“Temukan keberadaan anakku,” suara rendah Andres yang terhubung dengan seseorang kepercayaannya. “Aku beri waktu 30 menit.” Andres melangkah mendekati Amel. Memegang bahu istrinya itu pelan. “Rafa pasti ketemu. Tenang, Amel. Rafa akan baik-baik saja.”Amel memeluk Andres. “Aku selalu memberitahunya agar berhati-hati. Dia di mana?” “Tunggu sebentar.” Andres mengusap lengan Amel. “Kita pasti menemukannya.” Amel mengusap air matanya. Ia mendongak dengan wajah yang penuh dengan air mata. “Ayo kita cari kemanapun. Aku yakin dia masih ada di sini. Aku yakin dia sedang duduk sambil menunggu kita.” Amel mengambil lengan Andres. “Ayo kita cari ke sana.” Amel ingin menarik tangan Andres. Namun sedikitpun pria itu tidak bergerak. “Amel,” panggil Andres dengan nada yang lembut. Amel menggeleng. “Ayo kita cari lagi, Andres. Aku yakin Rafa masih disekitar sini.” Ia menarik Andres lebih keras. Terpaksa Andres mengikutinya. Pria itu mengikuti ke mana istrinya melangkah. Amel terus menyusuri jal
“Tidak akan.” Ashley memakan snack di atas tempat tidur sambil menonton TV. Tawanya begitu menggelegar dan menyeramkan. Seperti orang yang kesetanan. “Hahaha itu lucu.” Rafa menggeleng pelan. Ia tidak bisa menutup telinganya akibat tangannya yang terikat di kursi. Alhasil ia menggeleng pelan—mencoba mengenyahkan ketakutannya. “Mau makan?” tanya Ashley. Wanita itu mengangkat snack bekasnya. Rafa menggeleng lagi. “Kamu kan anak kecil. Makanmu tidak banyak. Kau pasti belum lapar.” Ashley yang bermonolog sendiri. “HEEEELP!” teriak Rafa. “HEEEEEELP ME PLEASE!” “SHUT UP BITCH!!!!” Ahsley menatap tajam Rafa. “Jika kau teriak lagi. Aku akan melemparmu ke sana!” tunjuknya pada jendela kamar yang terbuka. Mereka berada di lantai 20. Tidak akan selamat jika sampai jatuh dari lantai ini. Rafa terdiam. Bocah itu menunduk. ‘Aku superman, tapi aku takut. Aku takut dengan wanita gila ini,’ batin Rafa dalam hati. ‘Mom datanglah. Mom Dad, Rafa takut…’~~Tidak membutuhkan waktu yang lama. Andres
“HUAAA…..” Rafa menangis dengan kencang. “Aku sangat takut Dad….” Rafa sesenggukan. “Dia sangat menyeramkan.” Rafa masih memeluk Andres. “Rafa hebat.” Andres mengusap wajah bocah itu. “Kamu hebat Rafa, kamu bisa bertahan. Dad bangga denganmu.” Andres mengusap kedua pipi bocah itu. Di luar, Amel melangkah masuk. Alangkah terkejutnya ia melihat Daisy yang nampak sangat berbeda. “Kau Ashley?” tanyanya. “Hahaha benar.” Ashley tertawa dengan ringa seakan tidak ada beban. Amel menatap sekitar. Ia melihat satu kamar yang begitu ramai. Ia langsung berlari. “Rafaaa…,” teriaknya. Ia langsung memeluk anaknya. “Rafa kamu baik-baik saja? Mom sangat kawatir.” Amel tidak bisa menahan air matanya. Ia mengusap punggung anaknya lembut. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Rafa menghabiskan waktu berjam-jam dengan keadaan seperti ini. Ia melepaskan pelukannya. Mengambil tangan Rafa. Mengusap bekas ikatan tali itu. “Sakit?” tanyanya. Rafa menggeleng. “Tidak. Aku hanya takut Mom.” Kembali memeluk sa
“Maaf, janin yang ada di kandungan Mrs. Amel tidak terselamatkan.” Begitu ucapan dokter yang langsung pergi setelah menangani Amel. Sekarang Amel sedang berada di sebuah ruangan dengan punggung tangan tertancap infus. Andres terduduk lemas di sebuah kursi. Mengusap wajahnya begitu lama. “Dad…” lirih Rafa. Ia memeluk ayahnya dari samping. “Mom hamil?” Andres mendongak. Ia mengangguk. Mengusap sudut air matanya yang sedikit berair. “Tapi calon adik kamu sudah tidak ada.” Rafa mengernyit. Bocah itu menatap ibunya yang sedang terbaring di ruangan. “Pasti karena wanita jahat itu.” Rafa ikut duduk bersedih di samping Andres. “Yang terpenting Mom selamat dan baik-baik saja.” Andres mengusap puncak kepala Andres. “Dad gagal melindungi kalian. Dad—” Andres menghela nafas. Ia mendongak. Begitulah penyesalan Andres. Gagal melindungi Rafa, Amel dan calon anaknya. Lantas apakah ia masih pantas disebut kepala keluarga? “Dad tidak gagal. Dad menyelematkanku.” Rafa turun dari duduknya. Ia berd
Andres bungkam. “Andres jawab aku.” Amel memaksa Andres untuk menjawabnya. “Andres tolong katakan dia masih ada. Aku mohon…..” kedua pipi wanita itu sudah basah akan air mata. “Andres aku mohon….” Amel mengguncang punggung tangan Andres. “Dia sudah tidak ada.” Andres menaik Amel ke dalam pelukannya. “Maaf, ini semua salahku. Aku gagal melindungi kalian.” Amel menangis. Tentu saja ia menangis. Rasanya masih begitu singkat bersama calon bayinya. Dalam hitungan hari, dia sudah pergi. “Aku tidak bisa menjaganya…” lirih Amel. “Seharusnya aku tidak membiarkannya ditendang begitu saja.” Amel begitu sesak dengan tangisnya. “Tidak-tidak.” Andres mengusap punggung Amel. “Biarkan dia pergi. Relakan dia agar bisa menuju tempat yang lebih damai. Relakan dia Amel.”~~“Mom,” panggil Rafa pada ibunya. Bocah itu berlari menuju tempat berbaringnya sang ibu. “Mom sudah sehat?” Amel menangguk. “Hm.”“Mom terlihat begitu lelah.” Rafa mengusap kening ibunya. Kemudian jemari kecilnya mengambil helaian
Author= Silahkan perkenalkan diri. Amel [Tersenyum ceria] = Hallo semua. Saya Amelia Putri Willson. Panggil aja AmelAuthor= Bagaimana keadaan kamu akhir-akhir ini?Amel= Aku bahagia. Aku punya dua laki-laki yang sangat menyayangiku. Suami dan anakku. Aku bahagia bersama mereka. Author= Sebelumnya maaf. Apa bisa kita membahas masa lalu sedikit?Amel [lebih mendekat]= Selagi tidak ada Andres tidak masalah [sambil berbisik]Author [memberikan jempolnya]= Tadi aku menguncinya di kamar mandi. [Berdehem sebentar]. Jadi bisa kamu deskripsikan masing-masing dari mantan kamu?Amel [tersenyum]= Hardin, dia tampan dan cukup baik. Tapi hubunganku dan dia tidak berjalan mulus. Hubungan kita terlalu bermasalah. Kita saling menyakiti satu sama lain. Hardin is my first love. Kita membuat banyak kenangan indah dan buruk. Dia adalah cinta pertamaku saat beranjak dewasa. Emosi kita sama-sama tidak stabil. Banyak masalah yang tidak terselesaikan. Banyak hal yang tidak bisa kita atasi. Semuanya begitu r
Atas kekerasan dan penculikan anak dibawah umur. Ashley dijatuhi hukuman 7 tahun penjara. Di sana—tidak jauh dari tempat duduk Amel dan keluarganya, ada keluarga yang begitu terpukul dengan keputusan hakim. Kelly memandang Amel dengan tajam. Ia berlari—mengangkat tangan dan hendak memukul Amel. “Pergi dari sini.” Andres menghadang Kelly. Menangkap tangan wanita itu yang hendak memukul Amel. “Selagi aku beri kesempatan pergi. Silahkan pergi.” “HIDUP PUTRIKU HANCUR KARENAMU! DASAR JALANG SIALAN!” teriak Kelly tidak terkendali.Di belakang, Amel mencengkram pinggang Andres. “KAU SUDAH PUAS MENGHANCURKAN HIDUP ASHLEY? KAU SUDAH PUAS HAH? SEHARUSNYA KAU TIDAK PERNAH MUNCUL DI HADAPAN KAMI!” Xavier menarik istrinya ke belakang. “Kami ini keluargamu. Kalian tidak mengasihani kami sama sekali?” menatap sang adik Steven. Xavier yang sangat marah atas tindakan Steven yang mendukung Amel menuntut Ashley dengan berat. “Aku menyesal mempunyai adik sepertimu. Kau benar-benar tidak berguna. Bu
“Aku berpikir. Aku harus mencari kegiatan. Aku ingin melakukan sesuatu agar tidak terus-terusan merasa sedih.” Amel bersandar pada Andres. “Semuanya yang telah terjadi berputar terus-menerus di ingatanku.” “Memangnya apa yang ingin kamu lakukan?” Amel mendongak. “Aku ingin mendirikan perusahaanku sendiri. Jasa desain ruangan.” Andres berpikir. “Hanya desain ruangan, tidak akan membuatku sibuk. Aku tidak akan menerima proyek pembangunan rumah. Aku janji.” Amel menunjukkan raut memohon.Andres menyipitkan mata. “Aku ingin kamu membujukku.” Ia meletakkan bukunya di atas meja. Beralih memeluk tubuh istrinya yang mungil. “Bagaimana? Aku menunggu.” Amel mencebikkan bibirnya. “Aku akan membuat proposal secepat mungkin.” “Bagus.” Andres tertawa renyah. “Kalau bagus aku aka menanamkan modal di bisnis kamu.” “Bussines man sudah tidak diragukan lagi,” gumam Amel. Andres melepaskan pelukannya. Ia berlarih mencium bibir istrinya. Entah bagaimana—posisinya sudah berubah menindih tubuh Amel.
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert