Gelagat Fadhil yang mencurigakan membuat Ridwan sang sahabat mengernyitkan dahinya. "Siapa itu Raya?" Tanya Ridwan sekali lagi. Fadhil pun menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Ia tak mungkin lagi akan mengelak. Ia pikir lambat laun semuanya pasti akan terbongkar dengan sendirinya. "Raya itu istri keduaku." "Apa? Istri keduamu?" Pekik Ridwan tak bisa mengontrol intonasi bicaranya. "Husst!" Fadhil menutup mulut Ridwan dengan telapak tangannya dan meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya untuk memberikan kode kepada Ridwan agar tidak berisik. Fadhil juga terlihat celingukan kesana kemari untuk memastikan tidak ada orang di sekitar mereka. Ridwan menghempaskan tangan Fadhil dari mulutnya. "Apa kamu bilang? Kamu punya istri dua, Fadhil?" Desis Ridwan sambil menatap tajam sang sahabat. "Siapa yang punya istri dua?" Suara itu mengagetkan kedua pria yang sedang saling menatap itu. Mereka berdua menengok ke arah sumber suara. Ternyata ada Munif yang baru s
Kehidupan Amira kini jadi lebih baik daripada sebelumnya. Ia sudah bekerja menjadi seorang pengajar di salah satu sekolah swasta. Setiap pagi dia selalu berangkat ke sekolah menggunakan sepeda roda duanya."Kalau kayak gini terus, aku bisa langsing nih." Kelakar Amira sembari mengayuh sepedanya sembari bersenandung ria. Ia terlihat bahagia sekali. Padahal di balik semua itu dia memiliki beban hidup yang tak semua orang tahu. Amira mengajar anak-anak sekolah dasar yang notabene mereka terlihat lucu dengan tingkahnya, membuat wanita dengan hijab lebar itu bahagia setiap harinya. Amira bahkan sampai lupa kalau dia masih berstatus sebagai seorang istri. Anak-anak muridnya bahkan menyukai pribadi guru baru itu yang menurut mereka sangat ramah anak. Amira pun juga cepat beradaptasi dengan lingkungan baru membuatnya tidak kesulitan untuk mengambil hati anak-anak didiknya. Sepulangnya dari mengajar, Amira biasanya melanjutkan kegiatan membuat camilan basah yang ia jual keliling. Amira benar
Selama Amira memutuskan hidup sendiri, Fadhil tidak pernah mencarinya. Pantang bagi dirinya untuk mencari Amira dan meminta maaf bahkan mengajaknya untuk hidup bersama kembali. Fadhil merasa gengsi apabila harus melakukan itu kepada Amira. Harga dirinya bisa jatuh di hadapan Amira. Fadhil justru membiarkan Amira hidup sendiri di luar sana. Pria yang sebentar lagi akan menginjak kepala tiga itu ingin tahu seberapa kuat Amira hidup di luar sana tanpa adanya dukungan materi dari dirinya. Ia juga tak ada niatan memberikannya uang nafkah karena Amira tidak mau bertahan dengan dirinya. Amira harus merasakan kesulitan hidup sampai dia mau menggugat cerai dirinya. Dia tak ingin membuang-buang waktu hanya untuk menceraikan Amira. Apalagi mengeluarkan biaya untuk mengajukan gugatan cerai, Fadhil tak ingin melakukannya.Usia kandungan Raya sudah mencapai delapan bulan. Sebentar lagi Raya akan melahirkan. Selama itu pula orang tua Fadhil belum tahu bahwa mereka sebentar lagi akan memiliki cucu.
Wajah panik Fadhil sudah sangat terlihat sekali. Ia benar-benar cemas dengan kondisi istrinya yang akan melahirkan. Fadhil terlihat menggigit bibir bawahnya sembari terus mondar-mandir di depan pintu sebuah ruangan. Bahkan pakaian yang ia kenakan masih basah, namun Fadhil tak peduli. Ia terus berjaga di depan pintu. Tetangga yang ia mintai tolong tadi sudah ia minta untuk pulang ke rumahnya. Ia juga memberikan uang sekedarnya sebagai upah karena mau direpotkan saat genting seperti tadi. Tak lama kemudian, seorang pria dengan rambut sedikit memutih keluar dari ruang tindakan itu dengan raut wajah yang tegang. Hal itu membuat Fadhil semakin cemas. "Bagaimana keadaan istri saya dok?" "Pak, bayi Anda harus segera dikeluarkan, air ketubannya sudah mulai keruh. Apalagi kondisinya masih sungsang pak saat ini. Lebih baik segera dilakukan tindakan operasi saja pak. Demi keselamatan ibu dan bayi." Penjelasan dokter setengah baya itu membuat Fadhil melongo. "Operasi dok? Apa tidak ada jalan
"Bu, tenanglah dulu. Ayo duduk bu!" Fadhil mengajak ibunya duduk di kursi ruang tamu, agar tidak mengganggu tidur si kecil. Sedangkan Raya segera menidurkan bayinya dan berjalan pelan mendekati ibu mertua yang baru pertama kalinya ia bertemu. "Bu, Fadhil bisa jelaskan tapi ibu tenang dulu ya." Fadhil berjongkok di hadapan ibunya. Sedangkan ayah Fadhil belum sepenuhnya paham situasinya. Wajah sang ibunda terlihat menahan amarah. Namun ia terus menampik pikiran buruknya. Hanya saja dadanya bergemuruh. "Apa yang bisa kamu jelaskan? Dimana Amira?" Sentak ibu Fadhil penuh penekanan. Fadhil pun terlihat diam sejenak dan menunjukkan pandangannya. Raya keluar dari kamar itu dan menghampiri kedua mertuanya. Ia tertunduk dengan menahan nyeri di perutnya. Ia meraih tangan ayah dan ibu mertuanya dan mencium punggung tangan keduanya dengan hormat. Raya pun ikut duduk di ruang tamu itu dengan sedikit kepayahan karena bekas luka itu masih terasa perih. Suasana mendadak tegang. Fadhil sendiri mas
Amira menundukkan kepalanya saat Fadhil menatap dirinya seperti itu. "Amira, sayang! Akhirnya kamu pulang. Maafin ibu nak." Ibu mertuanya memeluk Amira kembali. Air mata yang berlinang diusapnya berkali-kali. "Ibu, kenapa menangis?" Amira melepaskan pelukan ibu mertuanya yang masih terisak itu. "Ibu seneng kamu pulang kesini. Jujur saja ibu itu kangen sama kamu." Ungkap sang mertua yang membuat Amira mengulas senyum. Manis sekali. "Kita masuk dulu ya nak. Ayo!" Aja ibu mertuanya itu. Amira berjalan melewati Fadhil yang masih ternganga tak percaya. Ternyata perubahan Amira sangat terlihat meskipun masih terlihat chubby, namun itu tak membuatnya kelihatan gendut seperti sebelumnya. "Fadhil! Buatkan istrimu minuman. Cepat!" Titah sang ibunda akhirnya Fadhil berjalan pelan ke dapur dan membuatkan minuman untuk Amira. Hal yang tak pernah ia lakukan selama Amira menjadi istrinya. Namun karena permintaan ibunyalah akhirnya Fadhil membuahkan minuman untuk Amira. "Bu, sebenarnya tidak us
Amira yang berlarian ke luar ternyata menabrak seseorang. Ia tak berhati-hati dan awas terhadap jalan di hadapannya. "Awww!" Tubuh Amira terjatuh ke aspal. "Maaf, nona. Saya tidak sengaja. Saya..." Pria itu menggantung ucapannya ketika Amira berusaha berdiri sendiri. Tatapan keduanya saling bertemu. Ada getaran rindu yang Rayyan rasakan. Setelah lama ia tak mengetahui kabar apapun dari Amira, kini dia dipertemukan di tempat yang tak terduga sama sekali. Rayyan sempat terpaku menatap Amira yang sudah menjelma menjadi wanita cantik dengan tubuh yang hampir mendekati ideal. Rayyan memang tak sengaja datang ke area disana karena ada pedagang karedok yang berjualan tak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini. Rayyan berencana untuk membelikan umminya makanan itu. Tapi siang sangka bahwa ia akan bertemu dengan wanita yang selama ini dia cari. "Mas Rayyan!" Seru Amira pelan. "A-amira!" Rayyan pun terbata sambil tatapannya terus mengarah pada Amira. Amira memalingkan wajahnya ke kanan
"Kenapa Mas Rayyan bisa tahu kalau aku tinggal di tempat ini? Apa jangan-jangan Mas Rayyan mengikutiku ya tadi?" Ucap Amira dalam hatinya. Dengan sedikit terpaksa, Amira pun berjalan pelan mendekati Rayyan yang berdiri tak jauh dari tempatnya sekarang."Maaf, aku mengikutimu tadi." Seru Rayyan saat Amira berada tepat di hadapannya. "Ada apa Mas Rayyan?" Langsung saja Amira mengatakan itu karena dia tidak mau berbasa-basi pada Rayyan. Kejadian beberapa bulan yang lalu telah membuatnya membangun tembok kokoh yang cukup membatasi jarak di antara mereka. Padahal dulunya keduanya bisa melepas canda tawa bersama dengan Maya tanpa ada rasa canggung seperti sekarang ini. Amira bahkan tidak bisa mengekspresikan diri seceria dulu di hadapan Rayyan setelah tahu kenyataan yang sebenarnya."Kenapa kamu dulu pergi tanpa kabar?" "Duduklah, mas." Titah Amira pada Rayyan. Pria itu segera duduk di kursi teras di depan rumah ibu kos. Hal itu karena memang agar tidak ada fitnah di antara mereka. Amir
Raya membolak-balikkan tubuhnya. Perasaan yang tiba-tiba muncul kala mendengar kabar pernikahan Rayyan dengan seorang wanita membuatnya resah dan gelisah. Padahal ia sudah memastikan pada hatinya bahwa Amira tidak akan memiliki perasaan kepada Rayyan. Namun betapa terkejutnya ia kali ini saat Maya mengatakan hal itu. Hatinya bagai teriris. "Ya Allah, apa aku sudah jatuh hati pada pria itu? Tidak! Jangan sampai! Aku tahu dia dan aku itu beda kelas. Dia anak orang terpandang. Tidak sepantasnya bersanding dengan aku yang hanya keluarga biasa saja." "Tapi kenapa perasaan ini muncul tiba-tiba? Aku cemburu?" Amira merapatkan matanya sejenak. Ia pukul pelan keningnya dengan tangannya yang menggenggam. "Nggak boleh dibiarkan! Rasa ini harus aku hilangkan secepatnya. Aku tidak ingin menjadi duri di dalam rumah tangga mereka. Aku tahu rasanya dipermainkan dalam rumah tangga. Jadi, aku tidak ingin menjadi pelakunya.""Lagipula Mas Rayyan kan sudah memutuskan untuk menikahi wanita lain. Janjin
Memang seperti itulah manusia. Saat diberikan waktu untuk sebuah kenikmatan justru mereka lupa untuk mensyukurinya. Tetapi justru memilih untuk berusaha mencari ladang yang dianggapnya lebih subur. Rumput tetangga memang jauh lebih hijau dibandingkan dengan rumput di halaman sendiri. Padahal jika rerumputan itu dirawat, pasti akan sangat indah dipandang oleh mata. Namun setelah melihat kenyataan yang sebenarnya, barulah ia bisa menyesalinya. Begitu juga dengan Fadhil saat ini. Dari dulu dia sangat berharap kalau Raya adalah jodoh tepat dari Tuhan untuk dirinya. Dia sangat menjaga hatinya hanya untuk Raya seorang. Bahkan sampai Fadhil menikahi Amira, rasa itu malah semakin ia tumbuhkan secara sengaja agar Amira menyerah saja pada pernikahan ini. Namun saat ini ia telah menuai apa yang dia lakukan. Raya yang dianggapnya adalah wanita sempurna dan cocok mendampingi hidupnya ternyata sangat jauh dari ekspektasinya sebagai seorang laki-laki. Sementara itu Rayyan kini tengah menghadap pad
Rayyan yang melihat Amira diam saja membuatnya gelisah. Ia pun mencoba untuk menanyakan kembali."Jadi, bagaimana Amira?" Mata Rayyan tak henti-hentinya melihat Amira yang sangat cantik di matanya. Amira belum berani menjawabnya. Rayyan dengan sabar menanti jawaban dari Amira. Hati wanita yang baru selesai masa iddah itu bertambah campur aduk. Ia menoleh ke arah bapak ibunya untuk mencari pertolongan. Orang tuanya juga saling pandang karena mereka kebingungan untuk menanggapinya. Di sisi satu, orang tua Amira sangat bahagia karena ada pria sholeh dan baik yang mau mempersunting anaknya. Namun di sisi lain mereka juga mengkhawatirkan tentang status sosial yang melekat di antara kedua belah pihak. Tak bisa dipungkiri bahwa orang tuanya sempat khawatir akan hal itu. Mereka termasuk keluarga mampu namun kalau dibandingkan dengan keluarga Rayyan jelas jauh bedanya. Oleh karena itu, mereka meragukannya. Mereka khawatir anaknya nantinya akan diperlakukan tidak baik disana karena perbedaan
Amira semakin rajin merawat diri dari hari ke hari. Dia rajin ke tempat senam untuk membuat tubuhnya ideal. Pola makan sehat selalu dia terapkan. Awalnya memang sangat sulit sekali. Apalagi kebiasaan makan banyak yang Amira lakukan sangat sulit untuk dihindari. Namun karena Amira bertekad untuk hidup lebih baik, akhirnya Amira pun berhasil menurunkan berat badannya secara drastis. Selain menjaga kesehatan dan pola makannya, Amira juga sudah mulai berani belajar mempercantik diri. Bahkan ia semakin lihai menggunakan peralatan make up yang semula awam bagi dirinya. Dia belajar secara otodidak melalui sosial media. Dia pun juga belajar bagaimana cara tampil stylish. Hal itu dia lakukan untuk membuat kehidupan lebih baik daripada sebelumnya. Ia ingin meninggalkan masa-masa kelam dengan Amira yang baru. Amira kini menatap dirinya pada pantulan cermin di hadapannya. Ia merasa puas dengan hasil yang selama ini dia lakukan. Pengorbanan selama ini akhirnya berbuah manis. Amira menjelma menja
Singkat cerita, akhirnya Fadhil dan Amira telah resmi bercerai. Amira hanya ingin sendiri dan menata hidupnya kembali. Perjuangan untuk mendapatkan cinta sang suami yang tulus ternyata berakhir pada kandasnya rumah tangga mereka. Cinta yang sempat hadir di hati Amira pun perlahan terkikis oleh waktu. Perlakuan Fadhil dan juga pengkhianatan yang dilakukan Fadhil ternyata mampu menggoyahkan cinta yang selama ini ia tumbuhkan di hatinya. "Ya Allah, aku benar-benar sudah berubah status menjadi seorang janda. Aku tak menyangka takdirku ternyata seperti ini pada akhirnya. Tapi aku tidak akan menyalahkannya. Engkau lebih tahu apa yang terbaik untukku Ya Allah. Ampuni hamba karena sudah memilih jalan yang Engkau benci ini." Amira menatap indahnya hamparan kebun bunga yang berada di sebuah taman. Ia sedang menikmati pemandangan sekaligus menghirup udara segar setelah sidang akhirnya diputuskan kemarin. Amira pun merasa lega karena terbebas dari pernikahan toksik yang pada akhirnya membuatnya
"Ada apa Bu?" Tanya Raya saat dia sudah membuka pintu. Raya melihat ibu mertuanya dengan mimik wajah marah. "Kamu itu bisa mengerjakan pekerjaan rumah nggak sih? Kenapa cuma nyapu sama nyuci baju aja kamu nggak bisa?""Aku cuma bisanya seperti itu, bu. Kalaupun ada salah ya maklum lah bu. Aku memang nggak terbiasa melakukan pekerjaan rumah. Kan harusnya bisa dilaundry. Masalah nyapu nggak bersih-beesih amat juga nggak masalah kali Bu. nanti juga berdebu lagi. Terus nyapu lagi. Daripada capek nyapu mending nyapunya jarang aja Bu.""Ya Allah Raya! Kamu itu jadi perempuan kenapa malesnya minta ampun sih. Ada aja alasan kamu buat tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Memangnya sama orang tuamu tidak pernah diajarkan beres-beres rumah? Timbang gini doang kamu nggak bisa."Raya pun terdiam. Karena ia rasa percuma mendebat orang tua seperti ibu mertuanya itu. Pasti pada akhirnya tidak mau mengalah dan harus dirinyalah yang akan disalahkan. "Ya sudah bu nanti lain kali aku lebih hati-hati lagi
Hari demi hari telah berlalu. Sikap Fadhil mulai berubah terhadap Raya, istri keduanya. Padahal sebelum kehadiran Amira kala itu, Fadhil terlihat seperti "budak cinta" pada Raya. Fadhil bahkan rela melakukan apapun untuk kebahagiaan Raya. Berbeda dengan sekarang, Fadhil lebih sibuk dengan ponselnya daripada mengurusi dirinya dan juga bayi mereka yang baru lahir. Bahkan semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh kedua orang tua Fadhil. Memang pasangan senior itu sengaja di sana sedikit lebih lama karena ingin menghadiri acara sidang perceraian Fadhil dan Amira. Raya merasa dirinya semakin tersingkirkan oleh suaminya sendiri. Fadhil semakin tidak mempedulikan dirinya dari waktu ke waktu. "Mas, aku pengen makan cireng isi yang di perempatan seberang itu. Nanti belikan ya mas?" Pinta Raya sembari duduk di samping Fadhil yang tengah sibuk bermain ponsel. "Kamu beli aja sendiri. Sudah kuat buat jalan kesana kan? Ngapain nyuruh aku beli?" Sahut Fadhil tak menoleh ke arah Raya sedikitpun. "Kok
"Kenapa Mas Rayyan bisa tahu kalau aku tinggal di tempat ini? Apa jangan-jangan Mas Rayyan mengikutiku ya tadi?" Ucap Amira dalam hatinya. Dengan sedikit terpaksa, Amira pun berjalan pelan mendekati Rayyan yang berdiri tak jauh dari tempatnya sekarang."Maaf, aku mengikutimu tadi." Seru Rayyan saat Amira berada tepat di hadapannya. "Ada apa Mas Rayyan?" Langsung saja Amira mengatakan itu karena dia tidak mau berbasa-basi pada Rayyan. Kejadian beberapa bulan yang lalu telah membuatnya membangun tembok kokoh yang cukup membatasi jarak di antara mereka. Padahal dulunya keduanya bisa melepas canda tawa bersama dengan Maya tanpa ada rasa canggung seperti sekarang ini. Amira bahkan tidak bisa mengekspresikan diri seceria dulu di hadapan Rayyan setelah tahu kenyataan yang sebenarnya."Kenapa kamu dulu pergi tanpa kabar?" "Duduklah, mas." Titah Amira pada Rayyan. Pria itu segera duduk di kursi teras di depan rumah ibu kos. Hal itu karena memang agar tidak ada fitnah di antara mereka. Amir
Amira yang berlarian ke luar ternyata menabrak seseorang. Ia tak berhati-hati dan awas terhadap jalan di hadapannya. "Awww!" Tubuh Amira terjatuh ke aspal. "Maaf, nona. Saya tidak sengaja. Saya..." Pria itu menggantung ucapannya ketika Amira berusaha berdiri sendiri. Tatapan keduanya saling bertemu. Ada getaran rindu yang Rayyan rasakan. Setelah lama ia tak mengetahui kabar apapun dari Amira, kini dia dipertemukan di tempat yang tak terduga sama sekali. Rayyan sempat terpaku menatap Amira yang sudah menjelma menjadi wanita cantik dengan tubuh yang hampir mendekati ideal. Rayyan memang tak sengaja datang ke area disana karena ada pedagang karedok yang berjualan tak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini. Rayyan berencana untuk membelikan umminya makanan itu. Tapi siang sangka bahwa ia akan bertemu dengan wanita yang selama ini dia cari. "Mas Rayyan!" Seru Amira pelan. "A-amira!" Rayyan pun terbata sambil tatapannya terus mengarah pada Amira. Amira memalingkan wajahnya ke kanan