Ini hari kedua di Santa Monica, yang juga direncanakan menjadi hari terakhir liburan singkat Andres, Ayana, juga Daniel. Matahari sudah menampakkan diri sejak tiga jam lalu. Pantai yang terletak di bagian barat Amerika ini memang selalu ramai dikunjungi. Terutama di akhir pekan seperti ini, orang-orang berlomba untuk menikmati sensasi unik yang kerap mereka dapat saat mengunjungi pantai. Menggelar tikar di sepanjang pesisir, membuat istana pasir dan berselancar ria disela ombak besar yang datang. Semua kegiatan itu terlihat sangat menyenangkan dan terbukti membuat semua pengunjung di sana ingin tinggal lebih lama lagi.
Ayana mengedarkan pandangannya, ke semua penjuru banyak pria dan wanita dalam keadaan mengenaskan menurutnya. Terhitung sudah sepuluh tahun keluarganya menetap di New York seharusnya Ayana sudah terbiasa dengan hal seperti itu. Mata sipit yang dilindungi kaca mata hitam bulat itu masih saja terganggu dengan pemandangan yang menusuk matanya. Wanita berbikini ber
—Ayana—Tangan kekarnya masih menggenggam erat tangan mungilku. Ruas jari kami menyatu tanpa jarak, mengisi kekosongan satu sama lain dan saling melengkapi. Gelenyar hangat di tengah suhu tinggi Santa Monica membuat sekujur tubuhku dibanjiri peluh kegugupan. Setelah kejadian tadi yang membuatku menangis tersedu dalam pelukannya, kami masih betah menyisihkan diri dari orang-orang. Berjalan di tepi pantai selatan berdua, ya hanya berdua, aku dan dia. Meninggalkan keramaian yang memang tidak begitu aku sukai, mungkin dia juga. Setengah jam sudah kami seperti ini, terus menyusuri pantai tanpa ujung.Membawaku menuju ketenangan, itulah tujuannya. Pria ini memang sangat penuh kejutan, sejak aku menyukainya saat jumpa pertama di rumah sakit. Kemudian membencinya dengan sangat, hingga kini hatiku kembali luluh karenanya. Selalu ada hal-hal yang membuatku tercengang dan memutar otak begitu keras. Berusaha mencari tahu kepribadiannya. Menelisik isi hati melalui sorot
Setelah kurang lebih dua hari satu malam Andres dan keluarganya berlibur di California. Kemarin sore mereka semua sudah bertolak kembali ke New York. Masa cuti sepuluh hari yang Andres dan Ayana ambil masih tersisa tiga hari lagi. Namun keduanya tidak berencana untuk menuntaskan masa cuti itu hingga hari terakhir yang telah ditentukan. Selain karena rasa bosan dan canggung jika terus berada di rumah. Andres dan Ayana memang terbilang orang dengan kebiasaanworkaholicyang cukup parah. Tubuh mereka terbiasa bekerja, oleh karena itu libur terlalu panjang selalu menimbulkan rasa bosan terus merongrong hati pasangan pengantin baru itu. Menghadirkan rasa tidak nyaman jika terus berdiam diri.Tidak ada hal yang berubah setelah kejadian romantis di pantai Santa Monica tempo hari. Kedua dokter muda itu kembali bersikap seperti biasanya. Beradu mulut, saling tak acuh dan terkadang memberi perhatian lebih. Terhitung satu minggu sudah berlalu sejak hari pengucapan jan
"Bagaimana dengan hari pertamamu bekerja setelah cuti panjang?" tanya dr. Harold pada Andres. Kedua dokter beda generasi itu sedang berada di ruang kerja dr. Harold. Mereka baru saja selesai membahas urusan pencalonan diri Andres untuk menjadi kepala bagian di departemen HPB. Jika sebelumnya Andres hanya mengetuai tim satu sebagaimanager. Maka jika rencana ini berjalan lancar kelak Andres akan mengetuai seluruh tim di departemen HPB."Normal seperti biasanya. Hanya saja aku merasa hari ini rumah sakit jadi semakin berisik," jawab Andres tersenyum kecil. dr. Harold tertawa lepas saat mendengar jawaban Andres. Pria paruh baya itu mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi, lalu sedikit melakukan pergerakan ke arah kiri dan kanan pada kursi beroda yang didudukinya."Itu karena ulahmu sendiri, Andres. Kau yang membuat semua orang terperanjat kaget. Jujur aku juga sangat terkejut, kalian berdua membuatku nyaris terkena serangan jantung.""Kau tahu baga
—Andres—Kulihat Ayana begitu tergesa keluar dari mobil, berjalan lurus menuju rumah tanpa mengucap satu patah kata pun. Sepertinya dia masih marah padaku, terlihat jelas dari ekspresi juga caranya mendiamiku selama perjalanan pulang tadi. Bahkan sejak kami berdua keluar dari rumah sakit dia sudah mendiamiku. Hah, wanita memang benar-benar rumit dan memusingkan. Selalu marah tanpa alasan yang jelas. Meminta suatu penjelasan dan ketika aku memberinya dia malah tersinggung dan menimbulkan permasalahan baru. Aku membukaseatbeltlebih dulu sebelum menyusul Ayana. Sebuah pesan masuk menghentikan niatku yang semula ingin segera membuka pintu.Yena sakit!(Sender: Kevin)Cobaan apa lagi ini? tidak cukupkah hanya dengan kemarahan Ayana saja? Kenapa mesti ada hal lain yang membuat kepalaku pusing. Aku bukan orang yang percaya takhayul, tapi aku merasa hari ini adalah hari sialku. Tanpa menunggu lama aku lan
"Hoamm."Ayana menguap lepas saat terbangun dari lelapnya. Ia mengerjapkan mata dan merasakan sesuatu yang aneh di daerah kening. Gadis itu mengambil handuk yang ternyata masih menyampir di sana. Ayana mengangkat sebelah alisnya, heran."Siapa yang mengompresku? Apa ituibuatau Lolly?" Ayana menerka-nerka."Wajahku terasa ringan dan tidak lengket. Apaibu juga yang membersihkannya?"Gadis itu menoleh ke arah meja, matanya berbinar saat melihat sebuah mangkuk yang tertutup lengkap dengan minuman juga buah apel. Sepertinya demam Ayana sudah turun, terlihat dari gerak tubuhnya yang kembali gesit tidak lesu seperti kemarin malam. Wajahnya juga tampak cerah dan segar. Ayana beringsut dari tempat tidurnya lalu membuka tutup mangkuk itu. Kepulan asap beraroma sedap memasuki rongga hidungnya."Sepertinya lezat!" ujar Ayana.Ia ingin segera melahap bubur abalon itu tapi Ayana sadar akan keadaannya yang belum membersihkan diri. D
Seminggu kemudian..."Dokter Ayana!" panggil Jenny lantang, saat ia melihat Ayana sedang duduk sendiri di kantin rumah sakit. Bersama Robert dan Gerald, gadis Amerika yang kini sudah mengubah warna rambutnya menjadi kecokelatan itu menghampiri tempat duduk Ayana penuh semangat."Aku merindukanmu Ketua tim," rajuk Jenny menampilkan wajahinnoucent-nya. Ayana bergidik, mencibir lalu berkata, "Sebaliknya, aku sama sekali tidak merindukanmu." Jenny mendengus dan mengerucutkan bibir."Astaga, masih saja galak," gumam Jenny mendumel."Aku tidak tuli Jenny Wilson!" Ayana memperingati, dengan perhatian yang masih ia tujukan pada makanannya."Kita jarang sekali dinas dishiftyang sama," ujar Robert, pria tampan ini juga ternyata sedikit rindu pada omelan-omelan Ayana."Ya, ya kuakui aku merindukan kalian semua, kecuali Gerald!"Ayana menyapu udara dengan telunjuknya –bermaksud untuk menunjuk orang-orang
Malam pun tiba, Ayana dan Andres sedang dalam perjalanan menuju hotel tempat acaragala dinnerdiselenggarakan. Ayana tampak cantik dengan gaun hitam selutut berlengan pendek. Rambuntnya dibiarkan tergerai lurus tanpa aksesoris apa pun. Tampilannya sangat sederhana namun terkesan elegan. Senada dengan Andres yang mengenakan tuxedo hitam dan kemeja putih di dalamnya. Tak lupa dasi kupu-kupu ukuran sedang melingkari leher Andres, sangat rapi.Sejak kejadian tadi sore Ayana dan Andres belum saling bicara. Kali ini perang dingin di antara mereka lebih buruk dari sebelumnya. Andres fokus menyetir, sementara Ayana memainkan kuku jarinya dan sesekali mencuri pandang ke arah Andres. Sepertinya pria itu marah besar. Ayana menghela nafas panjang, menyiapkan diri untuk membuka percakapan.Kali ini ia memutuskan untuk mengalah, kesalahan tadi sore memang sulit ditolelir. Ayana sadar dia salah karena tidak menghindar saat Hendrick jelas-jelas berniat menciumnya.
Beberapa tahun silam ... "Ayah nanti sore aku ingin bermain sebentar di rumah temanku, boleh, kan?" tanya Andres riang. Bocah itu bergelayut manja pada lengan tuan Hendra, yang sedang duduk di depan pelataran rumahnya yang kecil. Hendra menyudahi kegiatannya yang sedang membetulkan jala miliknya yang rusak, lalu melihat Andres."Temanmu yang mana, Nak?" Hendra mengusap sayang puncak kepala Andres."Boby dan Kiran, mereka berjanji akan mengajakku bermain ke pesta perayaan malam natal yang diselenggarakan keluarga mereka di balai desa. Boleh ya, Kumohon?" Andres menyatukan kedua tangannya, menunjukkan wajah memelas dengan ekspresi lucu. Hendra tampak berpikir, ia menimbang keputusan dalam diamnya. Jujur, sebenarnya Hendra agak ragu untuk memberi izin. Selain karena ia tidak mengenal baik anak-anak yang Andres sebutkan tadi, entah mengapa hati Hendra juga terasa berat untuk
Butir-butir salju melayang di udara bagai dendelion yang tertiup angin. Mendarat dengan tenang di setiap tempat sedikit demi sedikit hingga menciptakan tumpukan yang menggunung menutupi badan jalan. Gundukan putih itu bertengger di atap-atap gedung dan menyampir pada dahan pepohonan. Secangkir cokelat panas tersaji di atas meja, bersebelahan dengan laptop, tumpukan berkas-berkas dan peralatan kerja lainnya. Kepulan asap putih mengudara, meliuk dengan lihai menuju rongga hidung seseorang yang tengah menatap lekat turunnya salju pertama dari balik kaca besar yang menjadi dinding ruangan di lantai dua belas itu. Orang itu kemudian memejamkan mata, menghirup aroma harum dari minumannya yang terus menggodanya untuk beralih tempat. Dan meminum cokelat hangat yang tersimpan di belakangnya itu. Tapi tidak, ia belum mau beranjak dari tempatnya. Tangan orang itu masih disimpan di atas perut, helaan napas terembus tepat di depan kaca itu hingga menimbulkan embun yang mengendap. Membuat kaca men
Flashback ..."Hei tunggu!" cegah Andres saat dia mendapati Ayana ingin menghindarinya lagi. Ayana berhenti dengan tangan terangkat seperti penjahat yang menyerah saat dikepung polisi. Andres berjalan mendekati Ayana, ia berdiri di hadapan gadis itu."Hm ... kamu menghindariku lagi?" dakwa Andres berlaga marah sambil melipat tangannya di atas perut."Ti-tidak, mungkin hanya perasaan Sunbae saja," jawab Ayana gelagapan dan menutup perkataannya dengan nyengir kuda. Andres menyelidik, ia menaruh curiga yang cukup besar pada dokter junior itu."Kamu pikir aku bodoh?""Tidak, kamu sangat pintar, Kak! Ups," jawab Ayana menyentak, refleks ia menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya."Ck, lihat wajahmu memerah!""Kamu malu?" goda Andres elegan."TIDAK!" bentak Ayana lantang kali ini kedua tangannyalah yang sudah membungkam mulut lo
Flashback "Kamu sayang pada Ibu?"Andres mengangguk pasti dengan senyum cerah. Seminggu setelah kepergian ayahnya, Andres meminta kakek Jo untuk membawanya ke rumah Gyana Tolimson. Semula kakek Jo melarang Andres dan bersikeras tidak mau memberitahu keberadaan ibu Andres. Tapi anak itu tak lelah membujuk kakek Jo hingga hati lembut kakek itu luluh dan menyetujui keinginan Andres. Dan di sinilah dia sekarang, berdiri di depan ibu kandungnya yang sudah sembilan tahun tidak ia lihat. Hari ini adalah hari ulang tahun Andres yang ke sembilan. Bertemu dengan ibunya menjadi kado terindah di tengah bayang-bayang kesedihan setelah Hendra pergi."Aku merindukanmu, Ibu. Aku sangat menyayangimu sama seperti aku menyayangi Ayah.""Kalau begitu kamu rela melakukan apapun untuk Ibu?"Andres mengangguk lagi dan ibunya pun tersenyum nanar. Wanita itu mengelus puncak kepala Andres lalu mencium kening
Tiga bulan kemudian ...Langkah cepat kedua kaki Willy membawa tubuh pria itu terhuyung tidak stabil saat berlari. Beberapa orang yang tertabrak olehnya mengeluh, akan tetapi Willy tidak menghiraukannya. Pria itu masih menggenggam sepucuk surat yang diberikan Ayana, saat pria itu mengunjunginya tadi. Gadis itu mengatakan sesuatu yang sulit diterima nalar. Sesuatu yang mustahil dan terdengar gila. Akhirnya pria itu tiba di konter informasi rumah sakit, ada sesuatu yang harus ia tanyakan di sini. Pria bernama Kevin membuatnya ingin tertawa terbahak-bahak dengan lelucon tidak masuk akal yang ia buat."Aku ingin mengetahui profil pendonor sumsum tulang belakang dari pasien Willy yang melakukan operasi beberapa waktu lalu," pinta Willy langsung tanpa basa-basi."Boleh tahu ini dengan tuan siapa?""Aku Willy, pasien yang menerima donor itu. Cepat carikan informasinya untukku!""Baiklah, mohon tunggu sebentar."Perawat itu pun meme
TeruntukAyana Jasmine, istriku.(Ah, mungkin saat kamu membaca surat ini kamu telah resmi menjadi mantan istriku. Bagaimana, apa kamu sudah menandatangani surat perceraian kita?)Dada Ayana sesak, pertanyaan Andres kembali menggores satu garis luka dalam hatinya. Air mata itu mengalir ke samping pipi, posisi berbaring Ayana yang menyebabkannya.(Atau mungkin dugaanku salah? Jika seandainya surat ini sampai padamu, itu berarti sesuatu yang buruk sedang menimpamu. Dan aku harus menjadi orang pertama yang patut kau bunuh. Jika keadaan buruk itu tak kunjung usai. Ayana ... astaga aku bingung harus menulis apa. Aku tidak biasa melakukan hal menggelikansepertiini. Tapi aku akan tetap mencobanya. Baiklah, pertama aku akan jujur padamu. Aku melihatnya, melihat kejadian yang membuat dadaku tertusuk meski tidak mengeluarkan darah.Tapi rasanya sungguh perih.)(Saat kamu memeluk dan mencium Willy, aku menyaksikan
Air mata Ayana tidak berhenti menetes sejak satu jam lalu sampai sekarang. Matanya menatap kosong pada selembar kertas yang tergeletak di atas meja ruang tamu. Kakek Jo berdiri dengan gusar sambil memegangi gagang telepon. Amarahnya selalu meledak saat operator memberi pemberitahuan bahwa nomor yang ia tuju sedang tidak aktif. Juno memeluk ibunya takut melihat kemarahan sang kakek buyut. Suara cegukan Yena yang sedang menangis terdengar begitu keras. Gadis itu menangis di samping Ayana sambil memeluk ibu tirinya erat.Berulang kali Yena meminta Ayana untuk tidak menangis. Menyuruh wanita cantik itu untuk bicara namun Ayana terus membisu bersama dengan linangan air mata. Hal itu membuat Yena sedih, gadis kecil itu turut merasakan luka ibu tirinya. Surat perceraian yang sudah ditanda tangani Andres terus melambai-lambai, menggoda Ayana untuk segera merobeknya menjadi serpihan-serpihan kecil. Lebih dari itu, hati Ayana menginterupsi untuk segera membakarnya hingga musnah.
Satu minggu kemudian ..."Kamu yakin dengan keputusan ini?""Aku tidak pernah seyakin ini."Kevin mendesah kasar, pria yang memiliki bibir tipis itu menarik surai pendeknya frustrasi."Lalu bagaimana dengan Yena dan Ayana?" Andres tersenyum getir, ribuan hal berputar dalam benaknya saat ini. Pria itu sudah menimbang keputusan selama satu pekan dan ini adalah hasil akhirnya."Mereka akan hidup dengan bahagia, tentu saja." Andres berjalan ke arah lemari pakaiannya, melanjutkan kegiatan berkemas yang memang sedang ia lakukan sejak tadi sampai Kevin datang untuk mengusiknya."Jika begini terus kamu akan benar-benar kehilangan Ayana. Kamu tahu?""Oleh sebab itulah aku melakukan ini."Kevin terlampau kesal, ia menarik koper Andres lalu membuangnya sembarangan. Baju-baju dan beberapa barang Andres berserakan di lantai, sang empunya barang hanya mematung sambil memutar bola matanya pasrah."Ada apa deng
"Bagaimana kamu sudah mengambil keputusan?""Belum, aku masih mempertimbangkannyadokterHarold.""Kalau begitu, minta pendapat Ayana. Oh, tunggu, jangan bilang jika kau belum memberitahunya tentang hal ini?""Begitulah.""Sudah kuduga. Haruskah aku yang menjelaskannya pada Ayana?""Tidak, jangan pernah. Serahkan saja padaku. Maaf karena membuatmu terlalu lama menunggu.""Aku harus segera merekap semua anggota yang ikut Bum. Pastikan kau segera mengabariku, tolong garis bawahi 'secepatnya'.""Baiklah."Plip"Huh,timingyang sangat tepat," desah Andres setelah mengakhiri panggilan itu."Sekarang bagaimana, Astaga!" pekik Andres terkejut saat seorang wanita menabraknya tanpa sengaja hingga membuat ponsel yang dipegangnya terjatuh. Wanita yang tadi berjalan begitu tergesa itu langsung menurunkan posisinya dan meraih ponsel Andres."Maafkan aku anak muda. Sun
Tubuh pria itu masih terbaring kaku di atas ranjang dengan selang infus yang menjuntai dari atas tiang penyangga dan mendarat di sekitar pergelangan tangan Willy. Ayana menutup pintu itu hati-hati karena tidak ingin membangunkan Willy yang masih memejamkan matanya dengan damai. Jarak dari pintu masuk dan ranjang pasien hanya berkisar tiga meter saja, tapi entah mengapa bagi Ayana itu terlalu jauh. Ia berjalan dengan peluh dan air mata yang bercucuran. Lembaran-lembaran masa-masa indah dengan pria itu kembali terbuka. Penyesalan menjadi perasaan yang merajai hatinya.Tangan gemetar Ayana terangkat untuk menyentuh pipi tirus yang menonjolkan tulang-tulang sekitar area itu. Satu tetes air mata kembali terjun, dulu pipi itu sangat berisi dan menjadi sasaran empuk untuk Ayana cubiti. Tanpa sengaja Ayana menyentuh lalu mengelus pipi itu, pergerakan tangan Ayana mengusik lelap Willy. Hingga akhirnya ia tersadar dan sangat terkejut ketika disuguhi mimpi yang teramat indah. Kehadiran