarga Fabrizio?” tanya Dona memastikan pada anaknya.“Iya, Ma.”“Sejak kapan kamu menjalin hubungan dengan keluarga Fabrizio?” Dona begitu penasaran sekali.“Aku mengenalnya saat mengambil barang milik Aunty Dara.”Dona menatap anaknya lekat. Dia masih belum bisa terima jika anaknya menjalin hubungan dengan keluarga Fabrizio.“Mama tidak mau kamu berhubungan dengan keluarga Fabrizio, Von. Kenapa kamu justru menjalin hubungan dengan anak mereka?” Dona tidak habis pikir kenapa anaknya menjalin hubungan dengan keponakan Danish.“Ma, jangan libatkan aku dalam kebencian, Mama.” Levon berusaha untuk menjelaskan pada sang mama.“Mama bisa, Von. Mengubur kebencian Mama, tapi jika kamu menjalin hubungan dengan keluarga itu, Mama tidak izinkan. Mereka sudah memutuskan hubungan, kenapa kamu justru menjalin hubungan dengan mereka?”“Ma, bukan mereka yang memutuskan hubungan, tapi Mama.”Dona merasa yang dikatakan oleh anaknya memang benar, tapi itu semua bukan ta