Langit terlihat gelap seluruhnya saat Monika keluar menuju balkon. Dia mengeratkan sweater warna biru yang dipakainya, membalut tubuh ramping yang terlihat sedikit menonjol di beberapa bagian.
Ingatan wanita ini berkutat pada pernyataan Rio beberapa hari yang lalu, tepat di hari ketiganya berstatus sebagai seorang istri.
"Jadi, kamu ingin membalas j*lang dan b*rengsek itu menggunakan tanganku? Tidak bisakah kamu melupakan mereka dan hidup tenang bersamaku?"
Sesaat napas wanita ini tercekat, dadanya terasa sesak mendengar hal itu. Pikirannya kembali pada pengkhianatan Devan dan Lisa yang sudah berlangsung setahun kebelakang. Bagaimana bisa dia tidak menyadari hal itu? Apa dia memang sebegitu bodohnya sampai tidak bisa membaca gerak gerik keduanya? Pastilah ada sesuatu yang janggal, tapi dia tidak bisa melihatnya.
Dan kemudian kalimat Rio yang lain kembali terngiang di telinganya.
"Sweety, jadilah ibu dari anak-anakku. Aku tidak aka
Kaki Monika baru saja melewati pintu, tepat ketika Rio keluar dari dalam kamar mandi. Tetes-tetes air jatuh dari ujung rambutnya, menimbulkan pesona yang tak bisa dielakkan lagi.Sesaat Monika terpaku, menikmati sosok sempurna di depan sana yang tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk. Detik berikutnya, wanita 26 tahun itu segera menguasai diri. Dia kembali mengingat peringatan yang Leo katakan beberapa menit yang lalu."Menjauhlah dari tuan. Jangan sampai jatuh hati padanya! Tuan hanya memanfaatkan Anda untuk menghindari perjodohan yang Nyonya Besar siapkan."Ctakk"Ini sarapan Anda, Pak." Monika meletakkan nampan di atas meja dengan sedikit kasar. Wajah ayunya terlihat masam. Entah kenapa dia kembali merasa kesal mengingat statusnya di sini hanya sebagai istri kontrak agar Rio bisa menghindar dari perjodohan yang ada. Menyebalkan!Monika menatap Rio dengan pandangan benci, membuat pria itu heran.Grep"Apa maksud pandan
Sebuah mobil Audi R8 seharga 8 miliar rupiah melaju dengan kencang membelah jalanan ibukota. Tampak Rio ada di balik kemudi dan Monika ada di sebelahnya. Mereka berdua tetap diam sepanjang jalan, sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Monika masih memikirkan kata-kata Leo, tentang tujuan sebenarnya menikah dengan Rio adalah untuk menghindari perjodohan yang ibunya siapkan. Ingin sekali Monika meminta kejelasan dari pria ini, tapi rasanya itu tidak mungkin. "Ibuku akan pulang besok. Kamu ikut menjemputnya di bandara. Dia datang dengan Clara, wanita yang akan dijodohkan denganku." Tiba-tiba Rio bersuara, memecah keheningan yang ada. "Ikut ke bandara?" "Ya." "Maaf, bolehkah saya bertanya?" Rio melirik Monika sekilas. "Katakan saja." "Anda ingin membatalkan perjodohan yang ibu Anda aturkan dengan Nona Clara?" "Hmm," gumam Rio singkat, memutar kemudi di depannya. Mobil berwarna hitam ini berbelok ke kiri, membuat tubuh Mon
WARNING!!! 21+ "Terima kasih," ucap Rio tulus. Sebuah kecupan mesra di kening ia daratkan cukup lama di sana. Wanitany ini kembali memuaskannya. Monika bungkam, dia tak membalas sama sekali. Matanya masih terpejam, berusaha mengumpulkan sedikit energinya yang tersisa. "Maaf membuatmu jadi seperti ini." Rio merasa bersalah melihat Monika yang kembali dibuat tak berdaya olehnya. Dengan telaten, pria ini merapikan surai panjang wanitanya, sesekali menghapus keringat yang membasahi dahi Monika. "Kamu bisa berdiri?" tanyanya penuh perhatian. Monika mengangguk. Dia kembali menyandarkan punggungnya ke dinding, berharap semoga kakinya mampu untuk menopang tubuhnya sendiri. Rio bergegas membenahi pakaiannya sendiri sebelum pergi melewati tirai dengan cepat. Dia mengambil sebuah bangku dari luar sebagai tempat duduk untuk Monika. "Duduklah," pintanya lembut, membimbing tubuh Monika yang terlihat lemah. Dia melepas outer
Rio memasuki kamar utama di rumah ini. Perlahan, dia membaringkan tubuh Monika di atas ranjang. Wanita itu kelelahan akibat perlakuan buas yang ia lakukan di dalam kamar ganti butik, satu jam yang lalu. "Mmhh," Monika berbalik badan, melenguh tanpa sadar. Wajahnya terlihat begitu damai. Sebuah kecupan mesra mendarat di kening Monika, "Nice dream, Sweety." Hening. Monika tak merespon sama sekali. Dia sudah nyaman berada di alam bawah sadarnya sejak masih ada di galeri sepatu tadi. Tubuhnya remuk redam, bahkan untuk berjalan saja rasanya sulit. Rio tersenyum melihat istrinya yang sudah tertidur nyenyak. Setidaknya fisik wanita ini bisa istirahat total, mengumpulkan tenaganya agar bisa menemaninya ke bandara besok. Akan ada pertunjukkan besar yang mereka mainkan nantinya. Jemari Rio menyingkirkan helai rambut yang menutupi sebagian wajah Monika, membawanya ke belakang telinga. "Kamu cantik," puji pria ini dengan tulus. Senyum hang
WARNING!!! 21+ NOT FOR CHILD! BIJAKLAH DALAM MENYIKAPI SEBUAH BACAAN!! * * * Rio mengungkapkan rahasianya. Dia membenci seseorang menyentuh lehernya karena Clara pernah mencumbuinya dengan buas. "Aku ingin menghapus kenangan buruk itu untukmu." Monika berkata sambil memainkan jemarinya. Keduanya saling berpelukan di atas ranjang, dengan kepala monika bersandar pada dada bidang pria ini. "Bagaimana caranya?" Kening pria 31 tahun ini berkerut dalam, tidak tahu hal gila apa yang ada dalam pikiran istrinya. "Kamu hanya cukup diam saja. Turuti perkataanku." "HAH?" Rio semakin tidak mengerti dengan apa yang Monika bicarakan. Monika tersenyum dan segera duduk. "Sebelum itu, berjanjilah satu hal padaku." "Katakan saja." Rio ikut duduk, menghadap wanitanya dengan pandangan penuh cinta. "Jika aku berhasil menghilang
Suara tongkat yang menyapu bola golf terdengar di telinga membuat Monika membuka matanya. Samar-samar dia juga mendengar suara tapak sepatu di dekatnya, bergerak kesana kemari seperti tengah sibuk mempersiapkan sesuatu. "Selamat pagi, Nona." Wajah Maria tertangkap retina begitu Monika membuka matanya. "Pagi," jawabnya dengan suara serak, tenggorokannya terasa kering. Perlahan, dia bangun dan menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Sekilas Monika melihat ke luar, langit mulai terlihat cerah. Jam di atas nakas menunjukkan pukul lima pagi, masih ada waktu dua jam sebelum ia berangkat ke minimarket. "Ini untuk Anda." Maria menyodorkan segelas air putih hangat pada nonanya. "Terima kasih." Matanya menyapu pandang ke sekeliling. "Dimana orang itu?" Maria sedikit tersenyum saat Monika menyebut Rio sebagai 'orang itu'. "Tuan sedang bermain golf di halaman belakang." "Sepagi ini?" tanya Monika heran. Maria me
"Panggil aku 'Hubby' lagi!!" Rio merengek, meminta Monika memanggilnya dengan sebutan itu lagi. Padahal sudah tiga kali wanita ini mengulangnya. "APA KAMU BODOH?!" ketus Monika sebal, menyingkirkan tangan Rio yang meremas jemarinya dengan erat. Wanita dengan pakaian kasir minimarket ini mundur satu langkah ke belakang, sedikit menjauh dari sepotong daging bernyawa yang teronggok di depannya. "Ayolah, Sweety. Panggil lagi!!" Pria 31 tahun yang tiba-tiba bersikap kekanakan ini masih terus merajuk, membuat Monika memutar bola matanya karena merasa jengah. "Baiklah, aku akan memanggilmu itu jika kita sudah selesai sarapan. Waktuku tidak banyak. Aku harus segera pergi bekerja." Monika menuruti permintaan konyol suaminya nanti. "Panggil sekarang!" Rio masih bersikeras. "Astaga!!" Rio menatap Monika penuh harap, ingin segera mendengar panggilan sayang itu lagi dan lagi. "Honey bunny sweety, my lovely hubby. Ayo kita sarapan!" Monika b
"Berhenti di depan. Cukup sampai di sini saja," ucap Monika, meminta Maria menghentikan Audi R8 warna hitam yang dikendarainya."Tapi, Nona. Tempat kerja Anda masih dua ratus meter ke depan.""Tidak masalah. Aku bisa jalan kaki dari sini."Maria tidak yakin dengan perintah wanita di kursi belakang. Meski ia melambatkan laju mobil mewah ini, tapi nyatanya tak langsung berhenti begitu saja."Maria, tolong berhenti sekarang!"Maria sedikit terhenyak, mengmati wajah nonanya melalui kaca spion di hadapannya."Ah, maaf. Baik. Saya akan menghentikannya sekarang." Mau tak mau, wanita berpakaian serba hitam ini menginjak pedal rem dengan kakinya. Dia tidak bisa membantah perintah Monika lagi."Kamu bisa kembali." Monika membenahi penampilannya sejenak, sebelum bersiap membuka pintu di sisi kirinya."Tunggu, Nona." Maria sibuk mengambil sebuah paperbag yang sedari tadi teronggok di atas kursi depan yang kosong. Dia mendapatkan b
Tiga tahun kemudian ...."Daddy," panggil gadis dua setengah tahun yang kini memanjat dada bidang ayahnya."Hmm. Alea?" Rio mengerjapkan mata, namun belum membukanya. Dia masih dikuasai kantuk dan ingin terpejam sebentar lagi.Mentari bersinar hangat di musim semi, bersamaan dengan aroma bunga sakura yang diam-diam menelisik hidung. Di sebuah hunian mewah dengan dekorasi minimalis, seorang pria tidur terlentang di atas sofa bed bersama putrinya."Dad ...." Jemari mungil Alea meraba dada bidang Rio yang tertutup kaus putih. Aroma bayi yang menyegarkan menguar, menyapa indera penciuman sang ayah.Tiruan Monika itu mengulurkan tangannya, mengelus pelipis pria yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Sama seperti sang ibu yang suka mencium pipi Rio diam-diam saat tidur, Alea juga melakukan hal yang sama. Dia mendaratkan kecupan sayangnya sekedip mata di rahang kokoh ayahnya yang ditumbuhi cambang tipis.Rio mengangkat kedua alis sebelum balas
"Sweety, ada dua bayi di dalam perutmu?" tanya Rio tidak percaya, menatap Monika dengan pandangan yang penuh binar bahagia. "Kita akan punya twins baby?"Anggukan kepala terlihat, membuat kebahagiaan yang Rio rasakan semakin berlipat-lipat. Dia tidak pernah menyangka kalau dalam satu waktu akan ada dua buah cinta yang melengkapi kebahagiaannya dengan Monika. Seolah semua hanya mimpi, tidak pernah terjadi."Aku juga baru tahu."Rio memeluk istrinya, menyalurkan rasa cinta yang begitu luar biasa. Mereka baru sempat melakukan pemeriksaan kandungan setelah kondisi Rio benar-benar membaik. Observasi lanjutan pasca siuman harus dijalaninya selama dua minggu."Kondisi istri Anda baik, kedua janin di dalam perutnya juga sangat baik. Namun, alangkah baiknya jika porsi makannya ditambah lagi. Kebutuhan gizi dua anak tentu berbeda dengan kehamilan tunggal.""Saya akan memperhatikannya, Dok." Rio menjawab penuturan dokter kandungan di hadapannya dengan bahasa
"Sweety, aku merindukanmu."Suara Rio yang lirih dan dalam berhasil membuat bulu roma Monika meremang seketika. Dia tidak tahu bagaimana bisikan itu bisa membuatnya jadi seperti sekarang ini, hang, blank, tidak bisa berpikir sama sekali."Apa kamu tidak merindukanku?"Melihat Monika tak merespon, Rio sengaja menggelitik perut istrinya, membuat bola mata sipitnya membulat seketika. Dua tangannya langsung menahan tangan Rio yang masih ada di dalam blouse putih yang dipakainya."Hubby?!" Kali ini tatapan tajam yang ia hadiahkan pada suaminya. Tak cukup sampai di sana, Monika juga segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan suaminya yang nakal.Gelak tawa Rio terdengar menggema, merasa bahagia melihat istrinya kembali sadar. Entah pergi ke mana akal sehatnya beberapa saat lalu, terlihat dari wajah cantik yang tampak bodoh."Berhenti bermain-main. Kamu koma satu minggu dan hampir meregang nyawa. Semua orang panik saat detak jantungmu berhenti k
"Rio," panggil Eva, memeriksa Respon putranya yang tampak mengerjapkan mata namun tak membukanya. Jemari tangan Rio bergerak perlahan, menunjukkan kalau kesadarannya sudah mulai kembali. Dia mendengar panggilan ibunya, tapi masih berat untuk melihat dunia di hadapannya. "Rio, kamu dengar ibu?" ulang Eva, menyentuh pipi putra semata wayangnya yang dilaporkan mengalami tanda-tanda akan bangun dari koma. Tak sia-sia dia dibawa ke Jepang dan mendapat perawatan intensif selama satu pekan. Wajah cantik Evalia menjadi pemandangan pertama yang Rio lihat begitu ia membuka mata. Namun, terlihat buram bersamaan rasa nyeri yang terasa di pangkal hidungnya seperti orang bangun tidur. "Dok, kondisi pasien sudah stabil," lapor perawat yang bertugas melakukan observasi lanjutan pada Rio. Eva mengangguk, sekilas melihat angka yang terpampang di monitor. Pandangan selanjutnya tertuju pada tabung ventilator yang tampak berembun semakin banyak, menunjukkan
"Dear," panggil Eva, memeluk bahu menantunya dari samping. Dia menemui Monika di ruangan khusus yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk keluarga pasien. Kondisi Rio yang semakin menurun memaksa Eva harus menyetujui saran suaminya, membawa anak mereka ke negeri sakura untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Tidak ada jalan lain. Dia harus mengupayakan penyelamatan yang terbaik untuk putranya."Ayo temui Rio," ajaknya, "kondisinya sudah semakin baik. Kemungkinan hari ini dia akan siuman."Namun, hanya gelengan kepala yang terlihat dari wajah cantik Monika. Pipinya tampak semakin tirus. Dia tidak makan, juga tidak istirahat dengan baik seminggu ke belakang. Pemikirannya tertuju pada Rio. Rasa bersalah masih terus membayang, membuatnya bungkam seribu bahasa."Sayang, sudahi kesedihanmu. Jika kamu terus seperti ini, tidak baik untuk buah hatimu. Dia ikut tertekan dan tidak bahagia di dalam sana."Lagi-lagi gelengan kepala yang tampak di wajah Monika, bersa
"Mommy," panggil Clara, menggoyangkan lengan Liliana dengan gerakan yang cepat dan tidak sabar. Netranya menatap sekeliling, menyadari kalau mereka berada di tempat antah berantah yang sepi dan lengang. Rumput ilalang yang tinggi mengepung mereka yang masih ada di dalam mobil."Ada apa?" Liliana mengerjap matanya dua kali, merasa enggan meladeni panggilan tadi. Tubuhnya terlalu lelah, ingin istirahat sedikit lebih lama lagi. Mereka berkejaran dengan sesuatu yang entah apa, seperti kriminal yang lari dari kejaran polisi. Meski kenyataannya, justru Hans dan orang-orangnya lebih mengerikan dari para petugas berseragam coklat muda itu."Kita ada di mana?""Hmm? Di mana?" Liliana mengambil alih kesadarannya, menatap Clara dengan pandangan heran. Isi kepalanya berputar, mencoba mengingat apa yang terngah terjadi pada mereka. Bukankah Clara yang memesan taksi online ini? Kenapa dia terlihat panik?Dengan enggan Liliana menatap arloji di tangannya, mendapati jaru
"Mom, ayo cepat!" Clara menyeret koper di tangannya dengan tergesa. Dua langkah di belakangnya, tampak Liliana melakukan hal yang sama. Namun, wanita yang tak lagi muda itu tampak kerepotan. Beberapa kali kakinya hampir tersandung kakinya sendiri. "Mommy!" teriak Clara, segera berpindah ke taksi yang lainnya. Dia tidak ingin membuang waktu dan membuat orang-orang suruhan Hans mengejarnya. "Tunggu!" Liliana harus melepas sepatu hak tinggi yang dipakainya dan berjalan tanpa alas kaki untuk menyusul calon menantu kesayangannya. Keduanya kini duduk di kursi belakang taksi yang mereka pesan online sesaat lalu. "Sayang, sebenarnya apa yang kamu dengar? Apa sesuatu yang buruk terjadi? Kenapa kita harus lari?" Liliana yang semakin heran dengan perilaku Clara, tak ayal mengeluarkan pertanyaannya juga. "Kamu gagal menyingkirkan Monika?" Clara langsung membekap mulut Liliana dengan tangannya, takut supir taksi yang ada di balik kemudi mendengarkan percak
"Silakan, Nyona." Perawat yang pergi bersama Monika mempersilakan wanita blasteran yang Eva percayakan padanya untuk masuk ke dalam ruangan ICU. Baju hijau menempel di tubuhnya yang tetap terlihat kurus meski berbadan dua. "Aku boleh masuk?" Monika masih setengah tak percaya bisa menemui suaminya. "Sebenarnya, belum diizinkan jika kondisi pasien belum lepas dari kondisi kritis. Tapi, karena ini permintaan dokter Eva, kami tidak bisa menyangkalnya. Beliau pasti lebih tahu. Mungkin Anda bisa membuat suami Anda bangun dari komanya." "Dia koma?! Tapi ibu tidak ... " Bulir hangat luruh di wajah Monika, bersamaan dengan tangan yang menutup rapat mulutnya. Dia tidak bisa berkomentar lebih banyak. Eva tidak mengatakan hal itu, bahkan terlihat tenang dan tidak menitikkan air mata sama sekali. Perawat dengan pakaian hijau itu tampak terhenyak di posisinya. Dia tidak tahu jika pernyataan yang terlontar dari mulutnya akan melukai Monika. "Maaf, Ny
"Kamu siap mendengar penjelasanku, Sayang?" Eva menatap Monika, berharap menantunya cukup tegar dan tidak tumbang. Ada hal yang harus ia sampaikan sebagai seorang dokter kepada keluarga pasien."Katakan saja! Jangan membuatku penasaran!" Bukannya Monika yang menjawab, tapi suara Hans-lah yang terdengar menggema di ruang konsultasi.Eva mengembuskan napas berat. Dia tahu tabiat dan temperamen suaminya, to the point dan tidak suka berbelit-belit. Berbeda dengan pembawaan Monika yang cenderung lemah dan mulai terlihat pucat wajahnya."Sayang?" Eva masih bersikeras, memastikan kesiapan hati dan indera pendengaran wanita cantik yang lagi-lagi meneteskan air mata tanpa suara."Aku baik-baik saja, Bu." Suara bergetar dari mulut Monika berhasil membuat Hans menoleh. Lagi-lagi dia melihat sisi lemah wanita, membuatnya membuang muka karena tidak nyaman. Hatinya terasa sakit, merasa tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Seolah-olah tangisan Monika ini disebabkan ol