Langit pagi di rumah keluarga Sapta Aji Wijaya tampak cerah, tetapi suasana di dalam rumah megah itu begitu berbeda. Awan murka menggelayuti setiap sudut, menyelimuti dinding-dinding berlapis marmer dengan kekesalan yang membara. Sapta Aji, seorang pria dengan karisma dan kekuatan yang begitu dominan, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya yang dipenuhi berbagai penghargaan dan foto-foto masa lalunya yang penuh kejayaan. Namun, tidak ada senyuman dalam potret-potret tersebut yang bisa meredakan amarahnya saat ini.Gosip murahan yang melibatkan putranya, Yasa, telah menyebar bak api di tengah hutan kering. Kabar itu menggerogoti reputasi keluarga besar mereka, yang selama ini dikenal tak pernah tercela. Sapta Aji tidak bisa menerima kenyataan bahwa nama baiknya, yang ia bangun dengan susah payah, kini dipermainkan oleh rumor kotor yang menyebar tanpa kendali. "Laila, di mana anak kita? Aku ingin bicara dengan Yasa sekarang!" suaranya terdengar tegas, menggetarkan udara di sekitar, m
Laila menggeleng keras, matanya membelalak penuh ketidakpercayaan. “Tidak, Shalimah! Mama tidak akan membiarkan Yasa menikahi wanita itu! Kamu pikir ini solusi? Ini justru akan memperburuk semuanya. Disti sudah cukup membawa bencana bagi keluarga ini. Aku tidak akan membiarkan dia menghancurkan lebih banyak lagi!”Shalimah, meskipun hatinya berat, tetap teguh pada pendiriannya. Wajahnya yang lembut tapi tegas menatap langsung ke arah mertuanya. “Ma, menjauhi Disti hanya akan membuat gosip semakin liar. Kita harus menunjukkan bahwa Yasa bertanggung jawab. Ini bukan hanya tentang perasaan kita, tapi juga tentang menyelamatkan nama keluarga.”“Dan kamu rela berbagi suami? Kau benar-benar tidak punya harga diri, Shalimah?” Laila mencemooh, suaranya sarat akan kemarahan yang tak terpendam.Shalimah menarik napas panjang, mencoba menahan lahar yang hampir meledak di dadanya. “Ma, ini bukan soal harga diri. Ini soal menjaga kehormatan keluarga. Shali tahu ini sulit, tapi Shali lebih memilih
"Apakah Mas dan Mbak jadi melapor—""Tidak. Bukan itu," potong Shalimah dengan lembut tapi tegas. Wajahnya menyiratkan ketenangan yang berusaha ia pertahankan. "Sebelumnya, aku dan Mas Yasa minta maaf kalau kami mengganggu waktumu dan Ibu." Matanya beralih menembus bahu Disti, mencari sosok yang lebih tua di dalam rumah sederhana itu. "Ibu ada di rumah, ‘kan?"Disti mengangguk pelan, hatinya tak tenang. "Ada, Mbak. Silakan masuk."Begitu mereka semua duduk di atas karpet plastik lusuh yang menutupi lantai ruang tamu, Disti memanggil ibunya, Sari. Wanita baya itu segera muncul, langkahnya berat tapi sarat akan kasih sayang. Sari pun bergabung bersama mereka. Dengan raut wajah lelah, Sari langsung menyapa Shalimah.“Nak Shalimah, Ibu minta maaf. Kejadian yang heboh di media sosial itu—”“Bu, sudahlah,” potong Shalimah, “aku tahu itu bukan salah Disti. Kami datang ke sini justru untuk meluruskan gosip tersebut supaya tidak ada lagi yang menghujat Disti dan Mas yasa.”“Syukurlah kalau Nak
Yasa melafalkan kalimat ijab kabul dengan lantang, suaranya menggema di dalam ruangan kecil Kantor Urusan Agama. Di hadapannya, penghulu dan wali hakim dari KUA mengawasi proses ini dengan khidmat, sementara Disti duduk di sebelahnya dengan hati yang berdebar-debar. Pernikahan sederhana itu hanya dihadiri oleh Shalimah, Sari, dan dua orang tetangga dari rumah kontrakan Disti beserta serta istri-istri mereka. Meskipun sederhana, suasana di sana terasa sakral, penuh dengan perasaan yang bercampur aduk.Dengan mengenakan kebaya putih yang dipilihkan oleh Shalimah, Disti tampak anggun meski hanya dengan riasan wajah dan sanggul sederhana. Yasa, dalam jas hitam yang membalut tubuh atletisnya, sesekali melirik mempelainya. Namun, ada ketegangan di balik ketenangan yang ia coba tunjukkan. Ia tahu, menjaga hati dua istrinya nanti akan menjadi tantangan besar.Tidak ada kecupan di kening Disti saat proses ijab kabul selesai. Dengan perasaan yang canggung, Disti hanya menempelkan punggung tanga
Shalimah mendekat, meraih dan memegang bahu Disti dengan lembut. "Jangan terlalu dipikirkan, ya. Mas Yasa memang begitu orangnya.""Tapi, Mbak—""Mas Yasa suka sama kamu, Dis," potong Shalimah dengan suara lirih, nyaris bergetar.Disti menengadah, memandang Shalimah dengan tatapan tak percaya. "Mbak ....""Aku kenal suamiku, Dis. Dia bukan tipe orang yang mudah jatuh hati. Kalau dia masih tetap berada di sisi kamu meski dilarang oleh mamanya, itu artinya perasaannya serius," lanjut Shalimah dengan nada sedih, membuat Disti merasa tersayat oleh rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap."Mbak, aku nggak bisa terus seperti ini. A-aku nggak mencintai Mas Yasa, setidaknya bukan dengan cara seperti itu. Aku menghormati dia sebagai kakaknya Mas Varen. Maaf, Mbak, aku sama sekali nggak berniat merusak—"Shalimah memeluk Disti erat-erat, seakan berusaha menyalurkan kekuatan melalui dekapannya. "Sudahlah, Dis. Biarkan semua berjalan seperti air. Kamu nggak perlu merasa bersalah. Aku dan Mas Yasa
Setelah hampir satu jam di toko mainan, Arjuna akhirnya mendapatkan beberapa mainan edukatif favoritnya. Disti membawa kantong karton berisi mainan baru itu sambil tetap berjalan beberapa langkah di belakang Yasa. Sementara itu, Yasa dengan santainya menggendong Arjuna agar anak itu tidak terpisah di tengah ramainya pengunjung mall.Namun tiba-tiba—Buuuk!"Aduh!" seru Disti saat seseorang tak sengaja menabraknya dari samping, membuat kantong plastik yang dipegangnya jatuh berantakan ke lantai.Dengan cepat, Disti membungkuk, memunguti kantong plastik yang terjatuh. Namun, pandangannya tertumbuk pada sosok pria di depannya saat berdiri kembali. Sosok itu yang tak pernah ia duga akan bertemu di sini.Jantungnya serasa berhenti berdetak. "Pak David."David tersenyum sinis, tatapannya perlahan menjelajahi wajah Disti yang tampak tegang. "Kita bertemu lagi," ucapnya dengan nada dingin.Disti merasakan ketakutan yang menyesakkan dada. Tangannya bergetar halus saat ia melayangkan pandangan
“Terima kasih, Mas,” ucapnya lirih, nyaris tanpa disadari.Yasa menoleh, menatap Disti dengan bingung. “Apa, Dis?” tanyanya.Disti terkesiap, lalu mengerjap gugup. “Te-terima kasih, Mas.”Yasa tersenyum tipis. “Untuk apa?”“Untuk memperlakukan Arjuna dengan sangat baik,” jawab Disti, berusaha menahan suaranya agar tetap stabil meskipun dadanya mulai sesak.Yasa menatapnya dalam, sorot matanya hangat tapi penuh penyesalan. “Itu sudah kewajibanku. Arjuna juga anakku. Ada pertalian darah antara kami, meski dia bukan anak kandungku.”Disti menunduk, berusaha menyembunyikan perasaannya. Jantungnya berdebar kencang saat Yasa melangkah lebih dekat, kehadiran pria itu terasa begitu intens hingga setiap saraf dalam tubuhnya menegang.“Maafkan aku yang seakan mengabaikan kalian selama dua tahun ini,” ucap Yasa, suaranya rendah dan penuh rasa bersalah. “Aku bohong kalau bilang aku tidak peduli. Setiap saat, aku ingin bertemu kalian, tapi ada tanggung jawab lain yang harus aku jaga—rumah tanggaku
Yasa terdiam sejenak, merasa terpukul oleh perasaannya sendiri. Detak jantung Yasa bertambah cepat. Apakah benar yang ia rasakan untuk Disti? Apakah ini artinya ia mengkhianati Shalimah? Kehadirannya Disti sukses membuat perasaannya jungkir balik, memporak-porandakan logika yang selama ini ia pertahankan.“Kita hanya perlu bersabar beberapa minggu lagi,” lanjut Yasa, berusaha tenang. “Kalau Disti tidak hamil, pernikahan ini bisa kita akhiri dengan baik-baik.”Shalimah menggeleng pelan. Tatapannya penuh harap, penuh kepasrahan. “Aku ingin Disti hamil, Mas.” Ia menatap Yasa lekat-lekat, matanya berkaca-kaca. “Aku ingin dia mengandung anakmu.”Yasa mengeraskan rahangnya, menahan emosi yang berkecamuk. Tatapan lembutnya berubah tajam. “Aku tidak akan memanfaatkan pernikahanku dengan Disti hanya untuk itu, Shali. Aku tidak sekejam itu, menikahinya hanya demi seorang anak.”Shalimah menunduk, suaranya lirih dan penuh keyakinan. “Mas, aku tahu kamu menyukai Disti.”Yasa terdiam, menelan kali
Plaaak! Tamparan Disti mendarat di pipi Yasa. Wanita itu tidak menduga Yasa akan berkata yang menyakitkan hatinya seperti tadi. Apa yang bisa Disti lakukan jika Yasa benar-benar membawa masalah hak asuh Kieran ke ranah hukum? Yasa punya segalanya. Jelas ia akan memenangkan hak asuh itu, meskipun anak di bawah umur seharusnya dibesarkan oleh ibunya. Yasa bisa melakukan apa saja untuk merebut hak asuh Kieran.Disti terdiam. Semua kata tertahan di tenggorokannya. Hanya air mata yang membasahi pipi yang mewakili kehancuran hati dan harapannya. Begitupun, dengan Yasa. Pria itu tertegun merenungi bagaimana ia dengan bodohnya melayangkan kalimat intimidasi pada Disti. Wanita yang pernah mengisi hati dan telah memberinya seorang putri. Dorongan yang tak terbendung memberikan kekuatan pada Yasa. Mengabaikan semua permasalahan yang ada, Yasa merengkuh Disti ke dalam pelukannya.
Wanita berkulit putih yang mengenakan gaun merah selutut itu tersenyum. Mata sebiru lautannya berbinar terang seolah tidak ada beban sedikit pun di pundaknya ketika ia harus berhadapan dengan mantan istri Yasa."Halo, aku Azra. Yasa pasti sudah memberitahukanmu bahwa aku yang akan menjemput anak-anak." Azra mengulurkan tangannya.Tidak mau terlihat gugup Disti menjabat tangan Azra. Entah Azra bisa merasakan kegugupannya atau tidak, Disti hanya ingin terlihat kalau ia tidak gentar dengan penampilan sempurna wanita itu."Halo, aku Disti. Iya, Mas Yasa sudah memberitahuku."Pertemuan sekaligus perkenalan canggung itu berlangsung singkat. Sebelum Azra membawa kedua anaknya, ia meminta perempuan cantik itu untuk menyampaikan pesannya pada Yasa agar ia tidak lupa untuk mengant
Mata Disti mulai berkaca-kaca. Dahulu, ia sempat mengira David hanya pria egois yang ingin memanfaatkannya. Namun, seiring waktu, ia melihat sisi lain dari David—pria yang ternyata bijaksana dan tulus. Ia mulai sadar, bahwa di balik sikapnya yang flamboyan, David adalah seseorang yang memahami dirinya lebih dari yang ia duga.David mengulurkan tangan dan menyentuh bahu Disti dengan lembut. "Aku akan tetap di sini, menemanimu. Tapi, kamu perlu berdamai dengan hatimu dulu, Dis. Cari tahu apa yang benar-benar kamu inginkan. Aku nggak akan memaksamu untuk memilihku atau siapa pun. Kamu yang berhak menentukan jalanmu sendiri."Disti mengangguk, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Kata-kata David menyentuh bagian terdalam hatinya, membuatnya merasa tenang, tapi juga tergugah untuk mencari kejelasan dalam perasaannya.David tersenyum hangat, lalu berkata, "Sekarang makan, ya. Nggak usah banyak pikir dulu. Biar hatimu nggak lelah sendiri."Disti tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya
Yasa kembali menghela napas, pandangannya kosong. "Aku bingung, Dis. Saat itu, Shalimah ... kondisinya memburuk. Aku tahu aku yang salah karena membiarkannya merasa tersisihkan, karena aku terus memikirkanmu. Aku sudah jadi pria yang kejam, lebih mementingkan perempuan lain daripada istri yang selalu setia di sampingku. Aku larut dalam penyesalanku. Sampai tiba waktunya aku ingin menemui kalian, David sudah benar-benar menggantikan posisiku." Yasa tersenyum masam, “Aku pengecut, ya?”Disti hanya bisa memandang Yasa tanpa kata-kata. Semua kata-kata yang keluar dari mulut pria itu menusuk hatinya, menciptakan rasa bersalah yang kian menumpuk."Apa yang terjadi pada Mbak Shalimah, Mas?" tanyanya akhirnya, meskipun ia sudah tahu jawabannya. Pertanyaan itu mengandung harapan bahwa jawabannya mungkin berbeda dari apa yang ia duga.Yasa menunduk, suaranya terdengar serak. "Shalimah meninggal dunia beberapa hari setelah melahirkan Gyan, putra kami.""Innalillahi wa inna ilaihi ra'jiun," gumam
Disti menahan napas, kemudian membelai lembut tangan Kieran. "Sayang, Om ini papa kandung Kieran. Jadi, mulai sekarang, Kieran bisa panggil Om ini ‘Papa Yasa’, ya?"Mata Kieran membulat, lalu tersenyum cerah. "Jadi Kieran punya dua papa, ya, Bunda?"Disti mengangguk, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Iya, Sayang. Satu Papa David, satu lagi Papa Yasa."Yasa mencoba tersenyum, meskipun ada kegetiran yang tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan. "Iya, Kieran. Kamu bisa panggil Om, ‘Papa Yasa’."Kieran tampak berpikir sejenak, lalu menatap Disti dengan wajah bingung. "Om ini temannya Bunda ya, Bunda?"Pertanyaan itu membuat Yasa spontan menatap Disti, pandangan mereka berserobok sejenak. Disti menelan ludah, lalu menjawab hati-hati, "Iya, Sayang. Papa Yasa ini teman Bunda."Yasa menunduk, menyembunyikan perasaan sakit yang bergemuruh di dadanya. Jawaban Disti mungkin untuk melindungi Kieran yang masih terlalu muda untuk memahami semua ini, tetapi tetap saja menyakitkan mendengarnya."Assa
Ketukan di pintu ruang kerjanya mengalihkan sejenak pikiran Disti yang tengah kalut, memaksanya kembali pada realitas di senja yang pekat."Assalamualaikum. Maaf, aku datang tanpa kabar," ucap David sambil mendorong pintu terbuka. Senyuman yang biasa menghiasi wajah orientalnya segera memudar ketika ia melihat Disti duduk tersedu-sedu. Tanpa berpikir panjang, David mendekati Disti, menaruh tangannya di pundak Disti untuk menenangkan. "Dis, ada apa? Kenapa kamu menangis?"Disti menunduk. Suaranya terdengar bergetar saat akhirnya ia bicara, tapi bukan menjawab pertanyaan David. "Maafkan aku, Mbak. Maafkan aku. Aku yang salah. Aku yang menjadi duri dalam kehidupan kalian."David terdiam sejenak mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Pandangannya menyapu ruang kerja Disti dan berhenti pada layar laptopnya yang masih menyala, menunjukkan sebuah file bernama ‘Shalimah’. Hatinya mencelos dan ia tak butuh melihat lebih jauh untuk menyimpulkan bahwa video itu adalah penyebab tangis Disti.“
“Assalamualaikum,” ucap Yasa, suaranya berat dan tegas, membawa suasana dingin yang langsung memenuhi ruangan.Disti mengangguk singkat, mencoba menutupi kegugupannya. “Waalaikumsalam,” jawabnya sambil berusaha menjaga nadanya tetap stabil.Yasa melangkah masuk. Tatapannya tak pernah lepas dari wajah Disti. Sementara itu, Disti bisa merasakan ada sesuatu yang berat dalam tatapan Yasa sesuatu yang membara di balik ketenangan yang Yasa tampilkan.“Kenapa kamu tidak bilang padaku kalau kamu sedang hamil saat kita bercerai?” Yasa langsung bertanya, tanpa basa-basi.Disti tertegun. Pertanyaan itu menghantamnya tanpa ampun, tepat di titik yang paling ia coba sembunyikan selama ini. Ia menatap Yasa, dan untuk pertama kalinya, ia melihat kemar
“Kamu melamarku, Dave?” tanya Disti, suaranya bergetar sedikit, antara terkejut dan tidak percaya.David tersenyum tipis, lalu berpura-pura melempar pandangan ke arah bunga-bunga mawar merah yang tumbuh di sepanjang jalan setapak. “Aku? Melamar kamu? Nggak kok. Aku cuma curhat sama bunga-bunga ini,” jawabnya santai sambil menunjuk ke arah bunga-bunga di sepanjang koridor.Disti tertawa pelan, melirik David dengan pandangan penuh arti. “Begitu saja ngambek,” katanya menggoda. “Tapi serius, Dave, tentu saja aku senang kalau kamu mau menjadi imamku. Hanya saja apa kamu siap menjadi imam seorang janda beranak dua?”David menatap Disti beberapa saat, matanya menyorotkan ketulusan yang begitu dalam. “Menurutmu gimana?” balasnya lembut.
Jantung Disti berdegup kencang, nyaris melompat keluar saat melihat Yasa berjalan mendekat. Tatapannya terkunci pada sosok pria berpostur atletis dengan sorot mata yang masih sama, meski ada sesuatu yang tampak lebih matang, lebih tenang. Waktu seakan melambat. Dan dalam beberapa detik yang panjang itu, kenangan masa lalu menghantamnya bertubi-tubi.Sadar bahwa ia tidak sendirian, Disti segera menoleh ke Kieran yang berdiri di sampingnya. Wajah kecil putrinya yang begitu mirip dengan Yasa membuatnya gelisah. Ia tahu betul, Kieran adalah gambaran Yasa dalam versi perempuan kecil. Jika Yasa memperhatikan lebih teliti, ia pasti akan mengenali kemiripan itu.Dengan sigap, Disti meraih tangan Kieran dan menempatkan gadis kecilnya di belakang tubuhnya, seolah ingin melindungi Kieran dari tatapan yang mungkin penuh pertanyaan. Ketika ia melirik ke arah ana