“Heri, tolong hentikan mobilnya ke tepi sekarang! “ Heri terkejut mendengarkan perintahku.“ Ada apa bos, seketika Heri menepikan mobilnya. ““Aku mau buang air sebentar, “ seketika aku membuka pintu dan berjalan menuju pinggir jalan. Jalanan masih tampak sepi, sebenarnya aku tidak ingin buang air tetapi aku sengaja mau ngerjain si sopir sialan itu.Saat Heri tengah asyik melihat jalanan yang sepi, secara sengaja aku mendekat ke arahnya, membuka kemeja warna putih, lalu aku pakai untuk menutupi kepalaku, kemudian aku segera mengetok kaca pintu mobil tiga kali.Tok... Tok... Tok...Suara ketukan membuat Heri segera membuka kaca mobil, “Ha...setan...!!! “ teriak Heri, kemudian tiba-tiba saja Heri pingsan tak sadarkan diri duduk bersandar kursi kemudi.Tawaku pecah seketika, “rasakan pembalasanku, memang enak aku kerjain. “ Tetapi sesaat kemudian aku segera bungkam kebingungan saat melihat Heri yang pingsan, “aduh, akhirnya aku juga yang rugi, jadi harus gantikan dia menyopir kan? Em...
Aku bergegas bangun dan segera membungkam mulut Jamilah yang menjerit secara histeris, padahal sesaat lalu aku juga sama sepertinya menjerit juga. Heri belum terusik oleh keriuhan kami berdua mungkin dia sangat mengantuk. Jamilah menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan. Mungkin dia penasaran.“Em... .” Jamilah menunjuk tanganku untuk melepaskannya.“Maaf, “ ucapku sambil menjauh dari tubuh janda itu.“Tuan, bagaimana mungkin Anda sampai disini? “ Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal, bingung harus menjawab pertanyaan Jamilah. Beruntunglah ada Pak RT yang menghampiri kami.“Saya sudah menduga bila Jamilah yang tuan maksud adalah anaknya Bu Asih orang yang bekerja di rumah saya. “ Ucap pak RT kemudian, ia mendekati kami berdua yang masih setia berdiri di depan pintu.“Maksud pak RT apa?” Jamilah tampak bingung.“Milah, semalam tuan ini, mengaku sebagai suamimu datang kemari, untuk menjemput kamu pulang ke kota. “ Ucapan Pak RT membuat Jamilah terkejut. Ekspresi bodohnya it
“Tuan, mari saya antarkan ke kamar! ““Ya... . “ Mendengar suara Jamilah membuat aku terkejut, kutatap wajah janda yang sialnya sekarang tampak cantik, padahal dia tidak memakai riasan apa pun. Jamilah rupanya baru selesai mandi. Aku terpaku, terpesona.Suara dering ponsel membuyarkan aksi pandangku kepada Jamilah. Sekilas kutatap layar HP, tertulis nama Sania di sana, aku segera beringsut keluar, sekilas Jamilah menatapku penuh selidik. Tanpa peduli aku segera menerima panggilan dari partner ranjangku itu.“Halo... . “ Saat aku menerima panggilan Heri rupanya mengangkat semua barang-barang yang telah di belinya semalam. Aku meliriknya sekilas. Sedangkan aku masih asyik mengobrol dengan Sania yang manja, wanitaku itu rupanya ingin pulang ke Jakarta menemuiku, alasannya karena rindu, tentu saja aku juga merindukannya, terutama harum tubuh Sania, ah fantasiku terasa liar, tetapi khayalan itu segera musnah saat aku mengingat kenyataan yang terjadi, sekarang aku berada di daerah entah ber
Saat makan malam tiba aku benar-benar tidak percaya, bagaimana bisa Heri dengan teganya telah meninggalkan aku di desa terpencil ini. Aku masih terdiam menatap hidangan di lantai yang beralaskan tikar di ruang tamu sederhana milik Jamilah. Rumah ini memang sangat kecil, hanya ada empat ruangan dua kamar tidur satu dapur dan satu kamar tamu kalau dipikir-pikir rumah ini lebih cocok di katakan rumah kubus karena tempatnya yang segi empat. Semua ruangan berukuran sama. Sungguh rasanya aku ingin segera kembali saja, tetapi sialnya sopirku itu sungguh, membuatku naik pitam saja, aku berjanji akan membuat perhitungan dengannya bila sudah sampai Jakarta nanti.“Nak menantu, ayo di makan, maaf ya di kampung Cuma ada beginian, “ Ibu Jamilah menyodorkan piring ke arahku, Jamilah kemudian gegas mengisikan nasi ke dalam piring yang aku pegang.“Tuan, mau makan apa? “ tanya Jamilah sambil menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan.“Em, aku... . “ Aduh rasanya aku ingin berteriak bahwa makana
“Pedas...hu hu hu!“ teriakku sambil sibuk mengipasi mulut yang terasa terbakar, gila, ini benar-benar menyakitkan mulutku seperti mengulum bara api.Jamilah dan ibu Fatimah panik melihat aku yang belingsatan bak cacing kepanasan.Jamilah menyodorkan segelas air hangat, tetapi setelah aku minum belum juga meredakan rasa pedas di mulutku.“Tuan, bagaimana ini, “ Jamilah menatapku dengan perasaan iba, bibirku mungkin sudah melepuh dan merah, aku hanya menatap wanita itu sekilas kemudian gegas keluar rumah. Tiba-tiba saja perasaan malu merayapi relung hatiku, bagaimana bisa seorang perkasa sepertiku kalah dengan yang namanya rasa pedas. Memalukan.Di halaman rumah aku duduk di balai bambu, menatap jalanan yang masih sepi, mungkin di kampung memang seperti ini kondisinya jarang ada kendaraan yang berlalu lalang, aku masih fokus menatap ke depan saat suara ibu Fatimah mengejutkanku, “nak menantu, ini minumlah, untuk pereda rasa pedas tadi, di habiskan ya, biar enggak panas perutnya, bisa-bi
“Tuan, berbaringlah! biar aku mengipasi tubuhmu, “ Jamilah perlahan mendekat ke arahku sambil menampilkan rona merah pada kedua pipinya, “janda ini seperti remaja saja, uh, dasar. “ umpatku dalam hati. Antara gemas dan kesal menjadi satu dalam pikiranku.Perlahan aku baringkan tubuhku, Jamilah mulai melancarkan aksinya, menggerakkan kipas dari bambu ke kanan dan ke kiri, rasanya lumayan segar, walau sebenarnya aku masih kurang puas dengan kipas bambu itu, tapi ya bagaimana lagi. Adanya memang ini di kampung. Berkali-kali aku merutuki kebodohanku kenapa harus sampai di desa ini. Ide mama memang sungguh membuat aku tersiksa.Aku melirik wajah Jamilah sekilas, wanita itu tetap menjaga pandangannya tanpa menatapku, entah mengapa aku jadi merasa kesal.“He, kerja yang benar, jangan membuang muka seperti itu, kamu tahu, itu tidak sopan. “ Jamilah segera mengarahkan pandangannya kepadaku, bersamaan dengan tubuhku yang perlahan duduk dari pembaringan, hingga kedua netra kami bertemu, jarak ya
Saat mencapai pintu depan bersamaan dengan ibu mertua yang baru mau masuk ke dalam rumah.“Menantu, kenapa pintunya tidak di tutup? ““Em, iya buk, aku baru saja mau menutupnya, “ aku menjadi salah tingkah saat ibu mertua menatapku dengan tatapan heran. Aku segera memperhatikan arah tatapan ibu mertua, “ya Tuhan, aku lupa tidak mengenakan baju. “ Tanpa babibu, aku segera berlari masuk ke dalam kamar kembali. Mungkin ibu mertua telah tertawa di ruang tamu karena melihat tingkah konyolku barusan. Ah, bagaimana lagi semua sudah terjadi.Sampai di kamar aku urung mencari kemejaku yang entah terserak di mana. Aku duduk di samping Jamilah yang telah terlelap. Aku terus berpikir bagaimana cara kami tidur di atas dipan sempit ini. Hingga aku mendapatkan ide gila yang membuat aku tersenyum bahagia.Aku mengangkat tubuh wanitaku secara perlahan dan merebahkan tubuhku di atas kasur itu. Sementara Jamilah aku letakkan tubuhnya di atas tubuhku hingga gundukan kenyal itu terasa menempel pada dada b
“Milah, sayang, apa kamu belum selesai juga? “ Tidak ada jawaban dari dalam, pasalnya sudah setengah jam aku menunggunya di depan pintu kamar mandi. Aku bergerak maju mundur sambil terus mengetuk pintu kamar mandi, “sayang, aku buka pintunya ya, kalau kamu kunci dari dalam, aku akan mendobraknya. “ Saat tidak ada jawaban lagi dari dalam, aku segera membuka pintu kamar mandi itu yang rupanya tidak di kunci, aku menarik nafas lega.“Loh, Milah, kamu kenapa? ““Aku, aku, enggak bisa berjalan mas, rasanya sakit. “ Ucap Jamilah sambil meringis menahan sakit, “tadi pas aku mengeluarkan air kencing rasanya aku mau pingsan mas, perih... hik. “ Jamilah berbicara sambil terisak. Aku menjadi tidak tega di buatnya. Aku mengulurkan tanganku untuk membelai rambut ikalnya yang masih berantakan, “maaf ya, sayang aku membuatmu kesakitan. “ Ucapku dengan nada penyesalan, Jamilah menggeleng dan memegang tanganku, “tidak mas, itu bukan salahmu, kata mak, semua itu adalah salah satu kewajiban aku sebagai
Suasana rumah telah sepi, aku kembali memasuki kamar mungil Jamilah. Kulihat wanitaku menggeliat kecil, ia menggerakkan tubuhnya hingga tatapan kami bertemu. Kemudian Jamilah menatap koper yang telah berjejer rapi di lantai. Jamilah membulatkan matanya, “mas, kamu mau pulang? “ aku mengangguk perlahan, raut kesedihan muncul dari wajah ayu istriku itu, muncul ide jail untuk mengerjainya saat ini.Aku berangsur mendekatinya, “kenapa? Apa kamu sedih harus berpisah denganku? “ Jamilah menatapku sejenak kemudian menundukkan kepalanya, aku tahu dia pasti sedang menyembunyikan kesedihannya. Aku meraih dagu lancip itu untuk menatapku pandangan kami bertemu, aku segera mendekatkan bibirku dan membisikkan sesuatu, “sayang, bolehkan aku memintanya sebelum pergi? Sebagai tanda perpisahan? Aku pasti akan sangat merindukanmu nanti? “ pintaku halus, rona merah tengah menghiasi kedua pipi istri polosku itu. Sungguh rasanya sangat menyenangkan menggoda gadis belia ini. Uh, bagaimana aku tidak kecand
Setelah peristiwa kamar mandi usai, kami akhirnya sarapan bersama dengan menu ala pedesaan seperti biasa, tetapi untuk aku, Jamilah telah menyiapkan roti selai kacang kesukaanku, tanpa aku sadari jika Jamilah ternyata sudah sangat mengerti kebiasaan dan kesukaanku selama lima belas hari ini.Pagi ini Jamilah sudah sedikit membaik, walau masih tertatih ia sudah bisa berjalan kembali, rasa hatiku sangat kasihan, tetapi ya bagaimana lagi, jika kami berada di rumah mama, maka tidak akan aku biarkan Jamilah keluar kamar walau hanya sekedar untuk makan saja. Aku akan melayani istri kecilku itu dengan sepenuh hati. Bahkan akan aku buat hari-harinya menjadi indah dan kulayani selayaknya ratu. Jamilah memang sudah menjadi ratu di hatiku sejak ia menyerahkan mahkota paling berharga miliknya untukku.Ibu Fatimah telah pergi bekerja, sementara Jamilah aku perintahkan istirahat di kamar, sementara aku, ah, mungkin kalian tidak akan percaya di mana aku sekarang. Iya, aku sedang mencuci pakaian da
“Mau mandi, atau makan dulu?” aku bertanya sesaat setelah menurunkan tubuhku. Segera kututup tubuh polos Jamilah agar aku tidak tergoda lagi. Kasihan kan wanitaku sampai harus menahan lapar saat melakukan kewajibannya tadi. Mungkin kalau dulu aku tidak akan peduli dengan hal itu. Tetapi sekarang hatiku merasa iba, apakah karena status Jamilah sebagai istriku? Ah, ini terlalu dini bila aku mengatakan jika aku sangat menyayangi Jamilah.Aku menatap tubuh lelah istriku, “kamu kok enggak menjawab, mau mandi atau makan dulu? “ Jamilah menggeleng lemah.“Baiklah sayang, rupanya kamu sudah terlalu lelah, biar aku yang memutuskan semuanya, oke? “ Jamilah hanya bisa menatapku dan membiarkan saat aku menggulung tubuhnya dengan selimut dan menggendongnya lagi keluar kamar.Saat sampai di pintu dapur Jamilah meronta untuk turun, aku semakin mendekapnya erat, “sayang jangan berontak nanti kamu jatuh. “ Karna gemas aku malah melumat bibir ranum Jamilah yang sejak tadi terus menggodaku. Saat aku mel
“Eh, orang ditanya kok malah balik nanya, Muna, enggak usah mengurusi kehidupan pribadi orang lain, apa kamu mau kalo rumah tanggamu di usik? “ Wanita bernama Muna itu menggeleng, “nah, jadi enggak usah kamu repot mengurusi masalah orang lain ya! “ ibu Fatimah gegas menarik tanganku untuk meninggalkan tempat itu. Aku menurut saja, semua orang menatap kepergian kami, mendadak suasana ramai di warung itu menjadi sepi, “wah hebat juga pesona ibu mertua di kampung ini. “ Batinku kagum.“Eh, buk, kita belum membeli gula tadi kan? “ Tiba-tiba saja aku teringat tujuanku untuk membeli gula.“Sudahlah menantu, nanti kita cari di tempat lain saja, “tutur ibu mertua. Saat ini kami sudah sampai di halaman rumah.“Nah, mak mau ke pasar dulu ya, itu makanan sudah matang, kamu makanlah dengan Jamilah! ““Tunggu buk! Sebenarnya aku ingin bertanya sejak tadi, siapa wanita yang di maksud ibu genit tadi? Em, Nurjanah maksudku? “Saat mendengar pertanyaanku tiba-tiba saja wajah wanita paruh baya itu men
“Milah, sayang, apa kamu belum selesai juga? “ Tidak ada jawaban dari dalam, pasalnya sudah setengah jam aku menunggunya di depan pintu kamar mandi. Aku bergerak maju mundur sambil terus mengetuk pintu kamar mandi, “sayang, aku buka pintunya ya, kalau kamu kunci dari dalam, aku akan mendobraknya. “ Saat tidak ada jawaban lagi dari dalam, aku segera membuka pintu kamar mandi itu yang rupanya tidak di kunci, aku menarik nafas lega.“Loh, Milah, kamu kenapa? ““Aku, aku, enggak bisa berjalan mas, rasanya sakit. “ Ucap Jamilah sambil meringis menahan sakit, “tadi pas aku mengeluarkan air kencing rasanya aku mau pingsan mas, perih... hik. “ Jamilah berbicara sambil terisak. Aku menjadi tidak tega di buatnya. Aku mengulurkan tanganku untuk membelai rambut ikalnya yang masih berantakan, “maaf ya, sayang aku membuatmu kesakitan. “ Ucapku dengan nada penyesalan, Jamilah menggeleng dan memegang tanganku, “tidak mas, itu bukan salahmu, kata mak, semua itu adalah salah satu kewajiban aku sebagai
Saat mencapai pintu depan bersamaan dengan ibu mertua yang baru mau masuk ke dalam rumah.“Menantu, kenapa pintunya tidak di tutup? ““Em, iya buk, aku baru saja mau menutupnya, “ aku menjadi salah tingkah saat ibu mertua menatapku dengan tatapan heran. Aku segera memperhatikan arah tatapan ibu mertua, “ya Tuhan, aku lupa tidak mengenakan baju. “ Tanpa babibu, aku segera berlari masuk ke dalam kamar kembali. Mungkin ibu mertua telah tertawa di ruang tamu karena melihat tingkah konyolku barusan. Ah, bagaimana lagi semua sudah terjadi.Sampai di kamar aku urung mencari kemejaku yang entah terserak di mana. Aku duduk di samping Jamilah yang telah terlelap. Aku terus berpikir bagaimana cara kami tidur di atas dipan sempit ini. Hingga aku mendapatkan ide gila yang membuat aku tersenyum bahagia.Aku mengangkat tubuh wanitaku secara perlahan dan merebahkan tubuhku di atas kasur itu. Sementara Jamilah aku letakkan tubuhnya di atas tubuhku hingga gundukan kenyal itu terasa menempel pada dada b
“Tuan, berbaringlah! biar aku mengipasi tubuhmu, “ Jamilah perlahan mendekat ke arahku sambil menampilkan rona merah pada kedua pipinya, “janda ini seperti remaja saja, uh, dasar. “ umpatku dalam hati. Antara gemas dan kesal menjadi satu dalam pikiranku.Perlahan aku baringkan tubuhku, Jamilah mulai melancarkan aksinya, menggerakkan kipas dari bambu ke kanan dan ke kiri, rasanya lumayan segar, walau sebenarnya aku masih kurang puas dengan kipas bambu itu, tapi ya bagaimana lagi. Adanya memang ini di kampung. Berkali-kali aku merutuki kebodohanku kenapa harus sampai di desa ini. Ide mama memang sungguh membuat aku tersiksa.Aku melirik wajah Jamilah sekilas, wanita itu tetap menjaga pandangannya tanpa menatapku, entah mengapa aku jadi merasa kesal.“He, kerja yang benar, jangan membuang muka seperti itu, kamu tahu, itu tidak sopan. “ Jamilah segera mengarahkan pandangannya kepadaku, bersamaan dengan tubuhku yang perlahan duduk dari pembaringan, hingga kedua netra kami bertemu, jarak ya
“Pedas...hu hu hu!“ teriakku sambil sibuk mengipasi mulut yang terasa terbakar, gila, ini benar-benar menyakitkan mulutku seperti mengulum bara api.Jamilah dan ibu Fatimah panik melihat aku yang belingsatan bak cacing kepanasan.Jamilah menyodorkan segelas air hangat, tetapi setelah aku minum belum juga meredakan rasa pedas di mulutku.“Tuan, bagaimana ini, “ Jamilah menatapku dengan perasaan iba, bibirku mungkin sudah melepuh dan merah, aku hanya menatap wanita itu sekilas kemudian gegas keluar rumah. Tiba-tiba saja perasaan malu merayapi relung hatiku, bagaimana bisa seorang perkasa sepertiku kalah dengan yang namanya rasa pedas. Memalukan.Di halaman rumah aku duduk di balai bambu, menatap jalanan yang masih sepi, mungkin di kampung memang seperti ini kondisinya jarang ada kendaraan yang berlalu lalang, aku masih fokus menatap ke depan saat suara ibu Fatimah mengejutkanku, “nak menantu, ini minumlah, untuk pereda rasa pedas tadi, di habiskan ya, biar enggak panas perutnya, bisa-bi
Saat makan malam tiba aku benar-benar tidak percaya, bagaimana bisa Heri dengan teganya telah meninggalkan aku di desa terpencil ini. Aku masih terdiam menatap hidangan di lantai yang beralaskan tikar di ruang tamu sederhana milik Jamilah. Rumah ini memang sangat kecil, hanya ada empat ruangan dua kamar tidur satu dapur dan satu kamar tamu kalau dipikir-pikir rumah ini lebih cocok di katakan rumah kubus karena tempatnya yang segi empat. Semua ruangan berukuran sama. Sungguh rasanya aku ingin segera kembali saja, tetapi sialnya sopirku itu sungguh, membuatku naik pitam saja, aku berjanji akan membuat perhitungan dengannya bila sudah sampai Jakarta nanti.“Nak menantu, ayo di makan, maaf ya di kampung Cuma ada beginian, “ Ibu Jamilah menyodorkan piring ke arahku, Jamilah kemudian gegas mengisikan nasi ke dalam piring yang aku pegang.“Tuan, mau makan apa? “ tanya Jamilah sambil menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan.“Em, aku... . “ Aduh rasanya aku ingin berteriak bahwa makana