“Jika aku jadi Rafa, aku sudah meninggalkan wanita itu!” “Dasar tidak tahu diri. Suamimu sempurna tapi kau malah berselingkuh dengan pembalap murahan yang hanya mengandalkan wajah tampan!” “Wanita murahan yang hanya bisa menempel pada pria kaya!” “Rafael lebih baik kau kabur saja! Sekalinya selingkuh akan terus berselingkuh!” “Hahaha jika aku jadi Sana, aku akan memilih di rumah dan menikmati kekayaanku saja di rumah. Sesekali arisan dengan wanita berkelas daripada selingkuh dengan pria muda!” “Ada satu hal yang pasti membuat Sana sampai berselingkuh. Rumah tangga yang terlihat nampak sempurna di luar belum tentu sama sempurnanya di dalam. Hanya mereka berdua yang mengerti.” Sana melempar ponselnya ke sembarang arah. Mengusap wajahnya kasar dan bangkit dari duduknya. Seperti ditelanjangi hidup-hidup. Saat ini orang-orang sibuk mengorek informasi pribadi tentangnya. Komentar-komentar yang sempat ia baca seakan menempel dengan erat di pikirannya. Saan menunduduk dan memeluk lutut
Rafa mengusap rambutnya kasar. “Itu bukan urusanmu, Bianca. Aku akan mengurus semuanya sendiri.” Rafa segera menutup sambungan telepon itu. Saham perusahaan anjlok. Rafa meletakkan kasar tablet di atas meja. Sebenarnya ia butuh bantuan Bianca untuk menyelesaikan semuanya. Namun, ia sudah berjanji pada Sana agar tidak dekat dengan wanita lain. “Tutup semua media yang memberitakan skandal Sana,” ucap Rafa pada orang kepercayaannya. “Sulit untuk menghentikan semua ini, Sir. Apalagi sekarang berita itu berada di puncak. Semua orang membicarakannya. Dan semua media berbondong-bondong membahasnya.” Rafa mengepalkan tangannya. “Lalu? Kau menyuruhku untuk sabar dan diam saja?” “Ada satu cara sir untuk mengalihkan beritanya yaitu dengan berita yang lebih menghebohkan lagi. Berita tentang skandal selebriti akan lebih menarik bagi masyarakat. Namun hal tersebut membutuhkan biaya yang besar.” “Apapun lakukan. Aku ingin semuanya cepat mereda.” Rafa menutup sambungan telepon. Ia menyandarkan
Rafa menoleh. Menatap sebuah sepatu hak tinggi. Ia tidak peduli—ia hanya menatapnya sekilas tanpa ingin tahu siapa. “Rafa,” panggil wanita itu sekali lagi. Bianca menyentuh lengan Rafa. Rafa mendongak. Akhinya ia tahu siapa wanita yang datang mendekatinya. “Kenapa kau di sini?” tanyanya. “Kau mabuk?” tanyanya. Rafa menggeleng. “Kau bisa berbicara dengan temanku, ini Fred.” Menunjuk Fred yang duduk dengan santai. “Aku akan pergi.” Mengambil jasnya yang berada di sofa. Kemudian melangkah pergi begitu saja. Bianca menatap Fred sebentar sebelum berlari menyusul Rafa. “Ada apa sebenarnya?” lirih Fred menatap Bianca yang mengejar Rafa. Berada di lorong menuju keluar. Rafa menggeleng pelan. kepalanya mulai berat namun ia tidak. Buktinya ia masih bisa berjalan dan menatap sekelilingnya dengan jelas. Rafa berhenti ketika pergelangan tangannya di cekal. “Tunggu.” Bianca memegang pergelangan tangan Rafa. “Aku harus pergi.” Rafa melepaskan tangan Bianca yang berada di pergelangan tangann
“Dari mana saja kamu?” Sana mendekat dan membukakan Jas Rafa. Aroma alkohol yang begitu kuat menguar dari tubuh suaminya. Sana mendongak—menatap Rafa yang masih diam. “Habis mabuk? Ke klub?” Sana bertanya. “Dengan siapa?” Rafa menatap sekilas Sana. “Dengan Fred.” Setelah itu melangkah pergi. Namun perkataan Sana selanjutnya membuatnya berhenti. “Bagaimana dengan Bianca? Kamu dengannya juga bukan?” tanya Sana. Ia berkacak pinggang. “Kalian masih berhububungan bukan?” Rafa membalikkan badan. “Kamu hanya berasumsi tanpa bukti. Kecurigaan kamu ini tidak berdasar.” Sana tertawa pelan. mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto Rafa dan Bianca sedang berciuman dan berpelukan. “Masih yakin ini hanya asumsiku saja?”“Kamu bilang kamu tidak akan dekat dengannya tapi kalian malah berciuman di klub. Kalian berpelukan. Kalian berdua—” Sana menghela nafas dalam. “Rafa,” lirihnya. “Aku sungguh lelah. Bagaimana kalau kita akhiri saja sampai di sini?” “Tidak!” Rafa menggeleng. “Sampai kapanpu
[Aku mohon jangan cari aku. Aku sudah lelah dengan semuanya. Semoga kau segera mendapatkan kebahagiaan yang baru]Rafa meremas kertas yang berisi pesan dari Sana. Rafa memukul kaca hingga pecah dan menimbulkan bunyi yang cukup keras. Ia terduduk lemas dengan tangan yang bersimbah darah. “AAAAARGGGH!” teriaknya frustasi. 5 jam yang lalu. Anton sudah berada di depan Penthouse Sana dan Rafa. Ia kebingungan bagaimana harus masuk. Akhirnya ia menghubungi orang yang bertanggung jawab atas Penthouse ini untuk membuka pintu. “Tapi tuan, Tuan Rafa tidak memberitahukan kami apapun. Jadi kami tidak bisa membuka pintu begitu saja.” “Istrinya di dalam sana sedang terkunci. Sana tidak bisa menghubungi Rafa karena suaminya sedang sibuk. Jadi dia menghubungiku karena aku adalah temannya. Setelah kalian membuka pintu, kalian akan tahu sendiri Sana sedang terkunci di dalam kamar.”Dengan alibi tersebut, Anton berhasil mengeluarkan Sana dari Penthouse. Anton juga membantu Sana sampai pergi ke Bandar
Rafa berusaha menarik Anton yang berada di balik para bodyguard. Pria itu berdiri dengan santai sambil menatap Rafa yang begitu marah padanya. “KATAKAN DI MANA ISTRIKU SIALAN!” teriaknya tidak terkendali. Ia bahkan menunduk. Menjatuhkan lututnya di lantai. “Untuk kali ini aku memohon padamu. katakan padaku di mana Sana berada?” Anton memasukkan kedua tangannya di dalam saku. “Sudah aku katakan, aku tidak tahu. Sana pergi ke Jepang dan dia hanya bilang dia ingin pergi ke kota terpencil.” “Aku hanya bisa menyarankanmu satu hal.” Anton menyuruh bodyguardnya menyingkir sejenak. “Selesaikan dulu apa yang ingin kau capai sebelum menemui Sana. Perusahaanmu, StayVic adalah perusahaan penuh politik. Semua orang bisa menjadi musuh dan semua orang di dalamnya saling membunuh.” Rafa mengepalkan kedua tangannya. ~~Berada di sebuah restoran. Sana makan dengan lahap. Ia tidak memedulikan dua sepasang mata yang setia mengawasinya. Ren dan Mina kompak menatapnya yang asik makan. Mina mengambilk
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert