Seorang perempuan tersenyum puas setelah mengirim sebuah Screenshoot dari potongan video CCTV. Tidak lupa memberi pesan. [Segera nikahi dia jika tidak ingin dia kembali pada mantannya.]Di dalam kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Namun keributan justru tercipta. Andres beranjak dari duduknya. Ia memakai coatnya, mengambil tas yang berisi barang-barang berharga. “Katakan sesuatu jika pertanyaanku salah.” Andres mengemasi barang-barangnya. Amel menghela nafas. “Aku tidak berbicara diam-diam dengannya. Aku tidak tahu dia karena tiba-tiba dia menarikku dan berbicara. Aku juga tidak tahu dia akan menciumku. Itu sepihak, Andres. Kau tidak memahaminya?” Andres menggeleng. “Kau bisa berteriak, memukulnya jika ingin kabur. Tapi kau tidak melakukannya. kau tetap mendengarkannya sampai akhir sehingga dia menciummu. Kau membiarkan dia menciummu.” Andres mendekati Amel. “Kesempatan itu hadir saat kau sendiri tidak bisa menolak. Kesempatan itu menghampirimu setiap saat dan kau menyam
Andres melepas tangan Amel yang memegang pergelangan tangannya. “Andres!” teriak amel. Tapi Andres tidak peduli, pria itu tetap berjalan meninggalkan Amel. “Baiklah kau yang mengejarku tapi kau yang meninggalkanku.” Amel menghentakkan kakinya kesal. Memijit kepalanya yang terasa pusing. “Kenapa dia tidak bisa mengerti? dia selalu saja mempermasalahkan hal sepele. Dia tidak bertanya padaku, apa aku baik-baik saja? Apa aku ketakutan? Dia malah marah, mementingkan egonya sendiri.” Amel yang terlanjur kesal tidak bisa berhenti mengomel. Ia terus saja mengomel dengan sikap Andres yang dianggapnya belum dewasa. Sudah berkali-kali pria itu marah karena cemburu.“Kau yakin tetap bersamanya?” suara lantang seseorang. Pria yang berjalan mendekat sembari merokok. Hardin tersenyum miring. “Kalian bertengkar hebat hanya karena aku menciummu?” “Bukan urusanmu!” Amel berjalan mengabaikan Hardin. “Seharusnya dia tahu apa yang sudah kita lakukan sampai-sampai menghasilkan Rafa. Itu pria pilihan
“Baik bu.” Amel menggenggam tangannya cemas. Amel bisa menebak apapun yang sedang terjadi. Pasti menyangkut dengan Rafa. Ayah Hardin yang tiba-tiba ingin bertemu dengannya. Amel berjalan mondar-mandir. Sampai akhirnya—ia mendengar keributan dari luar ruangannya. Terpaksa ia keluar—benar saja rombongan Jackson yang menerobos masuk ke dalam kantor. “Apa yang kalian lakukan?” Amel mengernyit. Jackson Berneth pria paruh baya itu terlihat lebih arogan dari terakhir mereka bertemu.“Nona Amel yang terhormat, tuan ingin bertemu dengan anda.” Seroang bodyguard yang berbicara. “Saya tidak ingin berbicara dengan anda. Sekarang lebih baik anda keluar baik-baik dari sini sebelum saya memanggil keamanan untuk mengusir anda.” Jackson melepas kacamata hitamnya. Pria itu menatap Amel dengan datar. “Mari berbicara secepatnya dan tuntaskan masalah ini. Aku tidak ingin membuang waktu.” “Tidak ada masalah,” balas Amel. “Saya tidak mempunyai masalah dengan anda. Jadi tidak ada yang harus dibicarakan
“Benarkah?” Andres mengecup puncak kepala Amel beberapa kali. “Aku merindukannya, aku sangat ingin bermain dengannya. Tapi aku menahannya.” “Hanya Rafa?” Amel melepaskan pelukannya.Andres menyipitkan mata. “Hm—” Ia mengangguk. “Ya.” “Oh…..” Amel menganggukan kepala. “Jadi begitu.” Dengan mudahnya, Andres menarik pinggang Amel. “Aku setiap hari bisa bertemu denganmu, jadi aku tidak terlalu merindukanmu—” Amel melotot. “Oh—” Ia mengerucutkan bibirnya. “Oh jadi kalau bertemu setiap hari jadi tidak terlalu rindu. Bisa ya seperti itu? Apa hanya aku yang terlalu berlebihan..” Amel menggelen pelan. “Memang aku yang berlebihan.” Ia melepaskan dari rengkuhan Andrs dan berbalik. Ketika baru saja melangkah masuk ke dalam ruangannya, tubuhnya terserentak oleh pelukan dari belakang. “Aku sangat merindukanmu, sangat.” Amel tersenyum. “Ini baru Andres yang aku kenal.” Mengusap tangan Andres yang berada di perutnya. Pria itu tidak berhenti mengecup pipinya. “Aku hanya bersikap keren sebentar.”
Amel menggigit bibirnya sendiri. Andres yang benar-benar tidak peduli perbuatan mereka bisa saja dilihat orang lain. “Katakan ada apa?” “Saya membawa desain terdahulu yang anda minta.”Amel mendorong Andres. “Ini penting. Urusan pekerjaan lebih penting.” Ia menjauh—takut diserang oleh pria itu. Ia kembali memakai pakaiannya. “Pakai kembali kemejamu.” “Amel..” geram Andres. Ia bersindekap. Duduk di meja kerja dengan keadaan tubuh atas shirtless. “Kemarilah.”“Tidak. Jangan sekarang.” Amel memungut kemeja Andres yang tergeletak di lantai. “Ayo pakai kembali. Kita harus kembali bekerja.” Andres mencebikkan bibirnya kesal. Ia diam saja saat Amel memakaikan pakaiannya. Membiarkan perempuan itu mengurusnya sebentar saja. Membiarkan Amel dengan wajah yang serius mengancingkan kembali kemejanya. Wajah serius wanita itu membuatnya gemas. Sampai tidak bisa menahannya, Andres mencium bibir Amel kilat. “Aku akan menagihmu nanti.” “Hm.” Amel mengambil dasi Andres. “Oke nanti. Sekarang aku har
Amel dan Andres sepakat untuk menjemput Rafa. Namun Andres menghentikan mobilnya jauh dari sekolah. Dari kejauhan pria itu melihat ada sebuah mobil lain yang sedang berada di depan. Seorang pria keluar. Lalu tak lama—Rafa keluar dari sekolah. Rafa yang nampak terkejut dengan kedatangan Hardin yang tiba-tiba. Mereka berbicara sebentar kemudian saling bertos ria. “Itu Hardin? Untuk apa dia ke sini.” Amel bertindak cepat ingin keluar dari mobil. “Jangan.” Andres menghentikan Amel yang ingin keluar. “Jangan turun. Biarkan dulu Rafa bersama Hardin.” “Andres.” Andres mengambil tangan Amel dan menggenggamnya. “Biarkan dulu. Aku yakin Hardin tidak akan membawa Rafa.” Amel melihat Rafa dari dalam mobil. “Uncle dari mana saja?” tanya Rafa setelah bertos ria dengan Hardin. “Hanya bekerja.” Hardin tersenyum sambil mengusap rambut Rafa. “Bagaimana kabarmu? Apa sekolah menyenangkan?” Rafa menggeleng. “Tidak. Tidak ada yang diajak bermain basket. Mereka payah. Hanya aku yang bisa melempar b
“Rafa, Mom ingin beicara dengan kamu.” Amel membuka pintu kamar Rafa. Di sana bocah itu sedang mengerjakan PR. Rafa menatap ibunya dengan bingung. Bocah itu turun dari kursi kemudian mendekati Ibunya. “Mom ingin memeriksa PR-ku?” Amel menggeleng. “Tidak.” Ia menarik tangan Rafa. Menuntun bocah itu agar duduk di sampingnya. “Mom ingin berbicara dengan kamu. Ini tentang—” Amel menghela nafas terlebih dahulu. “Tentang siapa ayah kamu.” “Ayah Rafa adalah uncle Hardin.” Amel mengernyit. Sungguh tidak menduga dengan perkataan Rafa. “Siapa yang memberitahu kamu?” Rafa mengedikkan bahu. “Rafa tahu sendiri. Uncle Hardin sangat mirip denganku. Dari mata, sampai kesukaaan. Rafa yakin uncle Hardin memang ayah asli Rafa.” Amel memejamkan mata sebentar. Benar apa kata Andres, Rafa memang pintar. Maka dari itu ia sendiri yang harus menjelaskan bagaimana keadaan mereka. “Benar, ayah asli kamu Hardin.” “Tapi kenapa kalian tidak bersama? Kalian juga tidak akur? Mom juga selalu menyuruhku menjau
21++++Andres mengangguk. Jemarinya mengusap helaian rambut Amel ke belakang. “Biarkan saja, Hardin memang ayah kandungnya. Bagaimanapun Rafa berhak memanggilnya sebagai ayah.” “Aku yang merasa aneh.” Amel mengerucutkan bibirnya. “Rasanya sangat aneh…” Ia menghela nafas. Andres mengambil kedua tangan Amel. “Tidak masalah. Aku akan selalu bersamamu.” Amel tersenyum. “Terima kasih.” Andres mendekat. Mengecup pipi kiri Amel pelan. Kemudian mendekatkan bibirnya di telinga wanita itu. “Aku ingin menagih janjimu tadi siang.” “Tadi siang? Memangnya aku berbicara apa?” Amel yang berpura-pura lupa dengan perkataannya. Padahal ia juga masih mengingat kegiatan panas mereka sempat tertunda di kantor. “Jangan melupa.” Andres mengusap dahi Amel. “Aku akan memakanmu sekarang.” Menarik tengkuk amel dan menciumnya. Amel yang membalas setiap pangutan yang diberikan oleh Andres. Andres yang sengaja menggigit bibir Amel agar wanita itu membuka mulut. Ketika Amel memberikan akses, Andres menyambutn
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert