"Siapa yang menelpon mu?" Robert menatap Rose dengan pandangan menyelidik.
"Bukan siapa-siapa." Rose menutup sambungan telepon.
"Apa kau berbicara dengan hantu?" Robert semakin kesal ketika melihat Rose menaikkan bahunya tak peduli. "Rose aku bertanya padamu."
Rose tidak menghiraukan perkataan Robert, wanita itu justru tersenyum ke arah lain, "Selamat pagi, Kenzie."
“Pagi," sahut Kenzie ceria. Bocah itu duduk di sisi Robert. "Kenzie semalam bermimpi bagus sekali." Tangan mungil itu mulai mengambil roti berlapis bacon dan menikmatinya.
"Mimpi apa, Sayang?" Rose meletakkan handphonenya di meja ketika dia mengambil posisi duduk di depan Kenzie.
"Kenzie punya adik kembar! Sean kalah sama Kenzie, hahahaha," celoteh bocah itu penuh semangat.
"Uhuk." Rose yang baru saja menggigit roti, tersedak. Dia buru-buru mengambil segelas air untuk melancarkan tenggorokannya.
"Oh ya, adik kembar? Perempuan atau laki-laki?"
Dalam ruangan praktek yang telah sepi, Robert sedang duduk dengan Conrad di hadapannya. Suami dari Jasmine itu telah menghalangi niatnya untuk menyudahi pekerjaan di rumah sakit dan membawa Rose menuju ke acara talk show."Cepat katakan apa tujuanmu, aku tidak punya banyak waktu." Robert melirik ke jam di tangannya yang sudah menunjukan hampir pukul dua belas siang."Sabar … kau tidak tahan untuk bertemu Rose?" Conrad tersenyum menggoda."Bukan urusanmu." Jawaban ketus Robert membuat Conrad tertawa."Baiklah. Aku hanya ingin bilang kalau seseorang sedang membawa Rose pergi dan aku hanya menyampaikan pesan kalau mereka akan menghabiskan waktu hingga terlambat.""Apa? Dengan siapa Rose pergi? Jangan bilang itu Sebastian, Polisi licik itu!" Robert menggebrak meja dengan marah.Wajah lelaki itu memerah dan terlihat sangat gusar. Matanya nyalang dan gerahamnya bergemeletuk. Garis-garis di keningnya menunjukan jika pria itu sedang ber
Rose termangu melihat banyaknya pakaian, sepatu, tas dan aksesori yang dibeli Jasmine. Dia memang mencoba beberapa pakaian dan sepatu atas permintaan wanita itu, tetapi Rose tidak pernah berniat untuk membeli benda-benda tersebut."Ini untuk apa?" Rose menunjuk ke arah semua belanjaan yang sudah menumpuk di meja kasir. "Kau membeli sebanyak itu apa pakaianmu sudah rusak semua?""Rose …." Jasmine terbelalak mendengar pertanyaan polos kakak iparnya. Bahkan tidak terlihat sama sekali ada trik atau kepura-puraan dari ucapan Rose. Mata almond itu benar-benar menyorotkan rasa heran."Tentu saja ini untukmu." Jasmine mengambil tas yang dipegang oleh Rose."Untuk apa? Aku masih mempunyai banyak pakaian." Rose mengernyitkan keningnya.Jasmine tersenyum, dia mengabaikan perkataan wanita itu dan mengambil sebuah credit card dari dalam dompet milik Rose. Jasmine memberikan kartu itu kepada pelayan kasir, untuk membayar semua barang yang dipilih.
Setengah jam kemudian. Sesosok pria masuk ke dalam cafe elit di kawasan pertokoan mewah di Miami. Sejak dia tiba aura yang dipancarkan oleh wajahnya, sanggup membuat aktivitas dalam ruangan menjadi terhenti sejenak. Pandangan mereka tersedot dalam pesona yang dimunculkan oleh pria tampan dan gagah tersebut. Satu detik kemudian setiap wanita mulai merapikan diri dan memamerkan senyuman tercantik. Dua detik kemudian setiap pria mulai merasa iri dan sebal dengan kehadirannya. Tiga detik kemudian wajah tampan itu berubah menjadi menyeramkan. Pria itu tidak menghiraukan pandangan semua orang yang tertuju padanya, karena saat ini perhatiannya tersedot pada seorang wanita cantik berdarah Asia Mexico. Amarah yang tercetak di wajahnya, justru menjadi pesona tersendiri. "ROSE!" Dia menggeram mendesiskan nama wanita itu. "Robert?" Rose tercekat melihat kehadiran pria itu. "Ayo pergi sekarang juga." Robert berdiri denga
Rose menoleh ke arah Robert dengan perasaan heran, ini pertama kali lelaki itu mengekang dirinya. Dia memilih untuk diam dan tidak memperpanjang masalah dengan mengucapkan pertanyaan dalam hatinya, saat terlihat jelas kemarahan di wajah Robert. 'Jangan dekati Sebastian? Tetapi kenapa?' batin Rose penuh tanda tanya. "Apa dia malu? Apa Sebastian mengingatkan dirinya betapa kejam dan menyebalkan dirinya di masa lalu? Ah, kenapa aku harus peduli dengan perasaannya? Lagi pula Sebastian tidak pernah berbuat jahat.' Rose melirik ke arah Robert yang sudah menghentikan kendaraannya. Dia melihat pria itu keluar dari dalam mobil dan memutar ke arahnya. Rose membuka sabuk pengamannya dan keluar dari dalam mobil tanpa banyak tanya, menuju ke dalam gedung tinggi."Selamat siang, dokter Robert. Wah, tidak disangka istri Anda sangat cantik, senang bertemu dengan Anda, Nyonya Rose.""Panggil aku Rose." Rose merasa
Rose terkejut, dia menatap mata biru yang terlihat khawatir itu. Rose segera menegakkan tubuhnya saat tubuhnya mulai seimbang. Wanita itu merasa tidak nyaman ketika melihat beberapa orang mulai memperhatikan dirinya. "Terima kasih," ucap Rose lirih. "Oh Rose, apa kau baik-baik saja?" Hans yang berada tak jauh darinya, segera mendekati Rose. "Tidak apa-apa." "Untung saja Alex lewat. Terima kasih tampan, kau sudah menyelamatkan hariku." Hans mengedipkan matanya pada pria bernama Alex itu. "Tidak masalah. Apakah kaki Nona tidak sakit?" Alex melihat ke arah punggung telapak kaki Rose yang sedikit memerah. "Aku rasa tidak apa-apa." Rose memutar tumitnya. Tiba-tiba dia meringis, merasakan sakit. "Aduh, sakit ya? Mampus aku!" Hans khawatir akan mendapat amarah dari Robert. "Ayo kita masuk ke ruang rias saja." Hans memapah Rose diikuti oleh Alex. Hans berusaha menutupi tubuh Rose agar keadaan wanita itu tidak
Kini menemani Robert dalam setiap syuting di studio adalah tugas Rose. Dia tidak bisa menolak, karena Robert akan terus menekannya. Menekan dalam artian mencumbu dan memaksa menjamah bagian tubuh yang tak pernah disentuh oleh siapapun, kecuali dirinya sendiri. Rose sudah terbiasa dengan kemesuman lelaki itu, meski demikian dia tetap mampu bertahan untuk menjaga diri tidak hanyut dalam pesona Robert. Rose tidak ingin sakit hati untuk kedua kalinya, karena meskipun Robert berulangkali menunjukan sikap yang manis, tetapi pria itu belum pernah mengatakan perasaannya. 'Perasaan? Bagaimana dengan diriku sendiri, apa yang aku rasakan pada Robert? Dia berubah … amat sangat berubah, tetapi Pantas kah aku jatuh cinta padanya?" jantung Rose berdecak kencang saat batinnya mengatakan jatuh cinta. "Rose, sebaiknya kau duduk di sana." Hans berbisik ke arah Rose yang selalu bersembunyi dalam kegelapan. "Aku di sini saja. Lebih nyaman berada
"Kenapa kau harus mengatakan ini semua, Sebastian?" Rose mengusap embun di kelopak matanya. Dia tidak ingin meneteskan air mata dan terlihat lemah di hadapan siapapun, termasuk seorang polisi baik hati yang kerap membantunya dulu. Rose bukan wanita yang suka dikasihani. "Karena aku peduli padamu, Rose." Sebastian mengulurkan tangannya hendak memegang tangan wanita itu, tetapi dengan cepat pula Rose menarik tangannya. "Terima kasih, Sebastian. Hanya saja aku sudah menyelesaikan masalahku dengan Robert." "Kau menikahinya karena terpaksa, bukan?" Rose tidak tahu bagaimana lelaki itu bisa mengambil kesimpulan seperti itu. Meskipun apa yang dikatakan oleh polisi muda itu adalah benar, tetapi Rose tidak ingin permasalahan antara dirinya dan Robert di masa lalu menjadi konsumsi publik. "Tidak, Anda salah." Rose berkata jujur, karena pada akhirnya dia tidak merasa terpaksa berada di sisi Robert, walaupun seringkali dia menyan
"Jauhi Rose atau dunia akan tahu jika kau adalah pria yang sudah membuat Romeo nyaris di deportasi dan Kenzie nyaris terbuang." Robert mendesis penuh kemarahan. Terlihat jelas dia begitu benci dan menahan diri untuk tidak menghajar Sebastian. Aura kemarahan begitu kuat terpancar dari seluruh tubuh lelaki itu. Matanya nyalang melihat Sebastian tidak sedikit pun menunjukan rasa bersalah. "Kau menuduhku karena cemburu? Apa kau hendak menggunakan fitnah ini untuk menghentikan Rose menyukaiku?" Sebastian menyungging senyuman mengejek. "Aku punya bukti untuk itu. Kau pikir aku akan diam saja ketika menyangkut nyawa orang lain apalagi berhubungan dengan masa depan anak kandungku?" Robert menggeram marah, melihat Sebastian sangat ahli bersilat lidah. "Anak dan keluarga yang sudah kau terlantarkan, bukan?" Sebastian menghentakkan tangan Robert yang masih meremas kerah bajunya, tetapi genggaman itu terlalu kuat. "Kau tidak pantas mendapatkan Rose!" Seba
“Mommy! Cereal Kenzie ditumpahin sama adik." Kenzie berteriak manja menunjukan pada tumpahan susu di kaosnya."Ivy, yuk tidak boleh ambil punya kakak ya. Ivy kan sudah punya sendiri." Rose meletakkan sutil dan segera menghampiri kedua anaknya."Biar saya saja yang membersihkan, Nyonya." Wanita pengasuh segera datang dengan membawa lap basah."Iya, tolong ya." Rose mengangkat bayi perempuannya yang sedang asyik menghisap sendok plastik di mulutnya."Au … am … am …," celoteh Ivy yang hari ini genap berusia satu tahun."Ivy mau makan cereal punya, Kakak?" Rose menduga-duga keinginan anak bungsunya itu."Kenzie masih lapar," rajuk si sulung dengan manja."Cereal lagi?" Pertanyaan Rose dijawab dengan gelengan oleh Kenzie."Mau kaya punya daddy." Kenzie menunjuk pada seiring toast dan omelet."Okay, Mommy buatkan dulu ya. Ivy mau? Omelette juga ya seperti Daddy dan kakak?" Rose mencium pi
"Mommy …." Kenzie berlari menghampiri Rose yang sedang duduk santai di balkon apartemen."Hey, Sayang." Rose memeluk dan mencium pucuk kepala Kenzie. "Sudah puas bermain di taman?"Kenzie mengangguk menjawab pertanyaan Rose. Bocah kecil yang kini berusia lima tahun itu tampak semakin tinggi dan pintar. Dia mencium perut Rose yang kini sudah semakin membesar."Berapa usia adik, sekarang Mom?" Pertanyaan yang tak pernah bosan diucapkan setiap harinya."Tujuh bulan dua puluh hari, Kakak." Rose tersenyum geli merasakan tangan mungil Kenzie membelai perutnya."Ah, sebentar lagi ya." Kenzie mencium perut Rose. "Adik Sayang, kakak tunggu ya. Nanti kalau sudah lahir, kita bermain bola dan kadang-kadang main boneka deh.""Kalau adik lahir Kakak harus jadi bodyguard ya." Rose membelai rambut si sulung penuh kasih. "Selalu menjadi panutan dan menjaga adik ya."Mata Kenzie berbinar, dia sangat senang ketika mendapatkan tanggung jawab
"Rose … please." Robert merajuk manja pada istrinya. "Tidak mau." "Please sudah hampir satu minggu juniorku terlantar." Robert menunduk sedih. "Tamu bulananku belum bersih." Rose mengacuhkan Robert yang terus merayu dengan membaca beberapa buku tentang perekonomian. "Benarkah?" Suara Robert terdengar lemah. "Kalau begitu aku peluk-peluk saja ya …." Semenjak sebulan lalu Robert kembali normal, dia tidak pernah berhenti untuk menyiksa Rose dalam permainan ranjang. Pria itu seakan memiliki ekstra gairah yang tak pernah padam, membuat Rose tak bisa melakukan apapun lagi, selain bercinta. Proses Menstruasi yang seringkali menjadi derita bagi setiap wanita, berbeda dengan Rose. Kedatangan tamu bulanan itu menjadi momen berkah bagi dirinya. Dia bisa berhenti sejenak dari pagi, siang dan malam yang membara. Rose sangat menyukai kegiatan tersebut, kemesraan di antara dirinya dan Robert. Hanya saja dia ingin rutinitas s
Rose terkejut mendengar ucapan seorang dokter wanita yang baru saja keluar dari dalam ruang operasi. Tidak dia temukan sedikit pun kebohongan di wajah cantik tersebut. Bahkan, wajah wanita tersebut terlihat memerah dengan mata yang berkaca-kaca."Komplikasi? Maksudnya? Apa sesuatu yang buruk terjadi?" tanya Rose berusaha untuk bersikap tenang."Iya sesuatu terjadi di meja operasi."Rose menatap raut wajah dokter wanita tersebut, dia menanti agar dokter tersebut menyelesaikan penjelasannya. Melihat dokter wanita itu diam saja, Rose menjadi lebih pusing dan kesal karena penasaran."Apa yang terjadi dengan suamiku?" jelas terlihat kepanikan di nada bicara Rose."Duduklah dengan tenang, Nyonya Miller." Wanita itu membawa Rose duduk di sebuah bangku panjang. "Bagaimana kau bisa menghadapi semua ini?""Menghadapi apa?" Rose menatap wanita di depannya dengan heran. Dia juga mengalihkan pandangannya ke arah pintu di ruang operasi. Rasa p
Rose duduk dengan gelisah di depan ruang operasi. Dia tahu seharusnya dirinya tidak perlu khawatir, tetapi kegelisahan itu tidak dapat dikendalikannya. Wanita itu tak hentinya memanjakan doa agar operasi berjalan lancar.Teringat di benaknya peristiwa beberapa hari yang lalu, ketika mereka semua berkumpul di kediaman keluarga Miller. Jelas terlihat kebahagian di wajah keluarga tersebut ketika melihat dirinya semakin mesra dengan Robert, putra pertama keluarga tersebut.Namun, Rose kembali dikejutkan dengan hal yang tidak dia ketahui. Rahasia Robert yang membuat seluruh keluarga itu terperanjat. Alasan dari lelaki itu menjalani operasi hari ini."Jadi bagaimana, apakah kalian sudah merencanakan kapan Kenzie akan memiliki adik?" Pertanyaan Michael kala itu membuat Rose sedikit cemas."Ah, Daddy aku belum puas menjalankan bulan madu dengan Rose," keluh Robert dengan membelai rambut Rose yang berbaring di bahunya."Belum puas bagaimana, kalian sudah me
Rose terbangun dalam pelukan Robert. Matanya mengerjap perlahan, menunduk menatap tangan kekar yang melingkar di pinggangnya. Kehangatan di punggung telanjangnya yang menempel rapat pada dada Robert, memberinya kesadaran jika semua itu bukan mimpi.Ingatan Rose berselancar pada kenikmatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Merasa malu pada desahan yang lolos begitu saja dari bibirnya, tanpa bisa dikendalikan. Semalaman mereka habiskan dalam kemesraan, hanya jedah sesaat untuk menikmati makan malam."Apakah ini artinya aku sudah menjadi istri yang sesungguhnya?" bisik Rose lirih.Jarum jam weker berbunyi menandakan waktu bagi Robert untuk bersiap bekerja. Rose berusaha menjangkau weker untuk mematikan bunyi nyaringnya, tetapi tangan Robert membuat gerakannya terhambat. Wanita itu tidak dapat bergerak leluasa akibat tekanan kuat di pinggangnya."Robert … waktunya bangun." Bisikan Rose terabaikan."Robert." Rose berputar membalikan
Entah itu sebuah kode atau bukan, Rose tidak peduli. Bau keringat pria kriminal bertubuh tidak terlalu besar di belakangnya sungguh sangat menyengat. Butiran keringat yang mungkin muncul karena tegang, terlihat jelas di tangan lelaki itu. Rose hampir dibuat muntah karenanya.Rose mengumpulkan keberanian dan membuang rasa jijiknya. Dia membuka mulut dan mengarahkan taringnya pada lengan lelaki yang dipenuhi bulu itu. Rose menggigitnya dengan keras sekuat tenaga, melampiaskan kemarahan yang disebabkan oleh ucapan Robert."Aaa, Wanita sialan!" Pria tersebut berteriak kesakitan.Gigitan Rose yang cukup kuat, membuatnya tidak mudah menggerakkan tangan untuk menghujamkan pulpen tajam dan menyakiti Rose.Tetapi tak cukup dengan hal itu, Rose mengangkat kaki dan menjejakkan tumit sepatunya dengan sangat keras ke arah telapak kaki kriminal tersebut. Hak runcing itu berhasil melukai kaki pria tersebut sehingga membuatnya membungkuk dan kehilangan kekuatan untuk men
Rose mengatur napasnya perlahan di dalam mobil. Dia menatap dirinya di kaca spion untuk sesaat. Sebelum turun, wanita itu memutuskan untuk memoleskan sedikit bedak dan pelembab berwarna di bibirnya, aroma strawberry yang terasa menyegarkan.Rose mengatur degupan di jantungnya. Dia menarik napas berulang kali sebelum memutuskan untuk turun dari dalam mobil, menuju ke dalam rumah sakit besar tersebut.Dia melangkah dengan seluruh tubuh yang gemetaran. Degup di jantungnya semakin keras tak kala kakinya semakin dekat dengan pintu lobby rumah sakit. Rose bingung apa yang harus dia katakan ketika bertemu Robert nantinya."Hai, Robert, aku minta maaf--, ah itu terlalu cepat. Hai, Robert sudah makan siang, makan bareng yuk--. Huh! Aku tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya." Rose mondar-mandir dengan gelisah sambil berbicara sendiri.Perempuan itu tidak sadar kalau gerakannya mencuri perhatian beberapa orang."Robert, apa kau sibuk? Ada yang harus
"Daddy." Rose tersenyum lebar menghampiri Romeo yang terlihat semakin sehat. "Grandpa." Kenzie berlari mendahului Rose memeluk pria setengah baya yang terlihat begitu senang melihat kehadiran kedua orang tersebut. "Apa kabar kalian." Romeo mengangkat cucu satu-satunya dalam gendongan. "Kenzie dan Mommy baik-baik saja. Grandpa terlihat semakin ceria." Kenzie mengusap wajah kakeknya. “Tentu saja Grandpa ceria melihat dirimu begitu sehat dan semakin tampan.” Pria tua itu mengecup kening cucunya. “Lihatlah apa yang Grandpa beli untuk cucu kesayangan.” Romeo membawa Kenzie menuju ruang tengah. Di sana terlihat seperangkat permainan mobil yang terbaru. Kenzie memekik gembira dan langsung turun dari pelukan kakeknya