Setelah 5 hari berada di Bali, Aoi ingin pulang. Padahal jauh lebih lama dari yang di rencanakan yaitu 7 hari.
"Kenapa pingin cepet-cepet pulang?" tanya Makoto ingin tau, ia mengerti Aoi sangat senang dan betah di Bali bahkan istrinya itu suka mengajaknya ke pantai entah bermain pasir atau foto dengan sunset.
Aoi menghadap Makoto, akhirnya selesai pula menyisir rambutnya.
"Aku gak mau kalau kerjaan kamu di kantor jadi terganggu," ucap Aoi tak enak hati, pasti setelah pulang dan sampai di Jepang nanti pekerjaan Makoto menumpuk.
"Tapi Aoi? Kalau ayah kamu nanti heran kenapa kita pulangnya cepet?" Makoto tak ingin mengecewakan Amschel.
Aoi menggeleng. "Biar nanti aku yang bicara sama ayah. Ayo pulang, aku kangen ibu sama sahabatku juga," Aoi ingin mengajak Haruka dan Fumie ke Bali kalau saja ini bukan liburan ala bulan madu.
Makoto mengangguk saja, asal Aoi senang jika permintaannya di turuti.
**
Makoto membuka pintu kamar Aoi, istrinya tidak ada."Sayang? Kamu dimana?" Makoto rindu dengan aroma jeruk itu yang bisa menenangkan pikirannya kacau saat ini.Tak ada sahutan.Makoto mempercepat langkahnya, ia mencari segala sudut ruangan dari ruang makan, tengah, ruang tamu dan nihil tidak di temukan.Makoto menelepon Aoi, terdambung. Hatinya tidak tenang. Tak mau jauh-jauh dari Aoi, kangen memang berat apalagi yang sedang menjalani LDR-an."Kamu ada dimana sih? Aku panggil daritadi gak muncul-muncul," omel Makoto cepat, bahkan seperti emak-emak."Aku di belakang rumah, kesini aja."Makoto mempercepat langkahnya, setelah capek dan pusingnya minta ampun dari kantor terutama mencari pelaku itu yang masih belum bisa di temukan.Makoto bernafas lega, Aoi duduk sendirian."Aoi? Sini peluk," Makoto ingin mencari ketenangan dalam dekapan Aoi."Iya," Aoi memeluk Mako
Rumi berdecak kesal, sudah sekitar hampir 1 jam Nakura tak mau bicara."Rencana apaan Naku? Daritadi mikirnya kok gak kelar-kelar?" tanya Rumi gemas.Nakura menggaruk rambutnya yang memang gatal."Besok adalah rapat penting di kantor aku Rum, kamu tau? Aku kerja di perusahaan milik pak Makoto," pikiran Nakura masih bekerja keras mencari rencana yang pas untuk membalas dendam, melalui Makoto pasti Aoi akan marah dan tak terima.Rumi mengaga tak percaya. "Kapan diterima? Kok gak ngajak aku sekalian disana sih! Gak adil!"Nakura terkekeh. "Sekitar 3 hari yang lalu Rum. Aku juga pingin punya pengalaman kerja, aku mau hidup mandiri. Biaya kuliah sekarang kan mahal, aku gak mau uang ayah menipis. Kamu tau?" nada suara Nakura tercekat, matanya terasa perih ingin menangis.Rumi menggeleng, ia ikut merasakan kesedihan yang Nakura alami."Kenapa? Cerita aja Naku," Rumi mengusap bahu Nakura, sahabatnya itu ber
"Yah?" panggil Karin, Amschel mengalihkan fokusnya menatap sang istri."Iya? Ada apa ma?""Besok lusa ulang tahun Aoi. Ayah udah lupa?"Amschel menepuk dahinya. "Ya ampun, kenapa baru ingat ma. Ya udah, mulai sekarang persiapkan pestanya."Karin mengangguk. "Iya yah siap yah."***Haruka beranjak dari kasurnya, kebiasaannya setelah bangun tidur adalah melihat kalender.Haruka mengucek matanya. Ia terpaku pada tanggal 18 Juni yang sengaja di berikan lingkaran merah.Ulang tahun Aoi Mianami.Haruka menelpon Fumie, memberitahukan bahwa besok lusa itu saatnya Aoi bertambah umur."Wah Haru, kalau gitu kita harus beli kado sekarang. Ayo Haru, kita ke mall," Fumie sangat antusias, apalagi soal memilih hadiah."Ayo, tapi kamu aja yang pilih. Selera Aoi kan sama kayak kamu," Haruka menutup panggilan teleponnya, saatnya kejutan dimulai.***Aoi berjalan se
Nakura yang melihat itu semua pun geram. Berani-beraninya Aoi menolak Ryuji?Nakura menghampiri Ryuji yang menunduk, pasti perasaan pacarnya itu kecewa juga sedih."Sayang? Kamu kenapa?" tanya Nakura hati-hati.Ryuji menoleh. "Tolong kamu kasihkan ini ke Aoi ya?" setelahnya Ryuji pergi tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.Nakura masih bingung. "Ngasih kado ini ke Aoi? Mending buat aku aja," senyum bulan sabitnya itu terbit, asalkan Ryuji tidak tau pasti aman.***Aldebaran menatap Aoi yang hanya mencoret-coret buku tulisnya dengan asal. Aoi kesal?"Lo kenapa? Tumben banget gak memperhatikan dosen. Ada masalah?" tanya Aldebaran penasaran.Aoi mengangguk. "Mantan gue, ngasih kado tadi. Gak butuh! Udah pernah bikin gue nangis bilang putus tanpa sebab sekarang pura-pura sok baik. Ngeselin banget kan Al?"Aldebaran mengangguk saja daripada Aoi semakin marah. "Terus lo tolak kan past
Aoi tak semudah itu untuk mempercayai Makoto."Kalau emang nganterin ke klub itu bener, ya udah. Aku percaya," Aoi mengangguk. Tak perlu bertanya langsung pada Nakura, yang ada mencari masalah dan ribut saja.***Di kampus, dengan bahagianya Nakura membagikan undangan ulang tahunnya. Tentu saja di temani dengan Rumi, cewek bermulut pedas tapi savage di hati."Datang ya?" Rumi memberikan undangan pada geng cowok-cowok yang duduk berteduh di pohon rindang."Pasti ada dansa yang harus punya pasangan kan? Heh gue jomblo!" tolak cowok berambut acak-acakan, mungkin tak suka di sisir.Kedua alis Rumi menyatu. "Di suruh datang apa susahnya sih? Hargai Nakura dong. Udah susah-susah nyiapin pesta, dekorasi, sama makanan enak berkelas masih aja nolak," semprot Rumi dengan ketusnya, kedua tangannya berkacak pinggang.Semuanya tertawa."Pasti datang kok. Tenang aja."Nakura berdecak kesal, in
Aoi masih tak percaya, ia menemui Haruka dan Fumie ingin tau kejadian yang sebenarnya.Duduk di bawah pohon sakura menyejukkan hati dan pikiran. Fumie tak peduli dengan apa yang Aoi tanyakan, matanya terasa berat ingin tidur. Apalagi angin sepoi-sepoi meniup rambutnya terasa sejuk."Pak Makoto refleks Aoi, aku tau sih kalau Nakura emang sengaja melakukan ini. Mungkin inilah rencananya, gak mungkin juga kan dia mengundang kita datang ke pesta ulang tahunnya tanpa sebab?"Aoi mengangguk faham. "Aku merasa bersalah udah nuduh mas Makoto yang bukan-bukan. Apa dia bakal marah sama aku?"Haruka terkekeh. "Coba kamu masakin makanan kesukaan pak Makoto, atau gombalin, gak deh gak pas. Em-gimana kalau ci-""Haruka! Kok di cium sih?" sela Aoi cepat, sekarang pikirannya peka dengan cerdas.Fumie terperanjat kaget, tidurnya hampir nyenyak. "Aoi! Ngagetin aja sih. Aku lagi ngantuk nih!"Aoi dan Haruka tertawa, ternyata Fumi
Aoi membuka kelopak matanya, perutnya terasa mual. Aoi beranjak dari kasurnya.Makoto yang merasakan pergerakan dari istrinya itu heran."Tumben bangun jam segini?" Makoto menatap jam dinding menunjukkan pukul 3 pagi.Aoi mual-mual, Makoto segera mengetuk pintu kamar mandi."Aoi? Kamu masuk angin?" tanya Makoto khawatir.Diam beberapa saat."Aoi? Aoi? Aku boleh masuk?""Jangan!" seru Aoi panik. "Aku gak apa-apa kok.""Beneran? Coba kamu keluar dulu. Sini aku pijet dan kasih minyak telon," Makoto tak yakin Aoi baik-baik saja apalagi mualnya itu tak seperti dengan masuk angin.Aoi menghela nafasnya, kepalanya pun terasa pening."Padahal lagi musim semi mas, gak dingin juga, aku malah mual-mual. Aneh," gerutu Aoi kesal, tubuhnya terasa lemas setelah mual."Duduk disitu aja. Aku olesin minyak kayu putih," baru saja satu langkah, Aoi meraih tangannya. "Kenapa?"
Malam hari enaknya kumpul dengan keluarga, apalagi sambil nonton ikatan hati dengan camilan tentunya."Wah, calon bayinya mau cowok apa cewek Aoi?" tanya Amschel penasaran, pasti sifatnya juga menurun dari Aoi."Apa aja yah asalkan sehat. Cewek cantik cowok ganteng. Gak mungkin kan kebalikannya?"Makoto terkekeh mendengar jawaban istrinya, seharusnya kata-kata itu di persembahkan oleh Ryuji atau Aldebaran."Namanya belum ada yah, masih di pikirkan. Kalau kamu cocoknya nama apa?" Makoto beralih menatap Aoi yang serius melihat Ikatan Hati."Shizuka bagus. Kalau cowok masih belum tau," nama itu ia ambil sendiri dari pemeran Shizuka di film Doraemon."Kaindra. Tajam, anak yang hebat. Ya semoga aja dua sekalian biar ada teman mainnya," Makoto tersenyum menggoda.Aoi berdecak kesal, dua katanya?"Satu aja dulu. Gak mau dua barengan!" protesnya kesal. Memangnya mudah bisa kembar sekaligu
"Idaman darimana ma? Pasti dia udah punya pacar," tuding Aoi menunjuk wajah Takeru yang sedang bannga itu. "Pacar siapa? Gak ada kok. Aku masih lajang," ungkap Takeru jujur. Sejak dulu ia hanya menyukai Aoi namun tidak berani karena kemarahan wanita itu yang sama saja dengan letusan gunung berapi. Karin tersenyum senang. "Takeru lajang karena dia cinta sama kamu nak. Makannya daridulu gak mau pacaran sama wanita manapun. Betul kan Takeru?" Karin berkedip melempar kode, Takeru terpaksa mengangguk. Aoi berdecak kesal. "Udahlah ma. Aku pulang aja. Bete lama-lama disini," Aoi melangkah pergi. Satu oksigen dengan Takeru membuatnya tidak nyaman sekaligus darahnya bisa mendidih dan tinggi. ***Hikaru mengeluh sedikit pusing. Ia baru saja sadar dari pingsan-nya. Takeru langsung menghampirinya. "Apa ada yang sakit?" Takeru sangat khawatir. Hikaru sakit membuat hatinya tidak tenang. Karin yang melihat interaksi antara Takeru dan Hikaru hanya tersenyuum. Sangat cocok sekali menjadi figur a
Pagi ini Aoi dibuat cemberut lagi, bagaimana tidak? Ayahnya memakai mobil terbang demi mengatasi kemacetan kota Jepang yang semakin meningkat dari tahun-tahun akhir. "Ayah, tapi kan kalau aku pakai mobil sport yang itu lama. Aku lebih suka-""Sstt, jangan membantah. Pokoknya ayah harus pakai mobil terbang itu. Karena sekarang ada rapat penting, ayah gak mau telat," Amschel menyela ucapan Aoi. Ada saja alasannya. "Ayah gak adil," Aoi mengerucutkan bibirnya. Hikaru yang melihat sang mama terkikik geli dengan wajah imut itu. "Mama jangan marah. Lagipula hari ini aku gak ada tugas piket kok."Aoi selalu mengantarkan Hikaru ke sekolah sangat pagi sekali, bahkan jam 6 tepat sudah sampai di sekolah. Semua itu Aoi lakukan hanya demi menghindari si Takeru yang biasanya mengantarkan Aiko setiap harinya sejak kemarin. Mengingat itu kepalanya mengepul. Takeru, pria yang pandai menggombal sekaligus tukang rayu itu berhasil mengambil hati kedua orang tuanya sekaligus Hikaru. Entah apa tujuannya,
"Ayo ma!" Aoi berseru, ia sudah siap dengan tampilannya yang sederhana. Hanya makan dengan seseorang yang entah itu siapa tapi mentraktirnya. Karin tersenyum. Betapa cantiknya Aoi sekarang seperti peri yang siap menyihir perhatian Takeru malam ini. ***Setelah menempuh beberapa menit perjalanan, akhirnya sampai juga di kafe. Karin berpamitan pada Aoi karena harus membantu Amschel di kantornya yang tengah lembur. Aoi merasa tak keberatan. "Semoga kamu suka ya? Mama pergi dulu. Ajak dia ngobrol."Aoi mengangguk. "Siap ma."Aoi ingin tau siapa seseorang yang begitu baik mengajaknya makan gratis? Apakah laki-laki atau perempuan?"Kapan ya dia datang?" Aoi menunggu dengan tidak sabar. Jika mamanya sudah menyuruhnya untuk berkenalan dengan seseorang, pasti baik. Tapi pikirannya melayang pada sosok Takeru, raut wajah Aoi berbubah cemberut. Ia harap bukan pria haus uang itu. Amschel telah mengantarkan Takeru di kafe yang sama dimana Aoi sekarang menunggu. Amchel melihat kafe yang tidak t
Hari ini Hikaru kembali ke sekolah, diantarkan oleh Aoi langsung karena ia tak mau Takeru terlibat lagi dan berpura-pura baik dengan anaknya itu. Aoi telah berjanji pada Hikaru akan mengantar dan menjemputnya pulang dengan mobil terbang saja daripada manual yang nantinya pasti bertemu Takeru lagi. "Nanti jangan keluar gerbang dulu ya? Biar mama aja yang kesana duluan," pesan Aoi pada Hikaru saat berada di dalam mobil terbang itu. Hanya membutuhkan beberapa menit saja sudah sampai di sekolah dasar sakura yang tak begitu jauh. Hikaru mengangguk patuh. "Iya ma. Aku akan nunggu di kelas aja," Hikaru tau pasti mamanya itu tak ingin ia bersama om baik, padahal ia lebih berharap bisa bertemu pria itu lagi. Namun sifat possessif mamanya begitu kuat.Hanya membutuhkan 10 menit perjalanan akhirnya sampai juga. Aoi mengecup kening Hikaru dan memberikan 1000 ¥en pada anaknya itu untuk uang jajannya. "Aiko jam segini udah nyampe belum?"Hikaru menggeleng. "Biasanya jam setengah tujuh ma. Bentar
Hari ini, Karin meminta Aoi untuk bersiap lebih awal. Aoi sempat tidak mau tapi setelah mamanya bilang akan diberikan soal harta warisan yang masih belum ada keputusan itu membuat semangat Aoi bangkit kembali. Ya, setelah Makoto tidak ada sekarang harta warisan itu tengah berada di ombang-ambing tidak ada penentuan siapa pemilik keseluruhan kekayaan Amschel Rotschild dengan segala asetnya yang mempunyai cabang dimana-mana. Aoi berharap itu hanya untuk dirinya, bukan dibagikan kepada orang asing dan bukan siapa-siapanya apalagi tidak termasuk anggota keluarganya. Aoi sangat menolak tegas hal itu jika terjadi. "Ma, aku udah siap," Aoi menghampiri mamanya yang sibuk mengetik pesan entah dengan siapa. Yang membuatnya heran, mamanya itu tersenyum! Siapa?"Ayo. Ayah udah di kantor duluan. Hikaru juga ada disana."Sepertinya sangat penting, bahkan hari Senin ini Hikaru tidak masuk sekolah. Aoi hanya berpikir pembagian harta ini pasti hanya untuk Hikaru. Kalau memang begitu, Aoi tak akan mem
Mengobrol di dalam rumah lebih tepatnya ruang tamu. Hanya ada Karin, Hikaru, Takeru dan Aiko saja tapi Aoi lebih memilih mendekam di kamarnya menghindari Takeru. "Hikaru, aku gak bisa lama-lama disini nanti mama nyariin aku," ujar Aiko membuka obrolan. Tapi ia ingin berlama-lama dengan Hikaru, hanya bermain saja. Lain halnya dengan Takeru, sebenarnya ia ingin menyusul langkah Aoi namun ragu ketika wanita itu memasuki kamarnya. 'Ada apa dengan dia? Kenapa tidak mau ikut berbincang disini?' batin Takeru penuh tanda tanya. Aoi sangat menghindarinya sejak pertama kali bertemu beberapa minggu yang lalu, hanya karena satu model perusahaan wanita itu menjauhinya tanpa sebab. "Baiklah, itu terserah kamu aja Aiko. Kita main boneka dulu yuk. Sebentar aja," Hikaru memohon dan Aiko pun setuju. Hanya ada Karin dan Tekeru di ruang tamu. Sedangkan Aoi menguping pembicaraan mamanya dengan pria menyebalkan itu dibalik pintu kamarnya. "Dimana suami Aoi ya?" tanya Takeru penasaran, hanya ingin tau
Sudah larut malam, Aoi sulit memejamkan matanya. Pikirannya terlintas tentang Takeru yang memiliki kedekatan dengan Hikaru. Aoi menatap Hikaru yang tidur di sampingnya. Iya, anaknya itu meminta tidur bersama karena tidak ada teman. Sama seperti dirinya yang tidak ada Makoto yang selalu di sisinya. "Mama hanya takut kamu meminta seorang ayah nanti. Padahal ayah kita masih ada disini. Dalam hati," Aoi berbicara sendiri, suaranya tidak mengganggu tidur nyenyak Hikaru. "Jangan meminta mama untuk menikahi om baik itu. Mama masih mencintai ayah dengan baik. Berjanji akan selalu setia sampai akhir hayat mama," Aoi memejamkan matanya, perasaanya mendadak tidak tenang. Ia terkalu berpikir keras, tentu saja karena Hikaru menyukai Takeru karena sikap baiknya. ***"Tau gak omah? Aku kemarin diantar sama-""Itu makan dulu Hikaru, jangan berbicara. Tidak baik," Aoi menyela dengan cepat, jangan sampai Hikaru menceritakan Takeru kepada mama, bisa-bisanya ia kembali dekat dengan Takeru dan menjadi
Ryou menambah kecepatan mobilnya. Di jembatan, kaki Aoi siap mengayunkan untuk terjun dari atas jembatan yang memiliki ketinggian tak main-main, bahkan air di bawahnya mengalir dengan derasnya sehingga jika ia melompat mungkin jasadnya tidak akan pernah di temukan. Satu..Dua..Tiga.."NONA AOI!!" Ryou menarik tangan Aoi dengan sigap ia menggendongnya. "Nona jangan bunuh diri seperti ini. Nyonya mencari-cari dengan cemas bahkan Tuan Amschel pun mengkhawatirkan nona."Aoi menangis sesenggukan. "Aku gak mau pulang. Gak mau," Aoi menggeleng pelan, ia tak ingin bertemu mama lalu di perkenalkan lagi dengan pria itu. Tidak, jangan sampai ada perjodohan lagi. Aoi lelah dengan semua itu. "Nona Aoi, mari kita pulang. Jangan keluar tanpa ada yang menemani nona. Apalagi tadi, nona hampir saja melakukan bunuh diri," Ryou sangat cemas. Entah apa yang akan Amschel lakukan jika dirinya gagal menjaga Aoi, mungkin nyawa juga taruhannya. "Nona, tolong pulang. Karena tuan Amschel sangat mempercayaka
Setelah kematian Makoto dan omah Ema, Aoi mencoba lebih kuat dan tegar meskipun sedikit tidak rela. "Hari ini kamu mau ikut ke kantor?" tanya Karin pada Aoi, daripada anaknya itu sendirian di rumah dan kembali bersedih. Aoi mengangguk malas. "Ikut ma."Hikaru sudah berangkat beberapa menit yang lalu bersama Amschel. "Jadi model majalah mama ya? Kamu pasti terlihat cantik," Karin akan memberikan yang terbaik untuk Aoi apalagi dari penampilan. "Ma, aku gak bisa banyak gaya," keluh Aoi sedikit cemberut, bahkan foto saja hanya sekali jika ingin memiliki kenangan. Kenangan, kalimat itu mengingatkannya akan Makoto dan omah Ema. Karin yang memperhatikan Aoi mulai melamun pun meraih tangannnya. "Aoi, jangan di pikirkan lagi. Mama gak mau kamu stress terus jatuh sakit," ucap Karin sangat khawatir. Aoi tersenyum hambar. "Hikaru aja kuat masa aku gak? Hehe, ayo ma kita berangkat ke kantor. Aku mau jadi model majalah mama," dengan wajah cerianya Aoi berusaha untuk bahagia hari ini meskipun