Setelah merasa lega dan kembali menuju pulang dengan motor miliknya, iapun teringat bahwa dompet miliknya tertinggal di kantor. Bagaimanapun ia harus mengambil dompet tersebut malam ini juga atau besok akan semakin kesusahan, karena tentu saja banyak hal penting di dalamnya.
Lalu ia melaju pelan, dan begitu juga air matanya terkadang masih merembes keluar tak bisa ditahan lagi. Ia menangis pilu sambil kembali berkendara dengan motornya di tengah malam yang dingin.Suasana kantor sudah sangat sepi karena hanya beberapa staff saja yang masih lembur di sana, termasuk dirinya, hanya saja ia membatalkan niatnya sampai pagi.Aziya memasuki kantornya langsung menuju meja kerjanya. Akan tetapi ia tak menyangka seseorang telah berada di sana."Kacau sekali," gerutu pria itu yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Sepertinya dia adalah orang yang memeriksa hasil laporan Aziya."Permisi, maaf...saya...""Heh, ini meja kerjamu? Apa nggak bisa rapi sedikit? Lihat, laporan kamu berantakan dan meja kerja kamu juga berantakan! Ada serpihan makanan di sana sini, kamu kira ini kafe?!" gertak pria itu garang.Aziya bengong, masalah apa lagi yang menimpanya malam ini? Siapa pria ini? Sepertinya tidak asing baginya."Laporan ini harus selesai malam ini juga, kenapa masih juga santai?! Oh ya, lain kali jangan makan cemilan sembarangan ya, carilah cemilan yang tidak bikin kotor tempat kerja!"Aziya tertunduk, ia tak lagi ingin beralasan karena suasana hatinya sangat buruk.Ia membiarkan dirinya habis dimaki saja, mungkin bisa sedikit mengurangi rasa sakit yang berlebihan sebelumnya.Setelah pria itu pergi, Fahita mendekati Aziya perlahan."Katanya izin, kenapa balik lagi?""Nggak tau, lagi apes banget aku malam ini. Habis liat setan alas sekarang malah dimaki orang asing," keluh Aziya serius, ia bahkan menitikkan air mata tanpa sadar. Tadinya ia mau bersiap pulang, tapi melihat situasi perusahaan masih genting, ia tak bisa mengabaikan begitu saja, setidaknya ia harus melupakan masalah pribadinya di saat seperti ini."Ssst, dia bukan orang asing, Zi," kata Fahita berusaha mengingatkan."Aah, masa bodo. Sekarang aku sakit banget rasanya, siapapun dia, hidupku makin buruk malam ini," desahnya kemudian sambil bersikap tak perduli apapun yang dikatakan Fahita.Fahita melihat Aziya keheranan, sebab tak biasanya Aziya terlihat sangat serius dan murung seolah memikul beban yang sangat berat."Kamu beneran nggak lagi sakit, Zi?" tanya Fahita sekali lagi. "Kalau sakit ya udah pulang aja, aku yang akan tanggung jawab pekerjaan kamu."Aziya melihat Fahita dengan termangu. Ingin rasanya ia menumpahkan beban pikirannya sekarang ini, akan tetapi apakah ia bisa? Selama ini Fahita melihat mereka sebagai pasangan yang paling serasi di kalangan teman-temannya, apa jadinya kalau semua tahu bahwa ia diselingkuhi seorang bajingan? Oh, betapa malangnya kamu, Aziya!"Enggak Fa, enggak perlu. Aku mau selesaikan saja kerjaanku dan mungkin mau cuti beberapa hari ke depan. Aku capek.""Cuti? Tumben...," Fahita tak melanjutkan ucapannya. Ia bisa melihat Aziya bersikap dingin dan aneh, iapun akhirnya hanya bisa mengangguk dan beringsut pergi.Pukul dua malam, pekerjaan Aziya selesai juga akhirnya. Begitu juga Fahita yang berjalan ke arahnya dengan wajah yang kelelahan."Zi, aku pulang duluan ya. Gimana Reza, jam berapa dia jemput kamu?""Uhmm, aku pulang pagi kayaknya. Sekaligus mau persiapan cuti, jadi aku mau beresan meja kerjaku. Ya udah gih, pulang duluan sana.""Hmm, oke kalau gitu. Bye." Fahita berpamitan, dan Aziya hanya melemparkan senyum tipis.Suasana menjadi hening setelah beberapa lama kemudian. Aziya berpikir pastilah hanya tinggal dirinya yang berada di ruangan besar divisi administrasi saat ini. Iapun melepaskan blazer dan sepatu miliknya, merendahkan sandaran kursi sehingga ia bisa sedikit rebah di sana.Sesaat kemudian pikirannya melayang pada kejadian di kamar kost Davina, dadanya seakan sesak karenanya.Sebagai istri yang mendampingi Reza selama hampir sepuluh tahun, apakah ini pada akhirnya? batin Aziya sedih.Dikhianati, diselingkuhi saat sudah memiliki dua orang anak, apakah yang harus ia lakukan? Apakah berpisah adalah satu-satunya jalan untuk semua permasalahan ini? Ia bahkan rela menikah muda demi kemauan mereka, dan ini balasannya?Aziya mulai mengeluarkan air matanya, sampai akhirnya ia benar-benar terisak menyesali kejadian tersebut, menyesali bagaimana peristiwa dramatis menghampiri hidupnya saat ini.Aziya tak menyadari, seseorang telah di sana melihat apa yang ia lakukan."Aku baru tahu kalau tempat kerja bisa jadi tempat pelarian orang frustasi," kata sebuah suara dari arah belakangnya.Aziya terkejut, dari suaranya ia tahu kalau pria itu adalah pria yang mengritisi meja kantornya tadi.Selagi mengusap air matanya, Aziya menatapnya kesal."Dari tadi kau terlalu ikut campur. Apa sih maumu?" kali ini Aziya bersuara sedikit geram karena marah."Hoho, tapi sebenarnya aku memang berhak ikut campur dengan semua urusan di sini. Termasuk menegur karyawan yang cuma tiduran dan pergi semaunya pada jam kerja. Oh ya, ini sudah malam, sebaiknya kamu pulang dulu, bukankah kau punya keluarga?"Aziya makin kesal saja."Terserah aku! Pergi sana, dan jangan terlalu ikut campur dengan urusanku!"Pria itu tersenyum miring, ia tak menyangka mendapatkan perlawanan keras dari Aziya, tapi sebenarnya dia hanya akan mengalah saja. Sengaja, karena apa yang ia lakukan saat ini adalah sesuatu yang ia nantikan. Ia mencari saat yang tepat untuk terlibat dengan wanita ini."Kenapa nggak pergi? Bukannya pergi malah melotot begitu?" cerca Aziya lagi. Suasana hatinya benar-benar buruk."Begini, tadi aku meletakkan dompet di situ, jadi di mana kamu menyimpannya? Apa kau mengambilnya?"Mengambilnya? Apa itu tuduhan untuknya. Dengan kesal Aziya bangkit dan melihat-lihat, tapi tak ada dompet di mejanya.Dan ternyata ia melihatnya ada di bawah meja."Tuh, ada di situ. Ambil sana sendiri dan cepat pergi dariku!" sergahnya."Baiklah tuan putri, tak masalah aku mengalah saat ini, tapi suatu hari nanti kita akan impas," jawab pria itu lalu mengambil dompet di bawah meja."Impas?"Pagi harinya, seseorang menggerakkan bahu Aziya sedikit mengguncang. Aziya tertidur pulas menelungkup di atas meja karena capek menangis, wajahnya bahkan sudah kacau tak karuan."Zi, bangun. Ada pelantikan bos baru pagi ini, cepat persiapan," ujar seorang lelaki yang merupakan teman sejawat Aziya."Hah, apa?" Aziya bangun, tapi belum sadar sepenuhnya. Iapun melihat ke sekelilingnya yang sudah terang benderang. Beberapa teman sekantornya melihatnya dengan senyum-senyum, sedang Aziya menatap linglung."Bangun Zi, kamu nggak pulang semalam?" tanya Roni sambil menumpuk beberapa berkas di hadapannya. "Ngapain aja? Mentang-mentang mau jadi istri orkay," sindir pria itu.Aziya menggaruk tengkuknya, mengingat apa yang terjadi, bahkan ia tak perduli soal sindiran Roni."Astaga, apa ini sudah jam kerja?" katanya sambil melihat arlojinya. "Ah, gimana ini, aku belum mandi," desis Aziya kebingungan."Buat apa mandi, toh yang bakal naik pangkat suami kamu sendiri," cicit Anggara yang juga menonton
Aziya meringis menahan perih di pipinya. Ia menatap marah pada Reza."Sudah kubilang jangan pernah menyentuhku, gila kamu ya!" pekik Aziya, ia benci karena sentuhan Reza di kulitnya disisi kelakuan pria itu."Siapa bilang aku menyentuh kamu, aku menampar mulut ember jebol kamu biar tau rasa!"Saat itu, seseorang nekat mendekati dan melerai mereka."Ssstt, berhentilah bertengkar. Pak Arthur sudah meminta kita untuk berkumpul di ruang rapat utama. Ayo cepat!"Kalau saja bukan karena situasi itu, mungkin saja pertengkaran Aziya dengan Reza masih terjadi, maka Reza segera beranjak pergi.Pria itu terlihat bangga dengan jabatan barunya. Berbeda dengan Aziya yang sudah tak sanggup lagi untuk mengikuti rapat sehingga ia berbalik arah untuk pulang saja. Tak perduli jika pada hari itu ia harus dipecat, ia sudah tak perduli!Aziya meninggalkan aula rapat untuk pulang. Toh ia sudah biasa pulang sendiri karena Reza biasanya tidak akan pulang bersamanya meskipun mereka punya jadwal waktu yang sam
Mendengar suara Mama Reza di luar kamar, hati Aziya menjadi lega, ia sangat terganggu dengan gedoran pintu oleh Reza yang sangat kasar. Setidaknya meskipun ia tidak yakin dengan sikap Nurlela ibu Reza, setidaknya akan menghalangi kekerasan yang mungkin dilakukan putranya itu."Aziya! Ini mama, ayo buka pintunya!" Nurlela memanggil Aziya dan sempat melihat ke arah Reza yang pucat pasi."Mama dengar kamu naik jabatan, mama baru saja mau kasih ucapan selamat, tapi mama terkejut saat mendengar Aziya menelpon mama untuk menyelesaikan masalah rumah tangga kalian. Kenapa kalian bertengkar sehingga Aziya mau bercerai?""Huh, memangnya kenapa dia harus bawa-bawa orang tua segala? Masalah kami bisa kami selesaikan sendiri, Ma. Mama nggak usah ikut campur. Sebaiknya mama dan papa cepat pulang saja dan jangan percaya dengan ocehan gila Aziya," kata Reza dengan penuh emosional."Mama tidak suka ikut campur urusan rumah tangga kalian, hanya saja Aziya bilang kalau hari ini dia ingin bercerai dengan
Baiklah, sepertinya ini memang harus diperjelas di hadapan mama Reza supaya tidak ada lagi yang tersembunyi, batinnya.Aziya menegakkan kepalanya, menatap ke arah Reza lalu bergantian menatap mama Reza yang sedang menunggu penjelasannya."Kamu itu pasti sudah nidurin Davina, mas, iya kan? Coba ngaku sama mama, Mas. Jangan hanya aku yang dianggap membangkang, dianggap jahat. Sebenarnya aku begini karena kamu bukan?" cibir Aziya."Apa? Apa maksudmu? Reza nidurin Davina?" kata Nurlela terkejut dengan ucapan Aziya, apa Aziya sedang memfitnah putranya? "Apa kau sungguh melihatnya langsung?" tanya wanita itu lagi.Tak ada jawaban dari mulut Aziya. Ia malah disibukkan dengan bayangan menakutkan kejadian tadi malam. Begitu juga Reza yang hanya terdiam sementara ibunya menatapnya seolah menunggu pengakuan dari putranya.Selagi kebingungan, sekarang orang tua Aziya telah sampai di rumah mereka dan menghampiri. Kebetulan mereka memang sedang ada di Jakarta karena ada urusan keluarga di sana."Az
"Tidak mungkin!" kecam Aziya yang begitu kesal. Tidak seharusnya Reza mengambil dan mengganggu kedua anaknya yang sudah bisa adaptasi dengan baik di rumah neneknya. "Aku tidak akan menyerahkan kedua anakku pada kalian selamanya!""Aziya...kalau kamu tidak ingin berpisah dengan anak-anak, sebaiknya kamu kembali ke rumah ini dan batalkan saja gugatan cerai kamu, dengan begitu kalian bisa berkumpul lagi. Bagaimana?" kata mertua Aziya. Wanita itu berjalan santai ke sisi jendela besar dan membuka jendela rumah lebar - lebar, memberikan celah udara segar dari kebun kesayangan Aziya. Yah, setidaknya hal itu mengganti dan mengisi udara ruangan mereka tersebut yang mulai memanas.Bersyukur rasanya dulu Aziya rajin merawat bunga. Dia sungguh butuh banyak oksigen untuk bisa bernapas saat ini.Membayangkan kembali pada Reza sama saja kembali ke neraka mengerikan, itu tidak ada dan terjadi lagi dalam kamus hidupnya."Ma, aku tidak akan kembali sama mas Reza selamanya. Dia berselingkuh dengan sepup
Perkataan Aziya soal keluarganya yang abnormal, memang tidak sepenuhnya salah. Ia begitu tersinggung dengan tuduhan itu, tapi begitulah adanya, bahwa ayahnya, dia dan juga kakak lelakinya punya perilaku yang mirip. Hanya perempuan sial saja yang akan bertahan di dalam mendampingi pria keluarganya."Sial! Kenapa aku harus perduli dengan omong kosong Aziya?!" desisnya.Intinya kedua anaknya harus bersamanya tak perduli bagaimana pun kelakuan keluarganya! TITIK!Sementara mereka saling melemparkan pandangan tajam, Aziya juga tidak akan menyerah begitu saja. Ia sangat kuatir kalau kedua anaknya berada dalam lingkungan tak terdidik.Seperti rencananya semula, Aziya melangkah menuju ruang HRD dan bertemu dengan Ibu Nuri, wanita berperawakan tinggi dan sedikit antagonis. Wanita itu segera bertanya soal tujuan Aziya menemuinya di ruangannya.Aziya menjelaskan semuanya, termasuk rencana bercerai dengan Reza. "Pindah posisi? Bukankah posisi kamu sudah cukup bagus?" "Benar, tapi saya tidak men
Bu Nuri terdiam, ia tidak tahu berapa gaji yang diberikan untuk asisten seperti ini."Menurutku, kau bisa bertanya langsung dengan Pak Galih soal gaji itu. Saya sungguh tidak tahu. Kau juga bisa bernegosiasi langsung dengannya. Oke?"Aziya mengangguk, ia akan mencoba negoisasi terbaik esok hari.Keesokan harinya, Aziya benar-benar berpakaian santai tanpa riasan. Iapun menuju lantai dimana atasannya berada.Sudah hampir dua tahun, Aziya bekerja di perusahaan Hans GL. Akan tetapi tak pernah sekalipun ia menginjakkan kaki di lantai dua puluh milik Galih Purnama, seorang CEO sekaligus pewaris perusahaan multinasional itu.Rumor mengatakan, Galih Purnama adalah seorang pria yang sangat tegas dan tanpa kompromi.Panas dingin hawa yang keluar dari tengkuknya, apalagi di tangannya kini mengeluarkan keringat dingin semakin banyak, memikirkan seperti apa sosok pak Galih yang kontroversial itu.Ia sudah memakai setelan kasual, wajah polos tanpa make up dan tas kecil berwarna hitam menyilang di p
"Pak, saya tidak akan memakai kosmetik, berpenampilan menarik atau menggoda Pak Galih. Saya tahu batas karena saya juga punya suami, punya anak. Tapi...""Alasan kamu menghindari menjadi bawahan Reza...apa tidak ada maksud lain?"Bah! Seharusnya ia bertanya pada dirinya sendiri, batin Galih.Aziya menunduk dalam, sebutir air matanya hampir keluar di sudut matanya."Masalah ini...""Ini terlalu beresiko. Kau berpenampilan cukup buruk seperti ini, apa tidak mengganggumu?"Dalam hati Galih tertawa lebar, selama ini ia menantikan saat melihat wanita ini terlihat sangat buruk.Aziya menggelengkan kepalanya, "Tidak, Pak.""Baik, terserah kalau begitu. Besok, berangkat lebih awal, menghafal password apartemen dan juga pergi ke binatu. Siang harinya, ikutlah denganku untuk menyiapkan perlengkapan rapat dengan kolega dari Turki. Tugasmu hanya membersihkan ruangan dan menyiapkan peralatan, mengerti?""Siap, Pak. Apakah saya harus memakai pakaian khusus untuk pertemuan itu, Pak?" tanya Aziya pol
"SELAMAT DATANG.... SELAMAT MALAAAMMM!"Suara riuh mengejutkan Aziya luar biasa. Bahkan suara keras dan teriakan itu secara bersamaan semua yang ada di situ.Aziya terpaku dalam keterkejutan.Ia melihat semua orang ada di sana. Ada kedua orang tuanya, ada juga kedua orang tua Galih dan juga Guntur dan Celine.Begitu juga Deo dan istrinya juga bibi Elena.Sementara ketiga anaknya terbaring di dalam ranjang kecil di sudut ruangan. Mereka seperti baru saja berpesta karena banyak sekali bekas makanan dan camilan di beberapa meja hidangan. Tentu saja semua ini membuat Aziya menitikkan air matanya.Iapun melempar tas miliknya secara asal dan menghambur memeluk kedua orang tuanya sambil menangis haru.Ia juga memeluk kedua orang tua Galih dengan deraian air mata juga.Haru dan juga rasa rindu membuatnya ingin menangis sejadi-jadinya. Dan akhirnya iapun menyalami Guntur dan memeluk Celine sebagai ungkapan betapa bahagianya ia saat ini bisa bertemu kembali dengan orang-orang yang ia sayangi.
Aziya memutar kepalanya, menatap ke arah pria yang terkonsentrasi dalam mengemudi. Jalanan memang lengang, tapi ada beberapa lubang yang dalam perbaikan sehingga butuh konsentrasi."Kecuali?""Kecuali kau yang meminta perceraian terjadi.""Apakah Azga adalah tujuanmu untuk mengatakan semua ini? Untuk mengambilnya dariku?" sergah Aziya panik."Aziya, apa aku sekejam itu padamu?" jawab Galih bersamaan dengan gerakan lambat mobil tersebut dan roda yang berdecit tiba-tiba."Jawablah, apakah aku berharap perpisahan? Berapa kali aku mengatakannya? Aku selalu bilang bahwa kau harus kembali, tidak akan ada pertanyaan menjijikkan seperti itu, Aziya!""Tapi...""Jika kau mencintai Azga, kau juga tidak bisa memisahkan dia dariku."Aziya lagi-lagi kalah telak dengan ucapan Galih. Apakah hatinya telah meleleh bahkan di tengah malam yang dingin ini?Tiba-tiba secara tidak langsung kehadiran Galih membuatnya merasa hangat, membuatnya merasa hidup.Ia bisa merasakan detak jantungnya yang mulai bersem
"Mana kutahu, sejak tadi cuma sambutan tapi belum juga kelihatan siapa orangnya," balas Aziya.Galih hanya tersenyum dan melihat ke arah podium. Acara sambutan masih dilangsungkan, dan iapun harus bersikap lebih terhormat karena sambutan itu memang untuk dirinya.Pembicaraan terputus setelah sebuah nama disebutkan."Mari kita perkenalan direktur muda baru kita malam ini. Beliau adalah Bapak Galih Purnama yang berasal dari Jakarta... mohon kehadirannya di podium...."Aziya yang mendengar hal itu langsung membelalakkan saking terkejut."Ka-kau...""Demi putraku, aku akan disini untuk kalian, Aziya," bisik Galih pada Aziya sejenak sebelum pria itu pergi menuju podium.Aziya masih gagap tak percaya. Bagaimana mungkin Galih mengatakannya. Bagaimana mungkin dia harus menjadi bawahan Galih untuk yang kedua kalinya."Oh tidak, apakah ini cuma mimpi?" gumamnya.###Setelah berlalu acara penyambutan tersebut Aziya masih belum bisa percaya. Ia telah terperangkap sekuat ini dalam kehidupan Galih
Arkan hanya memandang wanita itu tergesa berlari ke ruangannya, sementara itu Galih memandang dari sudut tersembunyi di dalam ruangan itu juga.Arkan menghampiri Galih."Kau harus berterimakasih kepadaku setelah ini," katanya memberikan ultimatum."Ah, bilang saja kamu nggak bakal memenangkan kompetisi ini, sehingga kau menyerahkan kekalahan mu sebelum memulai.""Jangan gila, kau punya anak darinya, aku tidak akan membuatnya semakin menderita hanya karena kalian berebut anak. Soal perasaan Aziya, apa kau mau coba aku merayunya?"Galih langsung mendelik, "Jangan coba-coba! Jangan pernah!"Arkan hanya nyengir melihat Galih ketakutan. Ia tak menyangka, lelaki yang terkenal wibawa dan piawai dalam bisnisnya ini hanya jatuh karena Aziya.Tuan Alfonso sangat mengakui kehebatan Galih sehingga ketika mereka membuat rencana menempatkan Galih di salah satu posisi perusahaan tersebut, pria tua itu samasekali tidak menolak. Itu karena kehebatan Galih memang tidak diragukan.Akan tetapi saat disen
"Aku sungguh tak mengerti apa yang kau pikirkan, memangnya aku bisa apa?""Tentu saja kau sangat bisa. Kau bahkan lebih baik dariku sekarang ini, aku bisa mengandalkan kamu tanpa ragu lagi, bukankah begitu?" kata Galih.Barulah Guntur mengerti bahwa Galih bermaksud menyerahkan tanggung jawab perusahaan kepadanya. Dan itu bukan masalah ringan karena semua akan mengalami kendala tanpa kehadiran Galih."Apa kau gila? Demi perempuan itu?""Hei, ayolah, demi aku, ya?""Tidak, aku juga punya tanggung jawab lebih besar sekarang ini, istriku sedang hamil, aku tidak mau membuatnya menderita karena sibuk dengan pekerjaan," ujarnya seolah menolak mentah-mentah kemauan Galih."Ayolah, aku tidak akan melupakan kebaikanmu, Hmm? Kau harus melakukannya demi kita bersama, oke?""Tidak mau, aku tidak yakin untuk kepentingan bersama, apalagi yang lebih penting sekarang adalah Celine, aku tidak perduli padamu," ejek Guntur semakin membuat Galih kesal.Akan tetapi akhirnya Guntur tidak bisa mengelak karen
Putranya itu makin tersenyum aneh. Raut wajahnya menyimpan sesuatu yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Bahagia, haru dan entah apalagi yang membuat ayah ibunya penasaran. "Apa yang sebenarnya kau dapatkan di sana? Kau seperti kesurupan," kata ayahnya mengomentari sikap aneh putranya."Iya, ini juga merasa aneh dengan tingkahmu. Ada apa sih sebenarnya?"Lagi Galih tersenyum, menunjukkan sikap senang dan bahagia."Anak Aziya... namanya Azga, anak itu sangat mirip denganku, wajahnya... matanya... rambutnya...""Tunggu, kau bicara apa? Apa kaitannya dengan wajah anak Aziya dengan kemiripannya denganmu?" sang Ayah mulai punya firasat sesuatu.Begitu juga ibunya yang terlihat kebingungan dan menautkan alisnya."Apa maksudmu? Apa kalian tidak sekedar punya kemiripan? Astaga, apakah itu mungkin?" kata sang ibu terkejut sendiri.Galih mengangguk menunjukkan ucapan kedua orang tuanya benar, dugaan mereka benar meskipun itu hanya sekedar pengakuan Aziya."Dia tidak menikah atau menjal
"Tidak, aku tidak setuju, kau bisa saja menganggap itu bukan masalah. Akan tetapi bagaimana bisa seorang anak lahir tanpa sebuah ikatan pernikahan? Setidaknya suatu hari sang anak harus tahu bagaimana rupa ayah yang sebenarnya. Aku ingin kau melakukan test DNA untuk memastikannya."Galih merenungi ucapan Leo. Mungkin ada baiknya ia melakukannya, memastikan apakah itu darah dagingnya atau bukan, meskipun itu semua tidak akan mengubah segalanya. ###Keesokan harinya Galih menemui Aziya.Ia sangat penasaran dan sangat berharap Aziya memberikan kesempatan untuknya bersama lagi apapun yang terjadi."Aziya... jelaskan padaku, kenapa kamu melakukan semua ini sehingga kau menghadapinya seorang diri semuanya. Aku ingin kau tahu bahwa semua ini begitu sulit bagiku," tanya pria itu sementara Aziya duduk di hadapannya dengan tertunduk.Aziya pun tahu, semua itu sulit bagi semuanya, untuknya juga. Akan tetapi waktu tidak mungkin terulang kembali. Apapun yang Galih ucapkan untuk menyalahkan diriny
Mata Galih membola, setelah mencerna apa yang baru saja ia dengar dari penjelasan Aziya."Maksudmu... kau tidak menikah tapi memiliki anak?""Uhm... maaf, itu...""Tunggu, katakan padaku, Aziya!" Aziya membeku, keringatnya sudah menetes di tengkuknya. Telapak tangannya mengeluarkan keringat dingin karena cemas.Sementara itu tangan Galih mencengkram pundak Aziya menuntut penjelasan. Akan tetapi wanita itu diam seribu bahasa."Ada apa denganmu? Kenapa kamu diam?"Ketegangan terlihat diantara mereka sehingga Azga melihat mereka dengan ketakutan. Bocah itu menangis dan merengek menyaksikan Aziya dibentak sedikit kasar.Galih menoleh, melihat ke arah bocah yang menangis itu sementara hatinya bercampur aduk tak menentu. Ia menatap atas pola wajah bocah itu dan tatapan matanya, seolah mengenali garis wajahnya berada di sana.Aziya menangis, lalu iapun melepaskan diri dari Galih, ia merasa sangat sedih saat ini, akan tetapi iapun merasa lega karena Galih telah tahu maksud dan arah pembicar
Seolah Galih bisa tahu apa yang dirasakan wanita itu. Pria itu seperti tidak pernah putus asa untuk mengejarnya. Aziya bisa merasakan, meskipun Galuh berusaha bersikap hormat untuk menghargainya sebagai istri orang lain, Aziya bisa merasakan betapa Galih mencintainya."Kenapa kau berkata begitu?" jawab Aziya lemah."Karena aku melihat kamu tidak bahagia, Aziya. Jujur, aku merasa sakit dan tidak adil, aku tidak bisa melepaskan begitu saja jika kau seperti ini," kata Galih kemudian."Sama sepertiku, aku tidak bisa mencintai wanita lain setelah berpisah denganmu, dan maafkan aku karena terpaksa mengatakan semua ini, tapi itulah yang terjadi. Aku datang bukan karena tanpa tujuan... itu semua karena aku belum bisa melepaskan kamu bersama orang lain."Aziya tercenung dalam pikirannya yang kalut. Ia berfikir Galih telah bahagia bersama Isabella. Ya, ia pergi dengan hati yang perih di malam itu karena rasa cemburunya yang tak tertahankan. Ia merasa tidak percaya diri dan direndahkan oleh suam