Yasa terdiam sejenak, merasa terpukul oleh perasaannya sendiri. Detak jantung Yasa bertambah cepat. Apakah benar yang ia rasakan untuk Disti? Apakah ini artinya ia mengkhianati Shalimah? Kehadirannya Disti sukses membuat perasaannya jungkir balik, memporak-porandakan logika yang selama ini ia pertahankan.“Kita hanya perlu bersabar beberapa minggu lagi,” lanjut Yasa, berusaha tenang. “Kalau Disti tidak hamil, pernikahan ini bisa kita akhiri dengan baik-baik.”Shalimah menggeleng pelan. Tatapannya penuh harap, penuh kepasrahan. “Aku ingin Disti hamil, Mas.” Ia menatap Yasa lekat-lekat, matanya berkaca-kaca. “Aku ingin dia mengandung anakmu.”Yasa mengeraskan rahangnya, menahan emosi yang berkecamuk. Tatapan lembutnya berubah tajam. “Aku tidak akan memanfaatkan pernikahanku dengan Disti hanya untuk itu, Shali. Aku tidak sekejam itu, menikahinya hanya demi seorang anak.”Shalimah menunduk, suaranya lirih dan penuh keyakinan. “Mas, aku tahu kamu menyukai Disti.”Yasa terdiam, menelan kali
Yasa melangkah masuk ke ruang kerja Shalimah dan mengiringi kedatangannya dengan salam. “Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam,” sambut Shalimah lembut, sambil mencium punggung tangan Yasa dengan penuh kasih.Di belakangnya, Disti menatap sejenak, lalu ragu-ragu mengikuti gerakan Shalimah. “Waalaikumsalam,” ucapnya pelan sambil menunduk dan mencium punggung tangan Yasa dengan canggung. Sudah beberapa hari ia melakukannya, tapi tetap saja Disti merasa kikuk. Hubungan mereka terasa tak nyata, seakan pernikahan ini hanyalah formalitas tanpa makna yang dalam.“Maaf, aku agak telat. Tadi harus menyelesaikan urusan kantor dulu sebelum menjemput Juna,” jelas Yasa, nadanya terdengar penuh tanggung jawab.Disti menahan napas, merasa tak nyaman dengan penjelasan Yasa yang seharusnya ditujukan pada Shalimah, istri pertamanya. Ketika Yasa mengarahkannya pada Disti, seolah ada garis yang dilangkahi, membuatnya merasa salah tempat. Namun, sebelum ia tenggelam dalam pikirannya, Yasa beralih pada Shalima
Disti berdiri terpaku, membeku di bawah derasnya hujan yang menghantam tanpa ampun. Di hadapannya, David berdiri tegap, wajahnya serius dan dingin seperti es, tanpa sedikit pun tersirat kelembutan. Mata pria berwajah oriental itu menatap Disti lekat-lekat, penuh obsesi yang mencekam."Pak David? Apa yang Bapak lakukan di sini?!" tanya Disti nyaris berteriak, suaranya tercekik oleh kecemasan.David tidak menjawab. Ia hanya mendekat tanpa melepaskan pandangan yang tajam dan penuh maksud dari wajah Disti. Tangannya yang kuat mencengkram lengan Disti dengan erat dan membuat ibu muda tersebut meringis kesakitan. Hujan semakin deras, orang-orang yang tadi berlalu lalang kini berteduh di bawah atap terdekat, meninggalkan jalanan yang semakin sepi.“Kita bicara di dalam mobilku,” katanya, suaranya rendah tapi memaksa. “Kamu tidak mau basah-basahan, ‘kan?”Disti memandangnya tak percaya. Hatinya berkecamuk, antara marah dan takut, tetapi cengkeraman David semakin kuat, memaksanya untuk menurut
"Kamu baik-baik saja, Dis?" Tatapan prihatin Yasa menjelajahi wajah pucat Disti dari balik kemudi.Napas Disti pendek dan suaranya tersekat di tenggorokan. Hatinya kembali dirobek-robek oleh tindakan dan ucapan David tadi. Air matanya terus meleleh menahan semua kata yang ingin diucapkan hingga ia hanya mampu mengangguk.Yasa mengusap lengan Disti untuk menenangkannya. Lagi-lagi rasa bersalah kembali menyengatnya. Reaktor dari semua aksi David terhadap Disti adalah cerita masa lalunya dengan David yang tidak pernah menemukan solusi. Tidak seharusnya Disti yang menjadi korban.Kilat tajam terpancar dari mata Yasa saat ia menyusun rencana untuk mengatasi situasi yang tidak kondusif. Ia terus memutar otak mencari penyelesaian. Sesekali ia mengerutkan dahi lalu menggeleng dan mengembus napas kasar."Kenapa Pak David melakukan semua itu padaku, Mas? Apa salahku?" tanya Disti dengan suara bergetar dan dibarengi isakan.Pertanyaan Disti menikam dada Yasa dan membuat paru-parunya mengerut. Me
Rasa yang lebih dingin mengalir ke seluruh tubuh Disti hingga membekukan tangannya yang menggenggam erat lengan kemeja basah Yasa. Kakinya mati rasa ketika semua berangsur normal dan tampak lebih nyata. Detak jantung yang tidak terkendali membungkam mulutnya ketika keberadaan Yasa tidak menyisakan jarak di antara keduanya.Perang batin mulai berkecamuk. Apakah ia harus berlari setelah menyadari semua itu nyata atau ....Dengan kendali kuat yang nyaris tak tertahankan, Yasa membingkai wajah Disti. Seluruh perhatiannya terpusat pada wajah seputih kapas perempuan itu. Tatapannya menjelajahi setiap inchi wajah cantik tersebut hingga tiba di bibir Disti yang sedikit bergetar menahan rasa dingin dan rasa lain yang berkecamuk. Yasa tidak berkata apa-apa. Lidah Disti juga kelu. Keheningan yang tercipta mempertegas sensasi panas yang mulai membakar. Tekanan posesif tangan Yasa di kedua sisi wajah Disti membuat jantung Disti berdebar-debar dan gugup. Sekilas, Disti melihat keputusan tegas dala
Bergelut dengan rasa takut akan terbongkarnya peristiwa menakjubkan bersama Yasa semalam, Disti menyilangkan tangan di depan dada. Ia hanya menatap tumpukan kain kebaya yang seharusnya sedang ia jahit saat itu. Semalam begitu indah dan menantang, meskipun berakhir dengan ratapan. Selintas ingatan mengisi pikirannya. Ia bersyukur, Shalimah mengantarkan ibunya dan Arjuna beberapa puluh menit setelah Yasa meninggalkan rumahnya. Apa yang harus ia katakan pada Shalimah jika Shalimah mengetahui Yasa tidur dengannya? Oksigen tidak lagi terhirup dengan semestinya lantaran terhalang beban yang mendesak dan memenuhi dada Disti. Pikirannya melayang-layang mengaburkan seluruh konsentrasi wanita itu."Aku lihat dari tadi Mbak Disti melamun saja? Apa sedang tidak enak badan?" Pertanyaan Ina dengan aksen jawanya yang kental membuyarkan lamunan Disti."Oh, mm... Iya. Sebenarnya tidak, Bu Ina. Aku hanya sedang memikirkan kuliahku. Eh, tapi sedikit nyut-nyutan juga sih kepalaku," balas Disti gugup dan
Yasa melihat sekilas ke arah Disti. Sorot matanya masih tidak berubah sejak beberapa menit yang lalu. Kilat kemarahan masih ada di sana dan Disti bisa melihatnya dengan jelas. Segelintir penyesalan bergulir di hati Disti. Jika saja sikapnya tidak sekeras tadi, menolak ajakan Yasa untuk menemui dokter, situasi yang tidak mengenakkan itu tidak akan terjadi."Aku pergi dulu, Shali. Assalamualaikum," pamit Yasa yang disambut kecupan ringan Shalimah di punggung tangannya."Waalaikumsalam. Hati-hati ya, Mas," jawab Shalimah.Kalimat biasa yang bermakna luar biasa itu membuat Yasa tersenyum. Mengabaikan Disti yang masih mematung memperhatikannya dan juga Shalimah, Yasa mengecup kening Shalimah dengan mesra. Disti tidak sempat memalingkan tatapannya lantaran pemandangan romantis itu berlangsung begitu cepat. Rasa perih menyayat hatinya seiring senyuman terkembang di wajah Yasa dan Shalimah sesaat kemudian. Disti merasakan dadanya begitu sesak hingga ia ingin menekannya. Wanita berwajah sendu
Pagi itu, Disti merasa jauh lebih baik. Wajahnya tampak cerah, seperti mentari yang baru saja menyapa bumi. Demam dan sakit kepala yang kemarin membuatnya lemah kini telah hilang. Ia merasa segar, seolah energi baru mengalir dalam tubuhnya. Jatuh cinta memang dahsyat, pikirnya sambil tersenyum sendiri. Efeknya bisa menyembuhkan rasa sakit lebih cepat daripada obat apa pun.Disti sadar, ia hanya memiliki setengah hati Yasa, dan mungkin itu bodoh, tapi ia ikhlas menerimanya. Meskipun tahu pernikahannya dengan Yasa sebatas formalitas, meskipun sadar bahwa Shalimah-lah cinta sejati pria itu, Disti tak bisa menahan perasaannya. Terkadang ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, kenapa kamu bisa begitu mudah jatuh cinta pada Yasa? Apakah karena wajah Yasa mengingatkannya pada Varen atau ada alasan lain yang belum ia temukan?Lamunannya buyar ketika suara bel yang nyaring menggema dari arah pintu depan. Disti tersentak, hatinya bersorak riang. Mungkin itu Yasa yang datang untuk mengantarkan A
Plaaak! Tamparan Disti mendarat di pipi Yasa. Wanita itu tidak menduga Yasa akan berkata yang menyakitkan hatinya seperti tadi. Apa yang bisa Disti lakukan jika Yasa benar-benar membawa masalah hak asuh Kieran ke ranah hukum? Yasa punya segalanya. Jelas ia akan memenangkan hak asuh itu, meskipun anak di bawah umur seharusnya dibesarkan oleh ibunya. Yasa bisa melakukan apa saja untuk merebut hak asuh Kieran.Disti terdiam. Semua kata tertahan di tenggorokannya. Hanya air mata yang membasahi pipi yang mewakili kehancuran hati dan harapannya. Begitupun, dengan Yasa. Pria itu tertegun merenungi bagaimana ia dengan bodohnya melayangkan kalimat intimidasi pada Disti. Wanita yang pernah mengisi hati dan telah memberinya seorang putri. Dorongan yang tak terbendung memberikan kekuatan pada Yasa. Mengabaikan semua permasalahan yang ada, Yasa merengkuh Disti ke dalam pelukannya.
Wanita berkulit putih yang mengenakan gaun merah selutut itu tersenyum. Mata sebiru lautannya berbinar terang seolah tidak ada beban sedikit pun di pundaknya ketika ia harus berhadapan dengan mantan istri Yasa."Halo, aku Azra. Yasa pasti sudah memberitahukanmu bahwa aku yang akan menjemput anak-anak." Azra mengulurkan tangannya.Tidak mau terlihat gugup Disti menjabat tangan Azra. Entah Azra bisa merasakan kegugupannya atau tidak, Disti hanya ingin terlihat kalau ia tidak gentar dengan penampilan sempurna wanita itu."Halo, aku Disti. Iya, Mas Yasa sudah memberitahuku."Pertemuan sekaligus perkenalan canggung itu berlangsung singkat. Sebelum Azra membawa kedua anaknya, ia meminta perempuan cantik itu untuk menyampaikan pesannya pada Yasa agar ia tidak lupa untuk mengant
Mata Disti mulai berkaca-kaca. Dahulu, ia sempat mengira David hanya pria egois yang ingin memanfaatkannya. Namun, seiring waktu, ia melihat sisi lain dari David—pria yang ternyata bijaksana dan tulus. Ia mulai sadar, bahwa di balik sikapnya yang flamboyan, David adalah seseorang yang memahami dirinya lebih dari yang ia duga.David mengulurkan tangan dan menyentuh bahu Disti dengan lembut. "Aku akan tetap di sini, menemanimu. Tapi, kamu perlu berdamai dengan hatimu dulu, Dis. Cari tahu apa yang benar-benar kamu inginkan. Aku nggak akan memaksamu untuk memilihku atau siapa pun. Kamu yang berhak menentukan jalanmu sendiri."Disti mengangguk, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Kata-kata David menyentuh bagian terdalam hatinya, membuatnya merasa tenang, tapi juga tergugah untuk mencari kejelasan dalam perasaannya.David tersenyum hangat, lalu berkata, "Sekarang makan, ya. Nggak usah banyak pikir dulu. Biar hatimu nggak lelah sendiri."Disti tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya
Yasa kembali menghela napas, pandangannya kosong. "Aku bingung, Dis. Saat itu, Shalimah ... kondisinya memburuk. Aku tahu aku yang salah karena membiarkannya merasa tersisihkan, karena aku terus memikirkanmu. Aku sudah jadi pria yang kejam, lebih mementingkan perempuan lain daripada istri yang selalu setia di sampingku. Aku larut dalam penyesalanku. Sampai tiba waktunya aku ingin menemui kalian, David sudah benar-benar menggantikan posisiku." Yasa tersenyum masam, “Aku pengecut, ya?”Disti hanya bisa memandang Yasa tanpa kata-kata. Semua kata-kata yang keluar dari mulut pria itu menusuk hatinya, menciptakan rasa bersalah yang kian menumpuk."Apa yang terjadi pada Mbak Shalimah, Mas?" tanyanya akhirnya, meskipun ia sudah tahu jawabannya. Pertanyaan itu mengandung harapan bahwa jawabannya mungkin berbeda dari apa yang ia duga.Yasa menunduk, suaranya terdengar serak. "Shalimah meninggal dunia beberapa hari setelah melahirkan Gyan, putra kami.""Innalillahi wa inna ilaihi ra'jiun," gumam
Disti menahan napas, kemudian membelai lembut tangan Kieran. "Sayang, Om ini papa kandung Kieran. Jadi, mulai sekarang, Kieran bisa panggil Om ini ‘Papa Yasa’, ya?"Mata Kieran membulat, lalu tersenyum cerah. "Jadi Kieran punya dua papa, ya, Bunda?"Disti mengangguk, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Iya, Sayang. Satu Papa David, satu lagi Papa Yasa."Yasa mencoba tersenyum, meskipun ada kegetiran yang tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan. "Iya, Kieran. Kamu bisa panggil Om, ‘Papa Yasa’."Kieran tampak berpikir sejenak, lalu menatap Disti dengan wajah bingung. "Om ini temannya Bunda ya, Bunda?"Pertanyaan itu membuat Yasa spontan menatap Disti, pandangan mereka berserobok sejenak. Disti menelan ludah, lalu menjawab hati-hati, "Iya, Sayang. Papa Yasa ini teman Bunda."Yasa menunduk, menyembunyikan perasaan sakit yang bergemuruh di dadanya. Jawaban Disti mungkin untuk melindungi Kieran yang masih terlalu muda untuk memahami semua ini, tetapi tetap saja menyakitkan mendengarnya."Assa
Ketukan di pintu ruang kerjanya mengalihkan sejenak pikiran Disti yang tengah kalut, memaksanya kembali pada realitas di senja yang pekat."Assalamualaikum. Maaf, aku datang tanpa kabar," ucap David sambil mendorong pintu terbuka. Senyuman yang biasa menghiasi wajah orientalnya segera memudar ketika ia melihat Disti duduk tersedu-sedu. Tanpa berpikir panjang, David mendekati Disti, menaruh tangannya di pundak Disti untuk menenangkan. "Dis, ada apa? Kenapa kamu menangis?"Disti menunduk. Suaranya terdengar bergetar saat akhirnya ia bicara, tapi bukan menjawab pertanyaan David. "Maafkan aku, Mbak. Maafkan aku. Aku yang salah. Aku yang menjadi duri dalam kehidupan kalian."David terdiam sejenak mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Pandangannya menyapu ruang kerja Disti dan berhenti pada layar laptopnya yang masih menyala, menunjukkan sebuah file bernama ‘Shalimah’. Hatinya mencelos dan ia tak butuh melihat lebih jauh untuk menyimpulkan bahwa video itu adalah penyebab tangis Disti.“
“Assalamualaikum,” ucap Yasa, suaranya berat dan tegas, membawa suasana dingin yang langsung memenuhi ruangan.Disti mengangguk singkat, mencoba menutupi kegugupannya. “Waalaikumsalam,” jawabnya sambil berusaha menjaga nadanya tetap stabil.Yasa melangkah masuk. Tatapannya tak pernah lepas dari wajah Disti. Sementara itu, Disti bisa merasakan ada sesuatu yang berat dalam tatapan Yasa sesuatu yang membara di balik ketenangan yang Yasa tampilkan.“Kenapa kamu tidak bilang padaku kalau kamu sedang hamil saat kita bercerai?” Yasa langsung bertanya, tanpa basa-basi.Disti tertegun. Pertanyaan itu menghantamnya tanpa ampun, tepat di titik yang paling ia coba sembunyikan selama ini. Ia menatap Yasa, dan untuk pertama kalinya, ia melihat kemar
“Kamu melamarku, Dave?” tanya Disti, suaranya bergetar sedikit, antara terkejut dan tidak percaya.David tersenyum tipis, lalu berpura-pura melempar pandangan ke arah bunga-bunga mawar merah yang tumbuh di sepanjang jalan setapak. “Aku? Melamar kamu? Nggak kok. Aku cuma curhat sama bunga-bunga ini,” jawabnya santai sambil menunjuk ke arah bunga-bunga di sepanjang koridor.Disti tertawa pelan, melirik David dengan pandangan penuh arti. “Begitu saja ngambek,” katanya menggoda. “Tapi serius, Dave, tentu saja aku senang kalau kamu mau menjadi imamku. Hanya saja apa kamu siap menjadi imam seorang janda beranak dua?”David menatap Disti beberapa saat, matanya menyorotkan ketulusan yang begitu dalam. “Menurutmu gimana?” balasnya lembut.
Jantung Disti berdegup kencang, nyaris melompat keluar saat melihat Yasa berjalan mendekat. Tatapannya terkunci pada sosok pria berpostur atletis dengan sorot mata yang masih sama, meski ada sesuatu yang tampak lebih matang, lebih tenang. Waktu seakan melambat. Dan dalam beberapa detik yang panjang itu, kenangan masa lalu menghantamnya bertubi-tubi.Sadar bahwa ia tidak sendirian, Disti segera menoleh ke Kieran yang berdiri di sampingnya. Wajah kecil putrinya yang begitu mirip dengan Yasa membuatnya gelisah. Ia tahu betul, Kieran adalah gambaran Yasa dalam versi perempuan kecil. Jika Yasa memperhatikan lebih teliti, ia pasti akan mengenali kemiripan itu.Dengan sigap, Disti meraih tangan Kieran dan menempatkan gadis kecilnya di belakang tubuhnya, seolah ingin melindungi Kieran dari tatapan yang mungkin penuh pertanyaan. Ketika ia melirik ke arah ana