Liliana menatap pria di depannya dengan pandangan curiga. Dari penampilannya saja dia bisa memperkirakan apa profesinya. Jika bukan tukang pukul atau preman, pastilah debt collector. Tubuh kekarnya menjadi ciri khas tersendiri. Juga pakaian serba hitam yang melekat di tubuhnya. Belum lagi tato ular di lehernya, terlihat mengerikan.
“Selamat datang, Nona,” sapa pria itu saat Clara duduk dengan tenang di sisi seberangnya. Sebuah meja menjadi penghalang keduanya.
"Tidak perlu basa basi. Aku tidak suka membuang waktuku." Bicara tanpa memandang ke arah depan. Clara asik melihat ponselnya, membuka aplikasi pesan warna hijau yang beberapa kali menunjukkan notifikasi.
Pria itu tak banyak berkomentar, menantikan titah berikutnya. Matanya yang tajam menatap Clara dan Liliana bergantian. Satu sudut bibirnya terangkat, menyadari pakaian mereka. Sekali lihat saja semua orang tahu, keduanya berasal dari golongan menengah ke atas. Orang-orang yang suka memfoya-foya
Monika mengeluarkan ponsel dari dalam tas mungilnya. Dia mengirim pesan pada Maria, menanyakan dimana posisinya berada. Namun, sampai beberapa menit kemudian tak ada tanda pesannya berbalas. Bahkan ceklisnya belum juga berubah menjadi biru. "Dia kemana?" Monika kembali menatap pojok layar ponselnya, melihat waktu sudah masuk jam tujuh malam. Lewat lima jam dari jadwalnya pulang bekerja. Karena akhir bulan, dia harus memastikan jumlah barang dan catatan semuanya sama. Dan itu mengharuskannya berkerja lembur. Jalanan yang biasanya ramai oleh kendaraan juga terasa lengang, membuat Monika merasa tidak nyaman. Dia tidak bisa menghubungi Rio atau Leo. Mereka masih mengurus akuisisi perusahaan Mahendra. Kedua pihak sudah bertemu sejak pagi, tapi nyatanya sampai tiga puluh menit yang lalu, mereka belum menemukan kata sepakat. Monika duduk di salah satu kursi besi panjang tempat biasa orang-orang tempati saat menunggu kendaraan umum. Di kejauhan, tampak seorang berjak
Leo keluar dari dalam lift, menuju lobi tempat Clara dan petugas keamanan berada. Wanita bersurai cokelat itu terus memberontak, meminta lepas dari cekalan pria berkumis yang menahan tangannya di punggung. "Lepas atau kalian berdua akan m*ti!" ancamnya. Langkah kaki Leo terhenti satu meter di belakang mereka. "Ada apa ini?" tanya pria yang sesaat lalu mengangguk pada petugas resepsionis. Ia mendapat laporan bahwa ada keributan di lantai bawah. Seorang wanita memaksa menemui Rio dan ternyata itu Clara. Petugas keamanan menjelaskan situasi yang terjadi, termasuk tentang Maria yang tiba-tiba pergi dengan tergesa. Hal itu membuat Leo mengerutkan kening. "Nona, apa yang Anda katakan pada Maria?" "Cih! Bukan Urusanmu" Maria membuang wajah, enggan menjawab pertanyaan Leo yang dianggapnya tidak selevel. Dia hanya asisten pribadi, dengan kata lain pelayan. Melihat gelagat Clara yang terlihat begitu bangga dan percaya diri, Leo mengira a
"Kalian sudah menemukannya? Dimana Monika?" Hans menatap Rio dan Maria yang masih terdiam di posisinya. Mereka tak bergerak sama sekali, bahkan tak ingin mengusap wajah masing-masing yang basah oleh air hujan. "Rio?!" panggil Hans, mengguncang bahu putra kesayangannya. "Dimana istrimu?" Rio mengangkat wajahnya, menatap Hans dengan pandangan kosong. Benda-benda pribadi milik Monika yang ada di tangannya berjatuhan ke tanah. Iris mata Hans menangkap kejadian itu, mengantarkannya melihat sebilah pisau dengan noda darah yang mulai memudar. Aroma amis menyapa indera penciumannya. Perlahan ia berjongkok, menempelkan jarinya pada air yang menggenang di sekitar pisau. Ia memastikan kalau itu sungguh darah manusia. Hal itu membuat kerutan di kening Hans segera terlihat. Ia berbalik, menatap Maria dengan saksama. Ada apa sebenarnya? "Nona menghilang, Tuan. Saya terlambat tiba di sini dan tidak menemukan keberadaannya." Napas Hans terhenti, dadan
"Tuan, pikirkan keselamatan nona. Kita harus segera menyelamatkanny." Kalimat yang Maria ucapkan kembali terngiang-ngiang di telinga Rio. Dia harus segera menemukan istri dan calon buah hatinya.Tendangan keras ia arahkan ke pintu, membuatnya terbuka dengan paksa. Dengan langkah tanpa keraguan, Rio masuk ke dalam. Kilat matanya begitu tajam, menunjukkan amarah yang tak akan mudah diredam sebelum dilampiaskan.Namun, tak ada seorang pun yang ada di dalam rumah petak yang sempit itu. Hanya beberapa pakaian yang berserak di lantai bersama botol-botol kosong bekas minuman keras. Aroma tidak sedap segera menyapa indera penciuman mereka. Termasuk Maria yang segera menutup hidungnya dengan lengan bagian dalam."Periksa ke dalam!" titah Maria pada rekannya yang lain. Anggukan kepala segera terlihat. Sementara Rio mulai mengobrak abrik isi kamar, seolah mencari jejak atau keberadaan istrinya. Meski netranya sudah melihat bahwa Monika tak ada di sini, tapi hatinya masih t
"Istrimu? Siapa?" Pria dengan bekas luka di kening semakin menekan tubuh Rio ke lantai, bersamaan dengan suara gemeletuk giginya yang terdengar. Dia kembali tersulut emosinya, mengingat target buruannya menghilang. Dia harus kehilangan seratus juta yang sangat berharga. "Maksudmu wanita cantik yang bersurai pirang itu?" Rio berusaha meronta, tapi tubuhnya tidak bergerak sama sekali. Lutut pria India itu semakin kuat menindih punggungnya. Satu tangannya dipelintir ke belakang, sedang yang lainnya diinjak tanpa rasa iba. Berbagai umpatan keluar dari mulut Rio, membuat orang-orang di sekelilingnya tertawa. Mereka seperti kawanan anjing liar yang menemukan kucing kecil tersesat. Sengaja dipermainkan. Mereka tidak tahu bahaya lain mengancam jika berani macam-macam dengan pewaris tunggal keluarga Dirgantara. Tawa komplotan penjahat itu terhenti saat pria India tanpa nama itu kembali menginjak punggung Rio tanpa ampun. "Jadi, kamu suami wanita 100 ju
"Cepat!" teriak Hans memberikan instruksi agar anak buahnya tidak terlalu banyak membuang waktu.Maria segera mengambil inisiatif, berlari menuju pintu otomatis di ruang IGD dan lapor pada petugas yang ada di dalam.Dalam sekejap, beberapa petugas langsung keluar, membawa Rio ke dalam ruang pemeriksaan. Suasana mencekam begitu terasa. Dokter dan perawat segera memberikan pertolongan pertama."Bagaimana? Kalian menemukan jejak Monika?" Hans berbalik, menatap tajam pada dua orang yang baru saja datang. Mereka mendapat tugas menyisir dua ratus meter di sekitar gudang tempat para preman dilumpuhkan."Maaf, Tuan. Kami tidak menemukan nona. Tidak ada jejak sama sekali."Detik berikutnya, sebuah tendangan Hans lesatkan pada tempat sampah di dekatnya, membuat bunyi gaduh yang membuat semua orang menoleh. Maria yang sedang sibuk berbincang dengan Eva melalui telepon, langsung menyudahi aktivitasnya."Tuan, tolong tenangkan diri Anda." Maria segera me
"Di sini?" tanya Hans, menatap rumah petak tempat mobil yang Maria kendarai terhenti. "Benar, Tuan. Di sini titik lokasi yang nona kirimkan." Dengan kening berkerut, Hans turun dari pintu belakang. Satu tangannya masuk ke dalam saku celana dan mengambil pemantik api. Pria kaya raya itu mulai menyesap gulungan tembakau di tangannya dalam-dalam, meredam rasa tidak nyaman yang diam-diam menyergap. Ada perasaan kesal, marah, takut, dan khawatir di saat yang bersamaan. Dia berharap menantu dan calon cucunya baik-baik saja, tidak kurang suatu apa. Di dalam rumah, Monika terkesiap mendengar suara mesin mobil dimatikan. Dia langsung beranjak dari ranjang, bersiap keluar untuk menemui Maria. "Mon," cegah Devan, mencekal lengan Monika di depan pintu kamar. Dia tidak rela wanita kesayangannya harus kembali pergi meninggalkannya. "Jangan pergi," pintanya memelas. Namun, gelengan tegas terlihat detik berikutnya. Monika melepas tangan Devan dengan h
"Kamu siap mendengar penjelasanku, Sayang?" Eva menatap Monika, berharap menantunya cukup tegar dan tidak tumbang. Ada hal yang harus ia sampaikan sebagai seorang dokter kepada keluarga pasien."Katakan saja! Jangan membuatku penasaran!" Bukannya Monika yang menjawab, tapi suara Hans-lah yang terdengar menggema di ruang konsultasi.Eva mengembuskan napas berat. Dia tahu tabiat dan temperamen suaminya, to the point dan tidak suka berbelit-belit. Berbeda dengan pembawaan Monika yang cenderung lemah dan mulai terlihat pucat wajahnya."Sayang?" Eva masih bersikeras, memastikan kesiapan hati dan indera pendengaran wanita cantik yang lagi-lagi meneteskan air mata tanpa suara."Aku baik-baik saja, Bu." Suara bergetar dari mulut Monika berhasil membuat Hans menoleh. Lagi-lagi dia melihat sisi lemah wanita, membuatnya membuang muka karena tidak nyaman. Hatinya terasa sakit, merasa tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Seolah-olah tangisan Monika ini disebabkan ol
Tiga tahun kemudian ...."Daddy," panggil gadis dua setengah tahun yang kini memanjat dada bidang ayahnya."Hmm. Alea?" Rio mengerjapkan mata, namun belum membukanya. Dia masih dikuasai kantuk dan ingin terpejam sebentar lagi.Mentari bersinar hangat di musim semi, bersamaan dengan aroma bunga sakura yang diam-diam menelisik hidung. Di sebuah hunian mewah dengan dekorasi minimalis, seorang pria tidur terlentang di atas sofa bed bersama putrinya."Dad ...." Jemari mungil Alea meraba dada bidang Rio yang tertutup kaus putih. Aroma bayi yang menyegarkan menguar, menyapa indera penciuman sang ayah.Tiruan Monika itu mengulurkan tangannya, mengelus pelipis pria yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Sama seperti sang ibu yang suka mencium pipi Rio diam-diam saat tidur, Alea juga melakukan hal yang sama. Dia mendaratkan kecupan sayangnya sekedip mata di rahang kokoh ayahnya yang ditumbuhi cambang tipis.Rio mengangkat kedua alis sebelum balas
"Sweety, ada dua bayi di dalam perutmu?" tanya Rio tidak percaya, menatap Monika dengan pandangan yang penuh binar bahagia. "Kita akan punya twins baby?"Anggukan kepala terlihat, membuat kebahagiaan yang Rio rasakan semakin berlipat-lipat. Dia tidak pernah menyangka kalau dalam satu waktu akan ada dua buah cinta yang melengkapi kebahagiaannya dengan Monika. Seolah semua hanya mimpi, tidak pernah terjadi."Aku juga baru tahu."Rio memeluk istrinya, menyalurkan rasa cinta yang begitu luar biasa. Mereka baru sempat melakukan pemeriksaan kandungan setelah kondisi Rio benar-benar membaik. Observasi lanjutan pasca siuman harus dijalaninya selama dua minggu."Kondisi istri Anda baik, kedua janin di dalam perutnya juga sangat baik. Namun, alangkah baiknya jika porsi makannya ditambah lagi. Kebutuhan gizi dua anak tentu berbeda dengan kehamilan tunggal.""Saya akan memperhatikannya, Dok." Rio menjawab penuturan dokter kandungan di hadapannya dengan bahasa
"Sweety, aku merindukanmu."Suara Rio yang lirih dan dalam berhasil membuat bulu roma Monika meremang seketika. Dia tidak tahu bagaimana bisikan itu bisa membuatnya jadi seperti sekarang ini, hang, blank, tidak bisa berpikir sama sekali."Apa kamu tidak merindukanku?"Melihat Monika tak merespon, Rio sengaja menggelitik perut istrinya, membuat bola mata sipitnya membulat seketika. Dua tangannya langsung menahan tangan Rio yang masih ada di dalam blouse putih yang dipakainya."Hubby?!" Kali ini tatapan tajam yang ia hadiahkan pada suaminya. Tak cukup sampai di sana, Monika juga segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan suaminya yang nakal.Gelak tawa Rio terdengar menggema, merasa bahagia melihat istrinya kembali sadar. Entah pergi ke mana akal sehatnya beberapa saat lalu, terlihat dari wajah cantik yang tampak bodoh."Berhenti bermain-main. Kamu koma satu minggu dan hampir meregang nyawa. Semua orang panik saat detak jantungmu berhenti k
"Rio," panggil Eva, memeriksa Respon putranya yang tampak mengerjapkan mata namun tak membukanya. Jemari tangan Rio bergerak perlahan, menunjukkan kalau kesadarannya sudah mulai kembali. Dia mendengar panggilan ibunya, tapi masih berat untuk melihat dunia di hadapannya. "Rio, kamu dengar ibu?" ulang Eva, menyentuh pipi putra semata wayangnya yang dilaporkan mengalami tanda-tanda akan bangun dari koma. Tak sia-sia dia dibawa ke Jepang dan mendapat perawatan intensif selama satu pekan. Wajah cantik Evalia menjadi pemandangan pertama yang Rio lihat begitu ia membuka mata. Namun, terlihat buram bersamaan rasa nyeri yang terasa di pangkal hidungnya seperti orang bangun tidur. "Dok, kondisi pasien sudah stabil," lapor perawat yang bertugas melakukan observasi lanjutan pada Rio. Eva mengangguk, sekilas melihat angka yang terpampang di monitor. Pandangan selanjutnya tertuju pada tabung ventilator yang tampak berembun semakin banyak, menunjukkan
"Dear," panggil Eva, memeluk bahu menantunya dari samping. Dia menemui Monika di ruangan khusus yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk keluarga pasien. Kondisi Rio yang semakin menurun memaksa Eva harus menyetujui saran suaminya, membawa anak mereka ke negeri sakura untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Tidak ada jalan lain. Dia harus mengupayakan penyelamatan yang terbaik untuk putranya."Ayo temui Rio," ajaknya, "kondisinya sudah semakin baik. Kemungkinan hari ini dia akan siuman."Namun, hanya gelengan kepala yang terlihat dari wajah cantik Monika. Pipinya tampak semakin tirus. Dia tidak makan, juga tidak istirahat dengan baik seminggu ke belakang. Pemikirannya tertuju pada Rio. Rasa bersalah masih terus membayang, membuatnya bungkam seribu bahasa."Sayang, sudahi kesedihanmu. Jika kamu terus seperti ini, tidak baik untuk buah hatimu. Dia ikut tertekan dan tidak bahagia di dalam sana."Lagi-lagi gelengan kepala yang tampak di wajah Monika, bersa
"Mommy," panggil Clara, menggoyangkan lengan Liliana dengan gerakan yang cepat dan tidak sabar. Netranya menatap sekeliling, menyadari kalau mereka berada di tempat antah berantah yang sepi dan lengang. Rumput ilalang yang tinggi mengepung mereka yang masih ada di dalam mobil."Ada apa?" Liliana mengerjap matanya dua kali, merasa enggan meladeni panggilan tadi. Tubuhnya terlalu lelah, ingin istirahat sedikit lebih lama lagi. Mereka berkejaran dengan sesuatu yang entah apa, seperti kriminal yang lari dari kejaran polisi. Meski kenyataannya, justru Hans dan orang-orangnya lebih mengerikan dari para petugas berseragam coklat muda itu."Kita ada di mana?""Hmm? Di mana?" Liliana mengambil alih kesadarannya, menatap Clara dengan pandangan heran. Isi kepalanya berputar, mencoba mengingat apa yang terngah terjadi pada mereka. Bukankah Clara yang memesan taksi online ini? Kenapa dia terlihat panik?Dengan enggan Liliana menatap arloji di tangannya, mendapati jaru
"Mom, ayo cepat!" Clara menyeret koper di tangannya dengan tergesa. Dua langkah di belakangnya, tampak Liliana melakukan hal yang sama. Namun, wanita yang tak lagi muda itu tampak kerepotan. Beberapa kali kakinya hampir tersandung kakinya sendiri. "Mommy!" teriak Clara, segera berpindah ke taksi yang lainnya. Dia tidak ingin membuang waktu dan membuat orang-orang suruhan Hans mengejarnya. "Tunggu!" Liliana harus melepas sepatu hak tinggi yang dipakainya dan berjalan tanpa alas kaki untuk menyusul calon menantu kesayangannya. Keduanya kini duduk di kursi belakang taksi yang mereka pesan online sesaat lalu. "Sayang, sebenarnya apa yang kamu dengar? Apa sesuatu yang buruk terjadi? Kenapa kita harus lari?" Liliana yang semakin heran dengan perilaku Clara, tak ayal mengeluarkan pertanyaannya juga. "Kamu gagal menyingkirkan Monika?" Clara langsung membekap mulut Liliana dengan tangannya, takut supir taksi yang ada di balik kemudi mendengarkan percak
"Silakan, Nyona." Perawat yang pergi bersama Monika mempersilakan wanita blasteran yang Eva percayakan padanya untuk masuk ke dalam ruangan ICU. Baju hijau menempel di tubuhnya yang tetap terlihat kurus meski berbadan dua. "Aku boleh masuk?" Monika masih setengah tak percaya bisa menemui suaminya. "Sebenarnya, belum diizinkan jika kondisi pasien belum lepas dari kondisi kritis. Tapi, karena ini permintaan dokter Eva, kami tidak bisa menyangkalnya. Beliau pasti lebih tahu. Mungkin Anda bisa membuat suami Anda bangun dari komanya." "Dia koma?! Tapi ibu tidak ... " Bulir hangat luruh di wajah Monika, bersamaan dengan tangan yang menutup rapat mulutnya. Dia tidak bisa berkomentar lebih banyak. Eva tidak mengatakan hal itu, bahkan terlihat tenang dan tidak menitikkan air mata sama sekali. Perawat dengan pakaian hijau itu tampak terhenyak di posisinya. Dia tidak tahu jika pernyataan yang terlontar dari mulutnya akan melukai Monika. "Maaf, Ny
"Kamu siap mendengar penjelasanku, Sayang?" Eva menatap Monika, berharap menantunya cukup tegar dan tidak tumbang. Ada hal yang harus ia sampaikan sebagai seorang dokter kepada keluarga pasien."Katakan saja! Jangan membuatku penasaran!" Bukannya Monika yang menjawab, tapi suara Hans-lah yang terdengar menggema di ruang konsultasi.Eva mengembuskan napas berat. Dia tahu tabiat dan temperamen suaminya, to the point dan tidak suka berbelit-belit. Berbeda dengan pembawaan Monika yang cenderung lemah dan mulai terlihat pucat wajahnya."Sayang?" Eva masih bersikeras, memastikan kesiapan hati dan indera pendengaran wanita cantik yang lagi-lagi meneteskan air mata tanpa suara."Aku baik-baik saja, Bu." Suara bergetar dari mulut Monika berhasil membuat Hans menoleh. Lagi-lagi dia melihat sisi lemah wanita, membuatnya membuang muka karena tidak nyaman. Hatinya terasa sakit, merasa tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Seolah-olah tangisan Monika ini disebabkan ol