Rose menutupi kedua matanya. Lampu sorot yang berpijar sangat terang itu terasa begitu menyilaukan, membuat matanya sakit. Gadis itu belum sempat menyadari apapun ketika didengarnya suara deru kendaraan yang begitu keras. Rose terkejut!
Namun, belum sempat dia terjaga dari rasa kaget, gadis itu semakin tersentak ketika melihat di balik cahaya yang berpijar terang menyorot padanya adalah sebuah mobil. Kendaraan beroda empat itu melaju kencang padanya.
Rose tak berkutik! Punggungnya menempel erat pada tembok. Dia tak sempat berlari lagi, kakinya seakan terpaku pada lantai. Gadis itu tidak ingin pasrah, tetapi situasi tersebut membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali berteriak pada Sang Pencipta.
'Tuhan, selamatkan aku!' teriaknya dengan bibir terkunci.
Semua hal terlintas dengan cepat dalam benaknya. Banyak tanggung jawab yang masih harus dia tuntaskan. Ada nyawa yang masih berharap dirinya bernapas. Rose tidak ingin mat
"Pelacur?" Rose menggigil mendengar kata itu."Mungkin … lebih baik aku meninggalkan dirimu dengan pria itu. Ah! Betapa bodohnya aku." Robert terkekeh sinis. "Jika dia memilikimu, maka aku akan bebas mendapatkan Kenzie, bukan?"Rose melotot mendengar perkataan Robert. Dia heran bagaimana pria itu bisa mengucapkan hal yang begitu licik. Merampas Kenzie dengan menggunakan taktik keji seperti itu, menyakinkan Rose jika dokter showbizz ini bukanlah pria baik. Dia lebih tidak pantas lagi memiliki Kenzie."Aku rasa hargamu rumayan mahal." Robert meneliti Rose dari atas ke bawah. "Apalagi jika kau masih perawan." Ucapan penuh penghinaan itu membuat Rose semakin tersinggung."Kau!" Rose hendak menampar Robert, tetapi dengan cepat pria itu menangkap tangannya dan mencengkeram kuat. Mereka berdua berdiri bagaikan musuh bebuyutan yang siap untuk saling menghancurkan.Dia tidak menyangka pria ini bisa berbicara keji seperti itu. Menjual diri
Rose mengerjapkan matanya yang masih terasa sukar untuk dibuka. Perempuan itu memegangi kepalanya yang terasa sangat pening dan berusaha terjaga dari tidur panjangnya. Wanita itu merasakan tubuhnya terasa sedikit sakit di beberapa bagian. Setelah beberapa saat Rose akhirnya bisa membuka matanya lebar-lebar dan dia menatap heran ke arah langit-langit kamar dengan lampu benderang yang tak pernah dia miliki. Ketika kesadarannya pulih wanita itu tersentak melihat ruangan mewah di mana dirinya berbaring. "Di mana aku?" Rose segera menegakkan tubuhnya dan duduk di pinggiran tempat tidur. "Kamar ini … aku tidak mengenalnya." Rose berdiri dan berpegangan pada nakas di sampingnya. Kepalanya masih berdenyut saat dia paksaan untuk berdiri dengan tiba-tiba. Wanita muda dan cantik itu kemudian melemparkan pandangannya ke sekeliling ruangan berusaha mencari jejak akan keberadaannya. Kamar ini hampir setengah kali ukuran luas daripada apartemen yang di
Dua puluh empat jam sudah dirinya terkurung di dalam kamar. Rose nyaris tidak dapat memejamkan matanya, berjaga di sebelah pintu berharap penutup ruangan itu akan terbuka. Dia memasang pendengarannya baik-baik, berjuang melawan kantuk.Hampir saja matanya tertutup dan alam mimpi membawanya melayang pergi, ketika dia terdengar sayup-sayup suara di luar sana. Dentuman dengan irama yang anggun beradu di lantai, menyakinkan Rose jika itu adalah sepatu berhak tinggi seorang wanita."Tolong!" teriak Rose sambil menggedor pintu. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa segera keluar dari kurungan."Tolong, keluarkan aku!" Rose terus membuat keributan agar siapapun di luar sana yang dia yakini bukan Robert bisa segera membuka pintu.Harapannya terkabul, dia bis
"Kantor polisi?" Rose tersentak kaget melihat Polisi Sebastian sudah berada di depan apartemennya."Hei, kenapa kau terlihat begitu tegang?" Senyuman ramah tersungging di wajah polisi berambut pirang itu.“Ah, Anda membuat saya khawatir.” Rose menghela napas lega saat melihat senyum ramah Polisi muda tersebut."Apakah kau hendak keluar?" Polisi tersebut melirik ke arah dalam apartemen saat Rose terlihat tidak berusaha mempersilahkannya dia untuk masuk."Aku … maafkan aku, Pak Sebastian--""Panggil aku Sebastian tanpa tambahan apapun."Rose hendak membantah, tetapi melihat keseriusan di balik kata-kata Polisi tersebut, Dia memilih untuk diam dan mengalah."Baiklah. Aku harus ke dinas sosial dan departemen imigrasi." Rose menutup pintu di belakangnya."Apakah ada sesuatu yang terjadi?" Sebastian berjalan menyejajari langkah Rose."Mereka membawa Kenzie dan Daddy.""Membawa?
"Aunt Rose!" tangis Kenzie pecah dengan keras.Bocah kecil itu memberontak dari gendingan petugas hingga mereka terpaksa menurunkan Kenzie dari gendongan. Bocah tampan itu berlari dengan cepat berhamburan ke dalam pelukan Rose.Tangis Rose dan Kenzie pecah dengan keras, menggugah hati setiap orang yang melihatnya. Rose memperkuat pelukannya pada Kenzie dengan erat. Dia mencium kening dan pipi bocah itu penuh rasa kasih sayang sekaligus rasa bersalah."Aunt Rose, Kenzie takut," ujar bocah itu di sela-sela isak tangisnya."Aunt di sini, Sayang, Aunt di sini.""Ayo pulang, Aunt. Mereka banyak sekali, kita harus menyelamatkan Grandpa juga," bisik Kenzie takut-takut sambil menatap ke arah orang banyak yang berseragam."Oh, Kenzie." Rose mendesah sedih."Waktu Anda sudah habis, Nona." Seorang petugas berjalan mendekati mereka.Rose menatap sedih dengan tetap memeluk bocah itu dengan erat. Waktu sepuluh menit yang mereka b
"Surat untuk Anda, Nona." Petugas tersebut pergi setelah dia menyerahkan surat untuk Rose.Gadis itu dengan keadaan fisik yang tidak terurus, setelah semalaman menangis dan nyaris tidak dapat memejamkan mata, berdiri dengan tubuh lemas dan tangan gemetaran menerima amplop tersebut.Rose membuka kertas segi empat berwarna coklat itu dan membaca surat dari dinas sosial. Tangannya gemetaran dan tubuhnya seketika tersungkur ke lantai yang dingin. Pandangan mata Rose terlihat hampa, tatapan kosong terarah lurus seakan hendak menembus tembok di depannya.Rose termangu untuk beberapa saat dalam pusaran keheningan yang dia ciptakan. Jiwa wanita itu terlihat sangat hampa. Dia syok menerima kabar yang baru saja dia baca. Sikap gadis cantik keturunan Asia dan Mexico itu membuat Dulce seorang imigran dari Chile menjadi resah."Apa yang terjadi Rose?" Dari arah dapur Dulce bergegas menghampiri Rose yang duduk di lantai.Dulce yang tidak mendapatkan jawaba
Rose berdiri di depan pagar besi yang menjulang tinggi di hadapannya. Barisan besi yang menutup rapat rumah megah di dalamnya, seakan tersenyum meremehkannya.Gadis itu tidak menghiraukan teriknya sinar mentari yang membakar rambut indah dan kulit halusnya. Dia mencari bel dan berhasil menemukan interkom untuk berkomunikasi. Rose memencet tombol dan menunggu jawaban."Siapa Anda?" tanya suara pria dari balik intercom."Aku, Rose, bisakah aku bertemu dengan tuan Robert miller?""Apakah Anda ada janji?"Pertanyaan yang sama kembali terucap membuat Rose membatin seberapa sibuknya seorang Robert hingga semua orang harus membuat janji jika bertemu dengannya. Sedangkan pria itu beberapa kali datang mengganggunya."Tidak.""Maaf, Tuan muda tidak ada di rumah.""Tunggu! Ini penting, tolong biarkan aku bertemu Robert." Rose berusaha mendesak siapapun yang berbicara dengannya dari balik gerbang agar segera mempertemukan denga
Robert menatap Rose yang sudah tertidur di atas tempat tidur. Kamar yang sama yang dulu pernah dia tempati dengan Ruby, di mana pertama kali pula mereka berhubungan mesra. Pria itu terpaku ketika sesaat seakan melihat kilasan masa lalu.Pelayan wanita di rumahnya, berhasil membantu setelah sedikit memaksa Rose untuk membersihkan diri dan memberikan segelas teh hangat, sebelum wanita itu akhirnya jatuh tertidur. Rasa lelah yang dia rasakan membuatnya terlelap, hingga tak merasakan jarum infus yang ditusukkan oleh Robert.Lelaki tampan bermata biru itu menelusuri wajah pucat Rose, yang tidak melunturkan kecantikan alami wajah tanpa polesan itu. Dia saat ini bisa melihat dengan jelas perbedaan besar antara Ruby dan Rose, bukan hanya dari fisik melainkan juga dari keteguhan sikap."Seandainya aku lebih dulu mengenalmu," gumam Robert tanpa sadar.Pria itu tersentak dengan ucapan yang meluncur dari bibir tipisnya. Dia merasa heran dengan apa yang diserukan dari
“Mommy! Cereal Kenzie ditumpahin sama adik." Kenzie berteriak manja menunjukan pada tumpahan susu di kaosnya."Ivy, yuk tidak boleh ambil punya kakak ya. Ivy kan sudah punya sendiri." Rose meletakkan sutil dan segera menghampiri kedua anaknya."Biar saya saja yang membersihkan, Nyonya." Wanita pengasuh segera datang dengan membawa lap basah."Iya, tolong ya." Rose mengangkat bayi perempuannya yang sedang asyik menghisap sendok plastik di mulutnya."Au … am … am …," celoteh Ivy yang hari ini genap berusia satu tahun."Ivy mau makan cereal punya, Kakak?" Rose menduga-duga keinginan anak bungsunya itu."Kenzie masih lapar," rajuk si sulung dengan manja."Cereal lagi?" Pertanyaan Rose dijawab dengan gelengan oleh Kenzie."Mau kaya punya daddy." Kenzie menunjuk pada seiring toast dan omelet."Okay, Mommy buatkan dulu ya. Ivy mau? Omelette juga ya seperti Daddy dan kakak?" Rose mencium pi
"Mommy …." Kenzie berlari menghampiri Rose yang sedang duduk santai di balkon apartemen."Hey, Sayang." Rose memeluk dan mencium pucuk kepala Kenzie. "Sudah puas bermain di taman?"Kenzie mengangguk menjawab pertanyaan Rose. Bocah kecil yang kini berusia lima tahun itu tampak semakin tinggi dan pintar. Dia mencium perut Rose yang kini sudah semakin membesar."Berapa usia adik, sekarang Mom?" Pertanyaan yang tak pernah bosan diucapkan setiap harinya."Tujuh bulan dua puluh hari, Kakak." Rose tersenyum geli merasakan tangan mungil Kenzie membelai perutnya."Ah, sebentar lagi ya." Kenzie mencium perut Rose. "Adik Sayang, kakak tunggu ya. Nanti kalau sudah lahir, kita bermain bola dan kadang-kadang main boneka deh.""Kalau adik lahir Kakak harus jadi bodyguard ya." Rose membelai rambut si sulung penuh kasih. "Selalu menjadi panutan dan menjaga adik ya."Mata Kenzie berbinar, dia sangat senang ketika mendapatkan tanggung jawab
"Rose … please." Robert merajuk manja pada istrinya. "Tidak mau." "Please sudah hampir satu minggu juniorku terlantar." Robert menunduk sedih. "Tamu bulananku belum bersih." Rose mengacuhkan Robert yang terus merayu dengan membaca beberapa buku tentang perekonomian. "Benarkah?" Suara Robert terdengar lemah. "Kalau begitu aku peluk-peluk saja ya …." Semenjak sebulan lalu Robert kembali normal, dia tidak pernah berhenti untuk menyiksa Rose dalam permainan ranjang. Pria itu seakan memiliki ekstra gairah yang tak pernah padam, membuat Rose tak bisa melakukan apapun lagi, selain bercinta. Proses Menstruasi yang seringkali menjadi derita bagi setiap wanita, berbeda dengan Rose. Kedatangan tamu bulanan itu menjadi momen berkah bagi dirinya. Dia bisa berhenti sejenak dari pagi, siang dan malam yang membara. Rose sangat menyukai kegiatan tersebut, kemesraan di antara dirinya dan Robert. Hanya saja dia ingin rutinitas s
Rose terkejut mendengar ucapan seorang dokter wanita yang baru saja keluar dari dalam ruang operasi. Tidak dia temukan sedikit pun kebohongan di wajah cantik tersebut. Bahkan, wajah wanita tersebut terlihat memerah dengan mata yang berkaca-kaca."Komplikasi? Maksudnya? Apa sesuatu yang buruk terjadi?" tanya Rose berusaha untuk bersikap tenang."Iya sesuatu terjadi di meja operasi."Rose menatap raut wajah dokter wanita tersebut, dia menanti agar dokter tersebut menyelesaikan penjelasannya. Melihat dokter wanita itu diam saja, Rose menjadi lebih pusing dan kesal karena penasaran."Apa yang terjadi dengan suamiku?" jelas terlihat kepanikan di nada bicara Rose."Duduklah dengan tenang, Nyonya Miller." Wanita itu membawa Rose duduk di sebuah bangku panjang. "Bagaimana kau bisa menghadapi semua ini?""Menghadapi apa?" Rose menatap wanita di depannya dengan heran. Dia juga mengalihkan pandangannya ke arah pintu di ruang operasi. Rasa p
Rose duduk dengan gelisah di depan ruang operasi. Dia tahu seharusnya dirinya tidak perlu khawatir, tetapi kegelisahan itu tidak dapat dikendalikannya. Wanita itu tak hentinya memanjakan doa agar operasi berjalan lancar.Teringat di benaknya peristiwa beberapa hari yang lalu, ketika mereka semua berkumpul di kediaman keluarga Miller. Jelas terlihat kebahagian di wajah keluarga tersebut ketika melihat dirinya semakin mesra dengan Robert, putra pertama keluarga tersebut.Namun, Rose kembali dikejutkan dengan hal yang tidak dia ketahui. Rahasia Robert yang membuat seluruh keluarga itu terperanjat. Alasan dari lelaki itu menjalani operasi hari ini."Jadi bagaimana, apakah kalian sudah merencanakan kapan Kenzie akan memiliki adik?" Pertanyaan Michael kala itu membuat Rose sedikit cemas."Ah, Daddy aku belum puas menjalankan bulan madu dengan Rose," keluh Robert dengan membelai rambut Rose yang berbaring di bahunya."Belum puas bagaimana, kalian sudah me
Rose terbangun dalam pelukan Robert. Matanya mengerjap perlahan, menunduk menatap tangan kekar yang melingkar di pinggangnya. Kehangatan di punggung telanjangnya yang menempel rapat pada dada Robert, memberinya kesadaran jika semua itu bukan mimpi.Ingatan Rose berselancar pada kenikmatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Merasa malu pada desahan yang lolos begitu saja dari bibirnya, tanpa bisa dikendalikan. Semalaman mereka habiskan dalam kemesraan, hanya jedah sesaat untuk menikmati makan malam."Apakah ini artinya aku sudah menjadi istri yang sesungguhnya?" bisik Rose lirih.Jarum jam weker berbunyi menandakan waktu bagi Robert untuk bersiap bekerja. Rose berusaha menjangkau weker untuk mematikan bunyi nyaringnya, tetapi tangan Robert membuat gerakannya terhambat. Wanita itu tidak dapat bergerak leluasa akibat tekanan kuat di pinggangnya."Robert … waktunya bangun." Bisikan Rose terabaikan."Robert." Rose berputar membalikan
Entah itu sebuah kode atau bukan, Rose tidak peduli. Bau keringat pria kriminal bertubuh tidak terlalu besar di belakangnya sungguh sangat menyengat. Butiran keringat yang mungkin muncul karena tegang, terlihat jelas di tangan lelaki itu. Rose hampir dibuat muntah karenanya.Rose mengumpulkan keberanian dan membuang rasa jijiknya. Dia membuka mulut dan mengarahkan taringnya pada lengan lelaki yang dipenuhi bulu itu. Rose menggigitnya dengan keras sekuat tenaga, melampiaskan kemarahan yang disebabkan oleh ucapan Robert."Aaa, Wanita sialan!" Pria tersebut berteriak kesakitan.Gigitan Rose yang cukup kuat, membuatnya tidak mudah menggerakkan tangan untuk menghujamkan pulpen tajam dan menyakiti Rose.Tetapi tak cukup dengan hal itu, Rose mengangkat kaki dan menjejakkan tumit sepatunya dengan sangat keras ke arah telapak kaki kriminal tersebut. Hak runcing itu berhasil melukai kaki pria tersebut sehingga membuatnya membungkuk dan kehilangan kekuatan untuk men
Rose mengatur napasnya perlahan di dalam mobil. Dia menatap dirinya di kaca spion untuk sesaat. Sebelum turun, wanita itu memutuskan untuk memoleskan sedikit bedak dan pelembab berwarna di bibirnya, aroma strawberry yang terasa menyegarkan.Rose mengatur degupan di jantungnya. Dia menarik napas berulang kali sebelum memutuskan untuk turun dari dalam mobil, menuju ke dalam rumah sakit besar tersebut.Dia melangkah dengan seluruh tubuh yang gemetaran. Degup di jantungnya semakin keras tak kala kakinya semakin dekat dengan pintu lobby rumah sakit. Rose bingung apa yang harus dia katakan ketika bertemu Robert nantinya."Hai, Robert, aku minta maaf--, ah itu terlalu cepat. Hai, Robert sudah makan siang, makan bareng yuk--. Huh! Aku tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya." Rose mondar-mandir dengan gelisah sambil berbicara sendiri.Perempuan itu tidak sadar kalau gerakannya mencuri perhatian beberapa orang."Robert, apa kau sibuk? Ada yang harus
"Daddy." Rose tersenyum lebar menghampiri Romeo yang terlihat semakin sehat. "Grandpa." Kenzie berlari mendahului Rose memeluk pria setengah baya yang terlihat begitu senang melihat kehadiran kedua orang tersebut. "Apa kabar kalian." Romeo mengangkat cucu satu-satunya dalam gendongan. "Kenzie dan Mommy baik-baik saja. Grandpa terlihat semakin ceria." Kenzie mengusap wajah kakeknya. “Tentu saja Grandpa ceria melihat dirimu begitu sehat dan semakin tampan.” Pria tua itu mengecup kening cucunya. “Lihatlah apa yang Grandpa beli untuk cucu kesayangan.” Romeo membawa Kenzie menuju ruang tengah. Di sana terlihat seperangkat permainan mobil yang terbaru. Kenzie memekik gembira dan langsung turun dari pelukan kakeknya