Kata Dad Hardin, boleh menggunakan mobil manapun. Ada banyak sekali mobil sport keluaran terbaru. Semuanya baru dibeli dan untuk digunakan Rafa selama di sini. Rafa justru kebingungan, bagaimana ia bisa menggunakan mobil sebanyak itu. “Jika Mom tahu aku dimanjakan seperti ini, Mom pasti akan menasehatiku lagi.” Rafa menggeleng. Sejak masih kecil, Rafa tidak dimanjakan. Ia akan diberi hadiah sesuai keinginannya asalkan mendapatkan sesuatu yang berharga. Sebagai contoh, Andres membelikannya motor sport dengan harga yang tidak murah setelah Rafa memenangkan perlombaan basket bersama tim. Pilihannya jatuh pada mobil berwarna hitam. Hari ini ia akan menjemput adiknya terlebih dahulu. “Hanya satu tahun dibawahku, seharusnya tidak perlu embel-embel adik.” Rafa mengendarai mobilnya dengan nyaman. Tidak sampai satu jam. Ia sampai juga di sebuah Mansion. Tanpa memeriksa lagi, Satpam mempersilahkannya masuk. Begitu selesai memarkirkan mobilnya, Rafa langsung turun. “Pertama kalinya aku ke s
“Ehm..” Sofia berpikir sejenak. “Aku ingin jadi aktris. Aku ingin membintangi film atau Drama.” Ia menangkup wajahnya sendiri. “Aku lumayan cantik bukan?” “Hm. Lumayan.” Sofia tertawa. “Jika nanti aku sudah menjadi aktris. Aku tidak akan melupakanmu kak.” “Bagaimana melupakan. Aku ini saudaramu. Kau ingin berhianat pada saudaramu?” Rafa kembali bertanya. “Apa kau sering datang ke pesta seperti ini?” “Hm. Teman-temanku suka mengadakan pesta. Aku juga suka keramaian. Karena aku anak tunggal, aku sedikit kesepian di rumah.” “Jangan terlalu sering datang ke pesta. Kau harus memikirkan sekolahmu juga. Sebentar lagi juga ujian dan lulus. Jangan membuang waktumu terlalu banyak pada hal yang sia-sia.” Karena tidak ingin Rafa menasehatinya lebih panjang lagi, Sofia hanya mengangguk. “Ya,” jawabnya dengan malas. Tidak membutuhkan waktu yang lama. Mereka sampai di sebuah rumah yang katanya diadakan sebuah pesta. Di halaman rumah sudah penuh dengan mobil-mobil yang berjajar. Dari luar namp
Rafa memandang wanita itu lebih intens. Wanita yang menggunakan tanktop dengan rok yang sangat pendek. Sebagian dada perempuan itu bahkan terlihat. Punggung yang terbuka sampai pinggang. Rahang Rafa mengeras melihat penampilan Sana yang begitu terbuka. Apalagi sekarang—perempuan itu tidak ragu memeluk seorang pria. Kemudian mencium pria dengan mesra. “Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi.” Ia meletakkan gelasnya ke atas meja. Langkahnya menuju dua insan yang kini sibuk berciuman. Rafa menarik lengan Sana hingga ciuman kedua insan itu terputus. Sana menoleh—dengan wajah yang marah menatap Rafa. “Apa yang kau lakukan sialan?!” Sana memaki Rafa yang mengganggu aktivitasnya. “Seharusnya aku yang bertanya apa yang kau lakukan Miyawaki Sana?” tanya Rafa dengan nada rendah nan tegas. Tangannya masih mencengkram erat pergelangan tangan Sana. “Jadi ini alasanmu kenapa tidak bisa dihubungi beberapa hari ini?” tanya Rafa lagi. “Ayo pergi dari sini.” Namun perempuan itu memberontak dan ti
Entah ke mana tujuannya. Yang pasti Rafa masih mengemudikan mobilnya. Sampai di sebuah klub. Ia menghentikan mobilnya. Sebelum masuk ia terlebih dahulu menyiapkan satu kartu berwarna hitam. Kartu tersebut adalah pemberian ayahnya. Katanya, kartu tersebut bisa digunakan untuk apapun. Untuk kali ini, Rafa akan mencobanya. Melangkah dengan pasti—sampai di depan. Ia menunjukkan kartu tersebut pada bodyguard. Benar saja, mereka langsung mempersilahkannya masuk. Tujuannya hanya satu—ia ingin mabuk dan melupakan segala hal yang membuat hatinya begitu sakit. “Wine.”Satu botol besar dengan satu gelas. Rafa menuangkannya di dalam gelasnya. Kemudian meneguknya dengan kasar. Tenggorokannya basah oleh cairan berakhohol itu. Satu dua tiga botol… masih aman. Rafa memang tidak terlalu sering minum. Namun tubuhnya kuat cukup kuat dengan alkohol. Ia tidak mudah mabuk hanya dengan meminum sedikit wine. Sampai yang gelas yang ke-10. Tubuhnya mulai bereaksi. Ia mengambil ponselnya. “Aku membencimu.
[Rafa apapun yang dikatakan oleh kakek, jangan kamu pikirkan. Dad akan segera ke sana.] Pesan yang baru saja muncul di ponsel. Rafa hanya membacanya tanpa membuka. Ia sangat mengerti apa yang dimaksud oleh ayahnya itu. “Selamat datang di rumah kakek.” Rafa mengangguk pelan. “Kenapa tiba-tiba aku di sini, kek?” menatap sang kakek. “Apa kakek menyuruh orang untuk mengikutiku?” Jackson tertawa pelan. “Kamu memang pintar. Aku menyuruh orang untuk mengikutimu. Aku hanya ingin tahu apa yang kamu lakukan selama di sini. Tadi malam kamu pergi setelah meninggalkan pesta. Kamu bertengkar dengan perempuan?” Rafa mengedikan bahu. “Seperti itu, tapi aku tidak ingin membahasnya.” “Bagus.” Jaskson mengangguk setuju. “Jangan biarkan urusan wanita mempengaruhimu.” Mendekati Rafa dengan langkah pelan. “Benar kau ternyata sangat mirip dengan ayahmu. Selama ini aku hanya melihat fotomu. Kau tampan, kau tumbuh dengan baik.” Jackson menepuk pelan bahu Rafa. Seolah memberitahukan dirinya sedang bangga
7 tahun berlalu. Seorang dengan pakaian setelan jas lengkap dengan dasi sedang berjalan menuju sebuah ruangan. Setiap pegawai yang dilewatinya selalu menoleh, kemudian tidak segan-segan menunjukkan kekaguman. Rafael Shalom. Pria yang sekarang berusia 25 tahun itu adalah pemilik perusahaan yang bergerak di beberapa bidang. Yang paling utama adalah Keuangan dan Investasi. Bukan hanya mencakup wilayah Italia, bisnisnya berkembang pesat di manca negara. “Silahkan tuan.” Rafa duduk di sebuah kursi yang terletak di ujung meja. Julukannya adalah tampan nan jenius. Ia bisa memprediksi keadaan ekonomi yang akan datang. Itulah kenapa—perusahaannya bisa berkembang dengan pesat. “Hari ini saya akan menunjukkan profil dari beberapa perusahaan baru yang mengajukan modal. Ada 5, dua diantaranya adalah perusahaan luar negeri, Jepang dan Korea Selatan.” Rapat terus berlanjut hampir 2 jam lamanya. Keputusan Rafa adalah memberikan modalnya pada dua perusahaan saja. Di negaranya sendiri dan di Jepan
Pada akhirnya Rafa datang. Fred yang berprofesi sebagai pengacara saat menenangkan kasus akan pergi bersenang-senang ke klub. Anehnya, pria itu selalu menuntut sahabatnya untuk bisa menemaninya. “Ada banyak wanita yang menemanimu, kenapa selalu memaksaku ikut?” heran Rafa dengan sahabatnya. “Aku hanya ingin mengajakmu keluar.” Fred meminum minumannya dari gelas kecil yang terisi dengan Wine. “Aku tahu kau jarang keluar. Mangkanya aku selalu mengajakmu keluar. Setidaknya kau bisa melihat dunia luar dan tidak bekerja terus.” “Aku lihat kau di berita.” Fred menatap Rafa. “Sepertinya kau harus berhenti bermain-main dengan wanita. Kau tidak lelah dimarahi orang tuamu? Aku yakin mereka akan selalu menasehatimu.” Rafa tertawa pelan. Yang dikatakan Fred memang benar. Ibunya selalu memarahinya. Katanya, berhenti menyakiti perempuan. Cari perempuan baik dan nikahi dia. Sedangkan kata ayahnya Andres, bersenang-senang dulu tidak masalah tapi jangan lupa cari wanita yang baik. “Aku menuruti p
Menarik pinggang Michelle hingga menabrak tubuhnya. Ia menunduk—mendekatkan bibirnya dengan telinga wanita itu. “Aku tidak tidur dua kali dengan wanita yang sama.” Kemudian melepaskan rangkulannya dan berjalan pergi begitu saja. “RAFAEL!” teriak Michelle yang tidak terima dengan penghinaan yang baru saja ia terima dari Rafa. “RAFAEL KAU AKAN MENYESAL MEMBUANGKU!” teriaknya semakin menjadi-jadi. Rafa tidak menggubris panggilan itu. Ia masih berjalan sampai pintu keluar klub. Hingga tidak sengaja ia menyenggol lengan seorang wanita. Bruk!Wanita itu menunduk. Rambut panjangnya terurai sampai menutupi wajah. Rafa mengernyit. Biasanya hal seperti ini dilakukan perempuan yang ingin mengenalnya. Namun wanita ini tidak berniat mengajaknya berkenalan apalagi mengoborol. “Sorry, Sir,” ucapnya kemudian pergi begitu saja. Rafa menoleh. Mengikuti ke mana wanita itu pergi. Wanita aneh—tidak ada wanita yang menggunakan piyama masuk ke dalam klub. Ia menggeleng pelan. “Dia waras?” gumamnya.
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert