"Aaa … Robert! Bejat!" Rose meremas rambut pria itu.
"Rose, maaf … ini empuk sekali," ucap Robert dengan nada mesum.
"Kyaa! Menyingkir kau, apa yang kau lakukan di sini!" Rose histeris.
Dia mendorong dada Robert menjauhkan lelaki itu dari tubuh telanjangnya, tetapi tindakan itu malah membuat tubuh Robert merosot ke bawah, hingga gesekan halus dengan dada telanjang pria itu membuat Rose merinding. Kejutan halus menggetarkan membuat jantungnya berdebar kencang.
"Menyingkir!"
"Ini licin, Rose," ujar Robert beralasan.
Pria itu justru bersikap seolah-olah tangannya tergelincir di dalam bath up, sehingga tubuhnya membentur dada Rose kembali. Dia melakukan
Robert membalas tatapan tajam sepasang mata coklat seorang pria muda yang terlihat begitu ingin membunuhnya. Jarak antara dirinya dan pria tersebut hanya berbatas meja bar melingkar. Ruangan tersebut temaram diterangi sedikit cahaya dari lampu kuning yang menerangi tampilan jejeran botol minuman. Tak ada satupun yang berusaha mendahului untuk angkat bicara. Bir dingin di depan mereka mulai menghangat, terlihat dari embunnya yang sudah meleleh, tak juga menggoyahkan minat kedua pria itu untuk menyentuh apalagi menghabiskan minuman tersebut."Ryan Gonzalez," gumam Robert, "akhirnya kita bertemu dengan cara yang lebih santai."Robert akhirnya memecahkan keheningan. Perkataan ramah yang diucapkan tidak membuat pemuda di depannya mengendurkan otot. Ryan masih menatap Robert dengan tajam, penuh dengan aura membunuh. Hal itu jelas dari rahang yang mengetat dan tangan yang mengepal."Aku rasa kau begitu membenciku.""Kenapa kau ber
"Hallo, Kakakku yang paling cantik.""Ryan!" Rose melompat dengan gembira ketika melihat adik laki-lakinya muncul. "Aku merindukanmu."Ryan memeluk wanita itu dengan erat dan mengecup kepala Rose berulang-ulang. Pemuda itu terlihat sangat menyayangi kakaknya dan begitu merindukan wanita itu."Maafkan aku tidak sempat memberimu kado pernikahan.""Tidak, Ryan, maafkan aku yang memberimu kabar mendadak. Aku-- maaf seharusnya aku tidak mengabaikan dirimu." Suara Rose terdengar serak dengan air mata yang berlinang.Pernikahan yang terlalu cepat di mana Rosa meninggalkan Robert tepat sehari sebelum pernikahannya. Rose bahkan tidak mengerti bagaimana foto-foto Robert bersama Ruby dan beberapa wanita lain, bisa berada di tangannya tepat saat Rosa berkunjung ke apartemen.Dia yang awalnya mensyukuri kemalangan Robert akhirnya menjadi panik karena terjebak dalam pernikahan dengan pria itu. Rose bahkan tidak bisa melarikan diri lagi karena
"Mommy!" Kenzie meloncati dalam pelukan Rose. Bocah kecil itu dengan begitu mudah beralih dari mengucapkan panggilan Aunty menjadi Mommy."Kenzie, Sayang, Aunty merindukanmu," ujar Rose.Dia memeluk bocah itu dengan erat seakan tak mau melepaskannya."Bukan Aunty, Mommy! Ingat Mommy!" Kenzie menegaskan."Iya, Mommy." Rose gemas melihat bibir mungil yang protes padanya. Wajah Kenzie terlihat begitu imut dan tampan menengadah ke arahnya, membuat Rose tak dapat menahan diri untuk mendaratkan kecupan berulang-ulang ke pipi dan dahi bocah itu."Sudah. Sudah." Kenzie tertawa geli. "Sekarang giliran Daddy dapat ciuman." Ucapan bocah itu membuat Rose terkejut sementara Robert yang berada di sisinya, tersenyum lebar."Tidak aku sangka, dalam sepuluh hari Kenzie semakin pintar." Robert mendekati kedua orang yang masih berpelukan itu dengan percaya diri."Tentu saja, Sean dan keluarganya juga sering melakukan hal yang sam
"Rose, sampai kapan kau akan menghindar?" Robert memegang tangan istrinya yang hendak keluar dari dalam kamar utama."Aku sudah janji pada Kenzie untuk membacakan buku cerita padanya." Rose tidak menarik tangannya dari genggaman Robert. "Tolong lepaskan tanganku, Kenzie bisa menunggu lama."Robert menahan langkah Rose beberapa saat lamanya. Pria itu melihat jika Rose terlihat tidak akan mengubah keputusan untuk tidur di kamar Kenzie. Robert akhirnya melepaskan tangan Rose dan menghela napas melihat wanita itu keluar dari kamar, tanpa berpikir dua kali.Sudah sebulan lebih mereka hanya tinggal bertiga di apartemen mewah Robert. Selama itu pula, Robert selalu menghabiskan malamnya tidur seorang diri. Dia selalu berusaha menyempatkan diri untuk pulang lebih awal dan makan malam bersama. Namun, hanya sampai pukul delapan malam dia bisa menikmati waktu bersama Rose dan Kenzie, sebelum mereka terlelap.Robert teringat bagaimana dia menggunakan Kenzie untu
"Okay! Ayo kita pindah ke kamarmu!" Rose berbisik di saat pria itu melepaskan bibirnya. Dia berusaha menyudahi perbuatan Robert yang semakin membuat napasnya terasa sesak. Rose takut dia terlena dan berakhir menyerahkan diri."Kamar kita, Rose." Robert membenahi kata-kata Rose.Raut wajah pria itu terlihat berseri-seri, mendengar Rose menyetujui permintaannya. Dia merasa senang karena impiannya selangkah lagi akan tercapai, menghabiskan malam yang indah hanya berdua dengan Rose."Terserah." Rose perlahan menyingkirkan tangan Kenzie yang memeluk lengan kirinya. "Robert! Berhentilah menyentuhku!"Rose terbelalak ketika tangan pria itu kembali mengusap perutnya dan mulai berani sedikit naik ke atas, sementara bibir Robert tak berhenti mencium tengkuknya. Rose he
"Siapa yang menelpon mu?" Robert menatap Rose dengan pandangan menyelidik."Bukan siapa-siapa." Rose menutup sambungan telepon."Apa kau berbicara dengan hantu?" Robert semakin kesal ketika melihat Rose menaikkan bahunya tak peduli. "Rose aku bertanya padamu."Rose tidak menghiraukan perkataan Robert, wanita itu justru tersenyum ke arah lain, "Selamat pagi, Kenzie."“Pagi," sahut Kenzie ceria. Bocah itu duduk di sisi Robert. "Kenzie semalam bermimpi bagus sekali." Tangan mungil itu mulai mengambil roti berlapis bacon dan menikmatinya."Mimpi apa, Sayang?" Rose meletakkan handphonenya di meja ketika dia mengambil posisi duduk di depan Kenzie."Kenzie punya adik kembar! Sean kalah sama Kenzie, hahahaha," celoteh bocah itu penuh semangat."Uhuk." Rose yang baru saja menggigit roti, tersedak. Dia buru-buru mengambil segelas air untuk melancarkan tenggorokannya."Oh ya, adik kembar? Perempuan atau laki-laki?"
Dalam ruangan praktek yang telah sepi, Robert sedang duduk dengan Conrad di hadapannya. Suami dari Jasmine itu telah menghalangi niatnya untuk menyudahi pekerjaan di rumah sakit dan membawa Rose menuju ke acara talk show."Cepat katakan apa tujuanmu, aku tidak punya banyak waktu." Robert melirik ke jam di tangannya yang sudah menunjukan hampir pukul dua belas siang."Sabar … kau tidak tahan untuk bertemu Rose?" Conrad tersenyum menggoda."Bukan urusanmu." Jawaban ketus Robert membuat Conrad tertawa."Baiklah. Aku hanya ingin bilang kalau seseorang sedang membawa Rose pergi dan aku hanya menyampaikan pesan kalau mereka akan menghabiskan waktu hingga terlambat.""Apa? Dengan siapa Rose pergi? Jangan bilang itu Sebastian, Polisi licik itu!" Robert menggebrak meja dengan marah.Wajah lelaki itu memerah dan terlihat sangat gusar. Matanya nyalang dan gerahamnya bergemeletuk. Garis-garis di keningnya menunjukan jika pria itu sedang ber
Rose termangu melihat banyaknya pakaian, sepatu, tas dan aksesori yang dibeli Jasmine. Dia memang mencoba beberapa pakaian dan sepatu atas permintaan wanita itu, tetapi Rose tidak pernah berniat untuk membeli benda-benda tersebut."Ini untuk apa?" Rose menunjuk ke arah semua belanjaan yang sudah menumpuk di meja kasir. "Kau membeli sebanyak itu apa pakaianmu sudah rusak semua?""Rose …." Jasmine terbelalak mendengar pertanyaan polos kakak iparnya. Bahkan tidak terlihat sama sekali ada trik atau kepura-puraan dari ucapan Rose. Mata almond itu benar-benar menyorotkan rasa heran."Tentu saja ini untukmu." Jasmine mengambil tas yang dipegang oleh Rose."Untuk apa? Aku masih mempunyai banyak pakaian." Rose mengernyitkan keningnya.Jasmine tersenyum, dia mengabaikan perkataan wanita itu dan mengambil sebuah credit card dari dalam dompet milik Rose. Jasmine memberikan kartu itu kepada pelayan kasir, untuk membayar semua barang yang dipilih.
“Mommy! Cereal Kenzie ditumpahin sama adik." Kenzie berteriak manja menunjukan pada tumpahan susu di kaosnya."Ivy, yuk tidak boleh ambil punya kakak ya. Ivy kan sudah punya sendiri." Rose meletakkan sutil dan segera menghampiri kedua anaknya."Biar saya saja yang membersihkan, Nyonya." Wanita pengasuh segera datang dengan membawa lap basah."Iya, tolong ya." Rose mengangkat bayi perempuannya yang sedang asyik menghisap sendok plastik di mulutnya."Au … am … am …," celoteh Ivy yang hari ini genap berusia satu tahun."Ivy mau makan cereal punya, Kakak?" Rose menduga-duga keinginan anak bungsunya itu."Kenzie masih lapar," rajuk si sulung dengan manja."Cereal lagi?" Pertanyaan Rose dijawab dengan gelengan oleh Kenzie."Mau kaya punya daddy." Kenzie menunjuk pada seiring toast dan omelet."Okay, Mommy buatkan dulu ya. Ivy mau? Omelette juga ya seperti Daddy dan kakak?" Rose mencium pi
"Mommy …." Kenzie berlari menghampiri Rose yang sedang duduk santai di balkon apartemen."Hey, Sayang." Rose memeluk dan mencium pucuk kepala Kenzie. "Sudah puas bermain di taman?"Kenzie mengangguk menjawab pertanyaan Rose. Bocah kecil yang kini berusia lima tahun itu tampak semakin tinggi dan pintar. Dia mencium perut Rose yang kini sudah semakin membesar."Berapa usia adik, sekarang Mom?" Pertanyaan yang tak pernah bosan diucapkan setiap harinya."Tujuh bulan dua puluh hari, Kakak." Rose tersenyum geli merasakan tangan mungil Kenzie membelai perutnya."Ah, sebentar lagi ya." Kenzie mencium perut Rose. "Adik Sayang, kakak tunggu ya. Nanti kalau sudah lahir, kita bermain bola dan kadang-kadang main boneka deh.""Kalau adik lahir Kakak harus jadi bodyguard ya." Rose membelai rambut si sulung penuh kasih. "Selalu menjadi panutan dan menjaga adik ya."Mata Kenzie berbinar, dia sangat senang ketika mendapatkan tanggung jawab
"Rose … please." Robert merajuk manja pada istrinya. "Tidak mau." "Please sudah hampir satu minggu juniorku terlantar." Robert menunduk sedih. "Tamu bulananku belum bersih." Rose mengacuhkan Robert yang terus merayu dengan membaca beberapa buku tentang perekonomian. "Benarkah?" Suara Robert terdengar lemah. "Kalau begitu aku peluk-peluk saja ya …." Semenjak sebulan lalu Robert kembali normal, dia tidak pernah berhenti untuk menyiksa Rose dalam permainan ranjang. Pria itu seakan memiliki ekstra gairah yang tak pernah padam, membuat Rose tak bisa melakukan apapun lagi, selain bercinta. Proses Menstruasi yang seringkali menjadi derita bagi setiap wanita, berbeda dengan Rose. Kedatangan tamu bulanan itu menjadi momen berkah bagi dirinya. Dia bisa berhenti sejenak dari pagi, siang dan malam yang membara. Rose sangat menyukai kegiatan tersebut, kemesraan di antara dirinya dan Robert. Hanya saja dia ingin rutinitas s
Rose terkejut mendengar ucapan seorang dokter wanita yang baru saja keluar dari dalam ruang operasi. Tidak dia temukan sedikit pun kebohongan di wajah cantik tersebut. Bahkan, wajah wanita tersebut terlihat memerah dengan mata yang berkaca-kaca."Komplikasi? Maksudnya? Apa sesuatu yang buruk terjadi?" tanya Rose berusaha untuk bersikap tenang."Iya sesuatu terjadi di meja operasi."Rose menatap raut wajah dokter wanita tersebut, dia menanti agar dokter tersebut menyelesaikan penjelasannya. Melihat dokter wanita itu diam saja, Rose menjadi lebih pusing dan kesal karena penasaran."Apa yang terjadi dengan suamiku?" jelas terlihat kepanikan di nada bicara Rose."Duduklah dengan tenang, Nyonya Miller." Wanita itu membawa Rose duduk di sebuah bangku panjang. "Bagaimana kau bisa menghadapi semua ini?""Menghadapi apa?" Rose menatap wanita di depannya dengan heran. Dia juga mengalihkan pandangannya ke arah pintu di ruang operasi. Rasa p
Rose duduk dengan gelisah di depan ruang operasi. Dia tahu seharusnya dirinya tidak perlu khawatir, tetapi kegelisahan itu tidak dapat dikendalikannya. Wanita itu tak hentinya memanjakan doa agar operasi berjalan lancar.Teringat di benaknya peristiwa beberapa hari yang lalu, ketika mereka semua berkumpul di kediaman keluarga Miller. Jelas terlihat kebahagian di wajah keluarga tersebut ketika melihat dirinya semakin mesra dengan Robert, putra pertama keluarga tersebut.Namun, Rose kembali dikejutkan dengan hal yang tidak dia ketahui. Rahasia Robert yang membuat seluruh keluarga itu terperanjat. Alasan dari lelaki itu menjalani operasi hari ini."Jadi bagaimana, apakah kalian sudah merencanakan kapan Kenzie akan memiliki adik?" Pertanyaan Michael kala itu membuat Rose sedikit cemas."Ah, Daddy aku belum puas menjalankan bulan madu dengan Rose," keluh Robert dengan membelai rambut Rose yang berbaring di bahunya."Belum puas bagaimana, kalian sudah me
Rose terbangun dalam pelukan Robert. Matanya mengerjap perlahan, menunduk menatap tangan kekar yang melingkar di pinggangnya. Kehangatan di punggung telanjangnya yang menempel rapat pada dada Robert, memberinya kesadaran jika semua itu bukan mimpi.Ingatan Rose berselancar pada kenikmatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Merasa malu pada desahan yang lolos begitu saja dari bibirnya, tanpa bisa dikendalikan. Semalaman mereka habiskan dalam kemesraan, hanya jedah sesaat untuk menikmati makan malam."Apakah ini artinya aku sudah menjadi istri yang sesungguhnya?" bisik Rose lirih.Jarum jam weker berbunyi menandakan waktu bagi Robert untuk bersiap bekerja. Rose berusaha menjangkau weker untuk mematikan bunyi nyaringnya, tetapi tangan Robert membuat gerakannya terhambat. Wanita itu tidak dapat bergerak leluasa akibat tekanan kuat di pinggangnya."Robert … waktunya bangun." Bisikan Rose terabaikan."Robert." Rose berputar membalikan
Entah itu sebuah kode atau bukan, Rose tidak peduli. Bau keringat pria kriminal bertubuh tidak terlalu besar di belakangnya sungguh sangat menyengat. Butiran keringat yang mungkin muncul karena tegang, terlihat jelas di tangan lelaki itu. Rose hampir dibuat muntah karenanya.Rose mengumpulkan keberanian dan membuang rasa jijiknya. Dia membuka mulut dan mengarahkan taringnya pada lengan lelaki yang dipenuhi bulu itu. Rose menggigitnya dengan keras sekuat tenaga, melampiaskan kemarahan yang disebabkan oleh ucapan Robert."Aaa, Wanita sialan!" Pria tersebut berteriak kesakitan.Gigitan Rose yang cukup kuat, membuatnya tidak mudah menggerakkan tangan untuk menghujamkan pulpen tajam dan menyakiti Rose.Tetapi tak cukup dengan hal itu, Rose mengangkat kaki dan menjejakkan tumit sepatunya dengan sangat keras ke arah telapak kaki kriminal tersebut. Hak runcing itu berhasil melukai kaki pria tersebut sehingga membuatnya membungkuk dan kehilangan kekuatan untuk men
Rose mengatur napasnya perlahan di dalam mobil. Dia menatap dirinya di kaca spion untuk sesaat. Sebelum turun, wanita itu memutuskan untuk memoleskan sedikit bedak dan pelembab berwarna di bibirnya, aroma strawberry yang terasa menyegarkan.Rose mengatur degupan di jantungnya. Dia menarik napas berulang kali sebelum memutuskan untuk turun dari dalam mobil, menuju ke dalam rumah sakit besar tersebut.Dia melangkah dengan seluruh tubuh yang gemetaran. Degup di jantungnya semakin keras tak kala kakinya semakin dekat dengan pintu lobby rumah sakit. Rose bingung apa yang harus dia katakan ketika bertemu Robert nantinya."Hai, Robert, aku minta maaf--, ah itu terlalu cepat. Hai, Robert sudah makan siang, makan bareng yuk--. Huh! Aku tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya." Rose mondar-mandir dengan gelisah sambil berbicara sendiri.Perempuan itu tidak sadar kalau gerakannya mencuri perhatian beberapa orang."Robert, apa kau sibuk? Ada yang harus
"Daddy." Rose tersenyum lebar menghampiri Romeo yang terlihat semakin sehat. "Grandpa." Kenzie berlari mendahului Rose memeluk pria setengah baya yang terlihat begitu senang melihat kehadiran kedua orang tersebut. "Apa kabar kalian." Romeo mengangkat cucu satu-satunya dalam gendongan. "Kenzie dan Mommy baik-baik saja. Grandpa terlihat semakin ceria." Kenzie mengusap wajah kakeknya. “Tentu saja Grandpa ceria melihat dirimu begitu sehat dan semakin tampan.” Pria tua itu mengecup kening cucunya. “Lihatlah apa yang Grandpa beli untuk cucu kesayangan.” Romeo membawa Kenzie menuju ruang tengah. Di sana terlihat seperangkat permainan mobil yang terbaru. Kenzie memekik gembira dan langsung turun dari pelukan kakeknya