"Bertahanlah Kanza! Kau pasti bisa," khawatir Ayana terisak semakin sering manakala mata amlondnya menangkap darah terus mengalir tanpa henti dari mata kiri Kanza yang tadi ditusuk ujung high heels milik Katrina.
Saat ini ia dan Andres sedang membantu beberapa perawat untuk mendorong ranjang transfer yang sedang meluncur dengan cepat di salah satu koridor rumah sakit yang ada di daerah sekitar klab -tempat kejadian namun jaraknya cukup jauh.
Kanza sudah tak sadarkan diri sejak lima menit berada dalam ambulans. Andres dan Ayana datang ke atap bersama dengan polisi yang mengepung Katrina. Kanza yang meminta Ayana, Andres dan polisi untuk datang ke sana. Ternyata sebelum memutar video tadi Kanza sempat mengirim pesan pada Andres untuk datang menemuinya di tempat ini. Kanza tidak menyebutkan maksud dan tujuannya, ia hanya meminta Andres untuk membawa turut serta Ayana.
Berbeda dengan polisi yang datang karena memang sudah berencana untuk men
"Anda yang bernama dr. Andres?" tanya seorang pria saat dia tiba di depan sebuah ruangan rawat inap dengan nomor kamar 209.Andres memperhatikan detail penampilan orang itu, penampilannya rapi khas seorang pekerja kantoran. Tubuhnya sedikit tambun dan memiliki perut buncit yang membuat kemeja nila yang dikenakannya terangkat tidak rata dengan dada. Memiliki tinggi sekitar 170 cm, kulit sawo matang dan berkumis tebal. Sepertinya dia bukan orang yang berasal dari benua Eropa, Amerika atau Asia timur. Pelafalan dan logat bahasa inggrisnya terdengar mirip dengan cara bicara Kanza."Benar, saya Andres," jawab Andres sopan."Di mana Kanza, bagaimana kondisinya sekarang?" raut wajah rupawan pria dengan usia sekitar 40 tahunan lebih itu tampak cemas."Anda tidak perlu khawatir, Tuan. Kanza sudah sadar sejak tadi pagi. Sekarang dia sedang berbincang dengan istri saya di dalam.""Syukurlah, terima kasih, Nak. Jika kau tidak menghubungiku, mungkin hingga deti
Dua pekan kemudian..."Kamu baik-baik di sana, semoga semua urusanmu lancar dan pengobatanmu juga berjalan dengan baik. oke, sudah dulu, ya. Sampai nanti."Ayana mengakhiri panggilannya. Tanpa diperintah gadis itu langsung menonaktifkan ponselnya."Kanza?" tanya Andres, sambil memasangkan sabuk pengamannya. Ia baru saja kembali dari toilet, jadi Ayana aman membicarakannya pada Kanza tadi."Mm, dia mengabariku tentang progres kesehatan matanya. Gadis itu tampak sangat bahagia, aku bisa tahu hanya dengan mendengar nada suaranya. Sangat riang, ringan, tidak ada lagi beban yang memberatkan pikirannya."Ayana berseri -merasakan kebahagiaan Kanza."Itu bagus. Jadi dokter spesialis lagi?" tanya Andres sambil membenarkan posisi duduknya, lalu mengambil salah satu majalah yang terletak di tempat khusus yang ada di hadapan tempat duduknya."Iya, tapi kali ini dia menjadi dokter spesialis syaraf. Dia bilang, di rumah sakit t
"Ada apa, aku mendengar keributan di kelas ekonomi?" tanya Ayana, pramugari yang hendak memasuki kelas utama itu pun berhenti dan menatap Ayana."Ada penumpang yang sedang kesakitan. Kami sedang mencari seorang dokter untuk memeriksanya," jelas pramugari itu cepat. Tanpa mencari informasi lebih dari si pramugari Ayana pun langsung berlari ke kabin kelas ekonomi, yang berisi penumpang lebih banyak dibandingkan denganfirst classyang ditempatinya."Apa yang terjadi padanya?" tanya Ayana pada pramugari yang ada di sana. Kini orang yang tengah kesakitan itu sudah dibawa ke ruang khusus –tempat istirahat para petugas."Saya tidak begitu tahu, tiba-tiba saja tuan itu meringis kesakitan dan terus meracau jika perutnya sakit.""Hei, apa yang kau lakukan? Cepat umumkan pada semua orang dan tanyakan apakah ada dokter atau tidak!" teriak seorang pramugara pada pramugari cantik yang sedang berbicara dengan Ayana."Baiklah," jawab pram
Yena berlari antusias dan terburu-buru menuju sang ayah yang baru saja tiba di rumah itu. Sejak kemarin malam anak kecil itu memang sudah menantikan dengan sangat kedatangan Andres. Menunggu dengan perasaan gusar membuat Yena tidak bisa tidur cepat semalam. Walau kakeknya terus memerintah dan mengancam tidak akan keluar kamar sebelum Yena tidur. Tetap saja tak lantas membuat mata bocah itu terasa berat. Sebaliknya ia semakin frustrasi saat melihat jarum jam di kamarnya yang berputar begitu lambat. Kini penantian panjang itu terbayar sudah, Andres benar-benar menepati janjinya untuk pulang dan menemui Yena saat libur musim panas."Aku merindukanmu,Ayah. Sangat merindukanmu," girang Yena saat berhasil berhambur dipelukan ayahnya. Andres tersenyum bahagia, dia pun merasakan hal yang sama dengan gadis kecil itu."Untuk itulahAyahdatang."Andres mengelus kepala Yena lembut, menumpahkan kerinduan penuh kasih sayang terhadap putri te
"Mau ke mana lagi?" tanya Andres malas. Kedua tangannya sudah pegal karena harus membawa sejumlah tas belanjaan milik Ayana dan juga Yena. Mereka bertiga baru saja keluar dari toko pakaian yang ada di salah satu mall ternama kota Jakarta. Ayana meraih tangan Yena, berjalan lebih dulu dengan bersemangat. Bahkan keduanya tidak memeedulikan pertanyaan Andres. Hari ini pria menyebalkan itu sedang menjalani hukuman pertamanya. "Ibu,buku tulis Yena sudah hampir habis. Sepertinya kita harus membeli yang baru." "Tentu, perlatan sekolah itu yang terpenting.Ayahmu akan membelikan semua kebutuhan pendidikanmu, sayang. Bukan begitu,Mas?" Ayana berbalik dan menatap Andres puas. Entahlah, hatinya berbunga karena berhasil mengerjai Andres telak seharian ini. "Keberadaanku masih diakui rupanya," desis Andres, tersenyum samar mengingat sedari tadi kedua wanita itu hanya sibuk berdua tanpa memedulikannya. "Kamu sedan
"Terima kasih dokter, Cinta sudah bercerita bahwa kalianlah yang menolongku saat kejadian di pesawat dua hari lalu," ungkap ayah Cinta. "Kami hanya melakukan tugas kami sebagai dokter," jelas Ayana mengumbar senyum manis pada pria tua yang masih terbaring di ranjang pasien. "Meski ribuan kali bibir ini mengucap terima kasih mungkin tetap tak akan bisa membalas jasa kalian berdua. Entah apa yang akan terjadi pada suamiku jika waktu itu tidak ada kalian di sana." "Anda terlalu berlebihan Nyonya," sahut Andres merendah. "Itu tidak berlebihan dokter. Jujur saja, kejadian ini membuat jantungku nyaris keluar dari tempatnya. Suamiku tidak pernah memiliki riwayat penyakit yang aneh tapi dia bisa mengidap penyakit pembengkakan pembuluh darah. Itu terdengar mengerikan, padahal selama ini dia terlihat sehat dan baik-baik saja." "Apa tuan perokok? Anda sering minum minuman beralkohol?" tanya Ayana, pria tua itu hanya mengangguk pertanda iya. "Bisa
"Seharusnya kamu tidak usah cemburu pada Hasa tadi," tukas Ayana saat ia dan suaminya sudah berada dalam perjalanan pulang. Mereka masih berjalan dilobbyutama rumah sakit Jakarta."Itu wajar, mengingat kejadian Hendrick membuatku harus tetap siaga pada semua pria yang mendekatimu. Apa itu salah?" Andres semakin posesif saja. Nada bicaranya memang terkesan datar namun tersemat sebuah keseriusan. Andres benar-benar tidak rela jika istrinya digoda oleh pria mana pun selain dirinya."Tidak, kau memang harus melakukannya. Karena aku cantik pasti sainganmu akan semakin banyak.""Sepertinya begitu," jawab Andres enteng, Ayana berdecih lalu tersenyum."Oh iya, apa besok kita jadi ke makam ayahmu?" Ayana bertanya seraya menggandeng tangan suaminya. Ia sudah tidak gengsi atau malu-malu lagi saat melakukan itu."Iya, kita akan berangkat pukul sepuluh pagi. Sudah lama aku tidak berkunjung ke makamAyah.""Aku juga ingi
"Halo Ayah, perkenalkan aku Ayana Jasmine, menantumu."Suara sang istri menarik diri Andres kembali pada dunia nyata. Setelah sebelumnya pria itu nyaris tenggelam dalam kungkungan ingatan dan tak bisa kembali karena kepekatan embun yang menutupinya."Maaf karena aku baru berkunjung dan menemuiAyah. Putramu, ah, maksudku suamiku ini memang menyebalkan. Dia baru memberiku kesempatan padahal sudah sejak lama aku ingin menemuimu."Ayana berucap tulus sambil memfokuskan mata, hati dan pikirannya ke arah batu nisan. Seakan sosok Hendra, ayah mertuanya benar-benar duduk di hadapan mereka.Andres menunduk, ia memejamkan mata untuk memecah kaca-kaca di matanya. Air kerinduan itu tidak mengalir banyak, hanya setetes dua tetes saja. Kemudian Andres membenarkan posisinya. Mengelus puncak kepala sang istri yang benar-benar paham akan kondisi hatinya saat ini.Andres pun semakin mendekatkan diri pada ayahnya, lebih tepatnya kuburan sang ayah. Jika
Butir-butir salju melayang di udara bagai dendelion yang tertiup angin. Mendarat dengan tenang di setiap tempat sedikit demi sedikit hingga menciptakan tumpukan yang menggunung menutupi badan jalan. Gundukan putih itu bertengger di atap-atap gedung dan menyampir pada dahan pepohonan. Secangkir cokelat panas tersaji di atas meja, bersebelahan dengan laptop, tumpukan berkas-berkas dan peralatan kerja lainnya. Kepulan asap putih mengudara, meliuk dengan lihai menuju rongga hidung seseorang yang tengah menatap lekat turunnya salju pertama dari balik kaca besar yang menjadi dinding ruangan di lantai dua belas itu. Orang itu kemudian memejamkan mata, menghirup aroma harum dari minumannya yang terus menggodanya untuk beralih tempat. Dan meminum cokelat hangat yang tersimpan di belakangnya itu. Tapi tidak, ia belum mau beranjak dari tempatnya. Tangan orang itu masih disimpan di atas perut, helaan napas terembus tepat di depan kaca itu hingga menimbulkan embun yang mengendap. Membuat kaca men
Flashback ..."Hei tunggu!" cegah Andres saat dia mendapati Ayana ingin menghindarinya lagi. Ayana berhenti dengan tangan terangkat seperti penjahat yang menyerah saat dikepung polisi. Andres berjalan mendekati Ayana, ia berdiri di hadapan gadis itu."Hm ... kamu menghindariku lagi?" dakwa Andres berlaga marah sambil melipat tangannya di atas perut."Ti-tidak, mungkin hanya perasaan Sunbae saja," jawab Ayana gelagapan dan menutup perkataannya dengan nyengir kuda. Andres menyelidik, ia menaruh curiga yang cukup besar pada dokter junior itu."Kamu pikir aku bodoh?""Tidak, kamu sangat pintar, Kak! Ups," jawab Ayana menyentak, refleks ia menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya."Ck, lihat wajahmu memerah!""Kamu malu?" goda Andres elegan."TIDAK!" bentak Ayana lantang kali ini kedua tangannyalah yang sudah membungkam mulut lo
Flashback "Kamu sayang pada Ibu?"Andres mengangguk pasti dengan senyum cerah. Seminggu setelah kepergian ayahnya, Andres meminta kakek Jo untuk membawanya ke rumah Gyana Tolimson. Semula kakek Jo melarang Andres dan bersikeras tidak mau memberitahu keberadaan ibu Andres. Tapi anak itu tak lelah membujuk kakek Jo hingga hati lembut kakek itu luluh dan menyetujui keinginan Andres. Dan di sinilah dia sekarang, berdiri di depan ibu kandungnya yang sudah sembilan tahun tidak ia lihat. Hari ini adalah hari ulang tahun Andres yang ke sembilan. Bertemu dengan ibunya menjadi kado terindah di tengah bayang-bayang kesedihan setelah Hendra pergi."Aku merindukanmu, Ibu. Aku sangat menyayangimu sama seperti aku menyayangi Ayah.""Kalau begitu kamu rela melakukan apapun untuk Ibu?"Andres mengangguk lagi dan ibunya pun tersenyum nanar. Wanita itu mengelus puncak kepala Andres lalu mencium kening
Tiga bulan kemudian ...Langkah cepat kedua kaki Willy membawa tubuh pria itu terhuyung tidak stabil saat berlari. Beberapa orang yang tertabrak olehnya mengeluh, akan tetapi Willy tidak menghiraukannya. Pria itu masih menggenggam sepucuk surat yang diberikan Ayana, saat pria itu mengunjunginya tadi. Gadis itu mengatakan sesuatu yang sulit diterima nalar. Sesuatu yang mustahil dan terdengar gila. Akhirnya pria itu tiba di konter informasi rumah sakit, ada sesuatu yang harus ia tanyakan di sini. Pria bernama Kevin membuatnya ingin tertawa terbahak-bahak dengan lelucon tidak masuk akal yang ia buat."Aku ingin mengetahui profil pendonor sumsum tulang belakang dari pasien Willy yang melakukan operasi beberapa waktu lalu," pinta Willy langsung tanpa basa-basi."Boleh tahu ini dengan tuan siapa?""Aku Willy, pasien yang menerima donor itu. Cepat carikan informasinya untukku!""Baiklah, mohon tunggu sebentar."Perawat itu pun meme
TeruntukAyana Jasmine, istriku.(Ah, mungkin saat kamu membaca surat ini kamu telah resmi menjadi mantan istriku. Bagaimana, apa kamu sudah menandatangani surat perceraian kita?)Dada Ayana sesak, pertanyaan Andres kembali menggores satu garis luka dalam hatinya. Air mata itu mengalir ke samping pipi, posisi berbaring Ayana yang menyebabkannya.(Atau mungkin dugaanku salah? Jika seandainya surat ini sampai padamu, itu berarti sesuatu yang buruk sedang menimpamu. Dan aku harus menjadi orang pertama yang patut kau bunuh. Jika keadaan buruk itu tak kunjung usai. Ayana ... astaga aku bingung harus menulis apa. Aku tidak biasa melakukan hal menggelikansepertiini. Tapi aku akan tetap mencobanya. Baiklah, pertama aku akan jujur padamu. Aku melihatnya, melihat kejadian yang membuat dadaku tertusuk meski tidak mengeluarkan darah.Tapi rasanya sungguh perih.)(Saat kamu memeluk dan mencium Willy, aku menyaksikan
Air mata Ayana tidak berhenti menetes sejak satu jam lalu sampai sekarang. Matanya menatap kosong pada selembar kertas yang tergeletak di atas meja ruang tamu. Kakek Jo berdiri dengan gusar sambil memegangi gagang telepon. Amarahnya selalu meledak saat operator memberi pemberitahuan bahwa nomor yang ia tuju sedang tidak aktif. Juno memeluk ibunya takut melihat kemarahan sang kakek buyut. Suara cegukan Yena yang sedang menangis terdengar begitu keras. Gadis itu menangis di samping Ayana sambil memeluk ibu tirinya erat.Berulang kali Yena meminta Ayana untuk tidak menangis. Menyuruh wanita cantik itu untuk bicara namun Ayana terus membisu bersama dengan linangan air mata. Hal itu membuat Yena sedih, gadis kecil itu turut merasakan luka ibu tirinya. Surat perceraian yang sudah ditanda tangani Andres terus melambai-lambai, menggoda Ayana untuk segera merobeknya menjadi serpihan-serpihan kecil. Lebih dari itu, hati Ayana menginterupsi untuk segera membakarnya hingga musnah.
Satu minggu kemudian ..."Kamu yakin dengan keputusan ini?""Aku tidak pernah seyakin ini."Kevin mendesah kasar, pria yang memiliki bibir tipis itu menarik surai pendeknya frustrasi."Lalu bagaimana dengan Yena dan Ayana?" Andres tersenyum getir, ribuan hal berputar dalam benaknya saat ini. Pria itu sudah menimbang keputusan selama satu pekan dan ini adalah hasil akhirnya."Mereka akan hidup dengan bahagia, tentu saja." Andres berjalan ke arah lemari pakaiannya, melanjutkan kegiatan berkemas yang memang sedang ia lakukan sejak tadi sampai Kevin datang untuk mengusiknya."Jika begini terus kamu akan benar-benar kehilangan Ayana. Kamu tahu?""Oleh sebab itulah aku melakukan ini."Kevin terlampau kesal, ia menarik koper Andres lalu membuangnya sembarangan. Baju-baju dan beberapa barang Andres berserakan di lantai, sang empunya barang hanya mematung sambil memutar bola matanya pasrah."Ada apa deng
"Bagaimana kamu sudah mengambil keputusan?""Belum, aku masih mempertimbangkannyadokterHarold.""Kalau begitu, minta pendapat Ayana. Oh, tunggu, jangan bilang jika kau belum memberitahunya tentang hal ini?""Begitulah.""Sudah kuduga. Haruskah aku yang menjelaskannya pada Ayana?""Tidak, jangan pernah. Serahkan saja padaku. Maaf karena membuatmu terlalu lama menunggu.""Aku harus segera merekap semua anggota yang ikut Bum. Pastikan kau segera mengabariku, tolong garis bawahi 'secepatnya'.""Baiklah."Plip"Huh,timingyang sangat tepat," desah Andres setelah mengakhiri panggilan itu."Sekarang bagaimana, Astaga!" pekik Andres terkejut saat seorang wanita menabraknya tanpa sengaja hingga membuat ponsel yang dipegangnya terjatuh. Wanita yang tadi berjalan begitu tergesa itu langsung menurunkan posisinya dan meraih ponsel Andres."Maafkan aku anak muda. Sun
Tubuh pria itu masih terbaring kaku di atas ranjang dengan selang infus yang menjuntai dari atas tiang penyangga dan mendarat di sekitar pergelangan tangan Willy. Ayana menutup pintu itu hati-hati karena tidak ingin membangunkan Willy yang masih memejamkan matanya dengan damai. Jarak dari pintu masuk dan ranjang pasien hanya berkisar tiga meter saja, tapi entah mengapa bagi Ayana itu terlalu jauh. Ia berjalan dengan peluh dan air mata yang bercucuran. Lembaran-lembaran masa-masa indah dengan pria itu kembali terbuka. Penyesalan menjadi perasaan yang merajai hatinya.Tangan gemetar Ayana terangkat untuk menyentuh pipi tirus yang menonjolkan tulang-tulang sekitar area itu. Satu tetes air mata kembali terjun, dulu pipi itu sangat berisi dan menjadi sasaran empuk untuk Ayana cubiti. Tanpa sengaja Ayana menyentuh lalu mengelus pipi itu, pergerakan tangan Ayana mengusik lelap Willy. Hingga akhirnya ia tersadar dan sangat terkejut ketika disuguhi mimpi yang teramat indah. Kehadiran