Hari ini adalah hari yang begitu menyenangkan bagi Sadia. Akhirnya ia akan bertemu Ahsan! Ahsan akan datang menemui Sadia, karena Sadia tak diizinkan untuk pergi dari rumah itu. Sadia sudah membuat nasi goreng dan sup kesukaannya, sebagai kejutan. Ia juga meminta Bi Sum dan pembantu lainnya untuk beristirahat hari ini, karena ia ingin memasak sendiri untuk makan siang hari ini.Sama sekali tak ada laki-laki di rumah itu, kecuali para penjaga di luar. Karena itu, Sadia memutuskan untuk tidak mengenakan jilbab. Ahsan adalah sepupunya sekaligus saudara susunannya, karena ibunya dulu ikut memberinya asi ketika ia bayi ketika bibi Alya selalu sibuk. Jadi, Ahsan adalah mahramnya juga.Hari ini, Sadia merasa bebas. Ia menyenandungkan lagu kesukaan Naya, adiknya, sambil memasak. Jam setengah dua belas siang, semuanya sudah siap. Seketika Sadia merasa seolah ada seseorang yang sedang memperhatikannya di belakangnya. Langkahnya terhenti."Tidak! Jangan sampai itu adalah pria brengsek itu! Aku s
Sadia masih terlelap dalam tidurnya. Namun dari jarak sekian meter, ia mendengar suara-suara keributan di luar sana, membuat tidurnya terganggu."Beraninya kau bicara seperti itu padaku!? Aku akan meminta Husam untuk mengusirmu dari rumah ini, jalang!" Pekik suara wanita itu tak mau kalah dengan suara wanita lainnya.Sadia tergelagap bangun dari tidurnya."Kau pikir, Husam memilihmu? Hahah, kau salah besar! Dia tidur bersamaku selama empat malam berturut-turut," balas wanita yang suaranya sudah sering Sadia dengar, sudah pasti suara Kiara, membuat Sadia langsung merasa jijik.Sadia tak ingin menguping, namun suara mereka benar-benar keras sehingga mau tak mau ia tetap mendengarnya. Bergegas ia bangkit dari tempat tidurnya, mengucek kedua matanya yang masih terasa lengket di pagi yang masih begitu dingin itu.Ia membasuh muka lalu beranjak keluar kamar setelah melingkarkan jilbab longgar di kepalanya. Keributan dari ruang depan benar-benar mengganggunya, membuatnya ingin tahu apa yang s
"Bocah itu benar-benar sudah kehilangan akal!" Bi Sum terus menggerutu sambil memeriksa memar di leher Sadia.Mulut Sadia terkatup rapat tak bicara sepatah kata pun. Ia masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Selama ini belum pernah ada orang yang menyakitinya begitu keras, bahkan bibinya sendiri tak pernah melakukan itu padanya. Ia tak menangis lagi, air matanya sudah benar-benar kering sekarang."Entah apa yang akan terjadi jika aku tak datang tepat waktu. Aku bahkan tak berani memikirkannya," ucap Bi Sum sembari menghela napas panjang.Sadia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ternyata ia sedang berada di kamar Bi Sum. Bi Sum dan Mala berbagai ruangan kecil ini sebagai kamar."Lihat ini, ada memar di lehernya. Bagaimana bisa dia melakukan itu pada istri sendiri!?" Bi Sum menggelengkan kepalanya lagi dan lagi.Sadia mencoba untuk bersikap tenang tetapi ketika tangan Bi Sum menekan lehernya, tiba-tiba terasa begitu sakit."Sakit, Bi Sum!" pekik Sadia tanpa sadar di sel
Tegang.Seketika mata Sadia terbelalak. Darahnya berdesir ketika baru saja menyadari bahwa yang baru saja menenangkannya dalam pelukan hangat itu bukanlah Malik. Ia baru sadar dengan siapa ia berhadapan kali ini. Tubuhnya menegang, menyadari ia baru saja mencari mati dengan pria itu.Kebingungan mulai melanda pikirannya, tak tahu harus bagaimana menghadapinya. Jantungnya berdegup cepat menolak untuk tenang. Lengan Husam perlahan meninggalkan sisi pinggang Sadia, membuatnya kaget sekaligus terpukul. Pria itu sama sekali tidak mendorong Sadia untuk menjauh untuk kesalahan yang baru saja ia lakukan.Sadia mulai merutuki dirinya sendiri. Entah apa yang ia pikirkan. Ia sudah menikah, namun masih memikirkan pria lain, itu sama saja seperti berselingkuh. Rasa bersalah mulai menggerayapi hatinya. Rasa itu semakin bertambah ketika ia beringsut menjauh dari Husam.Pria disampingnya itu sama sekali tak menoleh. Wajahnya pun datar tanpa ekspresi. Namun matanya terlihat masih bengkak dan sembab.
Malik tiba-tiba berbalik lalu menarik dan mendorong Sadia ke belakangnya, membuat tubuhnya gemetar ketakutan karena takut mimpinya menjadi kenyataan. Pistol di tangannya masih diarahkan ke Malik, Ken dan anak buahnya yang lain berdiri di belakangnya."Hu.. Husam, aku bisa menjelaskannya." Tergagap Sadia mencoba untuk bicara, namun kata-katanya terhenti begitu saja ketika Husam meletakkan jari telunjuknya di bibirnya."Ssst! jangan katakan sepatah kata pun. Aku tidak ingin mendengar suaramu. Itu hanya akan menambah penderitaanmu nanti." Husam menegaskan dengan penuh kebencian dan dendam."Jangan bicara seperti itu padanya. Aku tidak akan pikir-pikir dahulu sebelum membunuhmu." Malik menjawab dengan dendam dan kepahitan yang sama. Husam hanya terkekeh.Sadia menatap Malik dengan penuh harap, baru kali ini ia merasa ada seseorang yang membelanya di depan pria brengsek itu. Husam melirik Sadia yang pandangan matanya masih tertuju pada Malik, entah apa yang ia pikirkan kali ini"Jauhi dia,
Tamparan keras itu menyisakan sebercak memar di pipi Husam. Rahangnya mengeras dan matanya menggelap menatap gadis di depannya. Kebencian memenuhi dirinya.Sadia menatapnya dengan tatapan yang sama. Kedua orang itu sama-sama saling membenci. Namun Sadia merasakan sebuah kepuasan karena berhasil melakukan sesuatu yang sudah lama ia inginkan, menampar Husam."Ini adalah kesalahan!" celetuk Husam."Kaulah kesalahan itu!" balas Sadia dengan cepat. Husam membalasnya dengan kekehan mengejek."Kau tak tahu apa yang baru saja kau lakukan. Kau akan menyesalinya." Husam menyeringai seram. Ketakutan mulai menguasai diri Sadia, namun ia dengan pandai menyembunyikannya."Apa yang akan kau lakukan hah? Kau akan membunuhku? Aku tidak takut mati! Ayo tembak aku sekarang! Kau benar, aku tidak punya keluarga, tidak akan ada yang peduli aku hidup atau pun mati. Silahkan bunuh aku, aku tidak peduli!" Sadia mencengkeram lengan Husam dengan putus asa.Dengan cepat, Husam mengarahkan pistolnya ke dahi gadi
Beberapa hari sebelumnya...Husam duduk di sisi tempat tidurnya. Pikirannya kelayapan. Begitu banyak masalah yang terjadi akhir-akhir ini. Tangannya perlahan bergerak mencari kokain yang sebelumnya ia simpan rapat-rapat di tempat yang hanya ia sendiri yang tahu.Baru saja ia hendak membuka bungkusan kokain itu, ia melihat sosok seorang wanita mengintip dari pintu kamarnya yang setengah terbuka. Ia tahu betul siapa itu, wanita itu memang punya kebiasaan buruk suka mengintip dan mencampuri urusan orang lain, itu benar-benar membuatnya kesal. Ia merasa sudah saatnya memberinya pelajaran.Setelah ia selesai dengan sebungkus kokainnya, bergegas ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke luar dengan penuh amarah. Ia turun ke lantai dua dan langsung menuju kamar Sadia.Terlihat gadis itu sedang terlelap, dengan rambut hitam panjangnya yang menjuntai indah dan sebagian menutupi wajahnya. Rambut yang biasanya selalu tertutup rapat, kini bisa ia lihat lekat-lekat.Perlahan Husam melangkah mendeka
Masih beberapa hari sebelumnya...Husam berada di markas persembunyiannya sejak pagi hari. Ia tidak ingin kembali ke rumah, setidaknya belum untuk saat ini."Apa yang dia katakan?" Husam bertanya sambil menandatangani surat-surat yang diletakkan Ken di hadapannya.Ia menandatanganinya dengan pena hitam yang dulu diberikan oleh Clara ketika mereka masih bersama. Dengan pena itu, kenangannya bersama Clara masih terasa hidup. Kenangan itu seringkali terlintas di kepalanya, namun ia bisa mengabaikannya."Dia bilang kalau dia tahu tentang kesepakatanmu dengan Daniel. Mereka juga tahu tentang Sadia sejak kau menikahinya, mereka berpikir bahwa dia mungkin adalah kelemahanmu."Husam mendengus geli mendengar seseorang berpikir bahwa gadis itu adalah kelemahannya. Mereka benar-benar bodoh, pikirnya. Namun jika mereka benar-benar mencelakai siapapun yang ada di rumahnya, ia pun tak akan segan-segan untuk membalas mencelakai keluarga mereka, bahkan jika memungkinkan ia bisa membalas dendam dengan
Flashback On"Yang itu! Akan kucoba." Husam meneguk cairan cokelat keemasan itu dan merasakan sensasi terbakar di tenggorokannya.“Kak, ayo pulang. Kita sudah mencoba selama beberapa jam. Ini hanya membuktikan bahwa kau sudah tua sekarang," ucap Ken. Husam menatap tajam ke arah Ken yang membuang muka dengan seringai dan meminum vodkanya sekaligus dalam satu tegukan. "Jangan menatapku seperti itu. Aku tidak percaya kita melakukan ini. Kita bahkan tidak terlihat seperti Mafia." Ken mengeluh, di saat Husam mengamati kerumunan untuk mencari gadis yang cocok."Diam saja dan biarkan aku berpikir," ucap Husam geram. "Beri aku satu kesempatan lagi," pintanya.Ken berbicara kepada bar tender lalu kemudian kembali pada Ken. "Kau tahu, ini ide bodoh! Betapa tidak masuk akalnya kau? Ayo lompat ke rencana B." "Dia akan mulai membenciku. Itu saja yang aku inginkan. Aku tidak ingin dia ..." Husam menggantung kata-katanya ketika seorang gadis pirang datang menyapanya."Halo tampan. Keberatan jika a
Sadia berdiam diri di kamar hingga berjam-jam, memikirkan bagaimana cara untuk menghadapi Husam, terutama untuk memikatnya. Sikap Husam akhir-akhir ini benar-benar mengacaukan pikiran Sadia. Ia bersikap seolah ingin Sadia menjauhinya, namun matanya memohonnya untuk tetap bersamanya.Sadia tak mengerti mana yang benar. Namun yang ia tahu, Husam tak pernah lagi selingkuh, ia tak pernah lagi tidur bersama wanita lain. Dan itu sudah cukup sebagai bukti bagi Sadia bahwa Husam mencintainya.Setelah Sadia selesai melaksanakan shalat Isya, ia kembali menunggu Husam. Sadia merasa ia harus melakukan sesuatu untuk membuatnya menyatakan cintanya padanya, atau setidaknya menunjukkan padanya bahwa ia tertarik padanya. Sadia memikirkan cara untuk memikatnya dan muncullah sebuah ide konyol. Ia memutuskan untuk merayu Husam.Tak ada salahnya, bukan? Seorang istri boleh merayu suaminya, bukan? Sadia menarik napas dalam-dalam sambil menatap bayangannya sendiri di cermin. Sadia tidak tahu bagaimana cara
FLASHBACK ON“Ada apa Bu?” tanya Husam begitu memasuki kamar tamu.Husam melihat ibunya berdiri menatap keluar jendela. Wanita itu dengan cepat membalikkan badannya begitu menyadari kehadiran Husam. Terlihat bulir-bulir keringat menetes dari pelipisnya."Husam, aku ingin kau tahu sesuatu," ucapnya. Suaranya terdengar gelisah, ia tampak gugup. Husam mengernyitkan dahinya.Risa beranjak duduk di tempat tidur. Husam mendekatinya, lalu berlutut di depannya. Tak peduli apapun yang telah wanita itu lakukan, bagi Husam ia tetap ibunya dan ia masih mencintainya."Ada apa? Apakah semuanya baik-baik saja, Bu? Apa ada yang menyakitimu?" tanya Husam.Risa terlihat kaget saat mendengar Husam kembali memanggilnya dengan sebutan 'ibu'. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali Husam memanggilnya ibu.Husam sadar, biar bagaimanapun, ia harus tetap memperbaiki hubungannya dengan ibunya. Ia ingin semuanya kembali seperti semula. Dengan begitu, Sadia akan ikut senang melihat suaminya kembali dekat dengan
"Perlakukan dia dan ambilkan aku semua foto dari pesta itu. Aku ingin pengkhianat sialan itu di bawah kakiku,"Ancam Husam sambil menangkup wajah Zauq yang hampir tidak sadarkan diri dengan kedua tangannya. Ia menekan jari-jemarinya dengan kuat agar pria itu tetap sadar. “Dan sebaiknya kau jangan berbohong atau aku akan membunuh keluargamu dulu, dan selanjutnya kau. Aku akan menyiksa mereka tepat di depan matamu sampai kau tidak bisa lagi menerimanya dan memohon padaku untuk mempercepat kematianmu," ucap Husam sambil mendorong wajah kasar tawanannya itu sebelum akhirnya ia melangkah pergi menjauh dari sel.Husam ingin semua anak buahnya mengerti betapa kejamnya dirinya yang sebenarnya. Mereka harus melihat betapa berbahayanya dirinya terhadap orang-orang yang mengkhianatinya. Ia ingin hal ini akan menjadi pelajaran untuk mereka semua. Ia menyebut dirinya sebagai monster dan ia bangga dengan sebutan itu. Ia tak akan pernah membiarkan satu orang pun menghalangi apa yang ingin ia lakukan.
"Kak Husam .. Kami mendapat masalah. Kau harus segera datang ke markas ruang bawah tanah." Terdengar suara Dian, salah satu sahabat Husam melalui sambungan telepon yang ia genggam di telinganya."Oke, aku akan ke sana," jawabku Husam.Dian adalah komandan kedua Husam. Mendengar nada suaranya yang begitu panik, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sangat buruk. Husam menjadi ikut panik. Udara di sekitarnya terasa menjadi panas.Matanya kembali menatap sosok cantik yang tertidur lelap di tempat tidurnya. Bulu matanya yang lentik terlihat begitu indah tersemat di bawah kelopak matanya. Dadanya turun naik seiring nafasnya yang ringan. Selimut putih menutupi separuh tubuhnya, menyembunyikan lekuk tubuhnya.Ia merasakan sesuatu bergejolak dalam dirinya. Ia ingin segera merengkuh wanita itu dalam pelukannya lalu tidur bersamanya. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan hendak mengecup lembut dahinya, namun ia tak bisa merasakan kulit lembutnya karena yang ada di depannya kali ini hanyalah sebuah la
"Jangan berani menyentuh barang-barangku lagi!" ucap Husam ketus, mengabaikan pertanyaan terakhir Sadia.Pria itu berjalan ke samping lemari untuk mencari sesuatu, membuat Sadia menjadi kesal. Ia bergegas berjalan menghampirinya lalu membalikkan bahunya sehingga ia bisa menghadapnya."Jangan ganti topik. Aku ingin jawaban. Aku telah menanyakan sesuatu dan kau harus menjawabnya!" ucap Sadia setengah berteriak, mencoba membuat Husam takut. Namun, pria itu justru bersikap seolah sama sekali tak mendengarnya."Jangan terlalu percaya diri. Aku punya kamera di seluruh ruangan di rumah itu. Bukan hanya di kamarmu! Aku mencoba mencari pengkhianat itu, dan dia bisa jadi siapapun yang tinggal di rumah itu," ujar Husam. Suaranya mengandung kebencian. Rasa sakit terpancar dari mata Sadia, ia mengedipkan matanya dengan cepat agar air matanya tak jadi tumpah."Aku sama sekali tak ingin memperhatikanmu!" Husam membuang muka, mengabaikan air mata di mata Sadia."Aku sudah memberitahumu. Aku hanya be
Keesokan harinya Sadia terbangun dengan kepala terasa pusing. Ia tidak benar-benar tidur semalam. Ia tidur hanya sekitar satu setengah jam saja. Sakit yang ia rasakan dalam hatinya membuatnya gelisah sepanjang waktu. Naya tidur di kamar lain, dan Sadia menangis sendirian sepanjang malam, bahkan ketika matanya sudah terlelap, tangisnya belum berhenti mengalir "Aku harus bertanya pada ibu mertua, apa yang sebenarnya terjadi? Jika Husam tak mau memberitahuku, maka aku harus mencari tahu sendiri," ucap Sadia memutuskan.Dalam sujudnya pagi ini, ia masih menangis, meminta pada Tuhannya agar hari ini ia menerima sesuatu yang baik. Kata-kata Husam kemarin benar-benar membuatnya hancur.Setelah ia selesai menunaikan ibadahnya, Sadia bergegas ke kamar Naya, ternyata ia masih tidur. Sadia pun bergegas ke dapur untuk meminum segelas susu. Ia merasa begitu lemah dan lelah, ia membutuhkan energi untuk mengembalikan tenaganya. Sepagi itu, biasanya dapur masih kosong dan terkunci karena belum ada y
Sadia merasa begitu bersemangat membawa nampan berisi semangkuk mie ayam itu ke kamar Husam."Dia pasti akan menyukainya," gumamnya. Ia mengetuk pintu kamar Husam beberapa kali hingga akhirnya ia mendengar suara dari dalam."Masuk." Suara Husam terdengar serak.Sadia menghela napas dalam-dalam sebelum ia mendorong pintu itu yang tak lagi terkunci. Perlahan pintu itu terbuka dan pemandangan yang Sadia lihat di depannya membuatnya benar-benar terkejut. Semua barang berserakan di lantai. Husam memang sering melakukan itu ketika ia sangat marah. Tapi, setahu Sadia, Husam sangat menyukai kamar ini karena kamar ini merupakan hadiah dari ayahnya untuk ibunya. Kali ini sepertinya Husam benar-benar marah hingga ia sampai menghancurkan kamar kesayangannya. Sesuatu yang mengerikan telah terjadi hari ini.Sadia menatap punggung Husam yang membelakanginya. Terlihat sebatang rokok terjimpit di jemarinya. Perlahan Sadia melangkahkan kakinya dengan hati-hati karena tak ingin kakinya terluka karena pe
Sadia tak lagi bersemangat untuk bermain bulutangkis setelah Husam pergi. Ia sedari tadi hanya berdiri di sudut. Pandangan matanya seolah memperhatikan Naya dan Ken, namun pikirannya entah di mana. Ia menunggu Husam kembali hanya agar ia bisa mengagumi ketangkasan dan ketampanannya sekali lagi."Sadia, kenapa diam saja?" tanya Ken melihat wanita itu tak merespon bulutangkis yang baru saja ia arahkan padanya. Sadia terdiam, membuat Ken terpaksa berkata lagi. "Ayo, bermain lagi!" ucapnya, namun Sadia tak menghiraukannya.Sadia mengetuk-ngetukkan kakinya ke tanah, sambil sesekali menatap ke arah pintu rumah, berharap pria itu muncul dari sana. Tapi tak ada. Sekitar dua puluh menit sudah berlalu, dan sama sekali tak ada tanda-tanda Husam akan datang. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi dan kembali ke kamarnya."Naya, ayo kembali ke rumah sekarang. Kau harus istirahat. Kau belum boleh terlalu kelelahan." Sadia meminta adiknya untuk ikut. Naya terlihat menghela napas kesal namun mau tak mau