Bergelut dengan rasa takut akan terbongkarnya peristiwa menakjubkan bersama Yasa semalam, Disti menyilangkan tangan di depan dada. Ia hanya menatap tumpukan kain kebaya yang seharusnya sedang ia jahit saat itu. Semalam begitu indah dan menantang, meskipun berakhir dengan ratapan. Selintas ingatan mengisi pikirannya. Ia bersyukur, Shalimah mengantarkan ibunya dan Arjuna beberapa puluh menit setelah Yasa meninggalkan rumahnya. Apa yang harus ia katakan pada Shalimah jika Shalimah mengetahui Yasa tidur dengannya? Oksigen tidak lagi terhirup dengan semestinya lantaran terhalang beban yang mendesak dan memenuhi dada Disti. Pikirannya melayang-layang mengaburkan seluruh konsentrasi wanita itu."Aku lihat dari tadi Mbak Disti melamun saja? Apa sedang tidak enak badan?" Pertanyaan Ina dengan aksen jawanya yang kental membuyarkan lamunan Disti."Oh, mm... Iya. Sebenarnya tidak, Bu Ina. Aku hanya sedang memikirkan kuliahku. Eh, tapi sedikit nyut-nyutan juga sih kepalaku," balas Disti gugup dan
Yasa melihat sekilas ke arah Disti. Sorot matanya masih tidak berubah sejak beberapa menit yang lalu. Kilat kemarahan masih ada di sana dan Disti bisa melihatnya dengan jelas. Segelintir penyesalan bergulir di hati Disti. Jika saja sikapnya tidak sekeras tadi, menolak ajakan Yasa untuk menemui dokter, situasi yang tidak mengenakkan itu tidak akan terjadi."Aku pergi dulu, Shali. Assalamualaikum," pamit Yasa yang disambut kecupan ringan Shalimah di punggung tangannya."Waalaikumsalam. Hati-hati ya, Mas," jawab Shalimah.Kalimat biasa yang bermakna luar biasa itu membuat Yasa tersenyum. Mengabaikan Disti yang masih mematung memperhatikannya dan juga Shalimah, Yasa mengecup kening Shalimah dengan mesra. Disti tidak sempat memalingkan tatapannya lantaran pemandangan romantis itu berlangsung begitu cepat. Rasa perih menyayat hatinya seiring senyuman terkembang di wajah Yasa dan Shalimah sesaat kemudian. Disti merasakan dadanya begitu sesak hingga ia ingin menekannya. Wanita berwajah sendu
Pagi itu, Disti merasa jauh lebih baik. Wajahnya tampak cerah, seperti mentari yang baru saja menyapa bumi. Demam dan sakit kepala yang kemarin membuatnya lemah kini telah hilang. Ia merasa segar, seolah energi baru mengalir dalam tubuhnya. Jatuh cinta memang dahsyat, pikirnya sambil tersenyum sendiri. Efeknya bisa menyembuhkan rasa sakit lebih cepat daripada obat apa pun.Disti sadar, ia hanya memiliki setengah hati Yasa, dan mungkin itu bodoh, tapi ia ikhlas menerimanya. Meskipun tahu pernikahannya dengan Yasa sebatas formalitas, meskipun sadar bahwa Shalimah-lah cinta sejati pria itu, Disti tak bisa menahan perasaannya. Terkadang ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, kenapa kamu bisa begitu mudah jatuh cinta pada Yasa? Apakah karena wajah Yasa mengingatkannya pada Varen atau ada alasan lain yang belum ia temukan?Lamunannya buyar ketika suara bel yang nyaring menggema dari arah pintu depan. Disti tersentak, hatinya bersorak riang. Mungkin itu Yasa yang datang untuk mengantarkan A
Di dalam rumah, Disti langsung menuju kamarnya. Tanpa sadar, ia menatap bayangan dirinya di cermin. Wajah yang kusut dan sembab, mata yang sembab karena menangis, semua itu membuatnya terlihat seperti orang asing bagi dirinya sendiri.“Mungkin benar aku memang hanya penggoda,” bisiknya pada bayangannya sendiri. “Aku datang di saat hubungan Yasa dan Shalimah berada di titik lemah.”Sekarang Disti tahu alasan sebenarnya Yasa mempertahankan pernikahan mereka. Itu bukan karena cinta, bukan karena ingin melindunginya, melainkan karena sesuatu yang Laila ungkapkan padanya tadi. Disti merasa telah dimanfaatkan. Ketulusannya mencintai Yasa hanya dianggap sebelah mata, sementara pria itu mempertahankannya untuk alasan yang tak pernah ia duga.Air mata semakin deras mengalir di pipinya. Rasa perih dan sakit menggantikan perasaan bahagia yang sempat ia rasakan pagi ini. Disti terisak, suaranya tertahan dalam kesunyian kamar, seolah tak ada tempat untuk mencurahkan semua luka di hatinya.Tiba-tib
Dari sudut lain, Yasa tersenyum bangga menyaksikan kedua istrinya saling memberikan perhatian. Tidak berselang lama, ia berpamitan untuk melanjutkan aktivitas rutinnya sebagai Pejabat Eksekutif Tertinggi di perusahaan milik keluarganya.Disti dan Shalimah masih berdiri bersebelahan setelah mereka melepas kepergian Yasa. Rona bahagia terpancar di wajah Shalimah, sedangkan Disti masih diliputi perasaan yang tidak menentu.Ucapan Laila beberapa jam yang lalu bagai virus yang melumpuhkan sistem kerja hati Disti. Hatinya seolah kebas dan masih terbalut perih setiap kali semua ucapan Ibu mertuanya itu terngiang di telinganya."Dis, setelah makan siang kamu bisa menemaniku tidak?" tanya Shalimah sebelum Disti bertolak ke ruang produksi."Menemani ke mana, Mbak?"Shalimah merangkul Disti. Ia tersenyum dan berkata dengan sedikit berbisik. "Aku mau menemui terapis. Kemarin aku sudah bicara dengan Mama Laila dan Mama Laila menyarankan agar aku menemui terapis pilihannya. Selama ini aku selalu ke
Jika Yasa mencintainya, seharusnya Yasa menceritakan semua yang sudah terjadi di antara mereka pada Shalimah, pikir Disti di antara isak tangisnya. Namun, sesaat kemudian ia menyadari bahwa ia sendiri yang menginginkan hal itu. Yasa tidak salah. Ya Allah, haruskah aku mengatakan pada Mbak Shalimah bahwa aku dan Mas Yasa sudah …? Disti menekan dada dengan tangan, sementara air mata masih membasahi wajahnya. Puas menangis selama beberapa menit di toilet, Disti segera membasuh wajahnya dengan air yang mengalir dari kran wastafel dan memulas kembali wajahnya dengan bedak serta lipstick. Dengan keterpaksaan yang menyiksa, siang itu Disti menemani Shalimah menemui seorang dokter. Keinginannya untuk berterus terang tentang perasaannya terhadap Yasa dibungkam oleh ketidaktegaan pada Shalimah yang tengah berjuang untuk menata kembali pernikahannya dengan suami mereka.Tiga minggu terakhir, Shalimah dan Yasa telah rajin mengikuti konseling pernikahan dan konsultasi ke dokter ahli. Perubahan po
Ketika Yasa kembali melirik ke arah Disti, Shalimah memutuskan untuk mengambil langkah. Dengan pelan dan hati-hati, ia menyentuh lengan Yasa, menarik perhatiannya kembali.“Mas,” kata Shalimah pelan, suaranya tenang tapi penuh arti. “Boleh bicara sebentar?” Yasa mengangguk mengiakan, lalu mereka berdua meminta izin untuk menjauh dari tamu mereka untuk berbicara.“Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya Shalimah.Yasa tertegun, menyadari bahwa ia mungkin sudah terlalu jelas menunjukkan perasaannya pada Disti. Ia menoleh pada Shalimah, berusaha menutupi kegelisahannya dengan senyuman kecil.“Oh, tidak. Tidak ada, Sayang. Maaf, tadi aku hanya melihat-lihat tamu yang hadir,” jawabnya berusaha tenang.Shalimah tersenyum tipis. Meski demikian, tatapannya menelusuri mata Yasa seolah mencoba membaca pikirannya. “Tamu atau Disti?” Yasa terdiam sesaat, terkejut mendengar pertanyaan itu. “Shali… bukan begitu maksudku.”“Mas, Disti juga istri kamu. Tidak apa-apa kalau Mas mengkhawatir
“Aku tidak bermaksud membuatmu merasa seperti itu, Dis,” ucap Yasa dengan suara parau. “Aku hanya tidak ingin kamu terlalu dekat dengan orang lain. Aku tidak ingin kehilangan kamu. Kalau kamu bilang aku cemburu, iya, aku cemburu.”Disti menatap Yasa, matanya berkaca-kaca. “Mas, aku mengerti. Aku sadar siapa aku kok, Mas. Aku hanya bayangan Mbak Shalimah dalam kehidupan Mas. Sudahlah, Mas. Jangan terlalu memikirkan aku.”Yasa terdiam, meresapi setiap kata yang diucapkan Disti. Ia tahu, ada banyak kebenaran di balik kata-kata istrinya. Bahwa selama ini, dia memang lebih sering mendahulukan Shalimah, menganggap Disti akan baik-baik saja tanpa benar-benar melihat kebutuhan emosional istrinya.Perlahan, Yasa meraih tangan Disti dan menggenggamnya erat. Kali ini Disti tidak menepis, namun tatapannya tetap menyiratkan keraguan. “Aku minta maaf, Disti,” ucap Yasa, suaranya lebih lembut dan tulus. “Aku terlalu lama terjebak dengan pikiran bahwa aku bisa menjalani semuanya seperti ini. Aku piki
Plaaak! Tamparan Disti mendarat di pipi Yasa. Wanita itu tidak menduga Yasa akan berkata yang menyakitkan hatinya seperti tadi. Apa yang bisa Disti lakukan jika Yasa benar-benar membawa masalah hak asuh Kieran ke ranah hukum? Yasa punya segalanya. Jelas ia akan memenangkan hak asuh itu, meskipun anak di bawah umur seharusnya dibesarkan oleh ibunya. Yasa bisa melakukan apa saja untuk merebut hak asuh Kieran.Disti terdiam. Semua kata tertahan di tenggorokannya. Hanya air mata yang membasahi pipi yang mewakili kehancuran hati dan harapannya. Begitupun, dengan Yasa. Pria itu tertegun merenungi bagaimana ia dengan bodohnya melayangkan kalimat intimidasi pada Disti. Wanita yang pernah mengisi hati dan telah memberinya seorang putri. Dorongan yang tak terbendung memberikan kekuatan pada Yasa. Mengabaikan semua permasalahan yang ada, Yasa merengkuh Disti ke dalam pelukannya.
Wanita berkulit putih yang mengenakan gaun merah selutut itu tersenyum. Mata sebiru lautannya berbinar terang seolah tidak ada beban sedikit pun di pundaknya ketika ia harus berhadapan dengan mantan istri Yasa."Halo, aku Azra. Yasa pasti sudah memberitahukanmu bahwa aku yang akan menjemput anak-anak." Azra mengulurkan tangannya.Tidak mau terlihat gugup Disti menjabat tangan Azra. Entah Azra bisa merasakan kegugupannya atau tidak, Disti hanya ingin terlihat kalau ia tidak gentar dengan penampilan sempurna wanita itu."Halo, aku Disti. Iya, Mas Yasa sudah memberitahuku."Pertemuan sekaligus perkenalan canggung itu berlangsung singkat. Sebelum Azra membawa kedua anaknya, ia meminta perempuan cantik itu untuk menyampaikan pesannya pada Yasa agar ia tidak lupa untuk mengant
Mata Disti mulai berkaca-kaca. Dahulu, ia sempat mengira David hanya pria egois yang ingin memanfaatkannya. Namun, seiring waktu, ia melihat sisi lain dari David—pria yang ternyata bijaksana dan tulus. Ia mulai sadar, bahwa di balik sikapnya yang flamboyan, David adalah seseorang yang memahami dirinya lebih dari yang ia duga.David mengulurkan tangan dan menyentuh bahu Disti dengan lembut. "Aku akan tetap di sini, menemanimu. Tapi, kamu perlu berdamai dengan hatimu dulu, Dis. Cari tahu apa yang benar-benar kamu inginkan. Aku nggak akan memaksamu untuk memilihku atau siapa pun. Kamu yang berhak menentukan jalanmu sendiri."Disti mengangguk, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Kata-kata David menyentuh bagian terdalam hatinya, membuatnya merasa tenang, tapi juga tergugah untuk mencari kejelasan dalam perasaannya.David tersenyum hangat, lalu berkata, "Sekarang makan, ya. Nggak usah banyak pikir dulu. Biar hatimu nggak lelah sendiri."Disti tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya
Yasa kembali menghela napas, pandangannya kosong. "Aku bingung, Dis. Saat itu, Shalimah ... kondisinya memburuk. Aku tahu aku yang salah karena membiarkannya merasa tersisihkan, karena aku terus memikirkanmu. Aku sudah jadi pria yang kejam, lebih mementingkan perempuan lain daripada istri yang selalu setia di sampingku. Aku larut dalam penyesalanku. Sampai tiba waktunya aku ingin menemui kalian, David sudah benar-benar menggantikan posisiku." Yasa tersenyum masam, “Aku pengecut, ya?”Disti hanya bisa memandang Yasa tanpa kata-kata. Semua kata-kata yang keluar dari mulut pria itu menusuk hatinya, menciptakan rasa bersalah yang kian menumpuk."Apa yang terjadi pada Mbak Shalimah, Mas?" tanyanya akhirnya, meskipun ia sudah tahu jawabannya. Pertanyaan itu mengandung harapan bahwa jawabannya mungkin berbeda dari apa yang ia duga.Yasa menunduk, suaranya terdengar serak. "Shalimah meninggal dunia beberapa hari setelah melahirkan Gyan, putra kami.""Innalillahi wa inna ilaihi ra'jiun," gumam
Disti menahan napas, kemudian membelai lembut tangan Kieran. "Sayang, Om ini papa kandung Kieran. Jadi, mulai sekarang, Kieran bisa panggil Om ini ‘Papa Yasa’, ya?"Mata Kieran membulat, lalu tersenyum cerah. "Jadi Kieran punya dua papa, ya, Bunda?"Disti mengangguk, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Iya, Sayang. Satu Papa David, satu lagi Papa Yasa."Yasa mencoba tersenyum, meskipun ada kegetiran yang tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan. "Iya, Kieran. Kamu bisa panggil Om, ‘Papa Yasa’."Kieran tampak berpikir sejenak, lalu menatap Disti dengan wajah bingung. "Om ini temannya Bunda ya, Bunda?"Pertanyaan itu membuat Yasa spontan menatap Disti, pandangan mereka berserobok sejenak. Disti menelan ludah, lalu menjawab hati-hati, "Iya, Sayang. Papa Yasa ini teman Bunda."Yasa menunduk, menyembunyikan perasaan sakit yang bergemuruh di dadanya. Jawaban Disti mungkin untuk melindungi Kieran yang masih terlalu muda untuk memahami semua ini, tetapi tetap saja menyakitkan mendengarnya."Assa
Ketukan di pintu ruang kerjanya mengalihkan sejenak pikiran Disti yang tengah kalut, memaksanya kembali pada realitas di senja yang pekat."Assalamualaikum. Maaf, aku datang tanpa kabar," ucap David sambil mendorong pintu terbuka. Senyuman yang biasa menghiasi wajah orientalnya segera memudar ketika ia melihat Disti duduk tersedu-sedu. Tanpa berpikir panjang, David mendekati Disti, menaruh tangannya di pundak Disti untuk menenangkan. "Dis, ada apa? Kenapa kamu menangis?"Disti menunduk. Suaranya terdengar bergetar saat akhirnya ia bicara, tapi bukan menjawab pertanyaan David. "Maafkan aku, Mbak. Maafkan aku. Aku yang salah. Aku yang menjadi duri dalam kehidupan kalian."David terdiam sejenak mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Pandangannya menyapu ruang kerja Disti dan berhenti pada layar laptopnya yang masih menyala, menunjukkan sebuah file bernama ‘Shalimah’. Hatinya mencelos dan ia tak butuh melihat lebih jauh untuk menyimpulkan bahwa video itu adalah penyebab tangis Disti.“
“Assalamualaikum,” ucap Yasa, suaranya berat dan tegas, membawa suasana dingin yang langsung memenuhi ruangan.Disti mengangguk singkat, mencoba menutupi kegugupannya. “Waalaikumsalam,” jawabnya sambil berusaha menjaga nadanya tetap stabil.Yasa melangkah masuk. Tatapannya tak pernah lepas dari wajah Disti. Sementara itu, Disti bisa merasakan ada sesuatu yang berat dalam tatapan Yasa sesuatu yang membara di balik ketenangan yang Yasa tampilkan.“Kenapa kamu tidak bilang padaku kalau kamu sedang hamil saat kita bercerai?” Yasa langsung bertanya, tanpa basa-basi.Disti tertegun. Pertanyaan itu menghantamnya tanpa ampun, tepat di titik yang paling ia coba sembunyikan selama ini. Ia menatap Yasa, dan untuk pertama kalinya, ia melihat kemar
“Kamu melamarku, Dave?” tanya Disti, suaranya bergetar sedikit, antara terkejut dan tidak percaya.David tersenyum tipis, lalu berpura-pura melempar pandangan ke arah bunga-bunga mawar merah yang tumbuh di sepanjang jalan setapak. “Aku? Melamar kamu? Nggak kok. Aku cuma curhat sama bunga-bunga ini,” jawabnya santai sambil menunjuk ke arah bunga-bunga di sepanjang koridor.Disti tertawa pelan, melirik David dengan pandangan penuh arti. “Begitu saja ngambek,” katanya menggoda. “Tapi serius, Dave, tentu saja aku senang kalau kamu mau menjadi imamku. Hanya saja apa kamu siap menjadi imam seorang janda beranak dua?”David menatap Disti beberapa saat, matanya menyorotkan ketulusan yang begitu dalam. “Menurutmu gimana?” balasnya lembut.
Jantung Disti berdegup kencang, nyaris melompat keluar saat melihat Yasa berjalan mendekat. Tatapannya terkunci pada sosok pria berpostur atletis dengan sorot mata yang masih sama, meski ada sesuatu yang tampak lebih matang, lebih tenang. Waktu seakan melambat. Dan dalam beberapa detik yang panjang itu, kenangan masa lalu menghantamnya bertubi-tubi.Sadar bahwa ia tidak sendirian, Disti segera menoleh ke Kieran yang berdiri di sampingnya. Wajah kecil putrinya yang begitu mirip dengan Yasa membuatnya gelisah. Ia tahu betul, Kieran adalah gambaran Yasa dalam versi perempuan kecil. Jika Yasa memperhatikan lebih teliti, ia pasti akan mengenali kemiripan itu.Dengan sigap, Disti meraih tangan Kieran dan menempatkan gadis kecilnya di belakang tubuhnya, seolah ingin melindungi Kieran dari tatapan yang mungkin penuh pertanyaan. Ketika ia melirik ke arah ana