Selama perjalanan pun, hanya kesunyian yang menyekat keduanya.
'Andai aja dia gak perlu hadir dalam hidupku. Semuanya pasti bahagia, bukan berakhir berpisah seperti ini,' batin Aoi mengeluh.
Makoto melirik Aoi yang diam.
'Sebenarnya aku marah pada Ryuji. Dia sudah menyakiti hatimu untuk ketiga kalinya,' batin Makoto, ia ikut merasakan kesedihan yang di alami Aoi.
Setelah sampai di mansion Rotschild, Makoto pergi tanpa mengatakan apa-apa.
"Aku kira kamu bakal bilang kangen gitu. Tapi gak, aku aja yang terlalu berharap," Aoi memandang mobil Makoto yang sudah menghilang.
***
Aoi berangkat sendiri ke rumah Haruka. Ia ada janji dengan Haruka untuk belajar bersama, persiapan ujian seleksi perguruan tinggi negeri.
"Kenapa aku jadi gak suka jalan kaki ya?" tanya Aoi heran. Mungkinkah ia teringat kejadian waktu itu? Dimana seragamnya kotor karena ulah mobil sialan yang tak mau bertanggung jawab.
Karin tersenyum senang, Aoi pulang. Tentu saja dengan Makoto."Jadi kamu bangun pagi-pagi mau jalan berdua sama Makoto ya?"Aoi duduk di sebelah sang mama. Apa? Jalan berdua?"Gak kok ma. Kan aku mau-""Iya, Aoi kangen sama aku. Jalan berdua sebagai obat rindu aja kok, ya kan Aoi?" sela Makoto cepat, kalau beneran kangen hatinya baper tak karuan, tapi rasanya mustahil mengenai hati Aoi masih stand by dengan Ryuji."Apa itu benar? Wah udah kangen aja. Makoto, yuk makan bareng-bareng. Mas Amschel sendiri loh yang masak. Jangan nolak, nanti dia galak," Karin sangat senang hari ini, apalagi Makoto bisa makn bersama. Semakin dekat dan akrab.Makoto mengangguk. "Aku juga pingin ngobrol sama ayah. Lebih asik aja daripada ayahku yang kadang-kadang susah buat ketawa," Makoto mulai bercerita tentang keluarganya.Aoi berdecak kesal. "Gak usah makan aja deh," Aoi melangkah memasuki kamarnya, yang ada sang mama lebih banyak
Hari ini, Aoi sangat semangat. Ya, apalagi sekarang ia akan melaksanakan tes seleksi universitas."Aoi, kerjakan soalnya dengan teliti ya? Jangan grogi. Tetap tenang dan pikirkan baik-baik jawabannya," ucap Karin memberikan nasehat.Aoi mengangguk. "Iya ma. Doain semoga aku di terima disana ya?""Amien," jawab Amschel dan Karin bersamaan."Makan yang banyak biar kosentrasi disana. Kamu kalau makan satu centong nasi, diet apa gak suka nasi?" Karin sampai lelah menasehati Aoi makan lebih banyak sesuai porsi, tapi satu centong tak mungkin akan kenyang lebih lama.Aoi terkekeh. Mamanya memang bawel tapi mencemaskan kesehatannya."Kan aku gak laper ma. Kalau lapernya banget baru deh makan yang banyak," Aoi kurang suka dengan sayuran, sang mama selalu memberikan sayur di piringnya setiap sarapan. Aoi tak suka rasa pahit."Karena sayur lagi? Aoi, sayur itu buat kebutuhan gizi dan zat besi. Kamu aja s
Hari ini adalah hari pertama Aoi menjadi mahasiswi di US. Dengan memakai celana dan sweater andalannya, Aoi akan berangkat ke kampus jam 7 pagi.Dan lebih penting lagi adalah sarapan."Ada kabar baik buat kamu Aoi," Amschel membuka pembicaraan, entah kabar baik apa.Aoi bisa menebak kalau bukan Makoto siapa lagi?"Makoto sekarang menjadi dosen bahasa jepang di kampus kamu. Kemarin malam Makoto telepon sama ayah, dia gak mau jauh-jauh dari kamu. Enak kan bisa di jaga Makoto?"Enak darimana? Aoi tak bisa bebas bergaul dengan teman-teman barunya nanti. Pria itu pasti akan mengomel jika dirinya dekat dengan cowok.'Gak asik ah. Tau aja gini gak usah kuliah. Kabur kemana gitu, asalkan jangan pulang ke rumah lagi. Kenapa hidup aku gini amat sih? Di jodohin, di awasi, apa gak ada celah kebebasan sesuai pilihanku sendiri?' ingin Aoi utarakan ucapannya ini pada ayahnya tapi terpendam."Ayah anterin kamu ke k
Aoi sangat senang, coba tebak karena apa? Bukan mendapatkan izin memakai lamborghini, itu salah. Tapi, ayah dan mamanya sudah berangkat jam 5 pagi karena ada urusan mendadak dan sangat penting di kantor.Aoi meloncat-loncat karena senangnya."Yeay! Akhirnya bisa berangkat ke kampus bebas tanpa perlu di awasin ayah apalagi harus bareng sama om Makoto," rasanya mimpi saja. Jam 4 tadi sang mama membangunkannya dengan tenang.Flashback onKarin menepuk pipi Aoi beberapa kali, sampai anak tunggalnya itu menggeliat merasa terganggu."Apa?" mata Aoi setengah terbuka, ia menguap karena saking mengantuknya ingin tidur lagi namun ucapan dari sang mama itu membiusnya untuk bangun dengan semangat."Mama sama ayah mau berangkat ke kantor jam 5. Kamu berangkat ke kampus sendiri aja.""Terus aku boleh ya bawa lam-""Boleh," Karin mengangguk.Aoi menghambur memeluk mamanya."Makasih ma."
"Aoi," panggil Aldebaran, Aoi menoleh."Kamu? Oh ya, ayo sekarang aja," Aoi sudah ada janji pulang dengan Aldebaran.Makoto menarik tangan Aoi. "Kamu pulangnya sama aku. Dan ayah kamu sudah mempercayakannya padaku," tegasnya penuh penekanan.Aoi menepis tangan Makoto. "Emangnya kamu itu siapa?"Makoto terkekeh. "Aku? Calon suamimu."Aldebaran maju selangkah mendekati Makoto. "Kalau Aoi gak mau jangan maksa. Apa pak Makoto mau jadi suami yang mengekang istrinya?"Aoi gugup, jangan sampai ada peperangan antara Aldebaran dengan Makoto. Bagaimana nasib Aldebaran nanti? Mengenai Makoto adalah dosen di US dan bisa melakukan apa saja yang dia mau."Al, yuk kita pulang," Aoi menggenggam tangan Aldebaran menjauh dari Makoto.Sedangkan hati Makoto sangat hancur melihat Aoi dengan Aldebaran. Aoi tak mungkin menolak pesona presma tampan dan berwibawa itu.***Makoto duduk melamun, laptopnya
Aoi terpaksa pulang jalan kaki, sendiri. Aldebaran tiba-tiba ada urusan mendadak entah apa itu Aoi tidak tau."Tega banget sih nyuruh aku pulang sendiri? Jalan kaki lagi. Aldebaran ngeselin!" Aoi menggerutu kesal.Jalan yang ia lalui saat ini sangat sepi dan gelap, Aoi hanya mengandalkan senter di ponselnya."Aldebaran tega banget sih nyuruh aku pulang sendiri?"Rasanya sedih, rupanya Aldebaran hanya bersikap manis di depan saja selain itu belum tentu dia baik. Aoi pikir Aldebaran akan memiliki perhatian yang sama seperti Makoto, ternyata tidak."Ternyata cowok itu bisa sama juga gak. Maunya apa sih?"Empat pria bertubuh besar dan berotot itu tersenyum nakal saat Aoi melewatinya, apalagi sendiri."Hai cantik. Pulang sendirian nih? Abang temenin yuk!"Salah satu pria menarik tangan Aoi."Lepas! Kalian siapa? Jangan ganggu aku!" Aoi berusaha melepaskan cengkraman pria itu tap
Tibalah 2 hari setelah itu, Aoi masih memikirkan rencana untuk kabur.Aoi terbangun pada jam 3:00 am kepalnya terasa pusing. Mungkin ia terlalu banyak pikiran."Ayah memang gila merencenakan pernikahan dalam waktu singkat. Apa ayah gak tau kalau nikah itu bukan main-main? Suatu hubungan suci yang sudah resmi di akui negara, untuk berpisahnya saja susah dan Makoto harus setuju. Tapi om nyebelin itu semakin hari tambah cinta saja sama aku," Aoi memijat pelipisnya, di masa muda bukannya ia menikmati asiknya dunia remaja dan kuliah malah terjerat pernikahan paksa atas campur tangan orang tuanya."Kabur gimana? Ayah aja punya bodyguard yang selalu ngikutin aku kemana-mana. Kenapa sih hidup aku se-menderita ini?" Aoi meninju tembok tak bersalah sebagai sasaran pelampiasan amarahnya.Aoi meringis sakit. "Aw! Sakiitt!" Aoi meniup buku-buku tangannya yang memerah."Ya Tuhan bantu aku buat lari dari perjodohan ini!" Aoi meraung
Makoto menatap Aoi yang masih tertidur pulas. "Sayang? Bangun, ayo siap-siap. Lebih cepat lebih baik Aoi, meskipun sekarang jam 4 pagi. Ayo bangun," dengan suara lembutnya bagaikan nyanyian merdu di pagi hari, tetap saja Aoi tidur.Makoto menghela nafasnya, harus pakai cara apalagi agar istrinya itu bangun?Makoto memiliki ide cemerlang, ia mendekat dan semakin dekat. Sampai...Cup.Hanya kecupan singkat di bibir.Aoi membelalakkan matanya. Benda kenyal dan manis itu seenak dahi menempel di bibirnya. Benar saja ternyata tersangkanya adalah Makoto."Kamu kok cium aku sih? Ya gak-""Boleh," Makoto tersenyum nakal. "Kata siapa gak boleh? Kita udah sah Aoi."Aoi berdecak kesal. "Kenapa gak bangunin dengan suara aja?""Kamu susah di bangunin. Ayo mandi," ajak Makoto yang sontak membuat mata Aoi terbelalak tak percaya."Maksud kamu mandi bareng? Heh! Mandi aja sana! Mending aku lanjut tidur lagi,
"Idaman darimana ma? Pasti dia udah punya pacar," tuding Aoi menunjuk wajah Takeru yang sedang bannga itu. "Pacar siapa? Gak ada kok. Aku masih lajang," ungkap Takeru jujur. Sejak dulu ia hanya menyukai Aoi namun tidak berani karena kemarahan wanita itu yang sama saja dengan letusan gunung berapi. Karin tersenyum senang. "Takeru lajang karena dia cinta sama kamu nak. Makannya daridulu gak mau pacaran sama wanita manapun. Betul kan Takeru?" Karin berkedip melempar kode, Takeru terpaksa mengangguk. Aoi berdecak kesal. "Udahlah ma. Aku pulang aja. Bete lama-lama disini," Aoi melangkah pergi. Satu oksigen dengan Takeru membuatnya tidak nyaman sekaligus darahnya bisa mendidih dan tinggi. ***Hikaru mengeluh sedikit pusing. Ia baru saja sadar dari pingsan-nya. Takeru langsung menghampirinya. "Apa ada yang sakit?" Takeru sangat khawatir. Hikaru sakit membuat hatinya tidak tenang. Karin yang melihat interaksi antara Takeru dan Hikaru hanya tersenyuum. Sangat cocok sekali menjadi figur a
Pagi ini Aoi dibuat cemberut lagi, bagaimana tidak? Ayahnya memakai mobil terbang demi mengatasi kemacetan kota Jepang yang semakin meningkat dari tahun-tahun akhir. "Ayah, tapi kan kalau aku pakai mobil sport yang itu lama. Aku lebih suka-""Sstt, jangan membantah. Pokoknya ayah harus pakai mobil terbang itu. Karena sekarang ada rapat penting, ayah gak mau telat," Amschel menyela ucapan Aoi. Ada saja alasannya. "Ayah gak adil," Aoi mengerucutkan bibirnya. Hikaru yang melihat sang mama terkikik geli dengan wajah imut itu. "Mama jangan marah. Lagipula hari ini aku gak ada tugas piket kok."Aoi selalu mengantarkan Hikaru ke sekolah sangat pagi sekali, bahkan jam 6 tepat sudah sampai di sekolah. Semua itu Aoi lakukan hanya demi menghindari si Takeru yang biasanya mengantarkan Aiko setiap harinya sejak kemarin. Mengingat itu kepalanya mengepul. Takeru, pria yang pandai menggombal sekaligus tukang rayu itu berhasil mengambil hati kedua orang tuanya sekaligus Hikaru. Entah apa tujuannya,
"Ayo ma!" Aoi berseru, ia sudah siap dengan tampilannya yang sederhana. Hanya makan dengan seseorang yang entah itu siapa tapi mentraktirnya. Karin tersenyum. Betapa cantiknya Aoi sekarang seperti peri yang siap menyihir perhatian Takeru malam ini. ***Setelah menempuh beberapa menit perjalanan, akhirnya sampai juga di kafe. Karin berpamitan pada Aoi karena harus membantu Amschel di kantornya yang tengah lembur. Aoi merasa tak keberatan. "Semoga kamu suka ya? Mama pergi dulu. Ajak dia ngobrol."Aoi mengangguk. "Siap ma."Aoi ingin tau siapa seseorang yang begitu baik mengajaknya makan gratis? Apakah laki-laki atau perempuan?"Kapan ya dia datang?" Aoi menunggu dengan tidak sabar. Jika mamanya sudah menyuruhnya untuk berkenalan dengan seseorang, pasti baik. Tapi pikirannya melayang pada sosok Takeru, raut wajah Aoi berbubah cemberut. Ia harap bukan pria haus uang itu. Amschel telah mengantarkan Takeru di kafe yang sama dimana Aoi sekarang menunggu. Amchel melihat kafe yang tidak t
Hari ini Hikaru kembali ke sekolah, diantarkan oleh Aoi langsung karena ia tak mau Takeru terlibat lagi dan berpura-pura baik dengan anaknya itu. Aoi telah berjanji pada Hikaru akan mengantar dan menjemputnya pulang dengan mobil terbang saja daripada manual yang nantinya pasti bertemu Takeru lagi. "Nanti jangan keluar gerbang dulu ya? Biar mama aja yang kesana duluan," pesan Aoi pada Hikaru saat berada di dalam mobil terbang itu. Hanya membutuhkan beberapa menit saja sudah sampai di sekolah dasar sakura yang tak begitu jauh. Hikaru mengangguk patuh. "Iya ma. Aku akan nunggu di kelas aja," Hikaru tau pasti mamanya itu tak ingin ia bersama om baik, padahal ia lebih berharap bisa bertemu pria itu lagi. Namun sifat possessif mamanya begitu kuat.Hanya membutuhkan 10 menit perjalanan akhirnya sampai juga. Aoi mengecup kening Hikaru dan memberikan 1000 ¥en pada anaknya itu untuk uang jajannya. "Aiko jam segini udah nyampe belum?"Hikaru menggeleng. "Biasanya jam setengah tujuh ma. Bentar
Hari ini, Karin meminta Aoi untuk bersiap lebih awal. Aoi sempat tidak mau tapi setelah mamanya bilang akan diberikan soal harta warisan yang masih belum ada keputusan itu membuat semangat Aoi bangkit kembali. Ya, setelah Makoto tidak ada sekarang harta warisan itu tengah berada di ombang-ambing tidak ada penentuan siapa pemilik keseluruhan kekayaan Amschel Rotschild dengan segala asetnya yang mempunyai cabang dimana-mana. Aoi berharap itu hanya untuk dirinya, bukan dibagikan kepada orang asing dan bukan siapa-siapanya apalagi tidak termasuk anggota keluarganya. Aoi sangat menolak tegas hal itu jika terjadi. "Ma, aku udah siap," Aoi menghampiri mamanya yang sibuk mengetik pesan entah dengan siapa. Yang membuatnya heran, mamanya itu tersenyum! Siapa?"Ayo. Ayah udah di kantor duluan. Hikaru juga ada disana."Sepertinya sangat penting, bahkan hari Senin ini Hikaru tidak masuk sekolah. Aoi hanya berpikir pembagian harta ini pasti hanya untuk Hikaru. Kalau memang begitu, Aoi tak akan mem
Mengobrol di dalam rumah lebih tepatnya ruang tamu. Hanya ada Karin, Hikaru, Takeru dan Aiko saja tapi Aoi lebih memilih mendekam di kamarnya menghindari Takeru. "Hikaru, aku gak bisa lama-lama disini nanti mama nyariin aku," ujar Aiko membuka obrolan. Tapi ia ingin berlama-lama dengan Hikaru, hanya bermain saja. Lain halnya dengan Takeru, sebenarnya ia ingin menyusul langkah Aoi namun ragu ketika wanita itu memasuki kamarnya. 'Ada apa dengan dia? Kenapa tidak mau ikut berbincang disini?' batin Takeru penuh tanda tanya. Aoi sangat menghindarinya sejak pertama kali bertemu beberapa minggu yang lalu, hanya karena satu model perusahaan wanita itu menjauhinya tanpa sebab. "Baiklah, itu terserah kamu aja Aiko. Kita main boneka dulu yuk. Sebentar aja," Hikaru memohon dan Aiko pun setuju. Hanya ada Karin dan Tekeru di ruang tamu. Sedangkan Aoi menguping pembicaraan mamanya dengan pria menyebalkan itu dibalik pintu kamarnya. "Dimana suami Aoi ya?" tanya Takeru penasaran, hanya ingin tau
Sudah larut malam, Aoi sulit memejamkan matanya. Pikirannya terlintas tentang Takeru yang memiliki kedekatan dengan Hikaru. Aoi menatap Hikaru yang tidur di sampingnya. Iya, anaknya itu meminta tidur bersama karena tidak ada teman. Sama seperti dirinya yang tidak ada Makoto yang selalu di sisinya. "Mama hanya takut kamu meminta seorang ayah nanti. Padahal ayah kita masih ada disini. Dalam hati," Aoi berbicara sendiri, suaranya tidak mengganggu tidur nyenyak Hikaru. "Jangan meminta mama untuk menikahi om baik itu. Mama masih mencintai ayah dengan baik. Berjanji akan selalu setia sampai akhir hayat mama," Aoi memejamkan matanya, perasaanya mendadak tidak tenang. Ia terkalu berpikir keras, tentu saja karena Hikaru menyukai Takeru karena sikap baiknya. ***"Tau gak omah? Aku kemarin diantar sama-""Itu makan dulu Hikaru, jangan berbicara. Tidak baik," Aoi menyela dengan cepat, jangan sampai Hikaru menceritakan Takeru kepada mama, bisa-bisanya ia kembali dekat dengan Takeru dan menjadi
Ryou menambah kecepatan mobilnya. Di jembatan, kaki Aoi siap mengayunkan untuk terjun dari atas jembatan yang memiliki ketinggian tak main-main, bahkan air di bawahnya mengalir dengan derasnya sehingga jika ia melompat mungkin jasadnya tidak akan pernah di temukan. Satu..Dua..Tiga.."NONA AOI!!" Ryou menarik tangan Aoi dengan sigap ia menggendongnya. "Nona jangan bunuh diri seperti ini. Nyonya mencari-cari dengan cemas bahkan Tuan Amschel pun mengkhawatirkan nona."Aoi menangis sesenggukan. "Aku gak mau pulang. Gak mau," Aoi menggeleng pelan, ia tak ingin bertemu mama lalu di perkenalkan lagi dengan pria itu. Tidak, jangan sampai ada perjodohan lagi. Aoi lelah dengan semua itu. "Nona Aoi, mari kita pulang. Jangan keluar tanpa ada yang menemani nona. Apalagi tadi, nona hampir saja melakukan bunuh diri," Ryou sangat cemas. Entah apa yang akan Amschel lakukan jika dirinya gagal menjaga Aoi, mungkin nyawa juga taruhannya. "Nona, tolong pulang. Karena tuan Amschel sangat mempercayaka
Setelah kematian Makoto dan omah Ema, Aoi mencoba lebih kuat dan tegar meskipun sedikit tidak rela. "Hari ini kamu mau ikut ke kantor?" tanya Karin pada Aoi, daripada anaknya itu sendirian di rumah dan kembali bersedih. Aoi mengangguk malas. "Ikut ma."Hikaru sudah berangkat beberapa menit yang lalu bersama Amschel. "Jadi model majalah mama ya? Kamu pasti terlihat cantik," Karin akan memberikan yang terbaik untuk Aoi apalagi dari penampilan. "Ma, aku gak bisa banyak gaya," keluh Aoi sedikit cemberut, bahkan foto saja hanya sekali jika ingin memiliki kenangan. Kenangan, kalimat itu mengingatkannya akan Makoto dan omah Ema. Karin yang memperhatikan Aoi mulai melamun pun meraih tangannnya. "Aoi, jangan di pikirkan lagi. Mama gak mau kamu stress terus jatuh sakit," ucap Karin sangat khawatir. Aoi tersenyum hambar. "Hikaru aja kuat masa aku gak? Hehe, ayo ma kita berangkat ke kantor. Aku mau jadi model majalah mama," dengan wajah cerianya Aoi berusaha untuk bahagia hari ini meskipun